SUNGSANG BAWANA WALIK DALAM CERITA PEWAYANGAN JAWA
(1)
SUNGSANG BAWANA WALIK
Bumi Bagelen desa Kayuwan, di situlah Resi Satwata (Batara Wisnu), menyepi..diam-diam meninggalkan Dewi Sriyuwati istrinya, karena terdorong perasaan bersalah memperistri sang dewi yang sebenarnya dicalonkan sebagai bidadari pendamping Batara Guru.
Sang Resi menjalani tapa rame, yaitu mendarma bhaktikan ilmunya bagi penduduk di sekitarnya, dengan mengkhususkan diri di bidang pengobatan. Sore itu sang resi sedang berbincang-bincang dengan Buyut Gopa cantriknya.
Resi Satwata: Gopa, apakah ramuan obat-obatan yang aku minta kamu siapkan sudah komplit ?
Pastikan jumlahnya cukup, karena dari wangsit yang aku terima, tak lama lagi akan terjadi wabah dan pageblug susul menyusul di kerajaan Gilingwesi...
Buyut Gopa: Sudah lengkap Sang Resi, saya sendiri yang mencari di lereng gunung dan merebus sebagian rempah-rempahnya...mudah-mudahan cukup....Sang Resi, bolehkah saya bertanya...?
Reso Satwata: Silahkan Gopa...
Buyut Gopa: Paduka Resi itu memiliki ilmu pengobatan yang luarbiasa... saya sebagai cantrik sangat berbahagia bisa ngangsu kawruh menjadi murid Sang Resi. Tetapi, paduka sangat sederhana, mengobati orang yang sakit hanya dengan ramuan, kalau ada yang kerasukanpun tanpa rapalan japa mantra yang hebat paduka bisa mengusir setan dengan kelembutan dan doa sewajarnya...mengapa berbeda dengan dukun-dukun yang manteranya hebat-hebat dan ritual pengobatannya aneh-aneh Sang Resi?
Resi Satwata (tersenyum): Gopa...Si pengung nora nglegawa, sangsaya dadra deniro cacariwis, Ngandhar-andhar angendhukur, Kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkanganipun. Kawruhe mung ana wuwus. Wuwuse gumaib gaib,kasliring thithik tan kena. Si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang si pengung.....Ketahuilah Gopa, Si dungu tidak menyadari, bualannya semakin menjadi jadi, ngelantur bicara yang tidak-tidak, bicaranya tidak masuk akal, makin aneh, membual tak ada jedanya. Ilmunya sebatas mulut, kata-katanya di gaib-gaibkan, dibantah sedikit saja tidak mau, membelalak alisnya menjadi satu Lain halnya, Si Pandai cermat dan mengalah, tidak mau membuka aib si bodoh...
Buyut Gopa: Ya..ya...mereka yang ilmunya sebatas mulut, memang hanya mulutnya yang hebat...begitukah sang Resi.
Resi Satwata, Sebagai muridku, tampaknya engkau cukup cerdas menangkap saripati kehidupan. Bukan hanya itu Gopa di dunia ini...ada masalah kecil di besar-besarkan, masalah yang sesungguhnya besar malah di timbun supaya tidak ketahuan....banyak manusia mengenakan topeng, untuk menyembunyikan kepalsuan yang belum ikhlas dilepaskannya....Ah, semoga pengabdianku pelan-pelan bisa menyingkapkan topeng-topeng itu Gopa.
Di sela-sela perbincangan itu datanglah utusan dari Gilingwesi yaitu Begawan Buda dan Begawan Sukra yg meminta bantuan Resi Satwata menafsirkan mimpi Prabu Watugunung. Resi Satwata menugaskan Buyut Gopa mewakilinya ke Gilingwesi.
Setelah berhadapan dengan Prabu Watugunung, Buyut Gopa mencoba menafsirkan mimpi sang Prabu "seekor harimau dimangsa ular sampai tinggal tulang belulangnya. Dari mulut ular itu lalu keluar ulat, tikus, nyamuk, dan kuman." Menurut Buyut Gopa mimpi tersebut bermakna dewata akan mengurangi kasih sayangnya kepada Kerajaan Gilingwesi, dengan ditandai munculnya musibah empat macam, yaitu ulat, tikus, nyamuk, dan kuman tersebut.
Mendengar uraian Buyut Gopa Prabu Watugunung murka, tiba-tiba dihujamkan keris ke dada Buyut Gopa, hingga Buyut Gopa tewas seketika. Begawan Buda ngeri melihatnya dan menasihati sang Prabu jika Empu Gopa dibunuh, lantas siapa nanti yang bisa dimintai bantuan mengatasi musibah tersebut? Amarah Prabu Watugunung berangsur-angsur reda, dan ia pun menyesali perbuatannya tadi.
Setelah pembunuhan Empu Gopa, Kerajaan Gilingwesi dilanda bencana alam bertubi-tubi, mulai dari gempa bumi, hujan deras, petir halilintar, dan banjir bandang yang merobohkan banyak bangunan serta menewaskan banyak penduduk.
Setelah banjir surut, datang ulat-ulat sedemikian banyaknya yang merusak tanaman pertanian, kemudian disusul ribuan tikus yang menyerang bahan makanan penduduk. Setelah itu sekawanan nyamuk yang tak terhitung banyaknya menggigit dan menghisap darah para penduduk dan hewan ternak. Terakhir adalah munculnya kuman-kuman pembawa penyakit yang menyerang kulit para penduduk sehingga banyak di antara mereka yang menderita sakit kudis sangat parah.
Prabu Watugunung sedih menyaksikan penderitaan penduduknya. Berangsur-angsur wibawa Kerajaan Gilingwesi merosot sehingga banyak negeri jajahan yang menolak tunduk kepadanya. Karena pikirannya sudah buntu, Prabu Watugunung pun memutuskan untuk meminta pertolongan kepada Batara Kala yang merupakan penguasa dari segala hewan berbisa demi melenyapkan wabah di negerinya itu.
Disaat prahara melanda negeri Gilingwesi, datanglah Dewi Landep dari Kahyangan Saptapratala, yang mengunjungi putranya Patih Suwelacala (R.Wukir). Prabu Watugunung menyambut kehadiran ibu tirinya itu dan mempersilahkan Dewi Landep melepas kerinduan kepada putranya Patih Suwelacala. Setelah cukup melepas kerinduan pada Patih Suwelacala, Dewi Landep di hantarkan para dayang menuju keputren untuk bermalam.
Di keputren bertemulah Dewi Landep dengan Dewi Sinta (Dewi Basundari) ...mereka terkejut dan tidak menyangka terjadi pertemuan ini. Mereka pun saling berpelukan dengan rasa haru setelah puluhan tahun berpisah. Dewi Landep meminta maaf kepada kakaknya karena telah menjadi madu dan merusak hubungan kakaknya dengan Prabu Palindriya. Dewi Sinta bisa menerima dan mengikhlaskan masa lalunya karena Prabu Palindriya yg menjadi pangkal tolak juga sudah menerima azab dengan kematian yang mengerikan. Saat disinggung mengenai putranya yang saat itu sedang di kandung, Dewi Sinta menangis, dan mengatakan bahwa Jaka Wudug putranya telah hilang sejak berusia 2th.
Dewi Landep sangat terkejut mendengarnya, ia menduga kalau Jaka Wudug tidak lain adalah Prabu Watugunung sendiri.
Dewi Landep pun menceritakan awal mula Prabu Palindriya menerima seorang pemuda bernama Raden Raditya yang ingin mengabdi di Kerajaan Medang Kamulan. Prabu Palindriya berniat menjodohkan Raden Raditya dengan Dewi Sriyuwati. Akan tetapi, tiba-tiba datang Batara Narada mencegah hal itu jangan sampai terjadi, karena Raden Raditya tidak lain adalah putra Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi Basundari. Raden Raditya kemudian diangkat sebagai patih di Medang Kamulan, bergelar Patih Selacala, hingga akhirnya ia berhasil menjadi raja Gilingwesi yang bergelar Prabu Watugunung tersebut.
Bergetar hati Dewi Sinta mendengar kisah ini...sebagai bidadari terasalah sekarang prahara yang terjadi di Gilingwesi, mungkin akibat dosa yang dilakukan oleh Watugunung yang mengawini ibunya sendiri. Tinggal satu cara untuk membuktikan itu.
Malam hari di peraduan, Dewi Sinta meminta Prabu Watugung rebah di pangkuannya, saat mengelus kepala Sang Prabu, tersayatlah hati sang Dewi menemukan pithak bekas luka di kepala sang Prabu...ingatannya menerawang mengenang perbuatannya memukul Jaka Wudug dengan centhong.
Dewi Sinta: Kakaprabu, jujurlah ceritakan...mengapa ada luka di kepala paduka ini...
Prabu Watugunung: Ooh..ini luka akibat dipukul centhong oleh ibuku...dulu aku rewel meminta makan, ibuku seorang bidadari cantik bernama Dewi Basundari...sayang hatinya tidak secantik wajahnya...hanya masalah kecil seperti itu dia tega memukul kepalaku dengan centhong hingga berdarah...hatiku sakit sekali, lebih sakit dari kepalaku...bagaimana mungkin seorang ibu tega menyakiti anaknya yang masih kecil seperti itu...aku lari minggat, dan sampai sekarang tidak pernah bertemu ibuku lagi...
Dewi Sinta (mulai tersedu): Kakaprabu...apakah paduka tidak rindu pada ibu paduka...?
Prabu Watugunung: Rindu? Mengapa harus rindu ? Dia sudah tega melukai aku seperti itu...hhmm...seandainya aku bertemu ibukupun sudah tidak akan ada cinta di hatiku untuknya..bagiku perbuatannya itu tidak layak dilakukan seorang ibu...tidak aku tidak pernah rindu padanya...
Dewi Sinta: Duuuh jagad dewa batara....
Semalam suntuk Dewi Sinta menangis tersedu dan mulai saat itu tidak pernah mau disentuh oleh Prabu Watugunung. Terbuktilah kutukan Dewi Soma telah melengkapi penderitaannya, dunia telah terbalik perasaan aib dan malu yang teramat sangat menghujam kalbunya...dia seorang bidadari cantik tetapi nasibnya sungguh mengenaskan dikawini anaknya sendiri dan memiliki anak dari putranya itu. Dewi Sinta tahu, inilah saatnya dia dan anak-anaknya harus tumpas, pralaya agar tidak mengotori dunia dengan aib mereka...tetapi bagaimana menyampaikan ini pada Prabu Watugunung ?
Karena Dewi Sinta terus menolak disentuhnya, Prabu Watugunung pun marah dan mengancam akan membabi buta membuat sengsara istri-2nya yang lain dan anak-anaknya kalau kehendaknya bermesraan dengan Dewi Sinta tidak dipenuhi. Dewi Sinta sadar, Prabu Watugunung telah menjadi budak syahwatnya sendiri, karena dosa-dosa mereka dan sudah menjadi pengikut Batara Kala, sehingga yang tampak dimata sang Prabu adalah diturutinya kemauannya tanpa peduli istri dan anak-anaknya mau sengsara atau tidak. Akhirnya Dewi Sinta menyampaikan syarat, bersedia melayani Prabu Watugunung kembali, jika diberi madu 7 bidadari Suralaya. Prabu Watugunung menyetujui permintaan ini dan segera menyiapkan balatentaranya menyerbu Kahyangan Suralaya.
Ing sak wijining dina, Batara Indra di Kahyangan Suralaya menerima kunjungan Batara Guru dan Batara Narada dari Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru menjelaskan bahwa Batara Indra tidak mungkin bisa mengalahkan Prabu Watugunung yang dilindungi Batara Kala. Satu-satunya yang bisa mengalahkan raja Gilingwesi itu hanyalah Batara Wisnu yang saat ini sedang menjelma sebagai Resi Satmata. Batara Indra mematuhi nasihat tersebut. Batara Guru lalu meminta Batara Narada untuk mencari dan menjemput Resi Satmata. Batara Narada pun mohon pamit dan berangkat melaksanakan tugas tersebut.
Setelah bertemu dengan Batara Narada, Resi Satwata bersedia membantu Batara Indra mengatasi Prabu Watugunung dengan syarat Batara Guru mengampuni dosanya memperistri Dewi Sriyuwati yang sekarang telah berputra dengannya yaitu Raden Srigati. Batara Narada menyampaikan syarat ini kepada Batara Guru dan diterima asalkan Resi Satwata bisa menyelesaikan persoalan rumit di keluarga Prabu Watugunung.
Maka, terjadilah pertarungan sengit antara Resi Satmata melawan Prabu Watugunung. Keduanya terlihat sama-sama kuat dan sama-sama sakti. Prabu Watugunung yang sudah dirasuki Batara Kala dapat mengubah wujudnya menjadi raksasa sebesar gunung dan mengamuk merusak bangunan Kahyangan Suralaya. Resi Satmata pun mengimbanginya dengan bertriwikrama menjadi raksasa yang lebih besar lagi. Dalam pertempuran tersebut, raksasa penjelmaan Resi Satmata berhasil mengeluarkan Batara Kala dan mengusirnya pergi, sehingga membuat Prabu Watugunung kembali ke wujud semula.
Resi Satmata yang telah kembali ke wujud manusia menantang Prabu Watugunung adu kepandaian daripada bertarung tanpa akhir. Prabu Watugunung diminta mengajukan sebuah teka-teki, dan Resi Satmata siap menjawabnya. Jika teka-teki itu bisa ditebak, maka Prabu Watugunung harus dihukum mati. Tapi jika teka-teki itu tidak dapat ditebak, maka Prabu Watugunung boleh pulang dengan membawa tujuh bidadari unggulan.
Prabu Watugunung menerima tantangan Resi Satmata. Teka-teki itu berbunyi : Supila silapa, supila kupala, kupila supala.
Resi Satmata menjawab bahwa arti dari teka-teki itu adalah : Wit dhakah woh dhakah (pohon besar, buah besar); wit dhakah woh dhikih (pohon besar, buah kecil); dan wit dhikih woh dhakah (pohon kecil, buah besar).
Pohon besar buah besar adalah pohon kelapa, artinya jika Prabu Watugunung tewas, maka anak keturunannya tidak boleh dibunuh dan harus dimuliakan.
Pohon besar buahnya kecil adalah pohon beringin, artinya jika Prabu Watugunung tewas, maka istrinya jangan sampai diganggu.
Pohon kecil buahnya besar adalah pohon semangka, artinya kedudukan para arya yang gugur (adik-adik tiri Watugunung) supaya diwariskan kepada anak-anak mereka.
Prabu Watugunung pasrah setelah mendengar uraian Resi Satwata, apalagi setelah dibuka mata bathinya hingga jelas terbaca uraian nasibnya yang mengawini ibu kandungnya sendiri...
Prabu Watugunung sadar, tidak mungkin dia meneruskan kehidupannya dengan dosa sebesar itu...tetapi karena menjalani dosa itu bukanlah kesengajaannya, dan terjadi akibat ketidak tahuannya, Watugunung bertobat dan meminta kisahnya diabadikan sepanjang zaman dia rela tumpas beserta keluarganya, tetapi masyarakat harus tahu kisahnya agar tidak terjadi hal yang serupa.
Permintaan ini di penuhi oleh Resi Satwata, Watugunung pralaya oleh Cakra Sudarsana...di saksikan oleh Batara Guru dan Batara Narada, seluruh keluarga Watugunungpun di sempurnakan oleh Resi Satwata (Batara Wisnu) dan mereka di abadikan dalam nama-nama Wuku (Pakuwon) yaitu 30 Wuku yang terdiri atas :
Wuku Sinta,
Wuku Landep,
Wuku Wukir,
Wuku Kurantil,
Wuku Tolu,
Wuku Gumbreg,
Wuku Warigalit,
Wuku Warigagung,
Wuku Julungwangi,
Wuku Julungsungsang,
Wuku Galungan,
Wuku Kuningan,
Wuku Langkir,
Wuku Mandasiya,
Wuku Julungpujud,
Wuku Pahang,
Wuku Kuruwelut,
Wuku Marakeh,
Wuku Tambir,
Wuku Medangkungan,
Wuku Maktal,
Wuku Wuye,
Wuku Manahil,
Wuku Prangbakat,
Wuku Bala,
Wuku Wugu,
Wuku Wayang,
Wuku Kulawu,
Wuku Dukut,
Wuku Watugunung.
(2)
SUNGSANG BAWANA WALIK
(CERITA RAMAYANA / RAMA SHINTA)
Arya Subali kera berbulu merah nama lain Guwarsa, kesatria sebelum mandi di Sendang Tirta Mandirda, Kendalisodo bersama adiknya Guwarsi, Arya Sugriwo dan kakaknya Dewi Anjani, berebut Cupu Manik Astagina.
Untuk menebus kesalahannya diberi petunjuk untuk bertapa Ngalong, memperoleh aji Pancasona mampu hidup kembali bila belum rela gugur kecuali karena menebus kesalahan sendiri dan ditangan titisan Wisnu.
Dasamuka,
Dasa = sepuluh dan.
Muka = wajah,
10 kepala dengan wajah raksaksa memiliki sifat, tabiat dan kesaktian masing-masing.
Lambang sifat loba, dosa dan moha manusia yang hidup-mati, hidup kembali merambah dalam hati seseorang ke orang lain tanpa henti.
Melihat kera berbulu merah, Rahwana berniat mempermainkan, mengalahkannya, sangat terkejut ketika kesaktiannya tidak mampu mengalahkan Subali, dengan wajah lain Dasamuka mulai merunduk dan menyerah berbalik bersikap hormat. Subali berbelas kasihan dan mengangkatnya sebagai murid, Dasamuka makin buwas setelah memperoleh kesaktian Subali dan mewarisi aji Pancasona, menantang gurunya berniat menyingkirkannya dan menjadi manusia tak terkalahkan, tidak dapat dimatikan (keangkara-murkaan tidak pernah mati).
Kejahatan berakhir dibawa mati seseorang, muncul kembali kejahatan yang sama bahkan lebih besar oleh mereka yang terlahir kemudian.
Sebagai contoh korupsi yang semula orang per orang berkembang menjadi korupsi bersama-sama untuk memperkecil resiko hukuman (Dum-Dil, didum=bagi adil=sama-sama).
Anoman, kera putih putra Dewi Anjani yang menangis karena berwajah kera, Putriku, benda ajaib ini adalah Cupu Manik Astagina, yang merupakan air kehidupan yang berasal dari permata permata mendung.
Dalam air kehidupan itulah berada jagad raya sebelum dirusak oleh dosa manusia, di dalam air kehidupan itu jiwa-jiwa ilahi hidup dalam keseimbangan serupa keindahan aneka warna.
Itulah sebabnya kau tidak mendengar jeritan manusia atau kicauan burung atau gaung suara serigala yang merindukan sesuatu yang belum dimilikinya.
Romo …, tapi kenapa kami mesti menjadi kera, dimana keadilan di jagad raya ini ?
Anakku, kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia.
Ia paling dekat pada bentuk seorang manusia.
Untuk itulah, ia selalu berprihatin, supaya lekas diangkat kesempurnaanya.
Janganlah kau anggap itu semuanya sebagai ketidak-adilan, tetapi rasakanlah sebagai kerinduan akan kesempurnaan.
Catatan :
(Anak bajangnya mas Sindhu = Romo Sindhunata SJ). Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., atau lebih dikenal dengan nama pena Sindhunata dan juga dikenal dengan panggilan populernya Rama Sindhu adalah seorang imam Katolik, anggota Yesuit, redaktur majalah kebudayaan BASIS. Sejak masa kecilnya hingga tamat SMA ia hidup di kampungnya di kaki Gunung Panderman.
Anoman dikenal sebagai Mayangseta dikisahkan tidak kuasa membunuh Dasamuka, berumur panjang dan tidak bisa mati seakan mengimbangi hidup Dasamuka, bertugas mengawasi Dasamuka yang ditindih gunung bila muncul kepermukaan.
Berbulu putih gambaran kesucian, kebenaran dan memegang teguh keseimbanngan, selalu mendampingi, mengingatkan dan menghindarkan siapapun yang bersifat ksatria, dari sifat angkara-murka akibat terbakar, kesurupan, ketitisan, jelmaan Dasamuka.
Kera adalah titah yang merindukan kesempurnaan manusia.
Wasiat Cupu Manik Astagina (Hasta=8 hal berguna bagi kehidupan (pria) yaitu :
1. Wanita,
2. Garwa,
3. Wisma,
4. Turangga,
5. Curiga,
6. Kukila,
7. Waranggana,
8. Pradangga),
Mengatur keseimbangan rumah tangga, keseimbangan warga manusia, pada puncaknya mengatur keseimbangan negara.
Menguasai Hasta Brata pra-syaratan yang mengikuti sikap setiap pemimpin berbagai jajaran termasuk pimpinan Kotamadya, Kabupaten, Propinsi maupun Negara untuk bersikap Hambeg Adil Paramarta. Berlaku jenjang Pyramida dalam pemerintahan, kekuasaan tertinggi ada di puncak mengalir kebawah, usulan dari bawah merambat keatas. Menjadi aneh bila kekuasaan dinampakkan dari undak piramida apalagi dari kaki piramida, Sungsang (Sungsang Bawsna Balik).
Sungsang, terbalik atau berbalik, menerjang arus, dalam persalinan seorang bayi lahir sungsang, artinya kaki menduhului seharusnya kepala. Dasamuka disebut murid sungsang, artinya sengaja berbalik menundukkan gurunya setelah mewarisi kesaktian dan aji Pancasona dari Subali. Sikap terlarang dalam bab Sembah Lima (Gambuh), antara lain sembah (hormat) kepada Guru.
WASIAT PESAN KGPH MANGKUNEGARA IV (Wulangreh) PUPUH II-l KINANTHI
(01)
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.
(03)
Yen wus tinitah wong agung, ywa sira gumunggung dhiri, aja nyelakaken (mendekatkan) wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak satemah anenulari.
Yen wus tinitah wong agung, tinitah artinya tercipta, terpola, berdarah wong agung, banyak yang menyebut dengan istilah trah. Wacana bobot-bibit bebet dikalangan Wong Jawa ini masih cukup kental, tidak jarang anak-cucunya menduduki jabatan terhormat dalam masyarakat dan hal ini tercapai karena laku tapa, tirakat sesepuhnya yang panjang. Karisma yang diturunkan leluhurnya seakan menarik dirinya kejenjang kepemimpinan, pamong tertentu. Bagi mereka cukup memahami salah satu Hasta Brata (surya, candra, kartika, hima, dahana, maruta, samudra, bantala) peninggalan leluhur akan dirasakan situasi yang mulus, tanpa kesulitan saat mereka menduduki satu tapuk pimpinan.
Sebagai contoh hambeging Surya, memahami sifat Matahari. Terbit dari Timur dan tenggelam di Barat geraknya perlahan namun pasti (sareh ing karsa), seolah tidak berniat mengejar sesuatu dan juga tidak perlu menunggu ‘ikutan’ yang menyertainya, (nora daya-daya kasembadan kang sinedya).
Memberi daya hidup (uriping sagung dumadi), adil memberikan sinar dan panasnya tanpa niat membakar, mengeringkan (soroting Hyang Surya nora daya-daya garing).
Tindakannya mengarahkan, tangguh tanpa putus asa mendampingi siapapun dengan, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, artinya apapun dapat dicapai bila berlandaskan iman, harapan dan kasih. Keutamaan tugas Matahari memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia (sagung dumadi).
Contoh :
Awan = Mega =Mendhung, hambeging Hima, menyelami sifat Mega. Hambeging hima sifat awan.
Awan yang telah menyebabkan terjadinya hujan. Hujan akan membasahi bumi dan menumbuhkan berbagai tanaman. Hujan akan memberikan kehi- dupan baru. Hal ini dapat diambil pelajaran bahwa seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan dan tindak perilakunya harus dapat memberikan kesejahteraan bagi yang dipimpinnya. Kumpulan mega, awan sekilas menghalangi pancaran sinar matahari, di sisi lain memberi keteduhan bagi mereka yang kepanasan. Rasa teduh, sejuk, dibutuhkan setiap orang menghadapi ‘panas’ nya situasi. Meneladan sifat MEGA memberi kesejukan adalah sikap kepemimpinan HASTABRATA. ‘Adil Tumuruning Riris’, terkandung titik-titik air dalam MEGA sewaktu-waktu bisa turun hujan dengan adil dan merata, membuat subur tanah yang gersang. Sifat lain Mega adalah ‘Hanindakake Dana Wesi Asat’; dalam Mega terkandung ion positif dan negatif (Wesi Asat) artinya disaat tertentu benturan antar keduanya menimbulkan petir (guntur wasesa), suara guruh (geludug) peringatan bagi siapapun untuk tetap BECIK (antuk nugraha) jangan berbalik ALA; (bilih lamun ala antuk pidana).
Memahami sifat Samodra, Lautan hambeging Samudrs, artinya luas (jembar) mampu ‘momot myang kamot’, tertampung, termuat apapun yang terhanyut sungai, ALA BECIK semua ditampung dalam samodra; tanpa meninggalkan bekas. Segala macam limbah tidak menjadikan lautan tercemar, sebaliknya meleburnya (tansah paring pangapura, adil paramarta) dan makin memberdaya dirinya. Segala jenis tsunami mampu memporakporandakan daerah memberi suatu tanda (sasmita) perubahan, merubah tingkah laku manusia tak terkendali tanpa kecuali. Rasa asin air samodra mampu memberi kenikmatan rasa, dipercaya GARAM mampu mengusir roh jahat yang merasuki seseorang, selain mampu menggarami dunia, memberi rasa nikmat dalam setiap masakan, tidak hambar. “Kamu (semua dari elemen masyarakat yang Bares sampai yang tidak Bares = jujur) adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?” (Mat. 3:13). Kamu, ‘sira uga satrio aranane, kudu anteng jatmiko ing budi”.
HASTA (Delapan), BRATA (Pengabdian) tiga contoh sifat alam dari 8 brata dimaksudkan untuk jadi bahan ‘introspeksi’ kita semua (kamu) bukan hanya mereka yang ‘kejibah’ (dipercaya) sebagai pemimpin (Garam). Bukan kekuasaan, ‘dumeh kuwasa’ yang dikedepankan seorang pemimpin, melainkan keteladanannya (rasa asin), yang diteladani dari sifat alam semesta. Mereka, alam semesta, bekerja, berjalan dan menjalani tugasnya bukan untuk kepentingan dirinya sendiri melainkan demi kesejateraan umat manusia.
Ana bapang sumimpang, Ana catur mungkur artinya nyingkiri (menghindari-menghindarkan) bahaya, ada issue (catur) jauhkan (tinggalkan, mungkur) lihat dan buktikan kebenaran omongan orang tidak cukup didengarkan (Karna Tandhing).
Salah satu sikap Mendhung sumimpang bila terhadang tingginya gunung, Tumiyang bagi yang kekeringan adalah pilihan wong agung dalam Memayu Hayujing Bawana.
(3)
SUNGSANG BAWONO WALIK
(DALAM CERITA PEWAYANGAN SUMANTRI SUKASRANA)
Dianggap bener tidak selalu karena telah berbuat benar. Dianggep salah juga tidak melulu karena telah bertindak keliru. Selalu berusaha berbuat bener bisa saja ujungnya selalu ora kepeneran. Bener dianggep keliru, luput dianggep bener pun makin jamak terjadi.
Dalam kisah pewayangan, apa yang salah ketika Sukasrana menyusul kakaknya, Sumantri, yang hendak menjadi urban di Kotapraja Maespati? Apa salah si buruk rupa namun berhati berlian itu ketika merasa tak bisa ginggang sarambut pinara sasra dari sang kakak yang tampan rupawan ?
Pastilah, dalam ukuran kewajaran, tidak ada yang salah. Mencintai saudara dengan sepenuh jiwa dan ingin selalu bersama dengannya pastilah sikap mulia. Lebih-lebih ketika menyediakan diri untuk selalu memanggul setiap bot-repot yang dipikul sang kakak.
Namun ukuran kewajaran itu tidak begitu berlaku bagi Sumantri. Ambisi untuk bisa tampil hero seorang diri di hadapan banyak orang, terutama atasan, telah membutakan mata hati untuk melihat setiap kemuliaan yang didermakan dengan tulus oleh Sukasrana.
Sukasrana selalu dianggap sebagai klilip, kalau bukan malah rintangan yang hanya nyandhung-nyrimpeti. Karena itu, setiap sumbang sih-nya akan selalu dipandang ora pener.
Puncaknya ketika Sukasrana menyembul di antara perdu Taman Sriwedari, buah karyanya sendiri. Sumantri merasa penampakan Sukasrana adalah sebuah aib di tengah serbagemerlap kuasa negeri Maespati. Sumantri panik. Sumantri cemas citra sempurna yang telah ia bangun bakal sirna oleh kehadiran Sukasrana si buruk rupa.
Sumantri lupa bahwa adiknyalah yang telah memutar taman itu hingga ia dapat memenuhi titah sang raja. Namun segala jasa Sukasrana terkubur dalam-dalam oleh anggapan yang dibangun di atas ambisi akan kekuasaan yang hendak ia amankan. Sumantri menghunus keris dan mengarahkan ujungnya ke tubuh Sukasrana. Para dalang kerap kali menyebut Sumantri sekadar ngagak-agaki, meden-medeni, menakut-nakuti agar Sukasrana pergi.
Toh, Sukasrana tetap bergeming. Tajamnya keris tak menghalanginya untuk merapat dan dekat dengan sang kakak. Justru pada ujung keris itulah Sukasrana mengabarkan kepada semua bahwa cinta dan keterusterangannya bakal menjelma jadi keabadian.
Dusta Nagagini, Soal kebenaran yang dipersalahkan, kesalahan yang dicarikan pembenaran, kisah Anglingdarma bisa menjadi cerminnya. Tatkala lelana brata masuk di hutan belantara, dia justru mendapati Nagagini, istri Nagaraja sahabatnya, tengah memadu kasih dengan Ula Tampar.
Melihat perselingkuhan itu, dia merasa tak bisa berdiam diri. Dijemparinglah sang pecundang Ula Tampar hingga mengenai bagian buntut. Upaya itu dimaksudkan sebagai usaha untuk mengingatkan Nagagini sekaligus menghukum Ula Tampar yang telah ngrusak pager ayu.
Namun tindakan Anglingdarma bukannya membuat Nagagini sadar, melainkan justru mendorongnya wadul kepada sang suami. Dhandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dhandhang; hitam dikatakan putih, sebaliknya putih dikatakan hitam.
Kepada suaminya, Nagagini berkata bahwa Anglingdarma berniat menjamahnya. Adapun Ula Tapar yang hendak mengingatkan, justru dijemparing oleh Raja Malawapati itu.
Tentu saja sikap Nagagini membuat Anglingdarma berkecil hati. Ia tidak membayangkan jika Nagaraja yang telah direngkuh sebagai kakaknya itu murka, pastilah dia akan lebur tanpa dadi.
Karena itu, di tamansari Malawapati, kepada Setyawati permaisurinya, Anglingdarma bercerita tentang hal yang sebenarnya, sekaligus berpamitan karena marasa tak lama akan menemui ajal. Sementara di luar terdengar suara keras Nagaraja memanggil-manggil agar Anglingdarma segera keluar menemui.
Setelah beberapa saaat, dengan segenap keputusasaan, keluarlah Anglingdarma dari tamansari guna menemui Nagaraja. Namun di luar dugaan, Nagaraja justru menyambut adiknya itu dengan pelukan hangat. Kepada Anglingdarma, Nagaraja malahan menganugerahkan Aji Gineng, yakni ajian yang membuat pemiliknya bisa memahami bahasa segala binatang.
Ternyata sebelum memanggil-manggil, dengan menyamar sebagai ular picis, Nagaraja telah menyadap pembicaraan Anglingdarma dengan Setyawati. Dari situlah ia tahu, apa yang dikatakan oleh istrinya dusta belaka.
Persekongkolan, Pemutarbalikan kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Nagagini, kerapkali tidak hanya dilakukan oleh seorang diri. Ada yang menjadi perancang skenario, ada yang kemudian menjalankannya.
Pada lakon ketoprak Bayi Lair Sajroning Kubur yang dimainkan oleh grup Sapta Mandala Yogyakarta kiranya menandaskan hal itu. Jayengkusuma, putra mending Prabu Ranggajaya dari prameswari yang telah meninggal dan Jayengrasa, putra garwa prameswari sambungan (Asmarawati), terlibat dalam kompetisi untuk memegang tampuk pemerintahan Jenggala. Syaratnya, bisa mempersembahkan Keris Nagarunting Luk Sanga.
Keris itu berada di Pertapan Tegalwening. Jayengrasa terlebih dahulu sampai di situ, bertemu dengan Retnasih, anak pertapa pemilik keris sakti itu. Malahan Jayengrasa jatuh cinta pada Retnasih, namun endang pertapan itu menolak halus.
Selang beberapa saat datanglah Jayengkusuma, bertemu sang pertapa dan mendapatkan Keris Nagarunting serta mempersunting Retnasih. Jayengkusuma pun bertakhta dan menjadikan Retnasih sebagai permaisuri.
Tak lama setelah bertakhta, datanglah pasukan Prabu Gajah Angun-angun yang hendak menaklukkan Jenggala. Prabu Jayengkusuma berangkat ke medan laga dan meninggalkan Retnasih di keraton.
Itulah saat yang ditunggu oleh Asmarawati dan Jayengrasa yang merasa cintanya ditolak oleh Retnasih. Mereka menyiksa Retnasih yang sedang mengandung. Ujung-ujungnya Retnasih meninggal. Jasadnya dikubur di sebuah pemakaman jauh dari keraton.
Ketika Jayengkusuma pulang dari medan laga, tentu saja Asmarawati yang ditopang oleh Patih Basunanda memutarbalikkan fakta yang sebenarnya. Namun dengan kemunculan bayi yang lahir dalam kuburan, akhirnya terkuaklah persekongkolan itu.
Ya, siapa pun meski selalu gandrung pada kebenaran, bisa kena awu anget sebagaimana yang dialami oleh Anglingdarma ataupun Retnasih. Namun dalam sungsang bawana balik kebenaran macam apa pun, tetap saja berlaku hukum becik ketitik ala ketara, sapa salah seleh, dan tekuk runtut janaloka, sapa wani luput bakal ketiban pidana.
(4)
BAGONG NJAMBAL SUNGSANG BAWONO WALIK
(DALAM CERITA PEWAYANGAN BAGONG DADI RATU)
Bagong Dadi Ratu dengan gelar Pathokol Baworsari dan Pandu Pragolamanik.
Bagong berdiri di alun-alun Ngastina. Menunggu sonto Kurawa datang. Dia tidak sabar untuk memamerkan kesaktian barunya.
“Ayo kalian para Kurawa maju bareng. Tidak perlu rakyat berdemo, tak perlu rakyat bikin ontran-ontran, cukup lawan aku saja,” tantang Bagong.
Rasa kejengkelan Bagong sampai ubun-ubun. Sepertinya tak bisa lagi dihentikan.
Apalagi perkara yang dibuat Ratu Ngastina bersama sonto Kurawa sudah tidak bisa ditolerir.
Rakyat dirugikan lahir batin. Mengubah peraturan demi peraturan baru yang menguntungkan penguasa, telah membuat rakyat menderita tujuh turunan.
Kaum buruh, kaum pedagang, kaum petani, kaum nelayan, wong cilik semua dirugikan.
Sebagai wakil rakyat, sonto Kurawa nyatanya hanya menjadi tumbak cucukan. Semua hal diselewengkan demi melenggangkan kekuasaan.
Yang salah dibilang benar, yang benar dibilang salah.
Menurut Bagong, Kurawa hanya membela kaum pendatang (asing) dan konglomerat yang mengeruk kekayaan negara.
Melawan Kurawa memang bukan perkara gampang. Tapi dengan adanya Batara Narada yang manjing di tubuh Bagong, hal itu akan menjadi mudah mengalahkan Kurawa.
Meski Ngastina didukung Prabu Welgeduwelbeh yang memiliki kesaktiannya ngidap-ngidapi, namun Bagong tidak gentar sedikit pun.
“Jangankan Kurawa, Prabu Welgeduwelbeh suruh datang kemari, aku tidak takut!” Tantang Bagong.
Tampak dari kejauhan Begawan Durna dan Patih Sengkuni mempersiapkan prajuritnya. Satu persatu Kurawa maju.
Citraksi yang pertama maju, disusul Citraksa.
Bagi Bagong, ilmu perang keduanya belum seberapa. Dengan satu tendangan kaki melayang, Citraksi dan Citraksa langsung tersungkur.
Darmagati giliran berikutnya. Dengan petentang petenteng, Darmagati menyerang Bagong. Pukulan bertubi-tubi dilesakkan. Namun anak Semar itu dengan cekatan menangkis semua serangan.
Bagong mulai pamer kekuatan. Dia terbang ke angkasa lalu turun melesat ke bumi seraya menghantamkan tubuhnya ke Darmagati. Brukk!
Darmagati tidak dapat menahan serangan tersebut. Terjungkal dia. Bagong lantas menarik kaki Darmagati. Berputar-putar dan melemparkannya ke angkasa. Darmagati terbang dan jatuh di depan Durna.
Sonto Kurawa berikutnya yang maju Kartamarma. Dengan senjata andalannya, dia menyerang Bagong bertubi-tubi. Saat senjata nyaris mengenai kepala, Bagong langsung ambles ke bumi.
Kartamarma celingukan. Ke mana perginya Bagong. Tanpa disadari, Bagong muncul dari belakang Kartamarma. Diraih kepala Kartamarma, dipukul dan dilemparkan sejauh mungkin.
Tubuh Kartamarma berguling-guling hebat. Kekuatan Bagong membuatnya tak sadarkan diri.
Durna dan Sengkuni yang melihat dari kejauhan Kurawa dihajar Bagong menjadi heran.
“Oh, waru gembol…waru gembol…sumo rante…sumo rante…howelo…howelo…dari mana Bagong punya kekuatan ngidap-ngidapi seperti itu,” heran Durna.
Durna lantas memerintahkan semua Kurawa maju serentak. Saat ratusan anak panah dilesakkan ke arah lawannya, Bagong hanya diam seraya memejamkan mata. Bahkan dia tidak berusaha menangkis.
Alhasil, anak panah itu tidak mempan ke tubuh Bagong. Begitu pula senjata yang diarahkan ke Bagong sama sekali tidak menggores kulitnya.
Bagong kebal, Kurawa keder.
Dan ketika Kurawa dibuat keheran-heranan, Bagong lantas membuat suatu gerakan berputar dan diakhir kedua tangannya diangkat ke angkasa. Gerakan Bagong memicu datangnya angin kencang yang menyapu para Kurawa. Semua lawan terlempar. Senjata-senjata terlepas dari tangan Kurawa.
Melihat kekuatan Bagong yang luar biasa itu, sonto Kurawa memilih kabur.
Hanya tinggal Sengkuni dan Durna. Keduanya ragu-ragu untuk maju. Sebab kekuatan Bagong tidak tertandingi dengan senjata apapun.
“Bagaimana Kakang Durna, apa kita masih mau maju?” Tanya Sengkuni.
“Eh, Dik Patih, kalau kita maju malah babak belur. Bagong nggeleleng tenan. Entah dia kasungpan dewa dari mana. Lebih baik kita mundur,” seru Durna.
Sepeninggal Kurawa, Batara Narada keluar dari tubuh Bagong.
“Waru kencong waru doyong, pak pak pong buk bolong, kali code sopo sing gawe, Bagong!” Panggil Narada.
Bagong mengapurancang dan membalas, “Pukulun sudah keluar dari raga saya!”
“Iya Bagong. Urusanku dengan Kurawa sudah selesai. Tapi yang namanya Kurawa pasti tidak akan puas dengan ini. Pasti mereka akan kembali membuat ulah lagi.”
“Kalau begitu Pukulun jangan pergi dulu. Dengan kekuatan dewa, Bagong bisa membunuh sonto Kurawa,” balas Bagong.
“Bukan begitu aturannya Bagong. Kurawa akan mendapat balasannya saat perang Baratayudha. Bukan kamu yang akan membunuh Kurawa, tapi para Pandawa,” dawuh Narada.
“Ampun Pukulun, lalu bagaimana dengan Prabu Welgeduwelbeh. Saya disuruh Sinuwun Dwarawati untuk melawan Welgeduwelbeh. Tapi saya tidak punya kekuatan. Kalau Pukulun masih bersedia manjing ke saya, barangkali saya bisa mengalahkan Welgeduwelbeh!” Pinta Bagong.
“Welgeduwelbeh adalah tugasmu, bukan tugas dewa. Kamu sendiri yang harus menyelesaikannya. Tugas dewa hanya menyelaraskan keadaan. Sekarang keadaan kembali seimbang. Kurawa tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Tapi aku yakin Kurawa akan meminta bantuan Welgeduwelbeh untuk melawanmu. Saat itulah kamu harus siap,” ujar Narada.
“Bagaimana cara saya mengalahkan Welgeduwelbeh. Dia sakti kalintang jayane perang. Para Pandawa saja kalah. Para lancur Pandawa juga kalah. Ratu Dwarawati juga tidak berani,” Bagong meminta petunjuk.
“Itu urusanmu, Bagong. Yang bisa mengalahkan Welgeduwelbeh cuma kamu!”
Bagong heran. Semua orang bilang bahwa yang bisa mengalahkan Welgeduwelbeh hanya dirinya. Padahal dia tidak punya kesaktian.
Sementara Bagong melihat sudah banyak ksatria tangguh kalah melawan Welgeduwelbeh. Bahkan dewa pun tidak berani turun ke jagat melawan Welgeduwelbeh.
“Ada apa dengan semua ini,” Bagong tidak habis pikir.
Seolah bisa membaca pikiran lawan bicaranya, Batara Narada mengatakan bahwa Bagong tidak usah takut melawan Welgeduwelbeh. Sebab saat berhadap-hadapan nanti, kesaktian Welgeduwelbeh akan luncur dengan sendirinya.
“Kamu gak usah takut, Bagong. Kesaktian Welgeduwelbeh akan luntur saat bertemu kamu,” urai Narada.
”Piye toh!” Bagong nyinyir.
Batara Narada tahu siapa sebenarnya Prabu Welgeduwelbeh. Ratu Lojitengara itu adalah jelmaan Petruk. Dia memiliki kesaktian tiada tanding karena menggenggam Jamus Kalimasada. Sehingga siapapun yang melawan pasti akan kalah, bahkan dewa sekalipun.
Namun Welgeduwelbeh tidak akan berani melawan saudaranya sendiri, Bagong dan Gareng. Jangankan melawan, Welgeduwelbeh tidak akan berani menyakiti saudaranya. Dia lebih memilih untuk menghindar dari perang jika berhadapan dengan Bagong maupun Gareng.
Soal itu, Batara Narada tidak mau menjelaskan ke Bagong. Jadi, biarlah Bagong yang nantinya akan menyelesaikan sendiri.
Yang jelas, sepak terjang Welgeduwelbeh harus dihentikan. Semenjak negara dipimpin Welgeduwelbeh, rakyat selalu dibuat menderita.
“Prabu Welgeduwelbeh harus segera dihentikan, Bagong. Entah bagaimana caramu. Jika dia tetap memimpin, alam mayapada tidak akan tenang. Yang terjadi kawula cilik selalu dibuat bimbang,” tandas Batara Narada.
“Bukannya dia mengklaim berasal dari rakyat jelata. Harusnya dia bisa memahami rakyat,” balas Bagong.
“Untuk memahami penderitaan rakyat, seorang ratu tidak harus berasal dari rakyat jelata. Tapi bagaimana ratu itu bisa menempatkan diri sebagai rakyat jelata. Coba lihat, negara yang dipimpin dari rakyat jelata seperti Welgeduwelbeh, hasilnya negeri itu mabot mawut. Rusak semua tatanan. Dia tidak punya pengalaman memimpin negara. Tidak tahu cara memimpin negara. Sekali diberi amanah dibuat tidak amanah. Dia hanya menjadi jongos selamanya meski menduduki singgasana ratu,” jawab Narada.
“Kalau ratunya menjadi jongos, apalagi rakyat. Jadi jongos di negeri sendiri. Ratu seperti Welgeduwelbeh tidak akan bisa memakmurkan rakyat. Bisanya cuma plonga plongo. Akhirnya para cecunguknya dibiarkan bebas bekerja tanpa ada pengawasan. Semua kebijakan cecunguk morat marit. Para cecunguk bebas mengubah peraturan demi menyenangkan diri dan kepentingan-kepentingan asing. Mereka menjadi tumbak cucukan. Main sana, main sini. Serang sana, serang sini. Menciptakan kebohongan demi kebohongan,” tambahnya.
Bagong menyiyakan ucapan Batara Narada. Sebab sebagai pengejawantahan wong cilik, Bagong merasakan hal yang tidak sebagaimana mestinya dengan kepemimpinan Prabu Welgeduwelbeh.
“Memang benar, Pukulun. Saya merasakan sendiri bagaimana kepemimpinan Welgeduwelbeh. Ratu Lojitengara itu tidak bisa mikul dhuwur mendem jero. Ngakunya berasal dari rakyat jelata, tapi tidak bisa mengangkat derajat kawulanya. Rakyat jelata malah diinjak-injak. Bisanya tumbak cucukan. Mengadu domba rakyat,” kata Bagong.
“Kepongahan Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya terihat saat pagebluk. Segala aturan ditabrak. Dirusak. Sungsang bawana balik. Tatanan dunia serba terbalik. Welgeduwelbeh mengajak manusia menerjang arus. Kesimpangsiuran makna, ketidaktepatan cara pandang, kesesatan pikir, kekacauan budaya, ketidakadilan sosial, ekonomi, dan hukum. Semua sungsang. Alih-alih mendatangi orang-orang berilmu, negarawan, guru-guru bangsa, Prabu Welgeduwelbeh malah mendatangkan pelawak untuk menghiburnya di istana,” Bagong njambal.
“Yang namanya kekacauan dunia dipupuk dengan cara keji. Ketidakadilan, ketidakpatutan, ketidaksesuaian dipertontonkan. Akibat ulah Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya, kekacauan yang dilakukan Welgeduwelbeh dan cecunguk-cecunguknya agar manusia menjadi menjadi jahat. Agar jiwa kamanungsan hilang sehingga muncul kekuasaan tunggal. Di situlah akhir zaman semakin dekat,” tutur Bagong.
Batara Narada memandang Bagong. Manggut-manggut. Lalu tubuhnya menjadi ringin. Terangkat pelan-pelan ke angkasa.
“Bagong, kamu sudah tahu siapa Welgeduwelbeh. Karena itu dia harus disingkirkan. Aku kembali ke suralaya!” Seru Narada.
“Sendiko dawuh, Pukulun!” Bagong mengapurancang.