TEMBANG SIGRO MILIR
(SINONGGO BAJUL)
Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang jageni, ing ngarsa miwah ing pangkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon.
Demikianlah bunyi tembang macapat bermetrum Megatruh yang berkisah tentang Jaka Tingkir naik rakit di sebuah sungai. Ada yang menyebut sungai itu sebagai Kedung Srengege. Ada pula yang menyebutnya Bengawan Solo. Ia dikawal 40 buaya putih, di depan, di belakang, di samping kanan dan samping kiri. Rakitnya pun bergerak perlahan-lahan. Tembang itu bagi anak-anak Jawa tempo dulu akrab di telinga. Dan dianggap sebagai puisi lisan Jawa karena sering didendangkan. Tembang itu bernama Sigra Milir.
Tembang Gethek Sinonggo Bajul merupakan Tembang Jawa yang satu ini, menceritakan tentang perjalanan Jaka Tingkir.
Liriknya sebagai berikut :
sigro milir
sang gethek sinonggo bajul
kawan doso kang njageni
ing ngarso miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kering
sang gethek lampahnyo alon
Aksara Jawanipun :
ꦱꦶꦒꦿꦺꦴꦩꦶꦭꦶꦂ
ꦱꦁꦒꦼꦛꦼꦏ꧀ꦱꦶꦤꦺꦴꦁꦒꦺꦴꦧꦗꦸꦭ꧀
ꦏꦮꦤ꧀ꦝꦺꦴꦱꦺꦴꦏꦁꦚ꧀ꦗꦒꦺꦤꦶ
ꦆꦁꦔꦂꦱꦺꦴꦩꦶꦮꦃꦆꦁꦥꦸꦁꦏꦸꦂ
ꦠꦤꦥꦶꦆꦁꦏꦤꦤ꧀ꦏꦼꦫꦶꦁ
ꦱꦁꦒꦼꦛꦼꦏ꧀ꦭꦩ꧀ꦥꦃꦚꦺꦴꦄꦭꦺꦴꦤ꧀
Maknanya :
mengalirlah segera
sang rakit dipikul buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakitpun berjalan pelan
Arti secara bahasa dalam tembang tersebut adalah :
Sigro berarti segera.
Milir berarti meluncur atau mengalir.
Sang berarti gelar kepada junjungan seperti Kanjeng, Sang Prabu, dan lain-lain.
Gethek berarti sampan, yang biasanya terbuat dari batang bambu atau pohon pisang.
Sinonggo yang berarti ditopang atau diangkat.
Kawan doso, singkatan dari sekawan doso yang berarti empat puluh. Dalam tradisi masyarakat Jawa, angka tersebut memiliki makna tersendiri.
Kang berarti yang, kata penghubung.
Njageni berarti mengawal atau melindungi.
Ing berarti di, kata depan untuk keterangan waktu atau tempat.
Ngarso berarti depan,
Miwah (hampir sama dengan lan) berati dan,
Pungkur berarti belakang.
Tanapi berarti juga.
Lampahnyo artinya langkahnya.
Alon berarti pelan, namun mengandung suatu kepastian langkah.
KISAH SIGRO MILIR (SINONGGO BAJUL)
Dalam kisah tersebut, rakit yang dikendarai oleh Jaka Tingkir diserang oleh kawanan buaya siluman. Namun karena Jaka Tingkir sakti, maka kawanan buaya yang jumlahnya 40 ekor itu dapat ditaklukkan. Bahkan, kawanan tersebut kemudian membantu mendorong rakit yang dikendarai oleh Jaka tingkir sampai ke tujuan.
Tapi ada pula yang menyebutkan bahwa tembang Jawa yang satu ini merupakan sindiran halus kepada Jaka Tingkir (Mas Karebet). Suatu ketika Jaka Tingkir sedang dalam perjalanan ke Demak Bintoro, dan mampir ke sebuah desa yang bernama Kedung Srengenge. Di desa itu Jaka Tingkir bertemu dengan seorang gadis, lalu dipikatnya. Gadis desa itu pun hamil dan minta pertanggungjawaban Jaka Tingkir, tetapi ia mengelak. Ayah gadis itu dan warga desa marah, serta berniat memaksa Jaka Tingkir mengawini gadis desa itu. Akan tetapi, dengan kesaktiannya Jaka Tingkir berhasil mengalahkan 40 warga desa yang mengeroyoknya itu.
Ada pula yang memaknai tembang Gethek Sinonggo Bajul tersebut menceritakan perjalanan Jaka Tingkir bersama tiga orang kawannya ke daerah Prawata. Dengan menaiki gethek (sampan), mereka menyusuri Sungai Dengkeng, Bengawan Picis dan akhirnya sampai di Kedung Srengenge. Di tempat inilah secara tiba-tiba sampan yang mereka naiki dikepung oleh ratusan buaya. Namun, dengan kesaktian Jaka Tingkir dan kawan-kawannya, mereka dapat mengalahkan buaya-buaya tersebut. Bahkan, dengan sukarela buaya-buaya tersebut akhirnya mendorong dan mengawal sampan yang mereka naiki hingga sampai di ujung Desa Bulu, satu desa dengan sungai terdekat dari wilayah Prawoto.
Jika dimaknai lebih dalam, tembang di atas menggambarkan tentang seorang atau beberapa orang ksatria yang menempuh perjalanan dengan menyusuri sungai. Mereka tidak mengayuh dayung, karena sampan (gethek) yang mereka tumpangi telah didorong dan dikawal oleh empat puluh kawanan buaya. Hanya dengan memberikan perintah atau aba-aba, maka buaya-buaya tersebut akan mengantarkannya sampai tempat tujuan.
Sampan secara harfiah memang sarana transportasi air, namun sampan bisa ditafsirkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Benda ini juga bisa dimaknai sebagai kekuasaan untuk mencapai kemakmuran sebuah negara. Sedangkan para ksatria, yang berada di atas sampan adalah raja beserta para punggawanya. Sementara perintah yang diucapkan oleh para penumpang sampan dapat diartikan sebagai keputusan dan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah dalam menyelamatkan negara dan kesejahteraan rakyat.
Air, yang menjadi pijakan sampan untuk sampai ke tujuan adalah rakyat, masyarakat biasa yang santun dan tunduk kepada rajanya, namun pada satu waktu dapat menjadi amarah ketika terusik harga dirinya. Air bisa menenggelamkan orang-orang yang berada di atas sampan, sebagaimana rakyat kecil yang diperlakukan secara tidak adil.
Sementara bajul (buaya) yang menjadi penunggu sungai bermakna sebagai tokoh masyarakat atau bangsawan-bangsawan lokal. Para tokoh masyarakat atau bangsawan lokal ini akan menambah wibawa suatu masyarakat, sehingga tidak akan diusik oleh orang luar, seperti sungai yang dihuni buaya juga tidak akan dibuat mandi secara sembarangan.
Sedangkan kawan doso, dapat dimaknai sebagai tokoh masyarakat, bangsawan lokal dan punggawa kerajaan. Maka semakin banyak tokoh masyarakat atau punggawa kerajaan yang bisa diorganisir oleh raja maka semakin kuat kekuasaannya.
Inti pesan tembang tersebut, menjadi raja atau pemimpin yang baik dan tetap survive diperlukan kemampuan untuk mengorganisir kekuatan dan elemen kekuasaan yang ada di bawahnya. Sang raja atau pemimpin harus mampu mengeluarkan titah yang sebagaimana mestinya pada elemen-elemen kekuasaan tersebut, berupa keputusan dan kebijakan yang memihak pada rakyat kecil.
Diolah dari berbagai sumber
Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala (membuang yang serba jelek). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama. Dengan demikian, Megatruh berarti utusan petugas yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
TEMBANG MEGATRUH
Megatruh. Kata ini berasal dari kata pegat yang berarti putus, dan ruh yang berarti nyawa, artinya putus hubungan antara ruh atau nyawa dengan badan atau raga. Selain itu, lanjutnya, secara badani ia sudah megat trah yang berarti berpisah dengan keturunannya
Orang Jawa mengenal benar, sehingga melahirkan karya adiluhung berupa Tembang Megatruh atau Megat Ruh tersebut. Disampaikan dengan tembang sehingga dapat didengar, dirasakan, dinikmati sangat nyaman sampai ke pusat jiwa. Tembang-tembang Megatruh ini didendangkan tatkala manusia menjelang ajal dan melepaskan jasad atau wadag atau tubuh fananya.
Dalam Serat Purwaukara, Megatruh diberi arti mbucal kan sarwa ala (membuang yang serba jelek). Pegat ada hubungannya dengan peget yang berarti istana, tempat tinggal. Pameget atau pamegat yang berarti jabatan. Samgat atau samget berarti jabatan ahli, guru agama.
Dengan demikian, Megatruh berarti petugs yang ahli dalam kerohanian yang selalu menghindari perbuatan jahat.
Megatruh :
sigra milir kang gèthèk sinangga bajul
kawan dasa kang njagèni
ing ngarsa miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kéring
kang gèthèk lampahnya alon
(Sumber saking Babad Tanah Jawi dening Ki Yasadipura)
Aksara Jawanipun :
ꦱꦶꦒꦿꦩꦶꦭꦶꦂꦏꦁꦒꦺꦛꦺꦏ꧀ꦱꦶꦤꦁꦒꦧꦗꦸꦭ꧀
ꦏꦮꦤ꧀ꦝꦱꦏꦁꦚ꧀ꦗꦒꦺꦤꦶ
ꦆꦁꦔꦂꦱꦩꦶꦮꦃꦆꦁꦥꦸꦁꦏꦸꦂ
ꦠꦤꦥꦶꦆꦁꦏꦤꦤ꧀ꦏꦺꦫꦶꦁ
ꦏꦁꦒꦺꦛꦺꦏ꧀ꦭꦩ꧀ꦥꦃꦚꦄꦭꦺꦴꦤ꧀
꧋(ꦱꦸꦩ꧀ꦧꦼꦂꦱꦏꦶꦁꦧꦧꦣ꧀ꦠꦤꦃꦗꦮꦶꦣꦼꦤꦶꦁꦏꦶꦪꦱꦣꦶꦥꦸꦫ)
Artinya :
mengalirlah segera sang rakit dipikul buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakitpun berjalan pelan
Filosofi makna tembang :
Tembang ini biasanya dipakai untuk melukiskan perasaan kecewa ataupun kesedihan yang mendalam. Makna yang terkandung dalam syair-syairnya, selain melukiskan perasaan kecewa dan kesedihan mendalam, tembang ini menggambarkan secara jelas dan gamblang tentang ketergantungan manusia dengan Sang Pencipta. Karena sifat Maha dari Allah, maka manusia mendapat uluran kasih sayang-Nya, limpahan anugerah yang melimpah ruah, karunia serta Rahmat-Nya.dan seakan kata-kata tembang ini menunjukan lemahnya seseorang tanpa bantuan sesamanya dan menuntut manusia akan selalu berperilaku sosial menolong sesamanya dalam kebaikan
Seakan-akan tembang jawa ini mengajarkan kita agar kita selalu memperkuat selalu ukhuwah islamiyah dan selalu memandang bahwa Islam itu satu bukan seperti ini dan itu, Islam adalah kita ini dan yang seperti kita inilah yang dinamakan Rahmatan lil 'Alamin. Makna Islam Rahmatan lil 'Alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam semesta.
TEMBANG SIGRO MILIR VERSI GUS DUR
Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon.
Demikianlah bunyi dari Tembang Sigro Milir, sebuah tembang macapat bermetrum Megatruh.
Tembang Sigro Milir menceritakan tentang Joko Tingkir. Joko Tingkir sendiri merupakan Sultan pertama Kesultanan Pajang, bergelar Sultan Hadiwijaya. Nama kecilnya adalah Raden Mas Karebet, merupakan putra dari Ki Ageng Pengging. Joko Tingkir juga merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Joko Tingkir menikah dengan Ratu Mas Cempaka, putri dari Sultan Trenggono.
Tembang Sigro Milir itu ada kaitannya dengan Joko Tingkir yang merupakan Sultan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Di mana Sultan Hadiwijaya mendapatkan pemberontakan dari anak angkatnya, yaitu Sutawijaya.
Lah di situ anak angkatnya itu akhirnya mengangkat dirinya menjadi raja yang baru karena menang perang tanding. Namanya Sutawijaya, sehingga mempunyai gelar Panembahan Senopati ing Ngalogo Sayyidin Panotogomo Kalipatullah ing Tanah Jawi.
Bahwa Patang puluh kanuragan artinya itu kesaktian. Jadi ceritanya Joko Tingkir hendak pulang ke Pajang dari Sumenep masuk Bengawan Solo, dekat dari Pringgoboyo.
Pringgoboyo dahulunya adalah sebuah pulau, lalu Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya mampir di tempat tersebut untuk mengisi perbekalan. Malam harinya Joko Tingkir mimpi bertemu dengan gurunya, sang guru berkata “sedang apa kamu? memiliki kanuragan (kekuatan) empat puluh, kok kembali lagi ke sini?”
Kemudian sang Guru berpesan agar Joko Tingkir tidak usah kembali lagi ke Pajang, rebutan keraton tidak bakal menang. Sebab kanuragan (kekuatan) tidak boleh digunakan untuk pamer, tidak boleh digunakan untuk urusan dunia. Selanjutnya sang Guru menyarankan agar Joko Tingkir membuat pondok saja, mengajar ngaji orang banyak, lama kelamaan masyarakat menjadi pintar.
Jadi, jabatan itu para hadirin dan hadirat bukan apa-apa di mata beliau ini. Sultan Hadiwijaya manut bikin pondok di situ. Lah itu jadi Sigro Milir Sang Gethek Sinangga Bajul. Getheke (rakit) disangga (didorong) bajul (buaya) kawan doso cacahipun, Patang puluh iji, empat puluh ekor.
Artinya adalah apabila Joko Tingkir melompat masuk ke air, dikejar oleh buaya itu tadi dimakan habis. Maksudnya adalah apabila Joko Tingkir pulang ke Pajang rebutan keraton, dirinya bakal kalah lagi dengan Sutawijaya.
Oleh sebab itu, kita sekarang ini harus meniru Sultan Hadiwijaya, yang akhirnya tidak diperbolehkan lagi menjadi sultan lagi oleh gurunya, menetap di Pringgoboyo, namanya kembali lagi menjadi Joko Tingkir.
Dari cerita tersebut menurut Gus Dur dapat dilihat bahwa raja, kedudukan tidak ada artinya sebagai lembaga dibandingkan dengan budaya. Budaya Joko Tingkir adalah budaya santri, yaitu budaya kiai mengajar muridnya.
MEMORI CERAMAH TAUSIYAH CERITA JAKA TINGKIR DIILUSTRASIKAN TEMBANG SIGRO MILIR VERSI KH. ABDULRAHMAN WAHID (GUS DUR)
Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon.
Aksara Jawanipun :
꧋ꦱꦶꦒꦿꦩꦶꦭꦶꦂꦱꦁꦒꦼꦛꦼꦏ꧀ꦱꦶꦤꦁꦒꦧꦗꦸꦭ꧀ꦏꦮꦤ꧀ꦝꦱꦏꦁꦚ꧀ꦗꦒꦺꦤꦶ꧈ꦆꦁꦔꦂꦱꦩꦶꦮꦃꦆꦁꦥꦸꦁꦏꦸꦂ꧈ꦠꦤꦥꦶꦆꦁꦏꦤꦤ꧀ꦏꦼꦫꦶꦁ꧈ꦏꦁꦒꦼꦛꦼꦏ꧀ꦭꦩ꧀ꦥꦃꦚꦄꦭꦺꦴꦤ꧀꧈
Artinya :
Mengalirlah segera sang rakit didorong buaya
empat puluh penjaganya
di depan juga di belakang
tak lupa di kanan kiri
sang rakit pun berjalan pelan.
Masyarakat Jawa memang dikenal memiliki tradisi tutur yang sangat kaya, mulai dari legenda, dongeng, folklore, mitos, cerita misteri, hingga tembang-tembang dolanan.
Tidak seperti tembang yang sudah sangat populer seperti gundul-gundul pacul, lir ilir, atau sluku-sluku bathok, tembang di atas, merupakan tembang jaman sering dan tidak asing ditelinga kita, karena masyarakat dulu masih mengajar pada anak turunnya, yang paling istimewa masyarakat masih mengugemi atau uri-uri budaya tembang sebagai sarana nasehat apalagi sebagai pengiring bagi anak-anak mau tidur.
Entah karena memang di tempat saya tinggal sudah jarang sekali, bahkan jika boleh dikatakan tidak ada lagi anak-anak yang bisa nembang dolanan. Padahal saya termasuk generasi kelahiran delapan puluhan. Orang tua pun tidak ada yang mengajari anaknya nembang.
Sebagai orang Jawa tentu ini menjadi keprihatinan bersama, di mana kebudayaan kita yang paling sederhana saja, yang berupa tembang dolanan tidak terwariskan dengan baik ke anak cucu kita.
Ketika Gus Dur saat itu yang menjadi pembicara pada haul mbah Anggoboyo (pidato Gus Dur saat mengisi pengajian di Lamongan. Tepatnya di Pringgoboyo Kec. Meduran). Beliau menembangkan sigra milir dan menerangkan bahwa tembang tersebut adalah kisah perjalanan Joko Tingkir yang akan ke Pajang guna merebut kembali tahta kerajaan yang telah jatuh ke tangan Sutowijoyo dari bumi mentaok.
Setelah pasukan Pajang kalah perang dengan Mataram, Joko Tingkir mengungsi sampai Sumenep Madura. Di sana beliau menggalang kekuatannya kembali.
Saat itu sebenarnya Joko Tingkir sudah membawa pengawal sebanyak 40 orang yang terdiri dari para jawara. Ini disimbolkan dengan wujud 40 buaya yang mengawal getheknya Joko Tingkir saat di bengawan. Kawan dasa kang njageni.
Tapi ketika sampai di bengawan Jero, Joko Tingkir alias sultan Hadiwijaya ini singgah di Pringgoboyo, ketika sedang istirahat beliau mendapatkan pesan ghaib dari gurunya, yaitu Sunan Kalijaga, agar tidak melanjutkan perebutan kekuasaan lagi. Lebih baik Joko Tingkir tinggal dan menetap saja di situ untuk mendidik masyarakat. Itu lebih bermanfaat, karena jikalau Joko Tingkir pergi ke Pajang pun, ia tidak akan menang melawan Sutowijoyo. Karena suratan takdirnya memang demikian.
Akhirnya Joko Tingkir menuruti dawuh gurunya untuk menetap di Pringgoboyo, dan selanjutnya oleh masyarakat setempat, beliau lebih dikenal dengan sebutan mbah Anggoboyo.
Demikian yang dikisahkan oleh Gus Dur. Mengenai tafsir tembang sigra milir ini tentu banyak versi.
Kisah perjalanan Joko Tingkir naik gethek memang sangat melegenda, peristiwa ini juga diangkat di film, namun kisah yang dikenal masyarakat bahwa ini adalah perjalanan Joko Tingkir ketika akan sowan ke Demak era Sultan Trenggono setelah Joko Tingkir berguru kepada Ki Buyut Banyubiru. Kisah ini entah versi mana yang benar, karena keduanya bersumber dari tradisi lisan yang sulit dibuktikan kebenarannya.
Gus Dur memang sosok yang suka berziarah dan menemukan makam para waliyullah yang kadang belum dikenal oleh penduduk setempat. Seperti juga beliau pernah ziarah ke Soko Medalem ke sebuah maqam yang menurut beliau itu adalah maqamnya Sunan Kalijaga.
CERITA JAKA TINGKIR
(Sumber referensi cerita Jaka Tingkir : Dikutipan dari Cerita Babad Tanah Jawi).
(Jaka Tingkir Dari Diusir lalu Sigra Milir Kembali ke Demak).
Diceritakan ketika di dalam hutan serta berjalan tanpa arah dan tujuan sampai lima bulan. Waktu itu perjalanannya sampai di hutan jati di Gunung Kendheng. Di situ bertemu dengan Ki Ageng Butuh. Ki Ageng sangat terkejut, ia mendekat seraya berkata, “Nak, berhentilah. Rupamu, romanmu mirip kakak dari Pengging yang sudah meninggal, jika kamu jadi anaknya layak sekali. Cuma lebih tampan kamu, tinggi badanmu seimbang. Kakak Pengging dulu agak ketinggian sedikit. Cepat jawab asalmu dari mana?” Jaka Tingkir menjawab, “Saya memang putra Ki Ageng Pengging.” Setelah mendengar jawaban itu Ki Ageng Butuh merangkul Ki Jaka Tingkir seraya berkata, “Ada apa Nak, kamu berada di tengah hutan ini?” Ki Jaka menceritakan pengalamannya dari awal sampai akhir. Kyai Ageng hanya bisa tertegun.
Ki Ageng segera pulang dan Jaka Tingkir dibawa serta. Sesampainya di Butuh Jaka Tingkir dielu-elukan. Kyai Butuh segera mengundang Kyai Ageng Ngerang, dia juga datang di sana. Lalu diberitahu bahwa Raden Jaka ini adalah putra Kyai Ageng Pengging. Kyai Ageng Ngerang segera memeluk dan menangis.
Katanya, “Nak, aku dulu menengok ke Pengging tetapi kamu sudah tidak ada dibawa ibumu ke Tingkir. Sekarang aku gembira sekali. Tetapi kamu sedang menderita. Terimalah. Semua perbuatan yang tidak benar itu atas kehendak Allah, dan wajar bahwa semua orang yang akan bahagia harus memulai dengan penderitaan.”
Ki Ageng Butuh dan Kyai Ngerang banyak sekali memberi ajaran kepada Jaka Tingkir. Ia sangat berterimakasih serta senang hatinya. Jaka Tingkir tinggal di Butuh sampai dua bulan. Setelah menyelesaikan pelajarannya, Kyai Butuh berkata, “Nak, berhubung sudah tujuh bulan kamu pergi dari Demak, sekarang kembalilah ke sana, atau pulanglah ke Tingkir dan Pengging. Mungkin Sultan sudah sadar serta memanggil kamu. Ki Jaka Tingkir menjawab bersedia, lalu berangkat sendirian. Setibanya di luar kota Demak, lalu mengirim pesan kepada teman-teman tamtama. Mereka datang secara sembunyi-sembunyi. Ki Jaka bertanya kepada teman-temannya, berhubung kepergiannya sudah lama apakah Sang Prabu pernah menanyakan dirinya.
Jawab para tamtama, bahwa Sultan belum pernah menanyakan dirinya. Mendengar itu Ki Jaka Tingkir sangat sedih hatinya. Lalu pamit kepada teman-temannya berniat mengembara lagi.
Perjalanannya menuju Pengging. Di malam hari ia tidur di lantai kuburan ayahnya sampai empat hari. Lalu ia mendengar suara gaib, “Nak, pergilah engkau ke arah tenggara. Di dekat desa Getas Aji ada orang yang tinggal di situ bernama Ki Buyut Banyubiru. Ikutlah kamu di situ dan laksanakan segala perintahnya.” Jaka Tingkir terkejut dan segera bangun dari tidurnya, berangkat sendirian.
CERITA JAKA TINGKIR VERSI LAIN
Lain cerita di Dukuh Cal Pitu, di kaki Gunung Lawu. Di situ ada seorang pertapa yang bernama Ki Jaka Leka, masih trah dari Majapahit. Ia mempunyai seorang anak laki-laki, bagus rupanya bernama mas Manca. Ki Mas Manca pergi dari pedukuhannya berniat bertapa di pesisir laut selatan. Ia berhenti di Banyubiru, lalu dijadikan anak angkat oleh Ki Buyut Banyubiru, serta sangat disayang, diberi kebebasan segala tingkah lakunya, diajari segala ilmu kesaktian dan diperintahkan bertapa supaya segera memperoleh derajat. Sebab Ki Buyut tahu bahwa Mas Manca akan menjadi pendamping raja. Pada waktu itu Ki Buyut berkata, “Nak Mas Manca, rajamu hampir datang ke sini. Dua hari lagi akan datang. Jika sudah tiga bulan tinggal di Banyubiru, itu tanda peresmian raja sudah dekat. Kelak akan beribukota di Pajang. Kamu akan menjadi patihnya. Raja itu sangat sakti dan disegani musuh. Kerajaannya angker. Dia adalah keturunan Andayaningrat di Pengging. Saya kelak akan merekayasa, agar cepat penyesuaian menjadi raja.” Ki Mas Manca berterimakasih.
Dua hari kemudian, Raden Jaka Tingkir datang di Banyubiru, lalu diangkat menjadi putranya oleh Ki Buyut. Begitu sangat didambakan, dipersaudarakan dengan Mas Manca. Ki Buyut menuntaskan pengajarannya kepada Raden Jaka Tingkir bersama Mas Manca. Sesudah genap tiga bulan, Ki Buyut berkata kepada Ki Jaka Tingkir, “Nak, sudah sampai saatnya kamu menunjukkan diri kepada Kanjeng Sultan, saat ini musim penghujan, Sultan mesti berada di istana di Gunung Prawata. Saya kira kalau kamu datang ke Prawata, Sultan belum pulang ke Demak. Aku membawa syarat yang bisa membuatmu ditanggapi Kanjeng Sultan. Tanah ini masukkan ke dalam mulut kebo danu. Pasti kerbau tadi langsung mengamuk di Prawata. Orang Demak tak ada yang bisa membunuh kerbau tadi, tanahnya buanglah terlebih dahulu, mesti kerbau tadi dapat kau bunuh. Dan kamu saya beri pengikut adikmu Ki Mas Manca serta saudara laki-lakiku bernama Ki Wuragil dan keponakanku, anak Ki Buyut Majasta namanya Ki Wila. Tiga orang tadi jangan sampai pisah dengan kamu.” Jaka Tingkir menjawab siap-sedia menjalankan perintah.
Kyai Buyut lalu memerintah anak-cucunya agar membuat rakit untuk dinaiki Jaka Tingkir. Setelah siap semuanya lalu berangkat naik rakit. Ki Buyut mengantar sampai di tepi sungai sambil berdoa menengadah ke langit. Ki Majasta ikut naik ke atas rakit. Rakit mengikuti aliran sungai Dengkeng. Setelah sampai di dusun tempat tinggal Ki Majasta berhenti dan bermalam di situ selama tiga hari, lalu berangkat lagi. Ki Majasta tidak ikut. Rakit terus melaju sampai di Bengawan Picis. Empat orang tadi, dua orang mendorong pakai tongkat, dua orang lainnya mengayuh waktu pukul empat sore di Kedung Srengenge. lalu ada awan gerimis bercampur angin. Di Kedung Srengenge itu ada raja buaya bernama Baureksa, patihnya bernama Jalumampang. Bala buaya itu terbilang banyak jumlahnya mendorong rakit itu ke darat. Lalu terjadi perang ramai sekali dengan Mas Manca di daratan. Patih Jalu Mampang bersama tujuh puluh buaya mati semua disabetkan pada batang-batang kayu oleh Mas Manca. Jaka Tingkir lalu terjun ke dalam sungai, rasanya seperti di daratan saja. Lalu perang semakin ramai, banyak buaya yang mati. Raja buaya yang bernama Baureksa menyerah kepeda Raden Jaka Tingkir. Ia berjanji akan mengantarkan perjalanannya, dan memberi hadiah satu buaya setiap tahun.
Raden Jaka Tingkir lalu naik rakit lagi. Jalannya rakit disangga oleh empat puluh buaya, yang di atas tinggal santai-santai saja. Tongkat dan kayuh dibuang saja.* Di waktu malam sampai di wilayah Butuh, rakit diketuk-ketuk. Buaya-buaya itu mengerti isyarat tadi, rakit dihentikan. Raden Jaka beserta tiga temannya berhenti karena terlalu lelah dan mengantuk, lalu tertidur di atas rakit.
Waktu itu tengah malam Ki Ageng Butuh keluar dari rumahnya terkejut melihat wahyu kerajaan meluncur dari barat daya jatuh di sungai tempat di mana Raden Jaka Tingkir dan teman-temannya tidur. Ki Ageng Butuh mendatangi jatuhnya wahyu kerajaan itu. Sesampainya di sana Ki Ageng tidak sangsi lagi dengan Raden Jaka Tingkir yang tidur di rakit, kejatuhan wahyu kerajaan.
Lalu dibangunkan, “Nak bangunlah jangan selalu tidur saja. Wahyu kerajaan di Demak sudah berpindah tangan kepadamu.” Raden Jaka dan teman-temannya segera bangun. Mereka lalu diajak ke tempat tinggal Ki Ageng Butuh.
Ki Ageng Ngerang juga sudah dimohon datang di situ. Ia lalu memberi pelajaran kepada Raden Jaka, berhubung wahyu kerajaan sudah berpindah ke dirinya, ia yang akan menggantikan Sultan Demak. Jangan sampai terlambat, dimohon kepada Allah agar Sultan rela dan tulus-ikhlas, juga diajari perbuatan yang mulia. Banyak sekali ajaran-ajaran diberikan Ki Ageng berdua kepada Raden Jaka Tingkir.
Raden Jaka sangat berterimakasih, akan melaksanakan ajaran tadi. Raden Jaka Tingkir lalu mohon pamit berangkat beserta temannya dengan naik rakit. Perlahan melaju sampai ke dusun Bulu, tanah Majeneng lalu ke darat. Buaya-buaya dipesan agar kembali ke tempatnya di Kedung Srengenge. Jaka Tingkir dan teman-temannya berjalan di darat. Mulai sejak itu dusun Bulu diganti nama Tindak.
Imajier Nuswantoro