ALAS MENTAOK
Alas Mentaok adalah alas yang pernah ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi alas Mentaok membentang dari timur laut hingga tenggara Kota Yogyakarta saat ini, diperkirakan mulai dari daerah Purwomartani di Sleman, daerah Banguntapan di Bantul, hingga daerah Kotagede, di Kota Yogyakarta.
Alas kerajaan Mataram
Panembahan Senopati merupakan tokoh sentral berdirinya kerajaan Mataram Islam. Tidak sedikit laku spiritual yang dijalankan demi kokohnya tonggak kerajaan Islam di Tlatah (Tanah) Jawa usai Demak, bertapa salah satunya.
Panembahan Senopati yang memiliki nama asli Danang Sutawijaya merupakan penerima sah hadiah setelah memenangkan sayembara Sultan Hadiwijaya, raja kerajaan Pajang, yakni membunuh Arya Penangsang. Maka alas Mentaok menjadi miliknya. Alas atau hutan Mentaok inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang kelak sekaligus menjadi pusatnya.
Usai Danang Sutawijaya menerima hadiah tersebut, berangkatlah dia menyambangi lahan yang dijanjikan. Sesampainya di tanah yang dijanjikan, Danang Sutawijaya tidak langsung melakukan babat alas atau pembukaan lahan, namun dia memilih bertapa beberapa waktu. Setelah menjalani laku spiritual, dipilihlah salah satu tempat paling istimewa untuk semedi, yaitu Kahyangan.
Lingkungan sekitar pertapaan yang saat ini masuk wilayah Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri tersebut terletak di lembah sungai dengan batu-batu dan pohon besar. Sebuah air terjun menghiasi tebing. Terdapat dua pertapaan yang keduanya berada di bawah sebuah batu yang sangat besar, Selo Bethek dan Selo Payung.
Selama bertapa di hutan Kahyangan Dlepih, Danang Sutawijaya dibantu kebutuhan sehari-harinya oleh Nyai Puju, warga yang tinggal di daerah itu. Konon, Nyai Puju dan keturunannya inilah yang kemudian diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bekas pertapaannya, setelah Danang Sutawijaya menjadi Raja Mataram.
Karena keistimewaan tersebut, saat ini Kahyangan, Dlepih menjadi satu dari sekian tempat yang disakralkan Keraton Yogyakarta selain Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, Gunung Lawu. Tempat-tempat tersebut dijuluki sebagai petilasan.
Sebagai rasa syukur dan hormat, di petilasan tersebut rutin diselenggarakan upacara adat yang dinamakan Labuhan. Labuhan merupakan upacara adat yang secara rutin dilakukan oleh Keraton Yogyakarta di tempat-tempat yang memiliki arti khusus bagi keraton hingga perlu dirawat.
Labuhan dilaksanakan setiap tahun untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem, peringatan kenaikan takhta Sultan berdasar kalender Jawa. Khusus di Dlepih, tepatnya di Kahyangan, Labuhan hanya diselenggarakan saat Labuhan Ageng (besar) yang jatuh tiap sewindu atau delapan tahun sekali yang bertepatan pada tahun Dal.
Lokasi-lokasi labuhan tersebut dijaga dan dipelihara oleh juru kunci yang diangkat sebagai Abdi Dalemoleh keraton. Di Kahyangan, Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri, salah satu Abdi Dalem yang ditugaskan untuk menjaganya adalah Mas Ngabehi Surakso Budoyo.
Pria bernama asli Wakino ini ditunjuk sebagai Abdi Dalem menggantikan ayahnya. Berbeda dari juru kunci di tempat-tempat lain, di Dlepih penugasan juru kunci diwariskan dari generasi ke generasi.
Awalnya Wakino membantu pekerjaan ayahnya, lalu pada tahun 1965, saat berusia 25, ia diangkat menjadi Abdi Dalem. Kini seorang anak dan dua cucunya juga sudah diangkat sebagai Abdi Dalem juru kunci. Keempat orang inilah yang sekarang merawat petilasan tersebut.
Sebagai ritual, Labuhan memiliki aturan dan urutan khusus. Prosesi diawali di keraton. Ubarampe disiapkan lalu diantarkan ke tempat yang ditentukan. Ubarampe tersebut berupa songsong (payung kerajaan), baju, kain, makanan dan sebagainya.
Di Dlepih, ubarampe yang dibawa oleh utusan dari Keraton Yogyakarta langsung diserahkan ke camat dan Abdi Dalem Juru Kunci di Selo Payung. Setelah itu Abdi Dalem Juru Kunci akan memimpin doa. Khusus untuk Labuhan di Dlepih, ubarampe yang telah didoakan tersebut tidak dibagikan kepada masyarakat, namun disimpan sampai rusak di sebuah bangunan khusus yang disebut Panti Labuhan.
Sebagai situs yang memiliki nilai sejarah kerajaan masa lalu, tak ayal Kahyangan dianggap sebagai tempat keramat sehingga banyak orang mendatangi tempat ini untukngalap berkah, melakukan doa permohonan agar tujuannya tercapai. Sehingga selain bertugas menyelenggarakan upacara Labuhan, membersihkan, dan merawat situs, Abdi Dalem Juru Kunci di Kahyangan juga bertugas mendampingi para peziarah.
Tugas pokok kami adalah berada di sini setiap hari. Ada (pengunjung) yang minta agar lancar pekerjaannya. Apapun tujuannya juru kunci akan mendoakan.
Dia mengaku keluarga dan warga sekitar tidak menyikapi posisinya secara istimewa, Tapi ada penghormatan khusus. Kalau ada pekerjaan besar, seperti (perbaikan lahan) waktu tempat ini longsor, saya bisa minta tolong pada (kepala) Dukuh.
Cerita Alas Mentaok
Dibalik rimbunnya belukar Alas Mentaok, dahulunya disana berdiri sebuah Kerajaan Hindu / Budha . Tepatnya sekitar abad VIII hingga akhir abad X. Di Alas Mentaok dahulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Mataram, dari berbagai prasasti dan candi candi yang ditemukan dituliskan disana masa masa kejayaan Wangsa Sanjaya & Wangsa Syailendra penguasa Kraton Mataram Kuno.
Tetapi kejayaan mulai meredup, ketika terjadi perang saudara ditambah dengan meletusnya Gunung Merapi yang menghancurkan istana, rumah penduduk, membuat para penguasa Mataram Kuno memindahkan Ibukota Nagari ke pulau Jawa bagian Timur. Dan Mataram menjadi kota mati dan sepi.dan semak belukar pohon pohon tumbuh liar menutupi kisah Mataram kuno.
Sekitar awal abad ke XIII, sebuah perahu besar menepi dan menghentikan perahunya dekat dengan Alas Mentaok. Dari perahu besar turun seseorang yang tampaknya bukan orang biasa , dan memiliki ilmu mumpuni. Beliau turun dari perahu dengan diikuti oleh para pengikutnya, beliau adalah Syech Jumadil Qubro seorang kyahi yang datang dari negeri seberang.
Di Alas Mentaok Syech Jumadil Qubro dan pengikutnya mulai membuka hutan dan mendirikan bangunan tempat tinggal juga langgar. Lambat laun lokasi mulai ramai banyak yang berdatangan kesana untuk melakukan jual beli kebutuhan sehari hari. Syech Jumadil Qubro juga mulai mengadakan syiar agama Islam. Beliau mendirikan Padepokan banyak penduduk yang belajar ilmu agama di Padepokan beliau.
Mengingat lokasi tersebut bekas wilayah Kraton Mataram Kuno, akhirnya Syech Jumadil Qubro dijuluki sebagai Ki Ageng Mataram I.
Setelah beberapa tahun kemudian, Syech Jumadil Qubro melanjutkan syiar nya ke lain daerah.
Sunan Kalijaga atau Syech Malaya juga pernah tinggal di Alas Mentaok. Bahkan beliau sebagai Priyayi yang wasis dan waskitho sempat menanam tiga pohon beringin di tepi sendang atau mata air. Ketika menanam pohon beringin beliau berkata "Kelak daerah ini pada masanya akan menjadi daerah rejo / makmur"
Kelak di lokasi tersebut berdiri kerajaan Mataram Islam.
Pada masa akhir Kerajaan Demak, seorang Pangeran dari kerajaan Demak berkelana hingga ke Alas Mentaok, Beliau mendapat tugas dari Para Wali untuk syiar Islam.
Pangeran tersebut tidak mau terlibat dalam perebutan kekuasaan Kraton Demak. Beliau lebih suka mendalami spiritual dan ilmu agama.
Pangeran itu adalah Raden Djoyoprono. Beliau adalah putra dari Sunan Prawata raja Kraton Demak Bintoro saat itu.
Silsilah Raden Djoyoprono :
Sunan Trenggana menurunkan Sunan Prawata.
Sunan Prawata menikah dengan Ratu Mas Panenggak putri Panembahan Agung Surabaya ( putra Batara Katong Adipati Ponorogo ) menurunkan :
1. Raden Djoyoprono
2. Raden Wilasmoro ( kelak Panembahan Wilasmoro ing Kediri )
Raden Djoyoprono atau Pangeran Djoyoprono bertempat tinggal di Alas Mentaok dan di kenal dengan nama Ki Ageng Mataram II.
Pada masa pemerintahan Kraton Pajang, Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah tanah Alas Mentaok karena jasanya berhasil menundukkan Arya Penangsang.
Ki Ageng Pemanahan dan keluarga besarnya meninggalkan Dukuh Manahan menuju Alas Mentaok.
Sesampai di Alas Mentaok Ki Ageng Pemanahan bertemu dengan Ki Ageng Djoyoprono yang telah lama tinggal di Alas Mentaok.
Ki Ageng Pemanahan berkata bahwa beliau tinggal disana karena perintah Sultan Hadiwijaya Raja Kraton Pajang
Ki Ageng Djoyoprono berkata bahwa beliau terlebih dahulu tinggal di Alas Mentaok jauh sebelum Kraton Pajang berdiri.
Akhirnya Ki Ageng Djoyoprono mau pindah dari Alas Mentaok tapi dengan syarat Ki Ageng Pemanahan menggendongnya dan bergeser sepuluh langkah dari tempat tersebut. Ki Ageng Pemanahan menyetujui dan kemudian menggendong Ki Ageng Djoyoprono, tetapi baru dua langkah Ki Ageng Pemanahan sudah tidak sanggup menggendongnya karena diam diam Ki Ageng Djoyoprono dengan kesaktiaan menambah berat tubuhnya.
Akhirnya Ki Ageng Djoyoprono kemudian mengijinkan Ki Ageng Pemanahan dan keluarganya untuk tinggal disana, Ki Ageng Djoyoprono kemudian tinggal disekitar tempat tersebut daerah tersebut dinamakan Dukuh Djoyopranan, beliau juga mendirikan Padepokan dan langgar yang dinamakan Langgar Djoyopranan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Djoyoprono diangkat sebagai Guru oleh Ki Ageng Pemanahan dan mendapat gelar Panembahan Djoyoprono.
Sebagai penghormatan, ketika Panembahan Djoyoprono wafat, beliau dimakamkan di Dalem Pendopo Tajug disamping kanan makam Nyai Ageng Henis di Astana Kotagede.
Selanjutnya akhirnya Ki Ageng Pemanahan mendirikan tanah perdikan di Alas Mentaok. Beliau mendirikan bangunan di sekitar pohon beringin yang ditanam Sunan Kalijaga.sesuai petunjuk Sunan Kalijaga. Dan membangun Sendang disamping pohon beringin tersebut dan dinamakan Sendang Seliran. Beliau juga membangun Masjid di sekitar tempat tinggal beliau. Lama kelamaan wilayah tersebut menjadi ramai banyak pendatang yg melakukan transaksi jual beli juga tinggal disana. Wilayah tersebut akhirnya dinamakan Kutha Gedhe atau Kota Besar dan dikenal dengan nama Kotagede ing Mataram.
Ki Ageng Pemanahan dikenal dengan nama Ki Ageng Mataram III.
Pohon Mentaok
Mentaok merupakan sebuah nama yang sangat dikenal oleh masyarakat Yogyakarta terutama kalangan kaum tua. Mentaok dikenal oleh masyarakat Yogyakarta sebagai sebuah nama kawasan hutan yang sangat dikenal dengan nama alas mentaok. Alas mentaok ini diyakini sebagai lokasi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam Yogyakarta yang selanjutnya dikenal dengan nama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kawasan hutan ini sangat dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Babat Alas Mentaok. Dalam sejarah diceritakan bahwa Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani mendapat hadiah tanah perdikan dari Sultan Hadiwijaya, raja Pajang, yang berupa hutan. Kawasan hutan yang berupa hutan mentaok tersebut kemudian dibuka menjadi sebuah hunian yang di beri nama Mataram.
Nama mentaok ini sebenarnya adalah sebuah nama dari salah satu jenis pohon yang ditemukan di wilayah hutan mentaok tersebut. Jenis tanaman ini kini sudah mulai langka dan sulit untuk ditemukan. Hutan mentaok yang menjadi cikal bakal kerajaan Mataram dulu, jika ditelusuri saat ini merupakan kawasan di sekitar Kotagede. Di Kotagede saat ini masih dapat ditemukan beberapa batang pohon mentaok asli (bukan hasil penanaman) yang tumbuh di situ. Beberapa lokasi lain yang masih dijumpai jenis tanaman mentaok ini adalah kawasan di pegunungan karst gunung sewu Kabupaten Gunung Kidul, seperti yang pernah penulis temukan di kawasan pemukiman penduduk di Desa Wunung, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul. Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang terkenal "The History of Java" menuliskan mentaok sebagai salah satu jenis tanaman yang tumbuh di pulau Jawa.
Jenis tanaman ini dikenal oleh masyarakat dengan beberapa nama lokal antara lain: bintaos (masyarakat Sunda, Jawa dan Madura), mentaos (Jawa), benteli lalaki (Sunda), bentawas, tawas (Bali) dan dediteh (Timor). Secara ilmiah jenis tanaman ini mempunyai nama Wrightia javanica A.DC, dengan susunan klasifikasi taksonomis sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta,
Kelas : Magnoliopsida,
Ordo : Gentianales,
Familia : Apocinaceae
Genus : Wrightia
Species : Wrightia javanica A.DC.
Secara alami jenis tanaman ini juga tersebar di beberapa negara antara lain; kawasan selatan Cina, Kamboja, Vietnam, Thailand dan Malaysia. Jenis tanaman ini merupakan penghuni kawasan hutan tropis, hutan musim termasuk hutan muson, semak belukar, hutan savana dengan kondisi kering yang periodik maupun permanen, dalam aspek ketinggian tempat jenis tanaman ini tumbuh dengan baik sampai ketinggian lebih dari 1000 mdpl.
Mentaok merupakan tanaman berhabitus pohon. Tanaman ini bisa nencapai ukuran tinggi hingga 35 meter dengan diameter mencapai 50 cm. Kulit batangnya berwarna abu-abu coklat hingga kuning kecoklatan, beralur agak dalam. Daun tunggal berbentuk bulat telur dengan ujung daun meruncing. Daun memiliki rambut halus pada bagian permukaan dan pada bagian bawah daun sedikit kasar. Bunga biseksual, berwarna putih kekuning-kuningan atau merah muda hingga merah tua, terdapat dalam bentuk malai pada ujung ranting. Buah berbentuk lonjong dengan kulit buah yang keras dan memiliki belahan pada bagian tengah. Buah berwarna kecoklatan, akan pecah ketika tua dan biji akan tersebar. Kayu mentaok mempunyai tekstur yang halus, lunak mudah dikerjakan, berwarna putih kecoklatan, berat jenis 0,54, kelas awet IV-V.
Kayu mentaok banyak dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi bangunan, pensil, instrumen musik, wayang, sarung keris atau wrongko, patung, perkakas rumah tangga, karya seni ukir. Getah yang didapat dari bagian kulit batang dapat dimanfaatkan sebagai obat penyakit disentri. Daun dapat dimanfaatkan sebagai obat anti radang mata, kulit batang dimanfaatkan sebagai koagulan pada industri susu semacam keju tradisional.
Saat ini, pohon mentaok banyak dimanfaatkan oleh penjual tanaman hias sebagai tanaman induk untuk jenis tanaman sambungan atau setek, misalnya, tanaman induk mentaok disambung dengan batang tanaman anting putri atau melati, sehingga menghasilkan tanaman bunga yang indah sebagai tanaman hias. Batang mentaok mudah menyambung dengan batang-batang tanaman lain. Pada jenis-jenis tanaman ini, daun-daun asli mentaok akan dipangkasi, sehingga tidak nampak lagi sebagai pohon mentaok. Hal ini membuat tanaman mentaok semakin tidak dikenal di masyarakat.
Sebagai upaya pelestarian pohon mentaok, pemerintah Kota Yogyakarta pernah melakukan upaya peremajaan tanaman ini, diantaranya dengan melakukan penanaman pohon mentaok sebagai pembatas jalan di sisi selatan Taman Pintar, dan juga di Pasar Kotagede. Diharapkan, ke depannya, akan semakin upaya pelestarian pohon mentaok ini juga dapat dilakukan pihak-pihak lain, mengingat pentingnya spesies ini sebagai penanda sejarah bagi berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat.