Kutara Manawa Dharmasastra
Kitab Undang-Undang Majapahit
(WILWATIKTA)
Keberadaan
kitab hukum kuno Nusantara merupakan sesuatu hal yang perlu dikaji, digali, dan
dibedah dalam upaya melestarikan kekayaan dan warisan kearifan lokal Nusantara
di masa lalu. Hal ini penting dikemukakan karena kitab hukum kuno Nusantara
tersebar diseluruh wilayah Indonesia dan belum tergali semuanya, untuk itu
upaya dari berbagai pihak untuk mengkaji, menggali, dan membedah kitab hukum
Nusantara itu merupakan suatu keniscayaan dalam rangka menguatkan kembali
sistem hukum Indonesia yang digali dari kearifan lokalnya sendiri.
Adapun
kitab hukum kuno Nusantara itu adalah antara lain :
1.
Undang-Undang Simbur Cahaya Kesultanan Palembang,
2.
Kitab Kutaramanawa Darmasastra Kerajaan Majapahit,
Undang-Undang Minangkabau,
3.
Undang-Undang Bengkulu,
4.
Undang-Undang Aceh dan lain sebagainya.
Kitab
hukum kuno Nusantara itu sudah pasti
mengandung nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia yang tidak ternilai
harganya, di mana nilai-nilai tersebut bisa disumbangkan bagi pengembangan
undang-undang nasional. Dengan demikian perundang-undangan nasional bangsa
Indonesia tidak hanya mengambil nilai-nilainya dari warisan kolonial yang
selama ini masih mendominasi undang-undang yang ada di Indonesia, tetapi sudah
mengambil nilai-nilainya dari warisan dan kearifan lokal bangsa Indonesia yang
tersebar dalam kitab-kitab hukum kuno Nusantara tersebut. Atas dasar itu maka
eksistensi kitab hukum kuno Nusantara tersebut harus diupayakan secara maksimal
oleh semua pemangku kepentingan baik dari pemerintah, akademisi, penegak hukum,
dan pihak-pihak lainnya yang berkompeten, dalam upaya memberikan kontribusi
nyata bagi pengembangan substansi dan sistem hukum Indonesia yang berbasis
kearifan lokal Nusantara yang memiliki nilai-nilai yang tak ternilai harganya,
yang tentunya lebih cocok dengan alam kemerdekaan Indonesia. Dengan mengambil
nilai-nilai dari kitab hukum kuno Nusantara sebagai kearifan lokal Nusantara,
diharapakan hukum Indonesia lebih memiliki kandungan keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan yang lebih berpihak kepada masyarakat, sebagai bentuk nyata adanya
hukum progresif yang lebih mengutamanakan kepentingan masyarakat dalam upaya
mengaplikasikan secara kongkrit esensi dari negara hukum Indonesia, yang lebih
adil dan lebih melindungi kepentingan masyarakat.
Kitab Undang-Undang Majapahit (WILWATIKTA) Kutara
Manawa Dharmasastra (VERSI 1)
Sebagai
Kerajaan besar tentunya ada suatu mekanisme administrasi dan tata hukum
kenegaraan yang dijadikan landasan. Setelah mengalami proses telaah sejarah
yang panjang, para ahli sejarah telah dapat merekonstruksi kembali hal tersebut
berdasarkan referensi prasasti dan dokumen sejarah lainnya. Dalam hal ini Prof.
DR. Slamet Mulyana yang telah menyumbangkan begitu besar tenaga dan ilmu
pengetahuannya menguak keberadaan Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA). Semoga
pengabdian tulus beliau beserta segenap tenaga ahli (yang tidak dapat kami
sebut satu persatu) mendapatkan hasil yang berguna, sebagai landasan awal
rekonstruksi sejarah kebesaran Kerajaan Majapahit (WILWATIKTA).
Kitab
undang-undang tersebut disebut pertama kali dalam “Piagam BENDASARI (tidak
ber-tarikh)” : Dikeluarkan oleh SRI RAJASANAGARA (Dyah Hayamwuruk / BRAWIJAYA –
III), termuat dalam O.J.O. LXXXV, lempengan ke-6a sebagai berikut :
“makatanggwan
rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prewettyacara sang
pandita wyawaharawiccheda kering malama”
(Dengan
berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut
teladan dan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman
dahulu). Disebut juga dalam “Piagam TROWULAN (1358)” yang dikeluarkan oleh SRI
RAJASANAGARA (Dyah Hayamwuruk / BRAWIJAYA – III), lempengan III baris 5 dan 6
sebagai berikut :
”
……. ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wiwecana kapwa sama-sama sakte kawikek
saning sastra makadi Kutara Manawa …….”
(…….
Semua ahli tersebut bertujuan hendak mentafsirkan kitab undang-undang Kutara
Manawa dan lainnya. Mereka itu cakap mentafsirkan kitab-kitab undang-undang
seperti Kutara Manawa …….).Kitab perundang-undangan Kutara-Manawa mempunyai
watak yang mirip sekali dengan Manawadharmasastra, kedua-duanya menekankan
susunan masyarakat yang terdiri dari empat golongan / warna demi kebaikan
masyarakat.
Dari
penelusuran yang dilakukan, didapatkan kitab ini terdiri atas 275 Pasal yang
terbagi dalam 19 Bab sebagai berikut :
Bab
– I : Ketentuan umum mengenai denda.
Bab
– II : Delapan macam pembunuhan, disebut astadusta.
Bab
– III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula.
Bab
– IV : Delapan macam pencurian, disebut astacorah.
Bab
– V : Paksaan atau sahasa.
Bab
– VI : Jual-beli atau adol-atuku.
Bab
– VII : Gadai atau sanda.
Bab
– VIII : Hutang-piutang atau ahutang-apihutang.
Bab
– IX : Titipan.
Bab
– X : Mahar atau tukon.
Bab
– XI : Perkawinan atau kawarangan.
Bab
– XII : Mesum atau paradara.
Bab
– XIII : Warisan atau drewe kaliliran.
Bab
– XIV : Caci-maki atau wakparusya.
Bab
– XV : Menyakiti atau dandaparusya.
Bab
– XVI : Kelalaian atau kagelehan.
Bab
– XVII : Perkelahaian atau atukaran.
Bab
– XVIII : Tanah atau bhumi.
Bab
– XIX : Fitnah atau duwilatek.
Pasal 1 dan 2 :
Bab
umum dinyatakan secara tegas bahwa raja yang berkuasa (Sang Amawa Bhumi) harus
teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah dalam
hal pengetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari
tindakan. Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan
kerahayuan negaranya.
Ini
adalah bukti bahwa Kerajaan Majapahit (dan Kerajaan-Kerajaan Nuzwantara) mampu
untuk menjadi induk dari Federasi Kerajaan diseluruh dunia karena ia negara
yang memiliki sumber hukum tertulis yang mengikat warganya (federasi koloninya)
diseluruh dunia.
ASTADUSTA pasal 3 dan 4.
Uraian
tentang astadusta :
1.
Membunuh orang yang tidak berdosa.
2.
Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa.
3.
Melukai orang yang tidak berdosa.
4.
Makan bersama dengan pembunuh.
5.
Mengikuti jejak pembunuh.
6.
Bersahabat dengan pembunuh.
7.
Memberi tempat kepada pembunuh.
8.
Memberi pertolongan kepada pembunuh.
Itulah
yang disebut Astadusta.
Dari
delapan dusta itu tiga yang pertama tebusannya pati (hukuman mati), sedangn
yang lima lainnya tebusannya uang. Berikut uraian bagi mereka yang ingin
mengetahui satu demi satu.
Astadusta
yang ditebus dengan hukuman mati :
1.
Barangsiapa membunuh orang yang tidak berdosa,
dikenakan hukuman mati;
2.
Barang siapa menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa,
dikenakan hukuman mati;
3.
Barang siapa melukai orang yang tidak berdosa
(bersalah), dikenakan hukuman mati. (Pasal 3).
Astadusta
yang ditebus dengan uang :
1.
Makan bersama dengan pembunuh.
2.
Bersahabat dengan pembunuh.
3.
Mengikuti jejak pembunuh.
4.
Mernberi tempat kepada pembunuh.
5.
pertolongan kepada pembunuh.
Kelima
dusta itu tebusannya uang, tidak dikenakan hukuman mati oleh raja yang
berkuasa.
1.
Membunuh orang yang tidak berdosa,
2.
Menyuruh bunuh orang yang tidak berdosa dan.
3.
Melukai orang yang tidak berdosa,
ketiga
dusta itu, jika terbukti, tebusannya hukuman mati.
Ketiga
dusta itu disebut dusta bertaruh jiwa.
Jika
mereka yang bersangkutan mengajukan permohonan hidup kepada raja yang berkuasa,
ketiga-tiganya dikenakan denda empat laksa, masing-masing sebagai syarat
penghapus dosanya. Adapun barang siapa makan bersama dengan pembunuh, memberi
tempat kepada pembunuh, bersahabat dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh,
dan memberi pertolongan kepada pembunuh, kelima dusta itu akan dikenakan denda
dua laksa, masing-masing oleh raja yang berkuasa, jika kesalahannya telah
terbukti dengan kesaksian. (Pasal 4).
ASTACORAH pasal 55, 56, 57.
Jika
pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati; anak isterinya,
miliknya dan tanahnya diambil alih-oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri itu
mempunyai hamba laki-laki dan perempuan, hamba itu tidak diambil-alih oleh raja
yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala utangnya kepada pencuri yang
bersangkutan (Pasal 55).
Jika
seorang pencuri mengajukan permohonan hidup, maka is harus menebus
pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja
yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang kena curi dengan cara
mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat. Demikianlah bunyi
hukumnya. (Pasal 56).
Jika
di desa terjadi pembunuhan atas seorang pencuri, maka barang curian, kepala
pencuri, harta miliknya, anak-isterinya, supaya dihaturkan (diserahkan) kepada
raja yang berkuasa. Itulah jalan yang harus ditempuh. Jika kerabat pencuri itu
terbukti tidak ikut serta dalam pencurian, mereka tidak layak dikenakan denda.
(Pasal 57).
SAHASA (paksaan), pasal 86, 87, 92.
Barang
siapa mengambil milik orang tanpa hak, supaya diperingatkan, bahwa barang yang
diambil secara haram itu, akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang
dalam enam bulan, peringatkan, bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam
tahun. Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak itu akan turut
hilang. Ingat-ingatlah akan ajaran sastra: jangan sekali-kali mengambil uang
secara haram. (Pasal 86).
Barang
siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain, dikenakan denda dua laksa.
Barang siapa merampas hamba orang, dendanya dua laksa. Denda itu dihaturkan
kepada raja yang berkuasa. Pendapatan dari kerbau, sapi, dan segala apa yang
dirampas, terutama hamba, dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat. (Pasal
87).
Barang
siapa menebang pohon orang lain tanpa izin pemiliknya, dikenakan denda empat
tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan
pidana mati oleh raja yang berkuasa; pohon yang ditebang dikembalikan dua kali
lipat. (Pasal 92).
TANAH pasal 258, 259, 261.
Jika
ada orang memperbaiki pekarangan, kebun, taman, selokan, ladang, telaga,
bendungan, kolam ikan, yang bukan miliknya, tanpa disuruh oleh pemiliknya, orang
yang demikian itu tidak berhak minta upah kepada si pemilik. Jika ia mendapat
keuntungan dari pebaikan itu, pemiliknya berhak menuntut, jangan dibiarkan.
Malah ia dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa.
Barang
siapa minta izin untuk menggarap sawah, namun tidak dikerjakannya sehingga
sawah itu ringgal terbengkalai, supaya dituntut untuk membayar utang makan
sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah (yang akan dikerjakan itu).
Besarnya denda ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengrusak
makanan. (Pasal 259).
Barang
siapa mengurangi penghasilan makanan, misalnya dengan mempersempit sawah atau
membiarkan terbengkalai segala apa yang menghasilkan makanan, atau melalaikan
binatang piaran apa pun, kemudian hal tersebut diketahui oleh orang banyak,
orang yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mad.
Demikian ajaran sastra (Pasal 261).
TUKON ATAU MAHAR pasal 167, 171, 173.
Jika
seorang gadis rela menerima barang yang dimaksud sebagai tukon atau mahar,
kemudian kawin dengan laki-laki lain, karena menaruh cinta kepada laki-laki
lain, sedangkan orang tua gadis itu tinggal diam, bahkan malah mengawinkannya,
perbuatan itu disebut: mengawinkan gadis larangan. Segala tukon pelamar pertama
harus dikembalikan lipat dua. Bapa gadis dikenakan denda empat laksa oleh raja
yang berkuasa. Hal itu disebut amadal tukon: membatalkan tukon. Suami-isteri
yang menikah, masing-masing dikenakan denda empat laksa oleh raja yang
berkuasa. (Pasal 167).
Jika
seorang pemuda memberikan peningset atau pengikat (panglarang) kepada seorang
gadis, dengan diketahui oleh orang banyak, dan setelah lima bulan lamanya
(perkawinan belum dilangsungkan), maka pemuda itu tidak mempunyai hak atas
pengikat itu. Gadis yang demikian oleh orang banyak disebut wulanjar (janda
yang belum kawin, belum beranak). Ayah gadis berhak mengawinkannya dengan orang
lain. (Pasal 171).
Jika
orang tua gadis telah menerima tukon dari pelamar sebagai tanda, bahwa gadisnya
telah laku, dan telah menyetujui waktu berlangsungnya perkawinan, sedangkan
jejaka patuh menanti janji orang tua gadis, namun ketika sampai pada janjinya
gadis tersebut dikawinkan dengan orang lain oleh bapa gadis yang bersangkutan,
maka jumlah tukon harus dikembalikan dua lipat dan orang tua gadis itu
dikenakan denda empat laksa oleh raja yang berkuasa. (Pasal 173).
PERKAWINAN pasal 180, 181, 182.
Jika
seorang isteri enggan kepada suaminya, karena is tidak suka kepadanya, uang
tukon harus dikembalikan dua lipat. Perbuatan itu disebut amadal sanggama
(membatalkan percampuran). (Pasal 180).
Jika
perempuan tidak suka kepada suaminya, supaya suami menunggu setahun. Jika
setelah setahun masih tetap tidak suka kepadanya, supaya perempuan itu
mengembalikan tukon lipat dua. Peristiwa itu disebut amancal turon (enggan
tidur bersama). (Pasal 181). Jika di dalam perkawinan suami-isteri ingin
mencampur harta milik yang dibawanya masing-masing, ketika kawin, percampuran
itu tidak dibenarkan sebelum lima tahun. Setelah kawin lima tahun, barulah
diizinkan percampuran harta milik suami-istri. Percampuran harta milik itu Baru
sah. Demikian ujar orang pandai. (Pasal 182).
VII. Â Dari bab titipan, pasal 159, 160,
154.
Penitipan
milik sebaiknya dilakukan pada orang yang tinggi wangsanya, haik kelakuannya,
tahu akan darma, setia kepada katanya, bersih hatinya, dan orang kaya. Itulah
tempat penitipan harta milik.
Barang
siapa menerima titipan, jika penitipnya mati tanpa meninggalkan ahli waris
(praanantara), yakni kakek, nenek, bapa, ibu, anak, kemenakan, saudara sepupu,
saudara mindo (tingkat dua), maka tidak perlu mengembalikan. Jika penerima
titipan itu mati, titipan itu tidak hilang, karena penitipnya masih hidup, meskipun
tidak mempunyai anak sekalipun. Anak penerirna titipan bertindak sebagai ahli
waris, harus menyerahkan kembali titipan itu kepada penitip. Titipan itu tidak
akan disita oleh raja yang berkuasa. Jika anak penerima titipan itu telah
mengembalikan barang titipan itu, ahli penerima titipan bebas dari tuntutan,
namun tidak mempunyai wewenang untuk menahan titipan. (pasal 160).
Barang
siapa yang merusak barang titipan, jika terbukti bahwa barang titipannya itu
digunakannya, dipakai, diganti rupa, tanpa meminta izin penitipan, perbuatan
itu disebut merampas. Perbuatan itu sama dengan perbuatan merusak barang
titipan dengan sengaja.
Semua
barang titipan itu harus dikembalikan kepada penitip dengan nilai dua lipat,
ditambah denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, sebabnya ialah merusak
titipan sama dengan mencuri (pasal 154).
Seperti
telah dinyatakan pada permulaan bab, kata agama dalam perundang-undangan hanya
dapat berarti: udang-undang. Seperti telah terbukti dalam prasasti Bendasari
dalam O.J.O. LXXXV lempengan 6a, pengadilan Majapahit pada zaman pemerintahan
Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara berpedoman pada kitab perundang-undangan
Kutara Manawa, dikeluarkan oleh hakim yang disebut Rajadhikara.
KITAB HUKUM KUTARAMANAWA (VERSI 2)
Merupakan
Kitab Perundang Undangan pada jaman Majapahit terdiri dari 272 pasal. Kitab
Hukum Kutaramanawa disusun berdasarkan kitab Hindu yang lebih tua yaitu kitab
Kutarasastra dan Manawasastra. Dengan demikian dari kitab hukum tersebut,
merupakan salah satu contoh wujud akulturasi dengan kebudayaan India.
Susunan
Kitab Kutaramanawa sebagai berikut :
Bab
I : Ketentuan umum mengenai denda
Bab
II : Delapan macam pembunuhan yang disebut Astadusta
Bab
III : Perlakuan terhadap hamba disebut kawula
Bab
IV : Delapan macam pencurian disebut Astacorah
Bab
V : Paksaan atau sahasa
Bab
VI : Jual beli atau adol-atuku
Bab
VII : Gadal atau sanda
Bab
VIII : Utang-piutang
Bab
IX : Titipan
Bab
X : Mahar atau tukon
Bab
XI : Pernikahan atau kawarangan
Bab
XII : Mesum atau pradara
Bab
XIII : Warisan atau drewe kaliliran
Bab
XIV : Caci-maki atau wakparusya
Bab
V : Menyakiti atau dandaparusya
Bab
XVI : Kelalaian atau kagelehan
Bab
XVII : Perkelahian atau atukaram
Bab
XVIII : Tanah atau bumi
Bab
XX : Fitnah atau duwilatek
Pada
Bab II diuraikan tentang Astadusta yaitu delapan macam pembunuhan antara lain :
1.
Membunuh orang yang tidak berdosa
2.
Menyuruh membunuh orang yang tidak berdosa
3.
Melukai orang yang tidak berdosa
4.
Makan bersama dengan pembunuh
5.
Mengikuti jejak pembunuh
6.
Bersahabat dengan pembunuh
7.
Memberi tempat kepada pembunuh
8.
Memberi pertolongan kepada pembunuh
Dari
delapan dusta tersebut nomor 1,2 dan 3 hukumannya yaitu hukuman mati sedangkan
sisanya dikenakan denda dua laksa masing masing oleh raja yang berkuasa.
Sedangkan mengenai hukum waris diatur sebagai berikut 6 (enam) macam anak yang
mempunyai hak waris :
1.
Anak yang lahir dari penikahan pertama, ketika
ibu-bapaknya masih sama sama muda dan sejak kecil telah dipertunangkan.
2.
Anak yang lahir dari istri dari penikahan yang kedua
kali, dan mendapat persetujuan orang tuanya
3.
Anak pemberian saudaranya
4.
Anak yang diminta dari orang lain
5.
Anak yang diperoleh dari istri akibat percampuran
dengan iparnya laki laki atas persetujuan suaminya.
6.
Anak buangan yang dipungut dan diakui sebagai anak.
Sedangkan
anak yang tidak mempunyai hak waris antara lain :
1.
Anak yang tidak diketahui siapa bapaknya, karena
diperolehibunya sebelum kawin
2.
Anak campuran laki laki banyak
3.
Anak seorang istri yang diceraikan dan rujuk kembali
seteah bercampur dengan laki laki lain
4.
Anak orang lain yang minta diakui anak
5.
Anak yang diperoleh karena pembelian
6.
Anak hamba yang diakui anak
KITAB UNDANG-UNDANG KUTARAMANAWADHARMASASTRA (VERSI 3)
Penduduk
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk diberitakan hidup dengan tertib dan
sejahtera tentunya berkat adanya norma dan penegakan aturan secara baik dan
ditaati oleh seluruh rakyat.
Hal
ini disebabkan telah dikenal adanya kitab hukum dan perundang-undangan yang
sangat dihormati dalam masa kejayaan Majapahit sebagai kelanjutan masa-masa
sebelumnya.
Kitab
perundang-undangan tersebut tentunya bertujuan untuk mengatur dengan baik tata
masyarakat sehingga dalam masa kejayaan Majapahit tercipta keadaan yang aman
dan tentram bagi seluruh rakyatnya.
Ada
dua piagam yang mencatat nama kitab perundang-undangan Majapahit, yakni piagam
Bendasari, tidak bertarikh, dan piagam Trowulan, 1358M.
Piagam
Bendasari yang dikeluarkan dalam masa pemerintahan Rajasanagara dan juga
prasasti Trowu1an yang berangka tahun 1358 M, artinya dalam masa Rajasanagara
juga, disebutkan adanya kitab hukum yang dinamakan Kutaramanawa atau lengkapnya
Kutaramanawadharmasastra, sebagai kelanjutan dan penyempurnaan hukum masa
Kadiri dan Singosari.
Isi
kitab tersebut ada yang berkenaan dengan hukum pidana dan perdata.
Piagam
Bendasari Lempengan III baris 5 dan 6 :
…….
ilka ta kabeh kutara manawa adisastra wiwecana tatpara kapwa sama-sama sakte
kawikek saning sastra makadi kutara manawa ….
[…….
Semua ahli tersebut bertujuan hendak mentafsirkan kitab undang-undang Kutara
Manawa dan lainnya. Mereka itu cakap mentafsirkan kitab-kitab undang-undang
seperti Kutara Manawa …….]
Atas
dasar uraian di atas, dapat dipastikan bahwa nama kitab perundang-undangan pada
zaman Majapahit sejak Prabu Hayam Wuruk adalah Kutara Manawa. Kitab
undang-undang Kutara Manawa ini di tahun 1885 diterbitkan oleh Dr.J.C.G. Jonker
dengan diberi judul Agama atau Undang-undang.
Pada
pasal 23 dan 65 kitab undang-undang itu, undang-undang itu disebut
Undang-undang Kutara Manawa. Oleh karena itu, boleh dipastikan bahwa kitab
perundang-undangan Majapahit Kutara Manawa Dharmasastra itu seharusnya masih
ada hingga sekarang.
Nagarakretagama
menyebut kitab Undang-undang Agama dalam pupuh 25/2, 73/1. Naskahnya terdapat
di Pulau Bali. Di dalamnya, terdapat kata Agama pada pasal 2, 8, 25, 39, 71,
119, 211, 213, 249.
Pada
pasal 61 kita dapati sebutan Sang Hyang Agama. Pada pasal-pasal di atas, kata
agama ditafsirkan sebagai undang-undang atau ‘kitab perundang-¬undangan.’
Kitab
Perundang-undangan Majapahit yang disebut Agama atau Undang-undang
Kutaramanawadharmasastra seperti adanya sekarang terdiri dari 275 pasal, namun
di antaranya terdapat pasal-pasal yang sama atau mirip sekali.
Dalam
terjemahan itu hanya disajikan 272 pasal, karena satu pasal rusak dan yang dua
pasal lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis. Pasal-pasal yang mirip
diterjemahkan juga, dikurnpulkan jadi satu sebagai bahan perhandingan.
Kadang-kadang
yang berbeda ialah perumusannya saja; yang satu lebih panjang daripada yang
lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek.
Perundang-undangan
Agama atau Kutaramanawadharmasastra adalah kitab undang-undang hukum pidana,
namun di samping undang-undang hukum pidana terdapat juga undang-undang hukum
perdata. Bab-bab seperti jual beli, pembagian warisan, perkawinan, dan
perceraian adalah undang¬-undang hukum perdata.
Pada
zaman Majapahit belum ada rincian tegas antara undang-undang hukum pidana dan
hukum perdata. Menurut sejarah perundang-undangan, hukum perdata tumbuh dari
hukum pidana.
Jadi,
percampuran hukum perdata dan hukum pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama
di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
Demikianlah
keadaan kitab hukum yang relatif memadai untuk masyarakat Majapahit dalam zaman
keemasannya di era Rajasanagara. Nampaknya kitab Kutaramanawa tersebut tidak
lagi diikuti secara baik dalam masa pemerintahan raja-raja sesudah Hayam Wuruk
karena terdapat intrik keluarga raja-raja hingga keruntuhan Majapahit.
Pasal-pasal
dalam kitab Kutaramanawa tersebut tidak bernapaskan kebudayaan luar (India),
melainkan khas Jawa Kuno. Uraian yang terdapat dalam kitab itu ada yang
berkenaan dengan hewan-hewan yang biasa dijumpai di Pulau Jawa, misalnya
disebutkan adanya utang piutang kerbau, sapi dan kuda; pencurian ayam, kambing,
domba, kerbau, sapi, anjing dan babi; ganti rugi terhadap hewan yang terbunuh
karena tidak sengaja dan juga yang banyak mendapat sorotan adalah perihal
utang-piutang padi.
Walaupun
di beberapa bagiannya terdapat konsep-konsep dasar dan kebudayaan India
(Hindu-Budha), namun penerapannya lebih ditujukan untuk masyarakat Jawa kuno.
Jadi, konsep-konsep tersebut hanya memperkuat uraian saja.
Kitab
hukum tersebut sudah pasti disusun dan dihasilkan dalam kondisi masyarakàt yang
stabil dan aman. Oleh karena itu, para ahli hukum dapat dengan tenang berembuk
menyusun kitab yang isinya begitu rinci dan hampir menjangkau aspek hukum yang
dikenal dalam masanya.
Kiranya
dapat diasumsikan bahwa kitab hukum Kutaramanawa itu diciptakan dan diundangkan
dalam masa pemerintahan Rajasanagara, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarah
Majapahit yang aman dan sejahtera.
Banyak
hal yang membuat Majapahit menjadi jaya dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Beberapa hal penting yang dapat diamati melalui kajian sumber-sumber sejarah
dan bukti arkeologis dan masa itu adalah sebagai berikut :
1.
Adanya sistem pemerintahan yang efektif.
2.
Adanya keajêgan (kestabilan) pemerintahan.
3.
Berlangsungnya kehidupan keagamaan yang baik.
4.
Terselenggaranya upacara kemegahan di istana.
5.
Tumbuh kembangnya berbagai bentuk kesenian.
6.
Hidupnya perniagaan Nusantara.
7.
Pelaksanaan politik Majapahit terhadap Nusantara.
8.
Adanya pengakuan internasional dan negara-negara lain
di Asia Tenggara
Dalam
Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora dikenakan tuntutan hukum mati
berdasarkan kita undang-undang Manawa Dharmasastra sebagai undang-undang
sebelum berlakunya undang-undang Kutaramanawadharmasastra, Lembu Sora dipidana
akibat pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang dalam masa pemberontakan Rangga
Lawe.
Dari
uraian Kidung Sorandaka itu, kita ketahui tentang adanya kitab undang-undang
pada zaman Majapahit.
Namun,
Kidung Sorandaka itu termasuk golongan sastra muda, ditulis sesudah runtuhnya
Maja¬pahit. Oleh karena itu, pemberitaannya perlu dicek dengan sumber sejarah
yang lebih dapat dipercaya. Untuk tujuan itu, kita meneliti piagam-piagam yang
dikeluarkan pada zaman Majapahit.
Susunan dan isinya
Susunan
Kitab Perundang-undangan Agama seperti adanya dalam bahasa Jawa Kunå
bercampur-aduk tidak keruan; boleh dikatakan tidak diketahui ujung-pangkalnya.
Untuk
memperoleh gambaran tentang hal-hal yang dijadikan undang-undang, maka susunan
yang bercampur-aduk itu diubah dan diatur kembali dalam bab-bab.
Tiap
bab memuat pasal-pasal yang sejenis sebagai upaya agar terdapat sistematika
dalam penyusunannya.
Sudah
pasti bahwa susunan semula menganut suatu sistem yang tidak diketahui lagi.
Dengan perkataan lain, bahwa susunan yang berikut ini belum tentu sama dengan
susunan seperti aslinya pada waktu disusun pertama kali, yang bentuk susunan
aslinya sudah tidak dapat kita ketahui.
Usaha
penyusunan kembali sekadar mendekati dugaan susunan aslinya. Hasil usaha
penyusunan kembali itu adalah sebagai berikut :
1.
Bab I : Ketentuan umum mengenai denda;
2.
Bab II : Delapan macam pembunuhan, disebut astadusta;
3.
Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula;
4.
Bab IV : Delapan macam pencurian, disebut astacorah;
5.
Bab V : Paksaan atau sahasa;
6.
Bab VI : Jual-beli atau adol-atuku;
7.
Bab VII : Gadai atau sanda;
8.
Bab VIII : Utang-piutang atau ahutang-apihutang;
9.
Bab IX : Titipan;
10.
Bab X : Mahar atau pasok tukon;
11.
Bab XI : Perkawinan atau kawarangan;
12.
Bab XII : Mesum atau paradara;
13.
Bab XIII: Warisan atau drewe kaliliran;
14.
Bab XIV : Caci-maki atau wakparusya;
15.
Bab XV : Menyakiti atau dandaparusya;
16.
Bab XVI : Kelalaian atau kagelehan;
17.
Bab XVII : Perkelahian atau atukaran;
18.
Bab XVIII : Tanah atau bhumi;
19.
Bab XIX : Fitnah atau dwilatek.
Susunan
dan rumusan lain, agak berbeda namun pada hakikatnya adalah sama, yaitu :
Bab
I : Sama Beda Dana Denda, tentang ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan
sanksi.
Bab
II : Astadusta, tentang jenis dan sanksi hukum delapan kejahatan (penipuan,
pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan
pembunuhan).
Bab
III : Kawula, tentang hak-hak dan
kewajiban masyarakat umum.
Bab
IV : Astacorah, tentang delapan macam tindak pidana pencurian, korupsi sebagai
penyimpangan administrasi kenegaraan dimasukkan dalam Bab IV ini.
Bab
V : Sahasa, tentang hukum merampas, mengambil hak orang lain, tindak pidana
yang bersifat paksaan.
Bab
VI : Adol-atuku, tentang hukum
perdagangan.
Bab
VII : Sanda atau Gadai, tentang tata cara pengelolaan lembaga pegadaian.
Bab
VIII : Utang-apihutang, aturan pinjam-meminjam.
Bab
IX : Titipan, tentang sistem lumbung dan penyimpanan barang.
Bab
X : Pasok-tukon, tentang hukum mahar.
Bab
XI : Kawarangan, tentang hukum perkawinan.
Bab
XI I: Paradara, tentang hukum dan sanksi tindak asusila atau perbuatan mesum.
Bab
XIII : Drewe kaliliran, tentang sistem pembagian warisan.
Bab
XIV : Wakparusya, tentang hukum dan sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik.
Bab
XV : Dandaparusya, tentang hukum dan sanksi penistaan atau penyerangan.
Bab
XVI : Kagelehan, tentang hukum dan sanksi karena kelalaian.
Bab
XVII : Atukaran, tentang hukum dan sanksi karena permusuhan dan atau menyebarkan
permusuhan.
Bab
XVIII : Bhumi, tentang tata cara pungutan pajak.
Bab
XX : Dwilatek, tentang fitnah dan melakukan kebohongan disebut sebagai tindak
kejahatan, bab ini mengatur tentang hukum dan sanksi pidananya.
Pada
zaman Majapahit, pengaruh India meresap dalam segala bidang kehidupan. Pengaruh
India itu juga terasa sekali dalam bidang perundang-undangan.
Agama
dan Kutaramanawadharmasastra telah jelas menunjukkan adanya pengaruh India
dalam bidang perundang-undangan Majapahit.
Kitab
perundang-undangan India Manawadharmasastra dijadikan pola perundang-undangan
Majapahit yang disebut Agama dan Kutaramanawa-dharmasastra yang disesuaikan
dengan suasana setempat.
Tetapi
meskipun demikian Kitab Perundang-undangan Agama itu bukan terjemahan tepat
dari kitab Perundang-undangan India Manawa Dharmasastra.
Pasal
109 menjelaskan isi Perundang-undangan Agama diambil dari sari
Perundang-undangan India Manawadharmasastra dan Kutaradharmasastra.
Bunyinya
seperti berikut: “Kerbau atau sapi yang digadaikan, setelah lewat tiga tahun,
leleb, sama dengan dijual, menurut undang-undang Kutara. Menurut undang-undang
Manawa, baru lebeb, setelah lewat lima tahun. Ikuti¬lah salah satu, karma
kedua-duanya adalah undang-undang.
Tidaklah
dibenarkan anggapan, bahwa yang satu lebih baik daripada yang lain.
Manawadharmasastra adalah ajaran maharaja Manu, ketika manusia baru saja
diciptakan.
Beliau
seperti Bhatara Wisnu. Kuntarasastra adalah ajaran bagawan Bregu pada zaman
Tretiyayuga; beliau seperti Bhatara Wisnu, diikuti oleh Rama Parasu dan oleh
semua orang; bukan buatan zaman sekarang. Ajaran itu telah berlaku sejak zaman
purba.”
Dalam
Perundang-undangan Agama, banyak terdapat pasal-pasal yang dikatakan berasal
dari ajaran bagawan Bregu, jadi berasal dari Kutarasastra, misalnya pasal 46,
141, 176, 234.
Adanya
beberapa pasal yang sangat mirip dalam Perundang-undangan Agama membuktikan
bahwa pembuat undang-undang tersebut, selain menggunakan Manawadharmasastra,
juga menggunakan kitab perundang-undangan lainnya, misalnya pasal 192 dan pasal
193, pasal 121 dan pasal 123.
Dalam
bab umum, dinyatakan dengan tegas bahwa raja yang berkuasa (Sang Awawa Bhumi)
harus teguh hatinya dalam menerapkan besar-kecilnya denda, jangan sampai salah
menerapkan denda.
Jangan
sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan. Itulah kewajiban raja
yang berkuasa, jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya.
Karena
Perundang-undangan Agama adalah undang-undang jenayah atau pidana, maka isinya
terutama langsung menyangkut penjelasan tentang tindak-tanduk pidana yang
dikenakan denda atau hukuman berupa uang, barang, atau hukuman mati; tidak
banyak mengandung nasihat seperti kitab Manawa Dharmasastra.
Berikut
di bawah ini beberapa contoh, dikutip dari Kitab Perundang-undangan Agama atau
Kutara Manawa Dharmasastra :
Bab
Astadusta Pasal 3 dan Pasal 4:
Pasal
3: Astadusta (Delapan Pembunuhan). Bab astadusta ini menguraikan aturan dan
sanksi berhubungan dengan pembunuhan, adalah :
1.
Barangsiapa membunuh orang yang tidak bersalah.
2.
Barangsiapa menyuruh bunuh orang yang tidak bersalah.
3.
Barangsiapa melukai orang yang tidak bersalah.
4.
Barangsiapa makan bersama dengan pembunuh.
5.
Barangsiapa ikut serta dengan pembunuh.
6.
Barangsiapa bersahabat dengan pembunuh.
7.
Barangsiapa memberi tempat kepada pembunuh.
8.
Barangsiapa memberi pertolongan kepada pembunuh.
Tiga
astadusta yang pertama yaitu, adalah :
1.
Sarangsiapa membunuh orang yang tidak bersalah,
2.
Barangsiapa menyuruh membunuh orang yang tidak
bersalah, dan
3.
Barangsiapa melukai orang yang tidak bersalah, jika
terbukti, tebusannya adalah hukuman mati. Ketiga dusta itu disebut dusta
bertaruh jiwa.
Lima
astadusta yang dihukum dengan tebusan uang adalah :
1.
Barangsiapa makan dengan pembunuh;
2.
Barangsiapa bersahabat dengan pembunuh;
3.
Barangsiapa ikut serta dengan pembunuh;
4.
Barangsiapa memberi tempat kepada pembunuh;
5.
Barangsiapa memberi pertolongan kepada pembunuh.
“iku
asta dusta, kang telu; dosa pati; kang lalima;
amateni
wong tanpa dosa,
akon
amatening wong tanpa dosa,
angamini
wong tanpa dosa, dusta telu iku.
Yan
ayekti sachina, katlu dusta atoh awake… ”
(Itulah
semuanya astadusta. Yang tiga dosa, yang lima dosa,
membunuh
orang yang tanpa dosa,
menyuruh
bunuh orang yang tanpa dosa,
meluka-parahi
orang yang tanpa dosa, itu semuanya tiga dosa.
Jika
dosanya terbukti, ketiganya harus dihukum mati karena ketiganya itu dosa yang
harus dibayar dengan jiwa).
Selanjutnya
dalam Pasal 4 disebutkan :
Jika
mereka yang bersangkutan mengajukan permohonan hidup kepada raja yang berkuasa,
ketiga-tiganya dikenakan denda empat laksa, masing-masing sebagai syarat
penghapus dosanya.
Adapun
barang siapa makan bersama dengan pembunuh, memberi tempat kepada pembunuh, bersahabat
dengan pembunuh, mengikuti jejak pembunuh, dan memberi pertolongan kepada
pembunuh, kelima dusta itu akan dikenakan denda dua laksa, masing-masing oleh
raja yang berkuasa, jika kesalahannya telah terbukti dengan kesaksian.
Dalam
perjalanannya Astadosa berkembang menjadi semua tindak pidana kejahatan yang
meliputi :
(1).
penipuan; (2). pemerasan; (3). pencurian; (4). pemerkosaan; (5). penganiayaan;
(6). pembalakan; (7). penindasan; dan (8). pembunuhan.
Kedelapan
tindak pidana tersebut dirumuskan kembali dalam Kitab Salokantara:
1.
Himsaka – Ingsakah: Barang siapa (pelaku atau orang)
yang melakukan sendiri tindak perbuatan pidana.
2.
Codaka – Codeka: Barang siapa memaksa atau menyuruh
melakukan tindak perbuatan pidana.
3.
Bhoktah – Boktah: Barang siapa memuaskan hawa nafsu
dengan sepuas-puasnya, berbuat menyakiti, menggerakkan orang lain untuk
melakukan perbuatan pidana.
4.
Bhojekah – Bojekah: Barang siapa memberi makan, dan
atau makan bersama dengan pelaku tindak perbuatan pidana.
5.
Pritikara – Pritikah: Barang siapa berteman,
berhubungan erat dengan pelaku tindak perbuatan pidana.
6.
Sakarakah – Sacarakah: Barang siapa mengikuti dan atau
ikut serta melakukan perbuatan pidana.
7.
Sthanadha – Astanadah: Barang siapa memberi
perlindungan, menyembunyikan pelaku tindak perbuatan pidana.
8.
Tretah – Tritah: Barang siapa yang memberi pertolongan
dan atau memberikan jalan atau petunjuk kepada pelaku tindak perbuatan pidana.
Tetapi
mengenai sanksi hukumnya tetap sama seperti Astadusta yang awal. Hal ini diatur
di dalam Pawos 131 Adi Agama.
Manawa Dharmasãstra (Kitab Hukum Hindu)
“Satyaṁ
brūyat priyaṁ, priyaṁ ca nānṛtaṁ brūyād eṣa dharmaá sanātanaá”.
Terjemahannya
:
“Hendaknya
ia mengatakan apa yang benar, hendaknya ia mengucapkan apa yang
menyenangkan hati, hendaknya ia jangan
mengucapkan kebenaran yang tidak menyenangkan dan jangan pula ia mengucapkan kebohongan yang menyenangkan,
inilah hukum hidup duniawi yang abadi”
(M.Dharmasastra
IV.138).
A. MAKNA
Manawa Dharmaṡāstra sebagai Kitab Hukum Hindu
Perenungan
“Šrutistu
vedo vijñeyo dharmaṡāstram tu vai smṛtiá
te
sarvātheṣva mimāmsye tābhyāṁ dharmohi nirBabhau”.
Terjemahannya:
“Yang
dimaksud dengan Sruti, ialah Veda dan dengan Smrti adalah Dharmasastram, kedua
macam pustaka suci ini tak boleh diragukan kebenaran ajarannya, karena keduanya
itulah sumber dharma” (M.Dharmasastra II.10).
Memahami
Teks
Kata
dharmaṡastra berasal dari bahasa Sansekerta (dharma – Šāstra). Dharma
(masculine) m : perintah menetapkan; lembaga; adat kebiasaan; aturan;
kewajiban; moral; pekerjaan yang baik; kebenaran; hukum; keadilan (Kamus Kecil
Sansekerta Indonesia (KKSI) hal. 121). Šāstra (neuter) n : perintah; ajaran;
nasihat; aturan; teori; tulisan ilmiah (KKSI hal. 246). Dharmaṡāstra berarti
ilmu hukum.
Bila
kita membaca kitab-kitab mantra dan sastra-sastra Sansekerta yang tersedia
kitab Smrti dinyatakan sebagai kitab Dharmaṡāstra. Smrti adalah kelompok kitab
yang kedua sesudah kitab Sruti. Dharmaṡāstra (Smrti) dipandang sebagai kitab
hukum Hindu karena di dalamnya banyak dimuat tentang syariat Hindu yang disebut
dharma. Dharma disamakan artinya dengan syariat di dalam bahasa arab. Tentang
Dharmaṡāstra sebagai kitab Hukum Hindu selanjutnya didapatkan keterangan yang
sangat mendukung keberadaannya sebagai berikut :
“Šruti
wedaá samākhyato dharmaṡāstram tu wai smṛtiá, te sarwātheswam imāmsye tābhyāṁ
dharmo winirbhþtaá.
Nyang
ujaraken sekarareng, Šruti ngaranya Sang Hyang Catur Veda, Sang Hyang Dharmaṡāstra
Smṛti ngaranira, Sang Hyang Šruti lawan Sang Hyang Smṛti sira juga prāmanākena,
tūtakena warah-warah nira, ring asing prayojana, yawat mangkana paripurna alep
Sang Hyang Dharmaprawṛtti“
(Sarasamuscaya,
37)
Terjemahannya:
“Ketahuilah
oleh mu Šruti itu adalah Veda dan Šmṛti itu sesungguhnya adalah Dharmaṡāstra;
keduanya harus diyakini dan dituruti agar sempurna dalam melaksanakan dharma
itu”.
“Itihasa
puranabhyam wedam samupawrmhayet, bibhetyalpasrutadwedo mamayam pracarisyati “
(Sarasamuscaya, 39).
Terjemahannya:
“Hendaklah
Veda itu dihayati dengan sempurna melalui mempelajari Itihasa dan Purana karena
pengetahuan yang sedikit itu menakutkan (dinyatakan) janganlah mendekati saya”.
Hukum
Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara menyeluruh
yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik sebagai
individu maupun sebagai makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga negara
(tata Negara).
Hukum
Hindu juga berarti perundang-undangan yang merupakan bagian terpenting dari
kehidupan beragama dan bermasyarakat. Ada kode etik yang harus dihayati dan
diamal- kan sehingga menjadi kebiasaan- kebiasaan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian pemerintah dapat menggunakan hukum ini sebagai kewenangan
mengatur tata pemerintahan dan pengadilan, dapat menggunakan sebagai hukuman
bagi masyarakat yang melanggarnya.
Mengingat
umat Hindu juga sebagai warga negara yang terikat oleh hukum nasional. Berikut
ini adalah beberapa alasan mengapa hukum Hindu penting untuk dipelajari.
Hukum
Hindu merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku bagi masyarakat Hindu di
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya
pasal 29 ayat 1 dan 2, serta pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk
memahami bahwa berlakunya hukum Hindu di Indonesia dibatasi oleh falsafah
Negara Pancasila dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk
dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara hukum adat (Bali) dengan hukum
agama Hindu atau hukum Hindu.
Untuk
dapat membedakan antara adat murni dengan adat yang bersumber pada
ajaran-ajaran agama Hindu.
B. Hubungan
Dharmaṡāstra dengan Manawa Dharmaṡāstra
Perenungan
“Šruti
dvaidhaṁ tu yatra syāt tatra dharmāvubhau smrtau, ubhāvapi hi tau dharmau
samyag uktau maniṣibhiá”.
Terjemahannya:
“Jika
dalam dua kitab suci ada perbedaan, keduanya dianggap sebagai hukum, karena
keduanya memiliki otoritas kebajikan yang sepadan” (Manawa Dharmasastra II.14)
Memahami
Teks
Manawa
Dharmasastra adalah sebuah kitab Dharmasastra yang dihimpun dengan bentuk yang
sistematis oleh Bhagawan Bhrigu, salah seorang penganut ajaran Manu, dan beliau
pula salah seorang Sapta Rsi. Kitab ini dianggap paling penting bagi masyarakat
Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Sad Wedangga. Wedangga adalah
kitab yang merupakan batang tubuh Veda yang tidak dapat dipisahkan dengan Veda
Sruti dan Veda Smrti. Penafsiran terhadap pasal-pasal Manawa Dharmaṡāstra telah
dimulai sejak tahun 120 M dipelopori oleh Kullukabhatta dan Medhiti di tahun
825 M. Kemudian beberapa Maha Rsi memasyarakatkan tafsir-tafsir Manawa
Dharmasastra menurut versinya masing-masing sehingga menumbuhkan beberapa
aliran Hukum Hindu, misalnya: Yajnawalkya, Mitaksara, dan Dayabhaga.
Para
Maha Rsi yang melakukan penafsiran-penafsiran pada Manawa Dharmaṡāstra
menyesuaikan dengan tradisi dan kondisi setempat. Aliran yang berkembang di
Indonesia adalah Mitaksara dan Dayabhaga. Di zaman Majapahit, Manawa Dharmaṡāstra
lebih populer disebut sebagai Manupadesa. Proses penyesuaian kaidah-kaidah
hukum Hindu nampaknya berjalan terus hingga abad ke-12 dipelopori oleh
tokoh-tokoh suci: Wiswarupa, Balakrida, Wijnaneswara, dan Apararka. Dua tokoh
pemikir Hindu, yaitu Sankhalikhita dan Wikhana berpandangan bahwa Manawa Dharmaṡāstra
adalah ajaran dharma yang khas untuk zaman Krtayuga, sedangkan sekarang adalah
zaman Kaliyuga.
Keduanya
mengelompokkan Dharmaṡāstra yang dipandang sesuai dengan zaman masing-masing,
yaitu seperti di bawah ini.
Manu;
Manawa Dharmaṡāstra sesuai untuk zaman Krta Yuga
Gautama;
Manawa Dharmaṡāstra sesuai untuk zaman Treta Yuga
Samkhalikhita;
Manawa Dharmaṡāstra sesuai untuk zaman Dwapara Yuga
Parasara;
Manawa Dharmaṡāstra sesuai untuk zaman Kali Yuga
Dari
temuan-temuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa ajaran Manu atau Manawa Dharmaṡāstra
tidaklah dapat diaplikasikan begitu saja tanpa mempertimbangkan kondisi, waktu,
dan tempat (desa-kala-patra). Di Indonesia, reformasi tentang Hukum Hindu telah
dilakukan di zaman Majapahit dengan menghasilkan produk-produk hukum lainnya
seperti: Sarasamuscaya, Syara Jamba, Siwa Sasana, Purwadigama, Purwagama,
Dewagama, Kutaramanawa, Adigama, Krta Sima, Paswara, dll.
Kutaramanawa
yang disusun pada puncak kejayaan Majapahit menjadi acuan pokok terbentuknya
Hukum Adat di Indonesia, karena penguasa Majapahit berkepentingan menjaga
tertib hukum di kawasan Nusantara. Zaman terus beredar dan peradaban manusia
meningkat dengan segala aspeknya. Pada tahun 1951 Raad Kerta atau Lembaga
Peradilan Agama Hindu (di Bali) dihapuskan. Ditinjau dari segi kehidupan
beragama, penghapusan Raad Kerta merupakan kemunduran yang serius karena pada
kehidupan sehari-hari umat Hindu di Bali bersandar pada hukum-hukum agama
Hindu, namun bila terjadi sengketa/ perkara Pemerintah RI menyediakan lembaga
Hukum Peradilan Perdata/Pidana yang mengacu pada sumber hukum Eropa (Belanda)
dan Yurisprudensi.
Sampai
abad ke-21 (tahun 2013) umat Hindu di Bali (Indonesia) menginginkan adanya
Lembaga Peradilan Agama Hindu yang dapat memutuskan kemelut perbedaan pendapat
dan tingkah laku dalam melaksanakan kehidupan beragama. Kebutuhan ini dipandang
mendesak agar terwujud kedamaian dan keamanan individu. Sampai saat ini
nampaknya keinginan itu hanya sebatas wacana saja karena belum ada upaya- upaya
riil dari lembaga-lembaga terkait untuk menyusun tatanan organisasi dan acuan
hukum bagi suatu lembaga peradilan belum dapat diwujudkan. Mungkinkah semuanya
itu hanya sebatas wacana yang berkembang ke publik untuk melegakan hati umat
yang diklaim minoritas?
Kitab
Dharmasastra yang memuat bidang hukum Hindu tertua dan sebagai sumber hukum
Hindu yang paling terkenal adalah Manawa Dharmasastra. Berbagai bidang hukum
Hindu yang termuat dalam Kitab Manawa Dharmasastra antara lain sebagai berikut
:
1. Bidang Hukum Keagamaan
Bidang
hukum ini banyak memuat ajaran-ajaran yang mengatur tentang tata cara keagamaan
yaitu menyangkut tentang beberapa hal seperti berikut ini.
Bahwa
semua alam semesta ini diciptakan dan dipelihara oleh suatu hukum yang disebut
rta atau dharma.
Ajaran-ajaran
yang diturunkan bersifat anjuran dan larangan yang semuanya mengandung
konsekuensi atau akibat (sanksi)
Tiap-tiap
ajaran mengandung sifat relatif yaitu dapat disesuaikan dengan zaman atau waktu
dan di mana tempat dan kedudukan hukum itu dilaksanakan, dan absolut berarti
mengikat dan wajib hukumnya dilaksanakan.
Pengertian
warna dharma berdasarkan pengertian golongan fungsional.
2. Bidang Hukum Kemasyarakatan
Bidang
hukum ini banyak memuat tentang aturan atau tata-cara hidup bermasyarakat
(sosial). Dalam bidang ini banyak diatur tentang konsekuensi atau akibat dari
sebuah pelanggaran, kalau kita telusuri lebih jauh saat ini lebih dikenal
dengan hukum perdata dan pidana. Lembaga yang memegang peranan penting yang
mengurusi tata kemasyarakatan adalah Badan Legislatif menurut Hukum Hindu
adalah Parisadha. Lembaga ini dapat membantu menyelesaikan masalah dengan cara
pendekatan perdamaian sebelum nantinya kalau tidak memungkinkan masuk ke
pengadilan.
3. Bidang Hukum Tata Kenegaraan
Bidang
ini banyak memuat tentang tata-cara bernegara, di mana terjalinnya hubungan
warga masyarakat dengan negara sebagai pengatur tata pemerintahan yang juga
menyangkut hubungan dengan bidang keagamaan. Di samping sistem pembagian
wilayah administrasi dalam suatu negara, Hukum Hindu ini juga mengatur sistem
masyarakat menjadi kelompok – kelompok hukum yang disebut Warna, Kula, Gotra,
Ghana, Puga, dan Sreni. Pembagian ini tidak bersifat kaku karena dapat
disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Sumber
hukum tata negara dan tata praja serta hukum pidana yang berlaku di Indonesia
adalah sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manawa Dharmaṡāstra.
Hal ini kemudian dikenal sebagai kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat seperti
yang berkembang di Indonesia dan khususnya dapat dilihat pada hukum adat di
Bali.
Istilah–istilah
wilayah hukum dalam rangka tata laksana administrasi hukum dapat dilihat pada
desa praja adalah administrasi terkecil dan bersifat otonomi dan inilah yang
diterapkan pada zaman Majapahit terbukti dengan adanya sesanti, sesana dengan
prasasti – prasasti yang dapat ditemukan di berbagai daerah di seluruh Nusantara.
Lebih luas lagi wilayah yang mengaturnya dinamakan krama, dan daerah khusus
ibu- kota sebagai daerah istimewa tempat administrasi tata pemerintahan disebut
pura, penggabungan atas pengaturan semua wilayah ini dinamakan dengan istilah
negara atau rastra. Maka dari itu hampir semua tatanan kenegaraan yang
digunakan sekarang ini bersumber pada hukum Hindu.
Demikian
hukum Hindu (Dharmaṡāstra) dituliskan secara utuh dalam kitab Manawa
Dharmasastra yang selanjutnya digunakan sebagai sumber hukum Hindu guna menata
umat Hindu mewujudkan moksartham jagadhita ya ca iti dharma (sejahtera dan
bahagia) lahir batin.
C. Sumber-sumber
Hukum Hindu
Perenungan
“Ahaṁ
manur abhavaṁ sūryaṡ ca ahaṁ kakṣivaṁ ṛṣir asmi viprah, ahaṁ kutsam arjuneyaṁ
ny ṛnje ahaṁ kavir uṡana paṡyantā mā”.
Terjemahannya
“Aku,
bersabda sebagai kesadaran tertinggi, Aku adalah sumber utama permenungan dan
cahaya yang tertinggi. Aku seorang ṛṣi yang dapat melihat jauh dan merupakan
pusat orbit alam semesta. Aku mempertajam intelek, Aku seorang penyair, Aku
memenuhi keinginan semuanya, oleh karena itu, wahai engkau semua, patuhlah
kepada Aku”.
(Rg
Veda IV. 26. 1)
Memahami
Teks
Sumber
hukum bagi umat Hindu atau masyarakat yang beragama Hindu adalah kitab suci
Veda. Ketentuan mengenai Veda sebagai sumber hukum Hindu dinyatakan dengan
tegas di dalam berbagai jenis kitab suci Veda. Sruti adalah merupakan sumber
dari segala sumber hukum. Sruti merupakan sumber dari Smerti.
Manawa
Dharmasastra atau Manusmerti adalah kitab hukum yang telah tersusun secara
teratur, dan sistematis. Kitab ini terbagi menjadi dua belas (12) Bab atau
adyaya. Bila kita mempelajari kitab-kitab hukum Hindu maka kita banyak
menemukan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan titel hukum. Hal ini
menunjukkan bahwa hukum Hindu mengalami proses perkembangan.
Kitab hukum Manawa Dharmasastra
menjelaskan sebagai berikut :
“Idanim
dharma pramananya ha, Wedo ‘khilo dharma mulam
smrti
sile ca tad widam, ācāraṡca iwa sādhūnām ātmanasyuṣþir ewa ca.”
Terjemahannya:
“Seluruh
Veda merupakan sumber utama daripada dharma (Agama Hindu) kemudian barulah
Smrti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang- orang yang menghayati
Veda serta kemudian acara tradisi dari orang-orang suci dan akhirnya atma tusti
(rasa puas diri sendiri).”(Manawa Dharmasastra, II. 6).
Berdasarkan
sloka tersebut di atas kita dapat mengenal sumber-sumber hukum Hindu menurut
urut-urutannya adalah :
1)
Veda Sruti,
2)
Veda Smrti,
3)
Sila,
4)
Acara (Sadacara) dan
5)
Atmanas tusti.
Berdasarkan
perkembangan ilmu pengetahuan, peninjauan sumber hukum Hindu dapat dilakukan
melalui berbagai macam kemungkinan antara lain sebagai berikut :
1. Sumber
Hukum Hindu menurut Sejarah
Sumber
Hukum Hindu dalam arti sejarah adalah sumber hukum Hindu yang digunakan oleh
para ahli Hindulogi dalam peninjauan dan penulisannya mengenai pertumbuhan
serta kejadiannya. Kaidah-kaidah yang ada dalam bentuk tidak tertulis (Prasejarah),
tidak bersifat sejarah melainkan secara tradisional atau kebiasaan yang di
dalam hukum Hindu disebut Acara. Kemungkinan kaidah-kaidah yang berasal dari
jaman prasejarah ditulis dalam zaman sejarah, dapat dinilai sebagai satu proses
pertumbuhan sejarah hukum dari satu fase ke fase yang baru.
Menurut
bukti-bukti sejarah, dokumen tertua yang memuat pokok-pokok hukum Hindu, untuk
pertama kalinya kita jumpai di dalam Veda yang dikenal dengan nama Sruti. Kitab
Veda Sruti tertua adalah kitab Reg Veda yang diduga mulai ada pada tahun 2000
SM. Adapun kitab-kitab berikutnya yang merupakan sumber hukum pula timbul dan
berkembang pada jaman Smerti. Dalam jaman ini terdapat Yajur Veda, Atharwa Veda
dan Sama Veda. Kemudian dikembangkan pula kitab Brahmana dan Aranyaka.
Fase
berikutnya dalam sejarah pertumbuhan sumber hukum Hindu adalah adanya kitab
Dharmasastra yang merupakan kitab undang-undang murni bila dibandingkan dengan
kitab Sruti. Kitab ini dikenal dengan nama kitab smerti, yang memiliki
jenis-jenis buku dalam jumlah yang banyak dan mulai berkembang sejak abad ke 10
SM. Kitab Smerti ini dikelompokkan menjadi enam jenis yang dikenal dengan
istilah Sad Vedangga. Dalam kaitannya dengan hukum yang terpenting dari Sad
Vedangga tersebut adalah dharma sastra (Ilmu Hukum).
Kitab
dharma sastra menurut bentuk penulisannya dapat dibedakan menjadi dua macam,
antara lain :
1)
Sutra, yaitu bentuk penulisan yang amat singkat yakni semacam aphorisme.
2)
Sastra, yaitu bentuk penulisan yang berupa uraian-uraian panjang atau lebih
terinci.
Di
samping kitab-kitab tersebut di atas yang digunakan sebagai sumber hukum Hindu,
juga diberlakukan adat-istiadat. Hal ini merupakan langkah maju dalam
perkembangan hukum Hindu. Menurut catatan sejarah perkembangan hukum Hindu,
periode berlakunya hukum tersebut pun dibedakan menjadi beberapa bagian, antara
lain :
1)
Pada zaman Krta Yuga, berlaku hukum Hindu (Manawa
Dharmasastra) yang ditulis oleh Manu.
2)
Pada zaman Treta Yuga, berlaku hukum Hindu (Manawa
Dharmasastra) yang ditulis oleh Gautama.
3)
Pada zaman Dwapara Yuga, berlaku hukum Hindu (Manawa
Dharmasastra) yang ditulis oleh Samkhalikhita.
4)
Pada zaman Kali Yuga, berlaku hukum Hindu (Manawa
Dharmasastra) yang ditulis oleh Parasara.
Selanjutnya
sejarah pertumbuhan hukum Hindu dinyatakan terus berkembang. Hal ini ditandai
dengan munculnya tiga mazhab dalam hukum Hindu di antaranya adalah :
1)
Aliran Yajnawalkya oleh Yajnawalkya,
2)
Aliran Mitaksara oleh Wijnaneswara,
3)
Aliran Dayabhaga oleh Jimutawahana.
Di
Indonesia kita warisi berbagai macam lontar dengan berbagai nama, seperti
Usana, Gajahmada, Sarasamuscaya, Kutara Manawa, Agama, Adigama, Purwadigama,
Krtapati, Krtasima, dan berbagai macam sasana di antaranya Rajasasana,
Siwasasana, Putrasasana, Rsisasana dan yang lainnya. Semuanya itu adalah merupakan
gubahan yang sebagian bersifat penyalinan dan sebagian lagi bersifat
pengembangan.
Perlu
dan penting kita ketahui sumber hukum dalam arti sejarah adalah adanya
Rajasasana yang dituangkan dalam berbagai prasasti dan paswara-paswara yang
digunakan sebagai yurisprudensi hukum Hindu yang dilembagakan oleh raja- raja
Hindu. Hal semacam inilah yang nampak pada kita secara garis besarnya mengenai
sumber-sumber Hukum Hindu berdasarkan sejarahnya.
2. Sumber
Hukum Hindu dalam Arti Sosiologi
Pengetahuan
yang membicarakan tentang kemasyarakatan disebut dengan sosiologi. Masyarakat
adalah kelompok manusia pada daerah tertentu yang mempunyai hubungan, baik
hubungan agama, budaya, bahasa, suku, darah dan yang lainnya. Hubungan di
antara mereka telah mempunyai aturan yang melembaga, baik berdasarkan tradisi
maupun pengaruh-pengaruh baru lainnya yang datang kemudian. Pemikiran tentang
berbagai kaidah hukum tidak terlepas dari pandangan-pandangan masyarakat
setempat. Terlebih pada umumnya hukum itu bersifat dinamis, maka peranan para
pemikir, orang-orang tua, lembaga desa, parisadha dan lembaga yang lainnya
turut mewarnai perkembangan hukum yang dimaksud.
Di
dalam mempelajari data-data tertentu yang bersumber pada kitab Veda, kitab
Nirukta menjelaskan sebagai beriku :
“Sakṣat
kṛta dharmana ṛṣayo, bubhuvuste’ sakṣat kṛta dharmabhya upadesena mantran
sampraduh”.
Terjemahannya
:
“Para
ṛṣi adalah mereka yang memahami dan mampu merealisasikan dharma dengan
sempurna. Beliau mengajarkan hal tersebut kepada mereka yang mencari
kesempurnaan yang belum merealisasikan hal itu” (Nirukta I. 19).
Kitab
suci tersebut secara tegas menyatakan bahwa sumber hukum (dharma) bukan saja
hanya kitab-kitab sruti dan smerti, melainkan juga termasuk sila (tingkah laku
orang-orang beradab), acara (adat-istiadat atau kebiasaan setempat) dan
atmanastusti yaitu segala sesuatu yang memberikan kebahagiaan pada diri
sendiri. Oleh karena aspek sosiologi tidak hanya sebatas mempelajari bentuk
masyarakat tetapi juga kebiasaan dan moral yang berkembang dalam masyarakat
setempat.
Sloka-sloka
yang menggariskan Veda sebagai sumber hukum yang bersifat universal di dalam
kitab Manawa Dharmasastra dinyatakan sebagai berikut :
“Kamatmata
na prasasta na caiwehastya kamatakamyohi Veda dhigamah karmayogas ca waidikah”
Terjemahannya
:
“Berbuat
hanya karena nafsu untuk memperoleh phala tidaklah terpuji namun berbuat tanpa
keinginan akan phala tidak dapat kita jumpai di dunia ini karena
keinginan-keinginan itu bersumber dari mempelajari Veda dan karena itu setiap
perbuatan diatur oleh Veda”
(Manawa
Dharmasastra, II.2).
“Teṣu
samyag warttamāno gacchatya mara lokatām, yathā samkalpitāṁṡceha sarvān kāmān
samaṡnute”
Terjemahannya
:
“Ketahuilah
bahwa ia yang selalu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dengan
cara yang benar, mencapai tingkat kebebasan yang sempurna kelak dan memperoleh
semua keinginan yang ia mungkin inginkan” (Manawa Dharmasastra, II.5).
“Yo’
wamanyeta te mūle hetu sāstrā srayad dwijaá, sa sādhubhir bahiskāryo nāstiko
wedanindakaá”
Terjemahannya
:
“Setiap
dwijati yang menggantikan dengan lembaga dialektika dan dengan memandang rendah
kedua sumber hukum (Sruti dan Smerti) harus dijauhkan dari orang-orang bijak
sebagai seorang atheis dan yang menentang Veda” (Manawa Dharmasastra, II.11).
“Pitridewamanusyanam
wedascaksuh sanatanah, asakyamca ‘prameyamca weda sastram iti sthitah”
Terjemahannya
:
“Veda
adalah mata yang abadi dari para leluhur, dewa-dewa, dan manusia;
peraturan-peraturan dalam Veda sukar dipahami manusia dan itu adalah kenyataan”
(Manawa
Dharmasastra, XII.94).
“Ya
wda wahyah smrtayo yasca kasca kudrstayah, sarwastanisphalah pretya tamo
nisthahitah smrtah”
Terjemahannya
:
“Semua
tradisi dan sistim kefilsafatan yang tidak bersumber pada Veda tidak akan
memberi pahala kelak sesudah mati karena dinyatakan bersumber dari kegelapan”
(Manawa Dharmasastra, XII.95)
“Utpadyante
syawante ca yanyato nyani kanicit, tanyar wakalika taya nisphalanyanrtaani ca”
Terjemahannya
:
“Semua
ajaran yang timbul, yang menyimpang dari Veda segera akan musnah, tidak
berharga dan palsu karena tak berpahala”
(Manawa
Dharmasastra, XII. 96)
“Wibharti
sarwabhutani wedasastram sanatanam, tasmadetat param manye yajjantorasya
sadhanam”
Terjemahannya
:
“Ajaran
Veda menyangga semua mahkluk ciptaan ini, karena itu saya berpendapat, itu
harus dijunjung tinggi sebagai jalan menuju kebahagiaan semua insani” (Manawa
Dharmasastra, XII. 99)
“Senapatyam
ca rajyam ca dandanetri twamewa ca, sarwa lokadhipatyam ca wedasastra
widarhati”
Terjemahannya
:
“Panglima
angkatan bersenjata, Pejabat pemerintah, Pejabat pengadilan dan penguasa atas
semua dunia ini hanya layak kalau mengenal ilmu Veda itu” (Manawa Dharmasastra,
XII.100).
Sesungguhnya
banyak sloka-sloka suci Veda yang menekankan betapa pentingnya Veda, baik
sebagai ilmu maupun sebagai alat di dalam membina masayarakat. Oleh karena itu,
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada itu penghayatan Veda bersifat sangat
penting karena bermanfaat bukan saja kepada orang itu tetapi juga yang akan
dibinanya. Karena itu Veda bersifat obligator baik untuk dihayati, diamalkan,
maupun sebagai ilmu.
Dengan
mengutip beberapa sloka yang bersangkutan dalam menghayati Veda, nampaknya
semakin jelas mengapa Veda, baik Sruti maupun Smrti sangat penting. Kebajikan
dan kebahagiaan berfungsi sebagaimana mestinya. Inilah yang menjadi hakikat dan
tujuan dari penyebaran Veda itu.
3.
Sumber Hukum Hindu dalam Arti Formal
Yang
dimaksud dengan sumber hukum dalam arti formal menurut Prof. Mr. J.L. Van
Aveldoorm adalah sumber hukum yang berdasarkan bentuknya yang dapat menimbulkan
hukum positif. Artinya dibuat oleh badan atau lembaga yang berwenang.
Yang
termasuk sumber hukum dalam arti formal dan bersifat pasti, yaitu ;
1)
undang-undang,
2)
kebiasaan dan adat,
3)
traktat.
Di
samping sumber-sumber hukum yang disebutkan di atas, ada juga sumber hukum yang
diambil dari yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum. Dengan demikian
dapat kita lihat susunan sumber hukum dalam arti formal sebagai :
1)
undang-undang,
2)
kebiasaan dan adat,
3)
traktat,
4)
yurisprudensi, dan
5)
pen- dapat ahli hukum yang terkenal.
Sistematika
susunan sumber hukum seperti tersebut di atas ini, dianut pula dalam hukum
internasional sebagai tertera dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional
dengan menambahkan azas-azas umum hukum yang diakui oleh berbagai bangsa yang
beradab sebagai sumber hukum juga.
Dengan
demikian, susunan hukum dapat dilihat juga sebagai :
a) traktat internasional yang kedudukannya
sama dengan undang-undang terhadap negara itu,
b)
kebiasaan internasional,
c)
azas-azas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab,
d)
keputusan-keputusan hukum sebagai yurisprudensi bagi suatu negara, dan
e)
ajaran-ajaran yang dipublisir oleh para ahli dari berbagai negara hukum
tersebut sebagai alat tambahan dalam bidang pengetahuan hukum.
Sistem
dan azas yang digunakan untuk masalah sumber hukum terdapat pula dalam kitab
Veda, terutama dalam kitab Manawa Dharmasastra sebagai berikut.
”Idanim
dharma pra mananya ha, vedo’khilo dharma mulam smrti sile, ca tad vidam
acarasca iva, sadhunam atmanastustireva ca”.
(Manawa
Dharmasastra II.6).
Terjemahannya:
”Seluruh
pustaka suci Veda (sruti) merupakan sumber utama dharma (agama Hindu), kemudian
barulah smerti di samping sila (kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang
yang menghayati Veda) dan kemudian acara (tradisi-tradisi dari orang-orang
suci) serta akhirnya atmanstuti (rasa puas diri sendiri).”
Berdasarkan
penjelasan sloka suci kitab hukum Hindu tersebut di atas, dapat kita ketahui
bahwa sumber-sumber hukum Hindu menurut Manawa Dharmasastra, adalah Veda Sruti,
Veda Smerti, Sila, Acara (Sadacara), Atmanastuti.
4. Sumber
Hukum Hindu dalam Arti Filsafat
Sumber
hukum dalam arti filsafat merupakan aspek rasional dari agama dan merupakan
satu bagian yang tak terpisahkan atau integral dari agama. Filsafat adalah ilmu
pikir, dan juga merupakan pencairan rasional ke dalam sifat kebenaran atau
realistis, yang juga memberikan pemecahan yang jelas dalam mengemukakan
permasalahan-permasalahan yang lembut dari kehidupan ini, di mana ia juga
menunjukkan jalan untuk mendapatkan pembebasan abadi dari penderitaan akibat
kelahiran dan kematian.
Agama
bukan hanya mengajarkan bagaimana manusia menyembah Tuhan, tetapi juga memuat
tentang filsafat, hukum, dan lain-lain. Manawa Dharmasastra adalah kitab suci
agama Hindu, yang memuat berbagai masalah hukum dilihat dari sistem
kefilsafatannya, sosiologinya, dan bahkan dari aspek politik. Mengingat masalah
hukum tersebut menyangkut berbagai bidang yang sangat luas, maka tidak akan
terelakkan betapa pentingnya arti filsafat dalam menyusun suatu hipotesa hukum,
bahkan filsafat menduduki tempat yang terpenting dalam ilmu hukum yang
dituangkan dalam suatu cabang ilmu hukum yang disebut ”filsafat hukum”.
Berdasarkan
sistem pertimbangan materi dan luas ruang lingkup isinya itu jelas kalau jumlah
jenis buku Veda itu banyak. Walaupun demikian kita harus menyadari bahwa Veda
itu mencakup berbagai aspek kehidupan yang diperlukan oleh umat manusia. Maha
Rsi Manu membagi jenis isi Veda itu ke dalam dua kelompok besar yang disebut:
Veda Sruti, Veda Smrti.
Pembagian
tersebut selanjutnya untuk menamakan semua jenis buku yang dikelompokkan
sebagai kitab Veda baik secara tradisional maupun secara institusionil ilmiah.
Dalam hal ini kelompok Veda Sruti merupakan kelompok buku yang isinya hanya
memuat “Wahyu” (Sruti) sedangkan kelompok kedua Smrti adalah kelompok yang
sifat isinya sebagai penjelasan terhadap “Sruti”. Jadi merupakan “manual”, buku
pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan Sruti.
Kalau
kita bandingkan dengan ilmu politik, “Sruti”, merupakan UUD-nya Hindu sedangkan
“Smrti” adalah UU pokok. U.U. pelaksanaannya adalah kitab Nibandha, atau
Carita, atau Sasana. Kedua-duanya merupakan sumber hukum yang mengikat yang
harus diterima. Oleh karena itu, Bhagawan Manu menegaskan di dalam kitab Manawa
Dharmasastra sebagai berikut :
“Srutistu
wedo wijneyo dharmasastram tu wai smrtih,
Te
sarwar thawam imamsye tabhyam dharmohi nirBabhu”.
Terjemahannya:
“Sesungguhnya
Sruti (Wahyu) adalah Veda demikian pula Smrti itu adalah Dharmasastra, keduanya
harus tidak boleh diragukan dalam hal apa pun juga karena keduanya adalah kitab
suci yang menjadi sumber dari hukum suci (dharma) itu” (Manawa Dharmasastra
II.10).