CANDRA SENGKALA
PENERAWANGAN DAN RAMALAN KI RONGGOWARSITO TONGGAK KEMBALI KEMAKMURAN JAMAN KEEMASAN NUSANTARA (KALASUBA)
Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah salah satu pujangga besar keraton Solo yang lahir pada hari Senin legi pada tanggal 15 maret tahun 1802 dan wafat pada hari rebo pon pada tanggal 15 desember tahun 1873. Beliau adalah pujangga yang terkenal karena menggubah Jangka Jayabhaya, yaitu kitab ramalan yang sangat terkenal. Sampai sekarang kitab ramalan ini masih menjadi kontroversi.
Salah satu ramalan yang ditulis adalah datangnya jaman kolobendu yang secara “condrosengkolo” datang pada tahun 1997 dan berakhir dengan jaman Kolosubo tahun 2025.
Jaman kolobendu ini digambarkan akan terjadi pertentangan dan permusuhan diantara komponen bangsa, yang disebabkan oleh adu domba oleh “Dalang” yang tidak kelihatan, karena berada di belakang layar.
JAMAN KOLOBENDU
Entenono Nuswantoro bakal ketampan bendu
Yen wis teko pandito ambuka wiwaranging Neroko
( Condro sengkolo 1997)
Pralambange jago tarung ning njero kurungan
Dalang wayang ngungkurke kelir
Sing nonton podo nangis
Entenono waluyo lan tentreme
Mengko nek wis tumeko
Pendowo Mulat Sirnaning Penganten (Condro sengkolo 2025)
Sumber : Buku Jaman Kolobendu (Ronggowarsito) yang dibawakan oleh KI Manteb Sudarsono
Artinya :
JAMAN KOLOBENDU (CARUT MARUT)
Tunggulah, nusantara akan mendapatkan bencana
Jika sudah datang tahun 1997
Perlambangnya adalah Ayam jantan Bertarung di dalam kurungannya
Sang Dalang Menggelar sandiwara
Yang menonton menangis
Tunggulah jaman kemakmuran dan ketentraman
Nanti jika sudah datang
Tahun 2025
Keterangan :
Tunggulah Nusantara akan mendapat bebendu atau bencana
Jika sudah datang tahun 1997 (Pandito Ambuko Wiwaraning Neroko)
• Pandito = 7
• Ambuko = dibuka=bolong= 9
• Wiwara = pintu=terbuka= bolong-9
• Neroko = 1
Artinya : Condro Sengkolo Tahun 1997
Pada tahun 1997 Indonesia mengalami “bencana ekonomi” yang sangat besar, menandai AWAL datangnya jaman Kalabendu.
Ayam Jantan bertarung dalam kurungan, artinya : terjadi banyak permusuhan, perselisihan, dan pertentangan antar anak bangsa.
Sang dalang menggelar sandiwara artinya: Segala kejadian itu ada dalang yang mengaturnya, dalang yang tidak kelihatan atau di belakang layar.
Yang menonton menangis, artinya: Rakyat yang menjadi korbannya dan sengsara.
Tunggulah jaman kemakmuran dan ketentraman, artinya kemakmuran dan ketentraman bangsa akan datang, maka tunggulah kedatangannya.
Nanti jika sudah datang Tahun 2005 (Pendowo Mulat Sirnaning Penganten)
• Pandowo = 5
• Mulat = melihat = mata = 2
• Sirno = hilang = 0
• Temanten = pengantin= sejodo= 2
Condro Sengkolo Tahun 2025
Jadi Jaman Kolosubo atau jaman kemakmuran dan ketentraman akan datang pada tahun 2025. Kolosubo artine Alembono = diakui dan dihormati oleh dunia.
Semoga jaman Kolosubo di mana kita mendapatkan kemakmuran, ketentraman dan dihormati oleh bangsa bangsa di dunia segera bisa kita capai.
Mengenai visi atau “penerawangan” dari leluhur kita Raden Ngabehi Ronggowarsito ini akan terjadi atau tidak tentu saja terserah pada Tuhan yang maha kuasa atas segala sesuatu.
SENGKALA
Sengkala atau sengkalan adalah sandi penulisan tahun dengan kalimat yang tiap kata atau bendanya merupakan perlambangan dari suatu angka. Berdasarkan susunan benda pada kalimat yang bersangkutan, sengkalan kemudian dapat diwujudkan dalam bentuk visual menjadi gambar yang melambangkan suatu tahun spesifik. Penggunaan sandi ini, secara umum dikenal sebagai kronogram, dapat ditemukan dalam beberapa budaya Asia Tenggara termasuk salah satunya dalam budaya Jawa dan Bali.
Menurut bentuknya, terdapat dua sengkala, yaitu sengkala memet dan sengkala lamba. Sengkala memet menggunakan gambar atau benda, sementara sengkala lamba menggunakan kata-kata.
Menurut jenis kalender yang digunakan, terdapat surya sangkala dan candra sangkala. Surya sangkala menggunakan kalender gregorian yang berdasarkan perhitungan matahari, sementara candra sengkala menggunakan perhitungan bulan, seperti tahun saka, tahun Jawa, atau tahun Hijriah.
Sandi
Prinsip dasar dari sengkalan merupakan pengalihan atau subtitusi bilangan dari 0 hingga 9 dengan suatu kata yang mensimbolisasikan bilangan tersebut. Terdapat beragam kata yang dapat digunakan untuk mensubtitusikan tiap bilangan, namun asosiasi antar kata dan bilangan tidaklah selalu jelas dan dapat memiliki banyak intepretasi.
Berikut contoh beberapa kata yang dapat ditemukan dalam sandi sengkalan Jawa :
Contoh Sengkala
Peresmian Museum Dewantara Kirti Griya ditandai dengan candra sengkala 'Miyat Ngaluhur Trusing Budi'. 'Miyat'=2, 'ngaluhur'=0, 'trusing'=9, 'budi'=1.
Angka ini harus dibaca dari belakang, sehingga menunjukkan angka tahun 1902 Jawa. Sengkala tersebut termasuk sengkala lamba, karena hanya disimbolkan dengan kata-kata.
Bangunan Masjid Syuhada Yogyakarta termasuk sengkala memet, karena pada bangunannya terkandung makna angka 17-8-1945. Hal tersebut digambarkan dalam bagian-bagian penting bangunan seperti 17 anak tangga di bagian depan, delapan segi tiang gapura dan empat kupel bawah serta lima kupel atas. Simbol ini termasuk surya sengkala karena menggunakan penanggalan berdasar matahari.
Dalam sastra Bali, sengkala umum digunakan pada babad dan catatan sejarah. Salah satu contohnya misal dari naskah Babad Gumi :
Babad kawon Balambangan, nora tinghāl bhūttha tunggal, 1520
Gugurnya Balambangan, nora=0 tinghāl=2 bhūttha=5 tunggal=1, 1520 śaka (setara dengan 1598 masehi).
Kejadian ini merupakan salah satu kejadian pertama dalam babad ini yang tahunnya dapat dipastikan benar dengan membandingkan sumber sejarah Eropa pada masa yang sama. Pada akhir tahun 1596 masehi, penguasa Muslim Pasuruan mulai bertempur dengan penguasa Hindu Balambangan-Panarukan, suatu daerah di ujung timur pulau Jawa. Ketika penjelajah Belanda singgah di Bali pada Februari 1597, raja Gelgel Bali sedang membentuk pasukan besar sebagai upaya untuk menolong penguasa Balambangan. Upaya ini tampaknya gagal karena pada awal tahun 1601 Belanda mencatat bahwa beberapa tahun yang lalu pasukan Pasuruan telah berhasil menjatuhkan Balambangan dan memusnahkan keluarga kerajaannya.