Serat Sastra GendHing
Serat Sastra Gendhing diciptakan oleh Kanjeng Sultan
Agung. Beliau adalah Raja Mataram yang termasyur sebagai negarawan dan
budayawan. Dalam lintasan sejarah beliau tercatat sebagai narendra gung
binathara, mbau dhendha nyakrawati, ambeg adil paramarta, mamayu hayuning
bawana. Sebuah ungkapan yang menunjukkan pemimpin besar penuh wibawa, memegang
keadilan, menjunjung hokum dan senantiasa menjaga keserasan dunia. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung terjadi alkulturasi budaya yang meliputi Hindu,
budha, Islam dan Jawa. Semua aliran dan paham dapat berjalan sesuai harapan,
sehingga terjalin sebuah tatanan yang harmonis. Masyarakat Indonesia yang
majemuk perlu disikapi dengan penuh kebijakan.
Baragam tradisi adat istiadat, sastra, bahasa, seni dan
budaya merupakan kekayaan bangsa yang perlu dilestarikan :
Serat Sastra Gendhing, Ajaran
Sultan Agung
Sayektine jagad ta dumadi, sabab kadim kadhihinan anyar,
kasungsang nyimpang dadine.
(Tentu dunia tidak akan tercipta, apabila yang fana
mendahului yang abadi, logikanya terjungkir balik)
Eling-eling kang samya mangudi nalar, away kongsi nemahi,
kadrojoging tekad, lah pada den prayitna, sayekti ambebayani, luwih agawat,
watgating trang ing urip.
(Perlu diingat oleh orang yang melatih pikiran, jangan
sampai terjadi hasrat tanpa kendali, haruslah itu diperhatikan, karena sangat
berbahaya, menghancurkan kehidupan)
Lawan aja padha padudon ing karsa, iki siriking ngelmi,
yen during kaduga, luwung mendel kewala, anging kasilna kang titi, marang
ngulama, myang para sujaning budi.
(Dan jangan suka bertengkar pendapat, itu larangan dalam
mencari ilmu, bila belum mumpuni, lebih baik menahan diri, dan belajarlah
dengan tekun, kepada para ulama, para ahli kesempurnaan jiwa)
Iku wong tuna ing budi, tan nana gelem kasoran, yekti
kakandhangan kibir, rebut luhuring kagunan, dadi luput sakarone.
(Itulah orang yang berakal dangkal, selalu tak ingin
direndahkan, selalu berlagak sombong, pamer kemuliaan dan kepandaian, hingga
kehilangan dua-duanya)
Serat Centhini
Ana tangis layu-layu, tangise wong wedi mati, tangise
alara-lara, maras atine yen mati, gedhongana kuncenana, yen pesthi tan wurung
mati.
(Ada tangis dalam kematian, tangisnya orang yang takut
mati, tangisnya sangat pedih, tak rela hati jika mati, sembunyikanlah atau kuncilah,
jika sudah takdir akhirnya tetap mati)
Suluk Syeh Malaya, Sunan
Kalijaga
Aywa lunga yen tan weruha ingkang pinara ing purug, lawan
sira aywa nadhah yen tan wyuha rasanipun.
(Jangan pernah melangkah tanpa tahu tujuannya, jangan
pernah menyembah jika tak tahu tujuan hakikatnya)
Suluk Sujinah
Yayi perang sabil punika, nora lawan si kopar lawan si
kapir, sajroning dhadha punika, ana prang bratayudha, langkung rame aganti
pupuh-pinupuh, iya lawan dhewekira, iku latining prang sabil.
(Dinda, perang sabil itu bukan melawan kafir saja, di
dalam dada itu ada perang baratayuda, ramai sekali saling pukul-memukul yaitu
perang melawan dirinya nafsu, itulah sesungguhnya perang sabil)
Wirid Wolung Pangkat
Sajatine Ingsun anata palenggahan parameyaning-Sun
dumunung ana ing sirahing manungsa, kang ana sajroning sirah iku utek, kang
gegandhengan ana ing antarane utek iku manik, sajroning manik iku cipta,
sajroning cipta iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma,
sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun.
(Sesungguhnya Aku telah mengatur tempat keramaian-Ku
berada di dalam kepalanya manusia, yang ada di dalam kepala itu otak, yang
berkaitan antara otak itu manik, di dalam manik itu akal, di dalam akal itu
budi, di dalam budi itu nafsu, di dalam nafsu itu suksma, di dalam suksma itu
rahsa, di dalam rahsa itu Aku. Tidak ada Pangeran kecuali Aku. Sejatinya Hidup
yang meliputi seluruh swasana)
Suluk Walisanga
Ya janma kang hakiki, wujud kak kiyanmil kodrat, jumeneng
anane dhewe, Suksma manuks-meng kawula, kawula nuks-meng Suksma, napas sirna
marang suwung, badan lebur wor bantala.
(Manusia yang hakiki, berwujud hak yang memiliki
kekuasaan ada dengan sendirinya, Suksma masuk ke dalam hamba, hamba masuk ke
dalam Suksma, napas hilang masuk ke dalam kekosongan, badan hancur bercampur
tanah)
Serat Sabdatama, R. Ng.
Ranggawarsito
Ngajapa tyas rahayu, ngayomana sasameng tumuwuh, wahanane
ngendhak angkara kalindhih, ngendhangken pakarti dudu, dinuwa tibeng doh.”
(Kejarlah tekad selamat, lindungi sesama umat, dengan
jalan mengalahkan angkara, membuang perilaku buruk hingga sejauh-jauhnya)
Ajaran Tasawuf dalam Serat
Sastra Gendhing Sultan Agung
Sultan Agung adalah Raja Mataram Islam yang paling
dikenal masyarakat Nusantara. Ia juga mendapatkan gelar seperti Panembahan
Hanyakrakusuma dan Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung dilahirkan pada
1593 dan duduk menjadi Raja kerjaan Mataram pada 1613-1646. Sultan Agung putra
dari Panembahan Hanyokrowati atau anak kedua dari cucu Panembahan Senopati (
Pendiri Kerajaan Mataram dan sekaligus Raja pertama Mataram). Di bawah tangan
kekuasaan Sultan Agung, Mataram Islam menjadi kerajaan yang besar di Jawa.
Mataram Islam yang menjadi pusat kerajaan Jawa pada abad
ke-16 yang di dalamnya terdapat banyak tradisi Islam dan Jawa. Agama seringkali
dipandang sebagai sumber nilai, karena berbicara baik dan buruk, benar dan
salah. Demikian pula agama Islam memuat ajaran yang penuh dengan nilai-nilai
yang berbicara tentang kebaikan. Jika dilihat dari asal datangnya nilai-nilai
dalam perspektif Islam terdapat dua sumber nilai, yakni Tuhan dan Manusia.
Nilai yang datang dari Tuhan adalah ajaran-ajaran tentang
kebaikan yang terdapat dalam kitab suci. Nilai yang merupakan firman Tuhan
bersifat mutlak, tetapi di dalamnya terdapat bentuk ajaran perilaku yang
merupakan penafsiran terhadap firman Allah SWT dan bersifat relatif. Sehingga
butuh penafsiran kembali dalam setiap zaman. Demikian juga dengan nilai
kemanusiaan. Nilai-nilia kemanusian yang seperti akhlak dan etika. Nilai
kemanusiaan yang menjadi pijakan penting dalam membangun peradaban masyarakat
yang harmonis dan sejahtera.
Pentingnya dalam membangun peradaban yang harmonis dan tidak meninggalkan ajaran-ajaran Islam. Sehingga Sultan Agung berinisiatif untuk membuat suatu serat yang bersifat religi dan mempunyai unsur-unsur lokal, seperti Serat Sastra Gendhing . Serat yang bersisi tentang nilai-nilai keislaman yang ditulis dalam bahasa Jawa. Meskipun serat tersebut mengandung nilai-nilai keislaman, namun Sultan Agung menulisannya dalam bentuk bahasa Jawa. Penulisan ini bertujuan untuk mempermudah masyarakat untuk dapat dibaca dan dipelajari.
Munculnya Sastra Gendhing sebagai respons dari polemik
wacana sastra yang tidak berlandaskan pendidikan Islam. Muncul beberapa karya
khasanah sastra dan berlandaskan religiusitas di antaranya Sastra Gendhing.
Sastra Gendhing diakui buah pikiran Sultan Agung berisi
tentang berbagai ajaran yaitu ajaran moral, religius, seni, filsafat, dan
mistik. Karya mistik Sastra Gendhing mengajarkan keselarasan lahir batin dan
awal akhir.
Serat Sastra Gendhing ditulis oleh Sultan Agung bertujuan
untuk mengingatkan manusia. Supaya Manusia selalu ingat bahwa hidup ada
keterkaitanya antara manusia dan Tuhan. Hal demikian tercermin dalam diri
Sultan Agung sebagai raja. Dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan raja yang
besar tetap harus diimbangi dengan kewajiban, ber budi bawa leksana, ambeg adil
para marta , yaitu meluap budi luhur mulia dan sifat adil terhadap semua.
Cerminan diri sosok Sultan Agung lalu ditulis dalam bentuk teks Sastra
Gendhing.
Nilai religi dengan corak lokalitas dalam Gendhing
menjadikan sastra ini banyak disukai oleh masyarakat Jawa. Unsur religi dalam
sastra Jawa ditempatkan jelas sekali di bagian awal atau akhir dalam naskah,
dinyatakan dengan kalimat untuk mendapatkan penganyoman dari Tuhan semesta
alam, seperti yang tercantum pada Serat Sastra Gendhing pupuh Sinom bait 10
baris 1-5.
Kalengkanireng swarendah (Terangkai dalam keindahan
suara)
Sarancak pinitheng esti (Tertata rapi dan berirama Irama)
Ngesihi tableh ing panunggal (Irama yang memiliki tujuan)
Tuduh pamadyaning (Memberi petunjuk kepada umat manusia)
dasih Mring Hyang kang maha sugih (Mengenai Tuhan yang
maha kaya)
Penggalan teks Sastra Gendhing di atas menunjukkan begitu
besar nilai-nilai Islam dengan bahasa Jawa sebagai bukti kesuksesan dalam
alkulturasi budaya dan agama di tanah Jawa.
Perpaduan antara unsur religi dan budaya menjadikan
Sultan Agung sebagai guru dan pemimpin yang disegani oleh masyarakat.
Kewibawaan dalam memimpin dan menjadi tokoh agama, membuat membuat masyarakat
merasakan kenyamanan dan ketentraman. Banyak ajaran-ajaran yang Sultan Agung
lakukan dalam membimbing masyarakat seperti budaya, agama, tradisi hingga
pengenalan terhadap teks-teks Sastra Gendhing.
Sultan Agung tentu ketika mengarang teks Sastra Gendhing tersebut tidak terlepas dari Al Quran, hadis serta ajaran Sunan Kalijaga.
Perpaduan anatara Alquran, hadis, dan ajaran Sunan
Kalijaga menginisiatif Sultan Agung untuk membuat sebuah teks Sastra Gendhing
yang di dalamnya terdapat nilai-nilai tasawuf yang sangat dalam. Nilai-nilai
tasawuf tersebutlah yang Sultan Agung ajarkan kepada masyarakat yang bertujuan
untuk menyalurkan ajaran Islam kedalam sendi-sendi lokalitas budaya masyarakat
Jawa.
Filosofi Sastra Gendhing dan
Hanacaraka
Raden Mas Rangsang atau yang lebih dikenal dengan nama
Sultan Agung merupakan raja terbesar Mataram yang bergelar Panembahan
Hanyakrakusuma, Prabu Pandhita Hanyakrakusuma, atau Susuhunan Agung
Hanyakrakusuma. Sesudah tahun 1640, Sultan Agung menggunakan nama gelar Sultan
Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman. Kemudian pada tahun 1641, Sultan Agung
mendapatkan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram dari pemimpin Ka'bah
di Mekkah.
Sultan Agung telah menaruh perhatian besar terhadap
kebudayaan di Mataram. Melalui Sultan Agung, kalender Hijriyah yang digunakan
di pesisir utara dipadukan dengan kalender Saka yang masih digunakan di
pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya kalender Jawa Islam sebagai upaya
pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu, Sultan Agung dikenal sebagai sastrawan.
Berkat kepiawaiannya di bidang kesastraan, Sultan Agung menggubah Serat Sastra
Gendhing. Sebuah karya sastra yang sarat dengan ajaran-ajaran kearifan Jawa.
Kandungan Serat Sastra Gendhing
Naskah asli Serat Sastra Gendhing gubahan Sultan Agung
yang tediri dari Pupuh Sinom (14 pada), Pupuh Asmaradana (11 pada), Pupuh
Dandanggula (17 pada), dan Pupuh Durma (20 pada) membahas mengenai filosofi
hubungan sastra dan gendhing.
Berikut cuplikan dan
kutipan bagian Serat Sastra Gendhing yang menyoal tentang filosofi
Aksara Jawa :
Pemusatan diri pada Hyang.
Petunjuknya berupa sastra dan bunyi gendhing.
Jika telah disepakati.
Meskipun aksara jiwa tidak meninggalkan bunyi gendhing
asalnya.
Bunyi gendhing sejak zaman purbakala.
Seperti yang telah diucapkan terdahulu.
Seperti halnya sastra yang duapuluh sebagai pemula untuk.
Mencapai kebenaran.
Yang merupakan petunjuk akan makna puji.
Serta puji kepada segala sumber yang tumbuh.
Memberikan ajaran akadiyat berupa ha-na-ca-ra-ka yaitu petunjuknya.
Sedang da-ta-sa-wa-la adalah berarti kepada Tuhan yang
dipuji.
Wadat jati yang dirasakan berupa pa-dha-ja-ya-nya adalah
yang menyaksikan bahwa yang memberi dan yang diberi petunjuk adalah sama
teguhnya.
Tujuannya mendukung dan akhadiyat.
Sedang: ma-ga-ba-tha-nga berarti sudah menjadi sir
sejati.
Tanda Manikmaya sudah menjadi pengetahuan akan tujuan
yang sesungguhnya.
Itulah akhir dari pada petunjuk.
Manikmaya adalah tiada.
Yakni bersatunya hati dengan alam arwah.
Itulah saat mulanya ada akal.
Akhir dari Hyang Maha Manik.
Kegaiban dari awal Hyang Manikmaya tak dapat diramu atau
diungkap dengan tulisan.
Tiada awal dan tiada tempat.
Tiada arah dan tiada akhir.
Sembahnya melebur ke dalam rasa penglihatan.
Tajam bagai pucuk manikam.
Jernih tembus tak bertepi.
Itulah pusat penglihatan.
Makna daripada duapuluh aksara.
Dan mengajarkan sifat duapuluh.
Sifat keadaan dzat.
Ketika akal belum terurai dalam kata-kata yang menyatakan
akal.
Manikmaya itulah ilmu.
Ajaran Kearifan di Dalam Serat
Sastra Gendhing
Serat Sastra Gendhing merupakan nilai-nilai ajaran
kearifan yang disampaikan oleh Sultan Agung. Ajaran-ajaran mengenai hubungan
kosmis, yakni antara manusia dengan Tuhan. Berikut adalah ajaran kearifan dalam
Serat Sastra Gendhing:
Menyatukan sastra dan bunyi
gendhing
Sastra merupakan suatu keindahan yang dapat ditangkap
secara kasat mata karena digubah secara tekstual. Dengan demikian, sastra
memiliki makna simbolis sebagai manusia. Makhluk Tuhan yang kasat mata dan
memiliki keindahan sebagaimana sastra. Sementara bunyi gending merupakan suatu
keindahan yang dapat ditangkap hanya dengan melalui hati. Karenanya, bunyi
gendhing disimbolkan sebagai Tuhan yang tidak dapat dilihat dzat-Nya, namun
keberadaan-Nya dapat dirasakan dengan hati paling dalam.
Tampak secara sekilas, sastra dan bunyi gendhing tepisah.
Namun keduanya akan mencapai puncak keindahan, bila dipadukan. Sehingga sastra
(manusia) merasuk ke dalam bunyi gendhing (Tuhan), dan bunyi gendhing merasuk
ke dalam sastra. Dengan demikian, terciptalah hubungan kosmis antara manusia
dengan Tuhan. Aku sajroning Ingsung, Ingsun sajroning aku yang disimbolisasikan
dengan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga.
Aksara Jawa mengajarkan hubungan
kosmis
Hanacaraka yang merupakan lima aksara Jawa pertama
tersebut memiliki makna 'ada seorang utusan' (manusia). Dengan demikian,
manusia ditangkap sebagai khalifah (utusan Tuhan) dan sekaligus sebagai pemberi
pujian kepada segala sumber yang tumbuh dari Tuhan. Dzat yang berhak menerima
pujian (datasawala).
Hubungan antara manusia atau sang pemberi pujian
(hanacaraka) dan Tuhan atau penerima pujian (datasawala) bila telah mencapai
kualitasnya maka akan tercipta padhajayanya. Artinya antara pemberi pujian dan
yang dipuji sama-sama teguhnya. Dengan demikian, pujian tersebut bukan sekadar
pelafalan yang berhenti di ujung lidah namun mampu merembes ke dasar hati
hingga menjadi sir yang sejati (magabathanga).
Manikmaya, pencapaian manusia
tertinggi
Di lingkungan kaum spiritual Jawa, Manikmaya sering
dimaknai dengan awang-uwung. Alam paripurna yang dilambangkan dengan angka 0
(nol). Sekalipun demikian, alam paripurna tidak berarti kosong. Melainkan ada
yang tiada atau tiada yang ada.
Bagi manusia yang dapat mencapai tataran Manikmaya (Sang
Hyang Manikmaya) bisa dikatakan sebagai manusia sempurna. Manusia yang dapat
bersatu dengan Tuhannya. Sebagaimana sastra yang telah berhasil menyatu dengan
bunyi gendhingnya. Sebagaimana aksara Jawa yang telah mencapai pada tataran
terpuncak yakni magabathanga. Keheningan abadi.
SERAT SASTRA GENDING
Karya : Sultan Agung Hanyokro Kusumo
S I N O M
1.
Yeku tan sanepanya
Wimbaning sasmita murti
Kang rineggang gita
Amemalat driya
Perumpamaan tentang
Lahirnya pertanda makna
Yang terangkai dalam lagu
Yang mengalun syahdu.
2.
Yeku wirayatura
Jeng Sultan Agung Matawin
Kang mufakat sinaksennan
Dening para sarjanadi
Kang tuhu anetepi
Ing reh plambanging ngayun.
Yaitu ajaran
Sang Sultan Agung dari Mataram
Yang telah disepakati
Oleh para sarjana besar
Yang benar-benar memahami
Isyarat lambang pemakaman.
3.
Kadereng amengeti
Wirayat dalem Sang Prabu
Eleh keinginan mengabdikan
Ajaran Sang Raja
6.
Yekti tan ingaken darah
Ten tan wignya tembang kawi
Jer kamot sandining sastra
Titiga logating tulis
Kang dingin basa kawi
Tata-trapsilaning wuwus
Kang tumprap niti-praja
Kasusilan trusing ngelmi.
Tidak akan diakui famili
Bila tidak menguasai tembang kawi
Karena pada nya termuat rahasia sastra
Dan ilmu ketrampilan tulis
Yang diutamakan dalam bahasa kawi
Tata cara seni berbicara
Yang berlaku bagi para bangsawan
Adab keutamaan orang berilmu.
8.
Pring tri sandining sasmita
Karep lepasing samadi
Ngesti tablehing panunggal
Nglinang sukma sarira-nir
Purna wus anglir jati
Marma sagung trah-Mataram
Den putus olah raras
Sasmita sandining kawi
Yekti angger satria
Ngolah sastra.
Ketika rahasia tanda-tanda
Puncak pencapaian semadi
Meraih kesatuan
Melebur sukma menghilangkan-diri
Memasuki hakikat kesejatian
Maka segenap trah-Mataram
Hendaknya sempurna melatih-rasa
Rahasia dalam sastra
Kerena setiap satria sejati
Adalah ahli-sastra.
11.
Kalengkanireng swarendah
Arancak pinetu ngesti
Ngesti rajaseng wirama
Tuduh pamadyaning dasih
Mring Hyang kang sugih.
Terangkai dalam keindahan suara
Tertata rapi dan berirama
Irama yang memiliki tujuan
Memberi petunjuk umat manusia
Mengenai Tuhan yang maha kaya.
12.
…. Pramila gending yen bubrah
Gugur sembahe mring Widdhi
Batal wisesaning salat
Tanpa gawe ulah gending
Dene ngaran ulah gending
Tukireng swara linuhung
Amuji asmaning Dat
Swara saking osik wadi
Osik mulya wataring cipta surasa.
….Maka gending apabila rusak
Rusak pula peribadan kepada Tuhan
Batal kehidmatan sembahyang
Tanpa guna melakukan gending
Adapun tembang gending itu
Melalui irama yang agung
Memuji asma Dzat
Irama dari kedalam rahasia
Kedalam mengendap dalam sukma.
13.
Surasane ngesti kayat
Kayat ingkang baka kadim.
Makna mengayuh kehiduban
Hidup yang hakiki-abadi.
14.
Jer wajib udering gesan
Ngawruhi titining ilmi
Kewajiban manusia hidup
Mengetahui hakekat hidup
ASMARADANA
1.
Gang brangta mangusweng gending
Kang satengah perebutan
Kang ahli gending padudon
Lawan ingkang ahli sastra
Arebut kaluhuran
Iku wong tuna ing ngilmi
Tan ana gelem kasoran.
Hasrat memainkan gending
Seperti sebuah pertarungan
Para ahli gending bertengkar
Dengan ahli sastra
Saling mengunggulkan diri
Itu pertanda mereka masih bodoh
Merasa takut ternistakan.
2.
Sejatinya wong ngagesang
Apa ingkang binasan
Iku kang kinarya luhur
………….
Yekti kekandangan kibir
Rebut luhuring kagunan
Dadi luput sakarone.
Sesungguhnya manusia hidup itu
Apa yang dilakukan
Itulah yang akan memuliakan derajadnya.
……….
Selalu berlagak sombong
Pamer kemulian dan kepandaian
Malah kehilangan dua-duanya.
3.
Kang ngani gending luhurnya
Pinet saking hakekat
Ingakal witing tumuwuh
Ananing Hyang saking akal
Takokna kang wus ngualam
Mereka katan nilai gending
Tumbuh dari hakekatnya
Wujudnya tumbuh seperti biji
Wujud yang melahirkan keilahian
Tanyakanlah orang yang berilmu.
4.
Wite osikireng ngilmi
Gending ngakal ingkang marna
…………
Uga nrus swara kang lihung
Lafai Allah kang toyibah.
Pangkal tumbuhnya pengetahuan
Berkembang menjadi gending-wujud
………….
Juga melahirkan nada yang agung
Lafal Allah yang mulia.
5.
Mangreh nrus swareng dumadi
Myang nyamlenging wirama
Tuduh ing katunggalane
De sastra ingaran andap
Reh kawengku ing akal
Lan kawayang warnanipun
Sastra kan gumlar ing papan
Suara kemanusian yang menembus
Kedalam nikmatnya irama
Menunjuk kepada keesaan-Nya.
Adapun sastra disebut rendah
Karena ditopang gending
Dan tergambar wujudnya
Sastra yang terhampar di kenyataan.
6.
Pada lahir pan wus kari
Gamelan tan dadi banda
Kamot ing praja karyane.
Dene wong kang ahli sastra
Ingaran luhur sastrane
Layak yen mangsi lan kertas
Pantes yen luhur ngakal
Nging sastra suraosipun
Luhur sajatining sastra.
Dalam penampakan hanya tinggal
Gamelan yang tidak lagi berharga
Tercakup dalam kayaannya.
Orang yang ahli sastra
Disebut luhur sastranya
Hinggsepantasnya tinta dan kertas
Pantas bila unggul gending
Karena makna sastra adalah
Keluhuran pada hakekatnya.
7.
…………………….
Sastra praboting negara
Lumaku saben dina
Myang nigas pradata kukum
Sanadyan ta kanti ngakal
Sastra sebagai perangkat negara
Yang berlaku setiap hari
Bahkan menghukum para terpidana
Meskipun harus dengan akal
8.
Dudu ngakal trusing gending
Ngakal lungiting susatra
Ngakal ing gending jatine
Babaring jatining sastra
Kawitane aksara
Sawiji, Alif kang tuduh
Mengku gaibul uwiyah.
Bukan pemahaman tentang gending
Pemahaman rahasia sastra
Sejatinya pemahaman gending
Penjelasan tentang hakikat sastra
Tentang asal mula huruf-huruf
Satu, alif yang menjadi petunjuk
Memuat substansi kegaiban.
9.
Dzat mutlak dipun wastani
Myang la-takyun ingaranan
Durung kahan salire
Maksih wang wung kewala
Iku jatining santra
Ananing gending satuhu
Dupi alif wus kanyatan.
Dzat Maha Mutlak yang disebut
Dengan la-ta’yun yaitu
Ketika belum ada apapun
Masih kosong semata
Itulah hakikat ilmu satra
Dan keberadaan gending sebenarnya
Merupakan perwujudan dari sang alif.
Hubungan antara
Dzat – Sifat
11.
Dzat lan sifat upami
Sayekti dingin datira
Dupi wus ana sipate
Mulajamah aranira
Awal lan akhirira
Kang sipat tansah kawengku
Marang Dzat kajatinira.
Dzat dan sifat selalu
Lebih dulu dzatnya
Ketika sudah ada sifat
Yang disebut Mulajamah
Yang awal dan yang akhir
Sifat selalu termuat
Dalam hakikat Dzat.
Hubungan antara :
Rasa – Pangrasa
Cipta – Ripta
Yang disembah – Yang menyembah
11.
Rasa pangrasa upami
Yekti dingin rasanira
Pangrasa kari anane
Kang cipta – kalawan ripta
Sayekti dingin cipta
Kang ripta pan gendingpun
Kang nembah lan kang disembah.
Hati dan pikiran ibaratnya
Lebih unggul pikiran pasti
Dari keberadaan pikiran
Sedang kreasi – dan perangkaian
Tentulebih utama kreasi
Dari ranmgkaian tembang
Seperti yang menyembah dan
Yang disembah.
Hubungan antara :
Kodrat – Iradat
13.
Yekti dihin kang pinuji
Kahanane kang anembah
Saking kodrating Hyang Manon
Apan kinarya lantaransejatining panembah
Wisesaning Dzat mrih ayu
Amuji ing dewekira
Tentu lebih dulu yang disembah
Dari pada yang menyembah
Dari hakikat Hyang agung
Berguna bagi sarana
Hakikat penyembahan
Kepada Dzat untuk keselamatan
Memuja kepadanya.
14.
Upamine wong nggarbini
Lare sajroning wetengan
Yen durung prapting lahire
Maksih gaib sadaya.
Ibarat orang mengandung
Bayi yang ada dalam kandungan
Senyampang belum lahir
Masih belum diketahui halnya.
DANDANGGULA
1.
…………
Dupi lair sing gaib
Kanyatan ananipun
Kapya sangkep ran
akyan-sabit
Jali estri wus nyata
Pareng gending-barung
Kang lailaha ilallah
Suwara trus kawentar jati
Ning Alip
…………..
Ketika kegaibannya terungkap
Perwujudan realitas
Hakikat dinamakan a’yanu tyabithah
Yang pria dan wanita telah terbukti
Berpadu dalam kesatuan nada
Berupa la ilaha ilallah
Irama terus mengalun kesejatian
Sang Alif.
2.
Gendingira mobah lawan nangis
Dupi ageng akalnya binabar
Kewajiban sakalira
Penggawe kang mrih hayu
Rahayune pratameng urip
Urip prapteng antakateka
Tekaping aluhur
Kaluhuraning kasidan
Tan lyan saking sarengat
Pratameng bumi
Tumimbang gumlaring jagad.
Gendingnya mengalun dalam tangis
Oleh kehebatan makna yang terhampar.
Perbuatan yang membawa keselamatan
Keselamatan dan keutamaan hidup
Hidup hingga akhir tujuan
Dalam segala keluhuran
Yaitu kemulian kematian
Tidak lain adalah syariat
Kesempurnaan dunia
Yang seharga dunia seisinya.
3.
…………
Janma ingkang ngluhurken gending
Pangestining jro tekad
Cangkring tuwuh blendung
Tegese anak lan bapa
Dihin anak bapa ginawe ing siwi
Lamun ta nyimpang dadine.
………….
Manusia yang menghormati gending
Keinginan dalam hatinya
Ibarat cangkring tumbuh jadi blendung
Yaitu antara anak dan bapak
Meskipun anak dididik oleh bapak
Bisa juga menjadi berbeda.
4.
Tuhu gumlaring jagad
Sayektine tan dumadi
Sebab kadim kaduhinan anyar
Kasungsang nyingpang dadine
Sungguh terhamparnya semesta
Tentu dunia tidak akan terbentuk
Bila yang fana mendahului yang abadi
Logika yang terjungkir-balik.
5.
De sastra alif jatine
Kadya gigiring punglu
Tanpa pucuk, tan ngarsa wuri
Tan gatra tan satmata
Tan arah nggon dunung
Nora akhir nora awal
Mratandi kinen muji
Kang akarya.
Adapun sastra sejatinya adalah alif
Seperti wujud bulatan
Tanpa ujung tanpa pangkal
Tanpa bentuk tanpa penampakan
Tanpa tempat dalam ruangan
Tanpa akhir dan bermula.
Menjadi isyarat untuk memuja
Sang penciptanya.
7.
…………
Lamun maksih kaubang langit
Kasangga ing bantala
Mijil saking babu
Dadi saking ibu bapa
Yekti tetep luhur sajatining Alip
Lawan jatining ngakal.
………….
Selama masih berpayung langit
Berpijak dipunggung bumi
Meski lahir dari searang babu
Siapa pun bapak ibunya
Hakikat Alif-nya tetap mulia
Semulia hakekat wujudnya.
Hubungan antara :
Yang Kadim – yang baru
Sastra – Gending
Dzat – Sifat
Yang disembah – Yang menyembah
Rasa Pangrasa
8.
Umpamane jalu lawan isttri
Jen saresmi jroning rokhmat pada
Pranyata iku tandane
Tuhu suhuning kawruh
Ing pamoring anyar lan kadim
Dat lawan sipatira
Sastra – Gendingipun
Kang Rasa lawan Pangarasa
Estri Pria pamornya kapurba wening
Atetep tinetep.
Seperti suami-istri
Bila bersetubuh dalam kebenaran
Merupakan perumpamaan
Bagi pengetahuan sejati
Meleburnya yang fana dan baka
Antara Dzat dan Sifat
Antara sastra dan gending
Antara hati dan pikiran
Rahasia Pria-wanita yang terangkum
Menyatu dalam kesatuan.
Hubungan antara :
Yang bercermin (Subjek) –
Bayangannya
9.
Mulajanmah loroning ngatunggil
Tunggal rasa rasa kawisesan
Nging lamun dadi tuduhe
Wajib ing prianipun
Kadya ngakal pinurbeng alip
Lir warno jro paesan
Iku pamenipun’kang ngilo jatining sastra
Kang wayangan gending
Sasirnaning cermin
Manjing jatining sastra.
Mulajamah kesatuan dual hal
Yang itu menjadi kiasan
Substansi kejantanan
Pemikiran yang bermula dari alif
Bagai sosok dalam cermin
Itulah perumpamaan
Yang bercermin ibarat sastra
Dan bayangan itu adalah gending
Selesai bercermin
Bayangan kembali pada sastra.
Hubungan antara :
Suara – Gema
Lautan – Ikannya
10.
Lir kumsndsng lan swara upami
Kumandanging barat gending ngakal
Sastra upama swarane
Gending kumandang barung
Wangsul marang swara umanjing
Lir mina jro samodra
Mina gendingipun, sastra upama amandaya
Mina yekti anaya saking jaladri
Myang kauripanira.
Seperti gema dan suara
Gema itu perumpamaan gending
Suara ibarat sastra
Setelah gema gending berlalu
Ia kembali kepada sastra
Seperti ikan di lautan
Ikan adalah gending, dan
Sastra kehidupannya
Ikan selalu kembali ke air
Yang menjadi kehidupannya.
Hubungan antara :
Pradangga – Gending
11.
Pejahing mina owor jaladri
Jro samodra pasti isi mina
Tan kena pisah karone
Malih ngibaratipun
Lir niyaga nabuh kang gending
Niyaga sastranira
Gending-gendingipun
Barang reh purbeng niyaga
Kasebuting niyaga dening kang gending
Panjang yen cinarita.
Ikan hidup mati di lautan
Di dalam laut pasti berisi ikan
Keduanya tidak pernah terpisahkan
Seperti perumpamaan
Seperti alat musik dengan pemainnya
Pemain adalah sastra
Alat musik menjadi gendingnya
Setelah memainkan musik
Baru bisa dipilah pemain dan alat
Panjang bila harus dijelaskan.
PANGKUR
1.
Sukur yen wus samya rujuk
Mufakat ing ngakatah
Lebih baik apa bila yang sudah
Disepakati oleh khalayak luas.
5.
Awale hyang manikmaya
Gaib datan kena winarneng tulis
Tan arah nggon tanpa dunung
Tan pasti akhir awal
Anrambahi manuksmeng rasa pandulu
Tajem lir mandaya retna
Awening trus tanpa tepi.
Asal mula hyang manikmaya
Yang gaib dan tak tergambarkan
Tanpa tempat tinggal dan tak berruang
Tanpa dapat ditentukan awal akhirnya
Menyatu memenuhi rasa penglihatan
Tenang seperti kemilau permata
Keheningan yang tanpa tepi.
8.
Sepuh minangka taruna
Kang taruna minangka anyepuhi
Kacihna samaring kawruh.
Yang tua berperan sebagai pemuda
Yang muda yang dituakan
Ditandai dengan simbol pengetahuan.
Hubungan antara
Papan tulis – Tulisannya
Yang disembah – Yang menyembah
9.
Dewa watak hawa sanga
Wus kanyatan gumlaring bumi langit
Iku kawruhana sagung
Endi kang luhur andap
Umpamane papan lawan tulisipun
Kanyatan ingkang anembah
Kalawan ingkang pinuji.
Dewa dan sembilan hawa-nafsu
Fenomena bumi dan langit
Itu harus menjadi pengetahuan
Tentang yang tinggi dan yang rendah
Seperti papan tulis dengan tulisan
Bagaikan hamba yang menyembah
Dengan tuhan yang disembah.
Hubungan antara
Manikmaya – Batara Guru
10.
Papan moting kawisesan
Manikmaya purbaning papan wening
Tulise mangsi Hyang Guru
Sastra upama papan
Gending ngakal upama mangsi wus dawuh
Yen dihina mangsinira
Ngendi nggone tibeng tulis.
Papan tempat kekuasaan
Manikmaya menjadi papan azali
Batara Guru menjadi tulisannya
Sastra adalah papan
Kata yang tertulis ibarat gending
Bila harus lebih dulu tulisan
Dimana ia akan diguratkan.
Hubungan antara
Dalang – Wayang
11.
Sayekti dihin kang papan
Kasebuting papan saka ing tulis
Lan malih upamanipun
Dalang kalawan wayang
Dalang sastra, wayang ngakal jatinipun
Yekti dingin dalangiro
Amurba splahing ringit.
Tentu lebih dulu si papan
Dalam penyebutan dibanding tulisan
Dan lagi ibaratnya
Antara dalang dengan wayang
Dalam ibarat sastra, dan wayang gending
Tentulah lebih dulu si dalang
Yang memainkan para wayang.
Hubungan antara
Busur – Anak panahnya
12.
Lir nguni sang Resi Bisma
Duk pinanah dining wara Srikandi
Watgatanira tinundung
Ring panah Sang Arjuna
Gending ngakal ngibarat
Srikandi kang hru
Satra upama kang capa
Sang Parta titising lungit.
Seperti Resi Bisma zaman dahulu
Ketika terkena panah Srikandi
Tentulah tidak akan meleset
Karena itu panah Arjuna
Gending itu ibarat
Srikandi yang memanah
Sastra ibarat busur sang
Arjuna anugrah langit.
Hubungan antara
Wisnu – Kresna
13.
Kayat Narendra Kresna,
Lawan risang Batara Wisnumurti,
Iku ngibarat satuhu,
Loro-loroning tunggal,
Tunggal cipta sarana sauripipun,
Hyang Wisnu upama sastra,
Sri Kresna upama gending.
Seperti Raja Kresna
Dengan Dewa wisnu yang Agung
Itu hakikatnya
Dua hal yang satu adanya
Menyatu dalam berbagai halnya
Wisnu ibarat sastra
Kresna ibarat gendingnya.
DURMA
4.
Saking dene wit samar
Kahaning hyang
Rempit sulit binudi
Gaib wus tan kena lamun
Kinaya ngapa elok tan kena pinikir
Wenanging gesang ngrejasing nugrohodi
Karena kegaiban persoalannya
Persoalan ketuhanan
Sangat sulit dan rumit dipikirkan
Sangat gaib tak dapat
Digambarkan pikiran
Keajaiban yang tak tergambarkan
Maha kuasa atas kehidupan
Pemberi anugrah agung.
5.
….pangestinireng tokid,
Wenanging gesang
Ngrajasing nugrohodi.
….Keyakinan tauhidnya,
Kekuasaan kehidupan
Melimpahkan anugrah agung.
6.
Ana iku margane saka ora
Ora sing ana yekti
Raseng ana ora,
Teteping Dzat wisesa
Amisesa iya iki
Jatining sastra
Tan susun kalih-kalih.
Ada itu berawal dari tiada
Tiada yang ada
Meskipun ketiadaan
Hakikat Dzat Maha Kuasa
Yaitu yang menguasai
Hakikat sastra
Tunggal tiada duanya.
7.
Reh ananing Hyang Suksma
Mot muksma gumlaring bumi
Tinrusing puja pujarjeng widi-ening.
Karena Tuhan yang maha tinggi
Menjadi ruh dunia yang tergelar
Puncak dalam semadi
Puncak dalam kehiningan ilahi.
9.
Mula ngelmi mulet patraping sarengat
Mong arjaning dumadi
Dadya pra manungsa
Tinuduh mrih utama
Utameng cipta pamuji.
Ilmu harus mengikuti aturan syariat
Membawa kesealamatan hidup
Sehingga umat manusia menjadi
Terbinbing menuju keutamaan
Keutamaan dalam beribadah.
13.
Saben dina tan pegat
Raketing suksma
Tan kewran denira mrih
Pangestining cipta.
Setiap hari tak pernah berhenti
Melatih jiwa
Tiada pamrih apa pun selain
Mencari kesempurnaannya.
14.
………..
Pangiketing pamusti
Rajesing sucipto
Trus kayating wisesa.
………….
Daya cipta doa
Konsentrasi pikiran
Menembus daya kehidupan.
15.
Eling-eling kang samya mangudi-nalar
Away kongsi nemahi
Kadrojoging tekad
Lah pada den prayitna
Sayekti ambebayani
Luwih agawat
Watgating trang ing urip.
Perlu diingat oleh orang yang melatih pikiran
Jangan sampai terjadi
Hasrat tanpa kendali
Haruslah itu diperhatikan
Karena sangat berbahaya
Menghancurkan kehidupan.
16.
Lawan aja pada padudojn ing karsa
Iki siriking ngelmi
Yen durung kaduga
Luwung mendel kewala
Anging kasilna kang titi
Marang ngulama
Myang pra sujaning budi.
Dan jangan suka bertengkar pendapat
Itu larangan dalam mencari ilmu
Bila belum mumpuni
Lebih baik menahan diri
Dan belajarlah dengan tekun
Kepada para ulama
Para ahli kesempunaan jiwa.
17.
Ywa dumeh yen wus wasis
Tan dadya nistanya
Minta patweng ulama
Malah tamibeng utami
Yen wus mupakat
Tiga sekawan ngalim
Meskipun telah mengerti
Tidak ada celanya
Meminta fatwa para ulama
Malah akan lebih utama
Bila telah rujuk pendapat
Tiga atau empat orang alim.
18.
Salah siji jatining gending lan sastra
Endi kang ingran inggil
Iku tekadana
Aja was tida-tida
Tanda wus rinilan Widdi
Den trus pracaya
Angsal labuh pra ngalim.
Salah satu hakikat gending dan sastra
Man yang lebih tinggi derajadnya
Itu harus dipahami
Jangan sampai bingung dan ragu
Menjadi pertanda ridha ilahi
Harus selalu yakin
Mengikuti para alim.
19.
Alime kang niyaga
Wruh gangsa nung swaraneki
Lan aranira sawiji-wiji
Kepandian sang niyaga
Yang memahami makna dalam suaranya
Serta nama masing-masingnya.
20.
Nahenta wus purna wahyeng sasmita
Satata den pengeti
Dening kawi-swara
Rinenggeng rumiting gita
Ingesti salami-lami
Sumuluh mangka
Pandam ndoning budyodi.
Setelah sempurna pemahaman
Kontemplasi
Hal itu lalu direkam
Oleh sang Kawi-swara
Dirajut dalam rangkaian tembang
Agar dikenang selamanya
Menjadi cahaya penerang
Penuntun jalan kehidupan.
Serat Sastra Gending yang keseluruhan terdiri dari :
1. Pupuh Sinom, 14 pada.
2. Pupus Asmaradana, 11 pada.
3. pupuh Dandanggula, 17 pada
4. Pupuh Durma, 20 pada.
Catatan penting :
Serat Sastra Gending ini, masih belum sempurna dimungkinan
belum selesai ditulis banyak faktor yang menyebabkan, mungkin juga hilang / dicuri oleh
orang-orang untuk dikoleksi dan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompoknya pada
waktu itu.