PUJANGGA
Pujangga atau bujangga adalah sebutan bagi para pengarang hasil-hasil sastra, baik puisi maupun prosa; ahli pikir; ahli sastra.
Padan kata pujangga adalah sastrawan dan penulis.
Arti kata pujangga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah :
1. Pengarang hasil-hasil sastra, baik puisi maupun prosa.
2. Ahli pikir; ahli sastra; bujangga
Pujangga Baru adalah salah satu angkatan dalam kesusastraan Indonesia yang muncul sekitar tahun 1930-an, yang ditandai oleh semangat kebangsaan dan semangat mengejar kemajuan, dipengaruhi oleh aliran romantik dan individualisme.
Pujangga gereja orang kudus, baik pria maupun wanita segala zaman, yang dihargai secara khusus karena ajaran yang dikemukakan dianggap benar, mendalam, dan sangat bijaksana. Kepujanggaan perihal yang bersifat, berciri pujangga; segala sesuatu mengenai pujangga, karang-mengarang susastra.
Pujangga atau bujangga yaitu sebutan untuk pengarang hasil-hasil sastra, patut puisi maupun prosa; berbakat pikir; berbakat sastra.
Padan kata pujangga adalah : sastrawan dan penulis.
Pujangga Baru yaitu salah satu angkatan dalam kesusastraan Indonesia yang muncul sekitar tahun 1930-an, yang ditandai oleh semangat kebangsaan dan semangat mengejar kemajuan, dipengaruhi oleh arus romantik dan individualisme.
Misalnya Pujangga gereja orang kudus, patut pria maupun wanita segala abad, yang dihargai secara khusus karena nasihat yang diceritakan diasumsikan mempunyai, mendalam, dan sangat bijak. Kepujanggaan perihal yang bersifat, berciri pujangga; segala sesuatu tentang pujangga, karang-mengarang susastra.
Istilah Pujangga tampaknya hanya ada dalam catatan sejarah sastra Indonesia pada masa sebelum tahun 1945. Pada periodesasi sastra Indonesia, istilah Pujangga muncul dalam penamaan pengklasifikasian karyanya. Pujangga Lama untuk penyebutan sebelum abad ke-20 dan Pujangga Baru mulai muncul setelah selesai Angkatan Balai Pustaka awal 1930-an.
Yang menarik adalah mengapa setelah periode itu istilah Pujangga takdigunakan lagi. Justru yang muncul dan poluler sampai saat ini adalah istilah Penyair atau lebih luas lagi Sastrawan. Padahal dalam kacamata awam, kedua istilah itu dianggap mempunyai makna yang sama, yaitu seseorang yang menulis karya sastra.
Menurut Maman S. Mahayana, seorang kritikus sastra Indonesia, diperoleh banyak pencerahan tentang istilah Pujangga. Tersebutlah nama Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan Sanusi Pane yang bermula mengenalkan istilah Pujangga, yaitu sebutan untuk pengarang hasil-hasil sastra, baik puisi maupun prosa, atau bisa juga ahli pikir, ahli sastra.
Istilah Pujangga direduksi dari kata Bujangga. Bujangga adalah sebutan untuk sastrawan keraton, yaitu untuk penulis-penulis yang mengabdikan dirinya di keraton. Salah satu tugasnya melegetimasi keputusan raja atau memberi nasihat yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Seorang bujangga ditempatkan dalam status yang terhormat, sebab dipercaya tidak hanya mempunyai kearifan dan kebijaksanaan hidup, tetapi juga punya pemikiran visioner (dapat meramal berbagai peristiwa yang akan datang). Jayabaya adalah contoh bujangga. Jadi, sangat terasa eksklusifnya istilah itu.
Pengertian Pujangga sudah keluar dari ranah itu, yaitu hanya kepada para penulis puisi (sastra) baru yang tidak lagi menulis syair, pantun, dan gurindam. Namun, Pujangga hanya bertahan sampai zaman Jepang dan berganti menjadi Penyair yang berasal dari kata sy’ir (bahasa Arab) yang artinya penulis puisi. Penyair ramai digunakan pada saat terjadi polemik tahun 1947-1948 mengenai penamaan Angkatan 45. Istilah ini tampaknya hadir menyertai munculnya istilah Sastrawan pada saat itu sebagai sebutan orang yang bekerja atau berprofesi dibidang sastra.
Pertanyaan sekarang, apakah istilah Pujangga masih bisa kita gunakan pada zaman sekarang ?
Jika melihat pada karakteristik karya yang muncul pada masa istilah Pujangga digunakan, tampaknya ada spesifikasi khusus. Ketika masa Pujangga Lama hadir karya halus budi dalam syair, pantun, dan gurindam; dan masa Pujangga Baru muncul karya dengan nasionalisme-nya, maka kemungkinan untuk itu masih terbuka.
Perkembangan sastra Indonesia modern yang tetap takmeningglkan akar budaya bangsa memberi peluang para sastrawan untuk disebut sebagai sang pujangga. Apalagi tumbuhnya kerinduan terhadap penulisan puisi-puisi lama, terutama di banua Kalimantan. Beberapa nama seperti Mudjahiddin, Iberamsyah Barbary, Maria Roesli, dan Selamat Bakumpai, yang takzim menulis syair, pantun, dan gurindam, layaklah mereka kita sebut Pujangga Banua.
PUJANGGA LAMA
Satra adalah hasil karya kreativitas, ungkapan perasaan dan reaksi emosional sesorang terhadap kehidupan dunia dan memiliki unsur keindahan. Sastra pujangga baru muncul setelah angkatan balai pustaka (1930-1942). Hal ini dikarenakan balai pustaka sering bertindak tidak menyenangkan terhadap karya sastrawan pada zaman itu. Munculnya sastra pujangga baru dipelopori oleh tiga orang seniman indonesia yaitu Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan Tengku Amir Hamzah. Disaat yang sama mereka juga menerbitkan majalah yang berjudul “Poedjangga Baroe” majalah ini terbit ditahun 1933, oleh karena itu angkatan pujangga baru sering kali disebut angkatan 33 atau angkatan 30. Karya karya satrawan pujangga baru lebih menonjolkan sikap dinamis, individualis, dan berorientasi pada masyarakat. Seni yang dilahirkan berupa peleburan budaya barat dan timur shingga membuat sifat budaya indonesia menjadi universal.Karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak berkait pada tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Disamping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis.
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.
KARYA SASTRA PUJANGGA LAMA
1. Sejarah Melayu (Malay Annals)
2. Tuhfat al-Nafis (Bingkisan Berharga) karya Raja Ali Haji
HIKAYAT
1. Hikayat Abdullah
2. Hikayat Aceh
3. Hikayat Amir Hamzah
4. Hikayat Andaken Penurat
5. Hikayat Bayan Budiman
6. Hikayat Djahidin
7. Hikayat Hang Tuah
8. Hikayat Iskandar Zulkarnain
9. Hikayat Kadirun, Karya Semaoen/Semaun.
10. Hikayat Kalila dan Damina
11. Hikayat Masydulhak
12. Hikayat Pandawa Jaya
13. Hikayat Pandja Tanderan
14. Hikayat Putri Djohar Manikam
15. Hikayat Sri Rama
16. Hikayat Tjendera Hasan
17. Tsahibul Hikayat
SYAIR
1. Syair Bidasari
2. Syair Hukum Nikah karya Raja Ali Haji
3. Syair Ken Tambuhan
4. Syair Siti Shianah karya Raja Ali Haji
5. Syair Sultan Abdul Muluk karya Raja Ali Haji
6. Syair Suluh Pegawai karya Raja Ali Haji
7. Syair Raja Mambang Jauhari
8. Syair Raja Siak
GURINDAM
Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji
KITAB AGAMA
1. Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
2. Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
3. Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
4. Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri
ANGKATAN PUJANGGA LAMA
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini, karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat, meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri merupakan tokoh pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Selanjutnya, dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik. Karya-karya yang paling terkemuka adalah Nur ad-Daqaiq Cahaya pada Kehalusan-Kehalusan oleh Syamsuddin Pasai dan Bustan as-Salatin Taman Raja-Raja oleh Nuruddin ar-Raniri.
ANGKATAN SASTRA MELAYU LAMA
Sastra Melayu lama merupakan karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sekitar tahun 1870-1942. Sastra Melayu lama berkembang di lingkungan masyarakat Sumatera seperti Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya, masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Contoh karya sastra Melayu lama adalah Nyai Dasima oleh G. Francis, Bunga Rampai oleh A.F. van Dewall, dan Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo.
PUJANGGA BARU
Angkatan Pujangga Baru adalah angkatan yang hadir untuk menggantikan angkatan Balai Pustaka yang berjaya sebelumnya. Angkatan ini diberi nama Angkatan Pujangga Baru karena angkatan ini dipublikasikan lewat majalah Pujangga Baru. Angkatan Pujangga Baru terbentuk tahun 1933.
Angkatan Pujangga Baru adalah angkatan yang hadir untuk menggantikan Angkatan Balai Pustaka yang berjaya sebelumnya. Angkatan ini diberi nama Angkatan Pujangga Baru karena angkatan ini dipublikasikan lewat majalah Pujangga Baru.
Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran.
Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan. Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut.
Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.
Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokohtokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah. Mengingat masa hidup Pujangga Baru itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya, merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra modern Indonesia. Pada masa itu, terbit pula majalah “Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan;2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Karyasastera· Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana · Tebaran Mega · Belenggu oleh Armijn Pane · Jiwa Berjiwa · Gamelan Jiwa · Jinak-jinak Merpati · Kisah Antara Manusia · Nyanyian Sunyi oleh Tengku Amir Hamzah · Buah Rindu · Pancaran Cinta oleh Sanusi Pane · Puspa Mega · Madah Kelana · Sandhyakala ning Majapahit · Kertajaya · Tanah Air oleh Muhammad Yamin · Indonesia Tumpah Darahku · Ken Angrok dan Ken Dedes · Kalau Dewi Tara Telah Berkata · Percikan Permenungan oleh Rustam Effendi · Bebasari · Kalau Tak Untung oleh Sariamin · Pengaruh Keadaan · Rindu Dendam oleh J.E.Tatengkeng.
SEJARAH
Angkatan Pujangga Baru merupakan sebuah angkatan sastra yang muncul pada tahun 1933 di bawah pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Angkatan ini mendasarkan diri pada semangat kebangsaan dan pembentukan budaya bam dalam gaya romantik. Secara resmi muncul bersamaan terbitnya majalah mereka, Poedjangga Baroe, pada bulan Mei 1933. Kebanyakan karya angkatan ini berupa puisi baru yang bentuknya berbeda dengan puisi sebelumnya, misalnya syair dan pantun. Para sastrawan yang menulis jauh sebelum tahun 1933 adalah Muhammad Yamin(Tanah Air, 1922), Sanusi Pane (Pancaran Cinta, 1925), Roestam Effendi (Percikan Permenungan, 1926), A. Rivai Yogi (Puspa Aneka, 1931).
Adapun nama-nama sastrawan yang digolongkan Angkatan Pujangga Baru antara lain: Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Hamka, J.E Tatengkeng, Anak Agung Pandji Tisna, Ali Hasymi, Roestam Effendi, Mozasa, Said Daeng Muntu, Karim Halim, Sariamin Ismail, dan Fatimah Hasan Delais.
Angkatan Pujangga Baru merupakan salah satu bagian dari periodisasi sejarah sastra Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru muncul pada 1930-an, tepatnya setelah periode Balai Pustaka.
Sebutan Pujangga Baru berawal dari majalah sastra dan budaya "Poedjangga Baroe", yang terbit 29 Juli 1933.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya sastrawan pada masa itu, terutama karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Banyak sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang piawai dan membuat berbagai gebrakan terhadap sastra Indonesia. Nama dan karya para sastrawan Angkatan Pujangga Baru pun terus dikenang hingga sekarang.
Sejarah yang Melatarbelakangi Lahirnya Periode Sastra Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan.
Kesusastraan Indonesia artinya semua hal yang meliputi sastra Indonesia. Sejak lahirnya (1920) sampai sekarang (1990), kesusastraan Indonesia modern selalu berkembang. Dengan demikian, hal ini membuat adanya persambungan sejarah sastra Indonesia, baik dalam rangka prosa maupun puisi. Sampai sekarang, yang merupakan sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang ditulis oleh M. Jamin (Muhammad Yamin), terdapat dalam Jong Sumatra No.4, Tahun III, April 1920. sebuah karya sastra itu sesungguhnya merupakan response terhadap karya sebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983:65), baik berupa tanggapan atau penyambutan yang bersifat penerusan konvensi maupun penyimpangan konvensi yang telah ada.
Seorang penyair menulis puisi berdasarkan konvensi-konvensi puisi sebelumnya, tetapi sekaligus juga sering menyimpangi konvensi yang telah ada ataupun norma puisi sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11).
Demikian juga karya sastra itu merupakan tegangan antara konvensi dan inovasi (Teeuw, 1983:4,11). Dipandang dari hal tersebut itu, sajak Muhammad Yamin merupakan response terhadap sajak-sajak yang telah ada, baik berupa penentangan ataupun penyimpangan terhadap norma-norma karya sastra sebelumnya.
Sebelum Muhammad Yamin menulis sajak “Tanah Air” itu, di Indonesia sudah ada Sastra Melayu Lama. Adanya respon Muhammad Yamin tentang penyimpangan norma-norma yang tradisional atau konvensional yang pada akhirnya membuat Muhammad Yamin membentuk kelompok penyair sezaman atau seperiode dan pada akhirnya membentuk sebuah angkatan sastra atau periode sastra yang kemudian terkenal dengan periode Angakatan Pujangga Baru (1933-1942).
Sejarah Singkat Lahirnya Periode Sastra Angkatan Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928. Ikrar Sumpah Pemuda 1928 :
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
ANGKATAN PUJANGGA BARU
Berkat ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, lahir berbagai semangat baru yang dikobarkan oleh kaum muda.
Salah satunya adalah semangat dalam menggerakkan bidang budaya, termasuk sastra.
Angkatan Pujangga Baru merupakan salah satu bentuk perwujudan dari semangat dalam menggerakkan bidang budaya.
Pemberian nama Pujangga Baru berdasarkan penerbitan majalah Poedjangga Baroe pada 1933.
Pelopor penerbitan majalah Poedjangga Baroe untuk pertama kalinya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane.
Majalah Poedjangga Baroe juga diterbitkan karena banyak karya sastrawan yang disensor oleh Balai Pustaka.
Sebagian besar yang disensor adalah karya tulis yang memiliki tema nasionalisme dan kesadaran bangsa.
Oleh karena itu, majalah Poedjangga Baroe hadir untuk dijadikan wadah para penulis untuk menyumbangkan karya sastra dan kebudayaan.
lsi majalah tersebut di antaranya adalah puisi, cerita pendek, roman, drama, esai, kritik sastra, dan telaah kebudayaan.
Adapun beberapa sastrawan yang termasuk dalam Angkatan Pujangga Baru di antaranya :
1. Ali Hasymi
2. J.E Tatengkeng
3. Selasih
4. Mozasa
5. Sutan Takdir Alisyahbana
6. Sanusi Pane
7. Armijn Pane
CIRI-CIRI PUJANGGA BARU
Sastrawan yang termasuk dalam Angkatan Pujangga Baru memiliki ciri khas dalam menulis karya-karyanya, antara lain :
1. Puisi jenis balada mulai ditinggalkan dan digantikan jenis soneta
2. Kata-kata yang dirangkai untuk menulis puisi bersifat indah
3. Hubungan antarkalimat jelas dan hampir tidak muncul kata-kata yang bersifat ambigu
4. Persajakan dijadikan sarana kepuitisan utama
5. Alur roman, novel, dan cerpen bersifat lurus
6. Teknik penokohan atau perwatakan bulat, tidak memakai teknik analisis langsung seperti Balai Pustaka
7. Tidak banyak digresi, sehingga alur ceritanya erat
8. Mengambil sudut pandang obyektif, yaitu orang ketiga
9. Bergaya romantik
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa daerah lain
Gaya bahasa tidak menggunakan perumpamaan klise
Umumnya, karya yang ditulis oleh para sastrawan Angkatan Pujangga Baru adalah seputar masalah kehidupan masyarakat kota. Misalnya tentang emansipasi dan pilihan individu.
Ditambah lagi, ide nasionalisme untuk mempersatukan bangsa begitu kental pada sebagian besar karya sastrawan Angkatan Pujangga Baru.
Sastrawan Angkatan Pujangga Baru dan karyanya
Berikut adalah beberapa sastrawan Angkatan Pujangga Baru yang terkenal beserta karyanya.
Sutan Takdir Alisjahbana.
1. Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929).
2. Dian yang Tak Kunjung 3. Padam (novel, 1932).
4. Layar Terkembang (novel, 1936).
5. Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940).
6. Tebaran Mega (kumpulan puisi, 1935).
7. Puisi Lama (bunga rampai, 1946)
8. Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
9. Amir Hamzah ("Raja Penyair Pujangga Baru")
10. Nyanyi Sunyi (kumpulan puisi, 1937)
11. Buah Rindu (kumpulan puisi, 1941)
12. Bhagawad Gita (terjemahan kumpulan puisi, 1933)
13. Satanggi Timur (terjemahan kumpulan puisi, 1939)
Armijn Pane
1. Jiwa Berjiwa (kumpulan puisi, 1939)
2. Belenggu (novel, 1940)
3. Sanusi Pane
4. Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931)
5. Sandyakala ning Majapahit (drama, 1932)
6. Manusia Baru (drama, 1940)
7. JE Tatenkeng
8. Rindu Dendam (kumpulan puisi, 1934)
9. Hasrat Hati, Laut, SInar dan Bajang, Anak Kecil, Beethoven, Alice Nahon, Kata-Mu Tuhan, Willem Kloos, dan sebagainya (puisi-puisi, 1934 - 1938)
ASMARA HADI
1. Kemenangan Pasti (puisi, 1938)
2. Bangsaku Bersatulah (puisi, 1938)
HAMKA
1. Di bawah Lindungan Ka’bah (novel, 1938)
2. Tenggelamnya Kapal van Der Wijk (novel, 1938)
3. Merantau ke Deli (novel, 1939)
4. Tuan Direktur (novel, 1939)
5. Aman Datuk Madjuindo
6. Si Doel Anak Betawi atau Si Doel Anak Djakarta (novel, 1932)
7. Si Cebol Rindukan Bulan (novel, 1934)
8. Anak Agung Nyoman Pandji Tisna
9. Ni Rawit Tjeti Penjual Orang (novel, 1935)
10. Sukreni Gadis Bali (novel, 1936)
11. I Swasta Setahun di Bedahulu (novel, 1938)
POLEMIK KEBUDAYAAN
Sutan Takdir Alisjahbana sebagai salah satu pelopor Angkatan Pujangga Baru menganggap bahwa masyarakat Indonesia harus dinamis seperti masyarakat negara Barat.
Sutan Takdir Alisjahbana juga menawarkan penggunaan bahasa selain bahasa Melayu, yaitu bahasa Indonesia, perpaduan antara bahasa daerah masing-masing, sampai campuran bahasa asing.
Oleh karena itu, timbul kritik dari beberapa kalangan yang menganggap bahwa Sutan Takdir Alisjahbana mencoba untuk merusak bahasa Melayu.
Hingga akhirnya, muncul konflik perbedaan pendapat budaya antara Sutan Takdir Alisjahbana dan sastrawan lain yang juga menerbitkan majalah atau surat kabar.
Konflik tersebut disebut Polemik Kebudayaan, yang terbagi menjadi tiga tahap, sebagai berikut :
1. Agustus–September 1935, terjadi perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Poerbatjaraka (Poedjangga Baroe, Soeara Oemoem, dan Pewarta Deli)
2. Oktober 1935–April 1936, terjadi perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Dr. M. Amir, Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara (Poedjangga Baroe, Soeara Oemoem, Pewarta Deli, dan Wasita)
3. Juli 1939, terjadi perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. M. Amir (Poedjangga Baroe dan Pewarta Deli)
4. Secara garis besar, perdebatan yang terjadi hingga tiga babak itu dipicu oleh pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana yang begitu terinspirasi dengan kebudayaan Barat.
5. Sutan Takdir Alisjahbana dianggap tidak memberi ruang pada kebudayaan Indonesia di masa lampau.
6. Beberapa tokoh yang terlibat dalam perdebatan tersebut merasa harus mempertahankan budaya timur dan tradisionalisme.