SERAT NITIPRAJA
Serat Nitipraja iku kalebet wonten satra jawa anyar. Panulisanipun tansah emperipun kalih Serat Nitisruti yaiku bab para luhur ing nagari, pangulahing praja saha angèmong datengè tiyang alit. mbok bilih serat nitipraja dipun cariosakèn jasanipun Sinuwun Sultan Agung ing Mataram.
Serat Nitipraja yang ditulis pada 1643 merupakan salah satu karya sastra Jawa yang digolongkan sebagai sastra piwulang. Pengertian sastra piwulang adalah karya sastra yang di dalamnya terkandung ajaran moral dan sikap hidup (Sudewa, 1991:3). Sejalan dengan pendapat tersebut, terdapat satu pernyataan bahwa karya sastra lama dapat dijadikan sumber informasi masa lalu ataupun bahan ajar untuk masa sekarang untuk hal-hal yang masih relevan (Robson, 1978:5). Demikian halnya dengan teks Serat Nitipraja. Teks Serat Nitipraja memberikan gambaran mengenai kriteria seorang pemimpin. Piwulang yang terdapat pada Serat Nitipraja adalah piwulang yang ditujukan kepada para pemimpin kerajaan, dalam hal ini raja, bupati, dan petinggi kerajaan lainnya. Piwulang tersebut dikemas dalam bentuk kebahasaan yang unik, yaitu disajikan dengan perumpamaan-perumpamaan yang patut untuk dikaji lebih jauh maknanya.
RINGKASAN SERAT NITIPRAJA
DANDANGGULA
Bagaikan tenggelam dilautan api, perasaan hatiku saat ini, ketika menuliskan serta ini, aku diberi nama Serat Niti Praja, maksudnya ingin menir para Pujangga, membuka pemikiran, setelah tiada nanti, memaksakan diri dengan bahasa indah, mengikuti orang-orang cerdik pandai, agar bisa digunakan teladan dan pedoman.
Dikisahkan dalam tembang ini, hidup ini seperti menempuh jurang yang dalam dan dataran luas, sungguh susah, demikian keras tantangannya. Karena itu, ingatlah segala kejadian wahai Pamong Praja, bulatkanlah tekad bersama rakyat dan para cendekiawan, bermusyawarahlah dengan baik, bersatulah dalam tujuan.
Sudah berubah zaman ini, hilang semua tatanan, orang yang tidak tahu akan nista jasadnya. Bagi yang tahu bagi kebajikan, jasadnya seperti intan, bersinas diatas batu. Karena itu latihlah sehari-hari, jangan pernah menyerah menghadapi bahaya, kuatkanlah jiwa ragamu.
Jika kamu menjadi Bupati, dekat dengan Raja, seperti Surya terangnya, tapi ingatlah selalu, tajamkanlah hatimu, jadilah seperti samudera, yang memuat apa saja dan menjadi muara, rakyatmu dan saudaramu, ketahuilah seperti daun hendak bertunas lagi, dimusim yang keempat.
Pujian, makian dan celaan dari orang lain, tahankan seperti dedaunan menahan air hujan. Sebaliknya buatlah agar mereka bergembira, beri sandang dan pangan, buatlah wanita merasa terhormat, sabdakan hal itu kepengikutmu, berlatih berbelas kasih dan suka berdema supaya manusia taat.
Dalam persidangan di hadapan Raja, jika dihadap dibalai Penangkilan lengkap seluruh menteri, jangan terburu engkau bersabda. Jika kamu tidak tegap duduknya, jalannya tidak mantab, maka akan kurang wibawa di depan punggawa, tatalah pandangan. Pandanglah dengan tegas tapi manis, bersabdalah dengan alunan jiwamu.
Pandanglah semua hadiirin, sebelum berkatapikirkan baik-baik, dari awal hingga akhir, duduklah dengan mantab, telitilah semua perkataan mereka, agar mendapat laporan yangbenar, karena jika tidak satu ketika akan meruntukan wibawamu.
SERAT NITIPRAJA LAPORAN PARA MENTERI
Tunggulah laporan para menteri, lebih baik belakangan kamu bersabda, lihat dan perhatikan semua laporan, demikian tatakrama raja, terkena sakit tidak berkata, rakyat menunggu perintah, segala perintahmu ditaati, mengatur orang banyak, hati-hati dan bijaklah jangan lupa asal-usul.
Bulatkanlah hatimu kuat-kuat, semua pancaindera di dunia itu bisa menjadi musuh dan kesulitan, jika ada keputusan tiba, surat berisi hal buruk, surat yang menantang, cobaan mengancam kesejahteraan, carilah bantuan kepada orang yang tidak punya tendensi apa-apa, tahu semua yang terjadi di dunia.
Jika kamu ditakdirkan menjadi raja, ada nasihat dalam nitipraja, yang nistaa, sedang dan utama. Nista jika tidak paham, hingga musuh datang, terlalu asyik bersuka-ria, diselimuti oleh nafsu, berjiwa penakut terhadap orang, dikuasai nafsu pribadi.
Itu adalah kenistaan seorang patih, tidak paham kalau menjadi pimpinan, lagi pula tidak tulus ikhlas, kesanggupannya besar, merah bibir perut buncit, perut segala-galanya, jika dipakai laporannya, tidak terhitung kerusakan negara, pikirnya kerusakan rakyat, perintahnya sama dengan berhala.
Hingga banyak yang menunggu, agar terhormat dimata pengikut, menyombongkan diri sendiri, besar angan-angan, lupa siasat musuh, tidak ada bedanya dengan menteri, seperti elang terbang mengangkasa, kemudian menyambar mangsanya.
Tampak baik diluar, mencelakai didalam, merongrong kekuasaan, menginginkan matinya orang lain, sudah bermain hitung-hitungan, seperti pedagang mata pencahariannya, menginginkan perintah, awalnya sanggup, meminta jadi pemimpin, berjanji setia di muka tapi wataknya munafik.
Patih tengah perhatikan dengan teliti, ia menjalankan perintahmu, memimpin semua punggawa, tidak berubah pada kehendak, galau hati nan cemas, mencontoh pelaksanaaan pemerintahan, agar benar pelaksanaannya, tidak ada keinginan untuk memiliki, tidak lupa mengasihi rakyat kecil, terus kemakmuran Negara.
Patih utama harus mengimbangi, terima menerima dengan semestinya, tahu tata hukum sedunia, tindak-tanduknya cekatan, ganti berganti dengan patih, karena menata pemerintahan, hatinya pakewuh itu lebih utama dari yang utama, itulah patih, yang memangku bumi untuk kesejahteraan dunia.
Tidak menyimpan uang segenggam, emas, perak ataupun pakaian kemuliaan, biasa saja dengan raja, sangat setia kepada raja, hatinya ingin mati dalam perang sabil, tidak mengutamakan saudara, tidak mencela musuh, sama tidak memilih posisi, tidak goyah karena celaan, maka ia dipercaya dengan tulus.
Menegakkan hukum kuat bertapa, menahan beban yang sangat berat, berani menerima kematian, demi budi luhur, maka ia dihormati manusia dengan kasih, suka berderma setiap hari, dunianya tidak dihitung, kepada orang yang semestinya diberi bantuan, dan bala punggawa serta para menteri murah hati sekehendaknya.
Semua menteri hormat, rukun-rukun bak saudara sendiri, menjunjung kepada rajanya, penyembahannya tulus, tidak ada hati yang jahil, semua prajurit dan rakyat, segan dan cinta, peringatan dalam Nitipraja ini sudah dilaksanakan oleh Patih dengan segala kebijaksanaan, berupa sandi upaya
SERAT NITI PRAJA TENTANG PATIH KERAJAAN MESIR
Ada kisah Patih Kerajaan Mesir, sangat terkenal bijaksana, Koja Jajahan namanya, dan rakyat yang dipangkunya, semua perintahnya enak, para raja mengikutinya, mereka segan dan mengasihi, para Bupati Pamong Praja j ika hendak menghadap raja disambut oleh Patih dengan Ramah tamah.
Dijamu semua punggawa dan menteri, para bupati yang menghadap raja, dikenyangkan sesukanya, busana, panah keris sabuk harum bunga disajikan, sampai diluar kekenyangan, laksanamengalir, semampunya member hidangan, ketika semua hendakmenghadap raja, patih Koja mengiring di belakang.
Tiga pembantunya, yang membawa tombak untuk upacara yang membawa kaskul dan kursinya. Ia berkain panah lusuh, pakaian tambal respati, sabuknya kalekah, kainnya hitam, kerisnya Landeyan benguk, sang patih santun berlebih, tapi matinya dikhianati orang.
Sebaiknya para patih, jangan terlena dengan kejujuran, bagus bersikap santun bijaksana, tapi dalam hati hendaklah selalu waspada pahamilahisinya bumi, dan kutang singa, waspada dan teliti, jangan memudahkan urusan, jika mendekap Gajah Banteng, dan Kancil maka hati-hatilah.
Jika engkau percaya kepada Tuhan, dijadikan jaksa oleh sang Raja, seperti timbangan lakunya, maka cermatlah menimbang suatu persoalan, teguhlah jangan berubah, jangan mengharapkan dunia jika tidak benar jangan mengharapkan suapan, jika goyah maka Negara akan menjadi suram, jangan skeedar berbelas kasihan.
Ketahuilah olehmu uang suap, sabda yang bohong akan menjadi racun, istri cantik godaannya, jaksa seperti api menyala, kabar seperti kayu kering, nama seperti tungku, apinya perkataan, asapnya sayub-sayub, padukan seperti ikan dalam air,masuklah sungguh-sungguh.
Kerjakan tuntas tanpa piranti, dipecat dicuci dengan air, bersihkan cucianmu, rantangilah dengan tutur kat, beri bumbu dengan sahid, pangganglah dan periksalah, rebus dengan api menyala, nyalanya yang anteng, jaksa nama kedudukanmu, jangan berbohong, setialah kepada raja.
Jaksa nama kedudukanmu, merasalah jika diberi kekuasaan bersabda, ingatlah keadilan raja, jaksa tangan kanan raja, memeriksa orang senegara, terang suramnya istana, jika tidak benar lakumu. Demikian ditulis dalam Nitipraja, nista madya utama, jika Jaksa bersih tidak menginginkan apapun.
Jaksa madya jika mengiringi, ditawari menawari, agar benar dihadapan orang banyak, semua jaksa mengikuti maka iringlah, agar mendapat hasil, seperti perang tersulut, disebar dimedan, seperti kampak mencari mangsa, dalam air luasnya dijelajahi, tidak lain daripada air.
Nistanya jika jkasa mau menerima suap, lalu merakit bahasa untuk menipu, melihat-lihat tidak sabar, berusaha menutupi diri, apakah engkau seperti aku, dalam mencari penghasilan, dalam duduk makannya daun selembar, hasil dari tanaman yang diolah, berlindung dibalik penghasilan orang lain.
Banyak cara orang mencari hasil, sekretaris berlindung dibalik kertas dan pucuk pena, tukang gajah berlindung dibalik angkus, pandai emas berlindung dibalik api, juru sungging berlindung dibalik keindahan, adapun tuwaburu, malah hhanya berlindung di hutan, umpamanya ia mencari kijang maka ia memasang jarring dan jebakan.
Besar kecil tertindih gunung, menyamar-nyamar olehnya mengungsi mencari ilmu, pendeta berlindung dibalik tapanya, sama dengan yang ditenung, seperti burung lincah menari, olehnya mencari penghasilan, sepertiikan bekecipak lihai karena badannya kecil, tapi tajam tajinya.
Ingat-ingat sopan santun, jangan hanya suka mencari kesaktian, ketahuilah permata raja, tata hukum kerajaan, dalam menjalankan roda pemerintahan, renungkan dalam hati, biasa sampai dusun, hiasilah dirimu dengan kesantunan, jangan bergaul dengan durjana, seeprti kijang, tinggal di hutannya.
Dekat dengan prang tercinta, yang dekat dalam raja, dalam lindungan keluarga, palanĕ jika berkata, jika keluar diduduki, seperti sederet singa, sang naga menurut diseret singa galak, naga dimangsa jadi santapannya, biji-biji dedaunan.
Manusia yang terkasih, terutama yang mengabdi kepada Tuhan, tidak menolak apapunkehendaknya, disuruh engkau tunduk, peluklah lehernya jangan ragu, ibaratnya meskipun disuruh mencium pipi naga jangan mengelak, segera ciumlah jangan cemas hatimu, agar mendapat kebajikan darinya.
ISI SERAT NITIPRAJA
(Karyanipun dening : Sultan Agung Hanyakrakusuma)
SERAT NITIWAWASAN KENEGARAAN
A. KEWAJIBAN APARAT NEGARA
DANDANGGULA
Kandya ing sagaraagni
rasaning driya ika sangkala
duk linakwan panyarike
Nitipraja ingapu
punang minda prasida ngawi
amiyateng sarira
anglengkara punggung
kuwawi peksa utama
kyehning jana prawita tan wigati
kedah ingalem bisa.
2.
Arti artati palupa lupi
jurang sengkan daratan linakyan
ewuh kang munggeng sanane
mangkana ing tumuwuh
dipun emut kramaning dadi
satataning wong praja
den kapti kawengku
reh nin amawi sujana
silakrama rembugen dipun nastiti
dadi saekapraya.
3.
Sampun gingsir silakrama yekti
ilang kelangan dadya kapapan
puwara nista regane
dumadak api tan wruh
lamun sira wruh ing paranti
raganira lir retna
ing sela dinulu
dadaren sadina-dina
sampun tungkul ing silakrama prayogi
yadyan delinging raga.
4.
Yensira tiningkah ing bupati
rinaket ing nata raganira
den kadi surya padange
gumantya dipun anut
manahira dipun aening
myang kadi ta samudra
pamotireng uruh
rehira menawi santana
kawruhana lwir arsaning taru malih
mangsaning labuh kapat.
5.
Mendung gledek tibaning riris
kang den pinta dening bala kuswa
den tahenaken awake kajawahan angrembuyung
enggar inggar gambira amrih
kula busana boga
wanita denyungyun
iku den sabda ing bala
dinadara ing danakramaning dasih
supaya janma sunya.
6.
Pangging panggihaning jalma singgih
yen sinewaka ing panangkilan
pepak satanda mantrine
sampun age amuwus
lamun sira tan pesthi linggih
dalanipun tan kontap
dening bala sewu
rakiten dukaning tingal
den agalak amanis liyeping aksi
sawungen ing jro nala.
7.
Adeping tyas ing bala den kaksi
saderenge matur den kadriyan
wit tan tekeng wekasane
den pasti sira lungguh
lamun angling sita den angayuh amakanka ing ati
pamunahing wardaya.
8.
Antinen aturing tanda mantri
lamun tan kari anuhun nabda
wongen saatur sembahe
mangkana reh ing prabu
anemahi lara tan angling
reh ing agnyana moda
solahe den wengku
among winong sanaliko
tinalika panalika den prayogi
sampun lali pinangka.
9.
Geleng-gelenging nala kalingking
sakyehing pancadriyan ing jagad
iku minangka mungsuhe
muwah kyehning pakewuh
lamun ana putusan prapti
layang diksura basa
tanukseng pupucuk
coba-cobaning widagda
saandika upayane wong tan yukti
wruh saingering jagad.
10.
Lamun sira tinitah nrepati
wonten ta kecaping nitipraja
nista madya utamane
nista reke jentan wruh
ing durgama mungsuhe prati
katungkul ing pamgulah
den reksa ing ayun
ajrih kang wong kalungsura
jenegipun gara-gara babo wani
asanggup ing ayunan.
11.
Punika reke nistaning patih
api tan wruh yen dadi ngayunan
tur tan kena ing atine
sanggupipun maledug
abang lambe waduk maleting
waduk sadaya-daya
kanggep aturipun
tan etang rusaking praja
pikiripun rusaking kawula alit
agnyananebrahala.
12.
Ambek katah atur angenteni
amrih keringan rewang sapangan
kumingsung peksa angene
lali ulahing mungsuh
tan samnya kalawan mantri
kadi ulung muluk ing tawang tumiling
anambar ing mangsanya.
13.
Gelehing jaba ing jronya mesi
nagasesa upacara dunya
patining wong kang den-ame
dunyane kang den itung
lir adagang pangidepneki
pangalape parentah
pawitane sanggup
panganyanging pangayunan
atur setya lenggananipun tan sipi
wetek denya mikena.
14.
Patih madya den tuhu nastiti
anglampahi saandikanira
rumeksa ing bala kabeh
tan mengeng ring sakayun
giwang-giwang nala tan wingwrin
anulad trepning praja
amrih beneripun
tan aderbe manab purba
nora alpa tan amisesa ing alit
trus arjaning jagad.
15.
Patih utama yen animbangi
tampa tumampa sahinggekira
wruh kramaning rat semune
solah sengel ing tuwuh
wus gumanti ana ing patih
rehning anata praja
prayane pakewuh
iku utameng utama
yeku reke patih kang amengku bumi
amrih arjaning jagad
B. HUBUNGAN RAKYAT DENGAN NEGARA.
16.
Tan asimpen ing arta sademi
ratna salaka busaneng mulya
lumrah ing nata prabune
tuhu setya mring ratu
tyasnya pejabaperang sabil
tan adarbe wong sanak
tan anacad satru
sami tan amilih papan
yen ginunggung tan giwang cinacad sami
dening suka pracaya.
17.
Tata tate pingging
bobot repoting suka kaliwat
wani lagaweng patine
ambek susila ayu
karaketaning wong kaswasih
wateknya dana dina
donyane tan ketung
dening wong ingkang pradana
tuwin bala santana myang tonda mantri
sinaosan karsanya.
18.
Sakatahing tonda mantri asih
Rukun-rukun lir saudaranya
Rempu rineping ratune
Mamulenira tulus
Datan wonten kang manah jail
Sakyehning bala kuswa
Padha jrih alulut
Pangengeting nitipraja
Sampung tungkul ing patih ambek sudarmi
Keneng sandi upaya.
19.
Wonten ta papatih rajeng Mesir
umung kaloka tinpenepa
koja jajahan wastane
saha bala kawengku
saparentahira ngecani
para ratu kabala
samya jrih alulut
sakatahing para nata yen sewaka sinamudaneng
anulya sinambrama.
20.
Sinugatan kyehing tonda mantri
para ratu ayun aseba
tiniwukan sakarsane
busana wastra duwung
sabuk gonda sekar sumaji
tekeng jawi kawratan
baksana lumintu
samampune andrawina
samya medal asewaka sri bupati
koja limayeng wuntat.
21.
Titiga panakawanireki
kang ambekta cis upacaranya
kaskul lawan lulungguhe
akampuh wastra lusuh
akulambi tambal respati
sabukipun kalekah
sampetipun wulung
akris landeyan bengukan denya patih katungkul susilanya di
patine keneng cidra.
22.
Sayogyane ing rekyana patih
sampung katungkul ing manab tunggal
rasanane ing karone
jroning tyas den rahayu
wajangena isineng bumi
myang sakotanging singa
prayatneng pakewuh
away gampangaken mongsa
yen andhikep gajah banteng
lawan kancil
den sami prayitnanta.
23.
Lamun sira ingandel ing gusti
kinarya jaksa dening sang nata
den traju lumehe
den-tajem timbangipun
papakemesampun gumingsir
aja melik ing dunya
yen tan beneripun
away kengser ing sarana
yen gingsira dadya sureming nagari
sampun simpen welasan.
24.
Wruha sira ing arta sademi
gora sabda wisa madukara
estri ayu cendalane
jaksa lir geni murub
paliwara lir wreksa aking
jajeneng kadi tumang
wangwanepamuwus
kukusipun lamat-lamat
kang apadu lir mina aneng jro warih
kalebu ing babara.
25.
Linudang mentas keneng piranti
pinecatan ginirah ing toya
den-berasih kukumbahe
ratengana lan tutur
ragenana kalawan said
panggangen lan pariksa
godog geni murub
urube nirna nirmala
ing ajeksa jajeneng paliwareki
tan dora setyeng nata.
26.
Jeksa jajeneng paliwareki
rumangsaa yen sinilah sabda
eningi ratu adile
jaksa angganing ratu
amariksa sing sanagari
srem sureming praja
yen tan beneripun
kang kocap ing nitipraja
nista madya utama yen jeksa ening
tan ayun ing ruruba.
27.
Madyaning jeksa lamun lumiring
atari-atari atatarenan
amrih bener
ing wong akeh
sakyehning jaksa pungkur
angriringa denya met asil
kadya merang ingobar
sinebar ing ranu
lir pagul denya met mongsa
jroning toya jembare den dalajahi
tan liyan saking toya.
28.
Nistanya lamun jeksa miranti
arakit basa kramaning cidra
anunuwe tan aserah
alingan ing gumunggung
apa sira ta kaya mami
denya amet pasilan
sajroning alungguh
buktine daun salembar
iya dening taneman kang den-ulahi
angulap bawaning lyan.
29.
Akeh bawane wong amet kasil
panyarikan alingan karopak
pucuking pangot pamete
sarati lingan angkus
pande emas alingan agni
sungging alingan warna
lwiring tuwaburu
malah mung anilih wana, upamane
angidang wruh anjaringi
amasang kalitida.
30.
Agung alit myang titindih wukir
maya-maya denya ngungsi guna
waneh alingan tapane
tunggal kang dipuntenung
kadi peksi krenda tumiling
denya amet kasab
lir mina gegenjonglemesing raga lit
anungkelang tajinya.
C. DESENTRALISASI KEWENANGAN
31.
Enget-engeten kramane dadi
atwa tungkul ing suka kawiryan
den wruh pranataning raje
tata titining ratu
ingkang lumrah ing sanagari
saringen jroning nala
lumrah tekeng dusun
subakramaninging sarira
away sanak lan durjana away kongsi
kidang kari alasnya.
32.
Aparek kalawan wong sinelir
kang kaparek denira nata
bebetnya kullabangsane
palane yen amuwus
yen kawetu dipunlinggihi
kadi kengser ing singa
sang nata anut
kengsering singa agalak
kang den mongsa yekti naga boganeki
wija-wija putranya.
33.
Pratamaning janma kang sinelir
angawula ing prabu satmata
sampun langganeng karsane
kinena sira mengkul
ing gulune singa den aglis
rangkulen aja kemba
yen kinen angambung
pipining naga angelak
nulyambungen aywa gumingsir ing ati
antuk jenenging praja.
34.
Wija tuwuh patra tiksna lungid
aglar ing sira kinen narajang
trajangen aja suwe
tan ana bayinipun
nadyan sira tumekeng pati
amanggih karaharjan
ing delahan besok
angrasaa pakoning hyang
nata prabu kinarya jalaning sih
darma mona kewala.
35.
Eling pakeling away ta lali
ing duduga kalawan prayoga
pinet saking panengare
myang cipta nateng semu
lamun wonten ujungan ing ling
gutuk lor kena wetan
kulon kena kidul
enggok wangsul amikena
kedap-kedap kocaking netra lan alis
wus karsa wisakrama.
36.
Tatraping tyas wruh kang pinilih
ing sujana wigneng parahita
lumaya minuladi lide
sandining krada nempuh
saha ganda prananing aksi
amunah-munah krama
saekaning guyu
pracara oneng sadina
nirantara soba sobanira amrih
byak krasa wisakrama.
37.
Darma darma ing asaba puri
Lamun ingandela saba pura
Den kadi wana sonyane
Anglila-ngila mangu
Sirnakena rasaning ati
Jumen paninggalira
Celekeneng ratu
Sakatahe kang kawuryan
Tunggalena lan warnaning sri bupati
Yeku wignyaning nata.
38.
Sampun araket dening pawestri
jroning pura yeku madu wisa
estr pura sakarsane
estri salokanipun
tirta suda sagara agni
bahni wresa angarang
puspa wiguneku
antya wilewi lwirwira
tirta banyu sagara wus angarani
tan wareg deneng toya.
39.
Bahni tan wareg ing kayu aking
wus pandita guna kagunanya
antya wilewih karsane
myang wiku pandita gung
nora nana wareg ing ngelmi
mangkana ing wanita
tan amilih kakung
kakung tan anampik ing dyah
wisanipun kakung araket pawestri
yen tan tajem ing praja.
40.
Kadi sela panggarisan rukimi
teguh tuhu sungana dana
ingriku reke pawore
sarasane katemu
gatra-gatra susah kang ati
anyipta nora natya
tuwin yen amungsuh
dening wani tantya mukya
kang tinohan
tinuku kalawan jurit
tan etang patyan pinatyan.
41.
Lamun sira rineka pawestri
kinaryan gedong dening sang nata
samunira den alumeh
den lila ing sakayun
myang salokanira kapanggih
dadi garwa pawitan
netyanireng kakung
angrasaa yen amungsuh
dening wani tantya mukya
kang tinohan
tinuku kalawan jurit
tan etang patyan pintyan.
42.
Ajwa ngangge wastra ingkang adi
anganggeya langsaran sadina
sampun awiraga mangke
lawan sampun akusut
den prasetya ing manah anglih
asaji-saji karsa
nira sang aulun
nilik tiliken jro pura
den kareksa ulah kawanen jro puri
samaptanen ing karsa.
43.
Wibuhing dunya ambekta lalis
kedaping tyas sinukan sarana
gumunggung tan wrin mulane
lega umpeging kayun
dene dereng manah kang jati
anggungaken sasira
mungkureng rahayu
gingsiring apawong-sanak
kang kadulu manising retna sakundri
gumiwang ing prasetya.
44.
Sudra-sudraning kang cidra singgih
papa ing papa pinapa ing rat
lir dangdang amongsa wangke
munggeng setra anguwuh
mencok ing pang ragas tur aking
tur sarya anggaruda
wankenya den-gilut
tumiling sarya anglayang
lincak-lincak den antun panganereki
medun anucuk singgat.
45.
Kawruhana ing dunya puniki
ingkang dadi wigenaning raga
yen luputa prakarane
lir kembang palwe ranu
dadya labuhpalwanya miring
gonjing katempuh ngalang
ombak aggung nempuh
prayogane darbe arta
priyen dadi layar kamidining amrih
prapta ingkang senedya.
D. KETANGGUHAN BIROKRASI
46.
Ewuh ing dunya yen tan kalingling
kaba-kaba ingaksi kawuryan
dereng wruh yateng sangkane
brahala munggeng tuwuh
lilinyokan denira angling
gumunggung sapa sira
tan kaya kadingsun
kebek matingting mutingkrak
lamugawa amrih kalokeng sabumi
artane dadi pikat
47.
Datan mangkana kang sampun singgih
tan kumedap tinggale ing dunya
sugih datanpa duduwe
tuhu arjeng tuwuh
ing praja kasusilanya
asiluman ing boga wastra pawestri
paesaning narendra.
48.
Gati-gati pranata atiti
lamun sira kinarya kongkonan
iku apringga tindake
imba caraning ratu
anambada karsanya mesi
rakiten semunira
angrasaa sri bupati
salirning prakaranya.
49.
Lamun sira angutus amawi
layang pupucuking dura praja
den kawengku pilepase
tindake den kadulu
away sira ngumbar praniti
ing watara duduga
prajaga den-ketung
iku traping nitipraja
yen ingutus angambah liyanagari
nagara lyan sasmita.
50.
Andhingineno loka den titi
amengkuwa saking awakira
prapta mring prajane dewek
lamun sira wis rawuh
ing jajahan myang tepis iring
angrungukena warta
den ragi asamun
ing semu dipun asamar
away metu ing tutuk denira amrih
taping tindak lir angsa.
51.
Sampun adres anggupita angling
asring gumuyu ilang titinya
sigung kasigug temahe
mangkana yen wus rawuh
ing nagara dipun respati
tan pen tindak lakunya
away nolih pangkur
sampun amicareng marga
layangira embanen kalawan samir
taping tindak lir angsa.
52.
Ulatira den darpa amanis
pangucapira den tibeng madya
den atambuh aywa gupe
ing semu den aruhur
yen tinampan layangereki deng angriringen nala
ya iku pakewuh
upamane lir antiga
ingapit ing sela sumaya arti
jabang mangilo jurang
53.
Turukena layangireki
den kadi paksi teka ing tawang
anglayang mencok aleren
ing tahen sekaripun
tunjung-tunjung telaga sari
ibek madune kentar
kabyaktan tumiyung
tumampa ing wilapanya
kang pinaran prihen sukanira wrinwrin
duga-duga wilasa.
54.
Parekena lan dohena ing sih, kareketana
saking kadowan sira tanpa ling-aling
away kabenten gelar
ginutuk lor kidul
mangulon den-prih kang wetan
kang wetan yen mangalor kang kidul dipun kaaksi
den anyraka.
55.
Yen sira lungguh dipun nastiti
kula dyatmika susila krama
ikuduta kang angene
imba caraning ratu
yen atanggap wawales gipih
tumulya pinamitan
tan itung ing enu
rahinten dalu lumampah
tanpa yun asalah kapti sireng margi
datan mampir ing wisma.
56.
Lamun prapta ngayunaning gusti
dipun samepa ing tinggal tunggal
matura ing tingalane
sarta pupuk semu
mamandapanira den aglis
dipun ririh ingarsa
nira sang aulun
atur serat wawalesnya
layangira iriden pucuk ing wuri
yen kagyana turena.
57.
Muwah kawula amonca bumi
tan beda mangkana lekasira
ewuh yen lan sasamine
kang samya bupatya gung
asisyan asilih ukih akintun-kinintunan
myang ujungan semu
tan wonten kang kasorana
madyantara iku layange yen prapti
katoreng narendranya.
58.
Titi yen gusti mareng kang alit
tewi kawula matur sang nata
titi tata sasane
mangkana ing liripun
ing amawi layang kikirim
mareng sanak wong sanak
sampun salah liru
ing guru gusti sasamanya
wong atuwa sinama kramanireki
titi lwir ing kramanya.
59.
Pranatane angawula singgih
lamun sira ayun asewaka
bilasen ragane kabeh
ngambila toya wulu
anganggeya kang sarwa suci
acalanaa petak
asabuka dadu
krisa parung rarancaban
asubuka ubed tiga sira kaki
lilisaha gagonda.
60.
Lamun prapta pasowan asri
apalinginyan rowang sapangan
amiliya satimbange rewangira alungguh
kang prasama sama nampani
dadya saeka prana
tunggal sabayantu
sampun arebat kawignyan
silih ukih akudon arebut kawi
pala cacengilan.
E. MEWUJUDKAN NEGARA SEJAHTERA
61.
Jeroning paseban adep ing pati
weruhanira gening pasamuan
arsaning ratu unguhe
suko duka tinemu
ing ayunanira nrepati
iya kudu winenang
anggunganing tuwuh
asung jenenging kawiryan
anurada anrapaken larapati ratu jalaraning jiwang
62.
Away kandag denira aningali
trusa rena kebing panarima
den kadi ringgit regane
duk aneng keliripun
pandan muncar sira tinggali
wayang kelir kawangwang
gamelane umung
tan pegat denya welasan
kang anonton asmara kandenging kingkin
waneh kandeg ing wayang
63.
Kang sawaneh kandeg aningali
kandeg dening swaraning gamelan
waneh kandeg ing damare
waneh kayon dinulu
tanpa ngucap anukmeng kelir
dalang ing tan kuningan
aringgit sawegung
rainten dalu awayang
paringgite dalang wignya tanpa tanding
cipta wibuh ing praja
64.
Amuroni pawayangereki
awalesan ing sapta akasa
ing sapta bumi wignyane
apadudon dinulu
tan seng tunggal lamun kaaksi
tunggalipun tan tunggal
lwir nitir parajeku
kang raga aglar ing bala
kyan rakyana apatih timbalaning sih
aparentah ing praja
65.
Tumibeng bala punggawa sami
anubon ing timbalnira
apatih sawangkone
wong dadosan yan tuhu
tinrapaken ing lara pati
lamun tuhu ginanjar
winehan sakayun
kalabe sang niti praja
sing sapa weruh ing raga sasamaneki
pakartine raharja.
66.
Kaya ta sira yen amatinggi
lumakyeng desa aseba karang
den karesa drigamane
galeng wates ing dusun
langlangana rabina wengi
dursila den kareksa
anudaa laku
anggempala sakaraman
kang atunggu rumekseng watesireki
lalaren saben dina
67.
Anjenengana langar den apti
arepana karajan ing doya
ingkang awening bejine
angungkurena gunung
myang pagagan tegal kang asri
munggeng ayuning desa
myang walabar agung
mungeng tepine kang desa
peringena rawa susukuning wukir
yeku sira sedya.
68.
Legawaa ing boga myang bukti
ing rewangira wong adedesan
turutana sakarsane
ing kasenenganipun
karang pecal lebak lan wukir
tunggulana kalawan
sela watesipun
myang wana ing parungbutan
sampun cidra ing reh denira marinci
tambangen lalakonya.
69.
Buktining kaum dipun kapeksi
kang rumeksa ing wektu lilima
den tulus pakarangane
pencinipun den gemuh
lan srahena jakatireki
muwah lan pitrahira
srahena ing kaum
myang kadi kadi tanem tuwuhnya
sedyakena ing ratu myang panditeki
den anggunggung wong tapa.
70.
Lan sedyakena ing pikir miskin
kawula ina kang kapradana
ing anak yatim prenahe suka wirya ng tuhu
yen arekat lan wong kaswasih
teluk ing apadita
sumungkem ing ratu
parikudu ing tamiyan
sasamine islam den sugata gati
sakrama dipun enggal.
71.
Lan mailih ing wong karama rahi
anggung gumunggung buru aleman
angulati satimbange wales winalesing yung
urmat ingurmatan sireki
iku wateking setan
brahala den-temu
adoh ing pekir kasiyan
kasengite andulu wong kawla-asih
raket ing wong sudagar
72.
Pemut ing nitipraja den kesti
sayogyane ing jalma katilar
ing yayah rena regane
away sira andunung
wong acukit adulit sami
akumbah akarakah
amutrah angebur
anurun tejaning muka
sampun sira kadunung sudagar singgih
angayar-ayar dunya.
WANITA DALAM SERAT NITIPRAJA
Salah satu fungsi teks adalah sumber infomasi masa lalu. Teks-teks yang terkandung dalam banyak naskah yang ada di nusantara tentu sangat kaya akan informasi masa lalu yang sangat mungkin untuk dijadikan cermin, bahkan dapat diambil manfaatnya, bagi masyarakat sekarang. Banyak teks berisi kesehatan, misalnya informasi tentang obatobat tradisional, kondisi politik, hukum, ataupun kondisi sosial masa itu termasuk di dalamnya piwulang atau ajaran tertentu. Informasi-informasi itu terbungkus dengan sangat rapi, tetapi terkadang tidak secara eksplisit, bahkan cenderung implisit, dengan menggunakan bahasa yang indah dan jika dibaca lebih dalam akan memberikan makna tentang gambaran sosial pada masa itu ataupun makna-makna lain. Serat Nitipraja yang ditulis pada masa Sultan Agung pada tahun 1630 (Peorbatjaraka, 1964) adalah salah satu teks yang dikategorikan sebagai teks yang berisikan piwulang (Behrend, 1991). Bila ditinjau dari sudut tradisi pernaskahannya, Serat Nitipraja banyak disalin. Salah satu tempat koleksi Serat Nitipraja adalah di Perpustakaan Museum Sanabudaya. Di perpustakaan itu terdapat 9 naskah yang memuat teks Serat Nitipraja, yang dapat digolongkan menjadi 6 versi Serat Nitipraja, yang kesemuanya masih dikategorikan sebagai teks piwulang (Wulandari, 2001). Pengkategorian itu tidak lepas dari isi teks yang sarat akan banyak ajaran maupun petunjuk khususnya bagi seorang pemimpin. Dalam teks itu diungkapkan bahwa bagi seorang pemimpin diperlukan adanya sifat serta sikap religius dan humanitas dalam memimpin suatu pemerintahan (Sumaryati, 1999). Konsep itu sejalan dengan arti Nitipraja, yaitu Niti berarti tuntunan dan praja berarti pemerintahan (Poerwadarminta, 1939). Dengan demikian, secara etimologi, Nitipraja berarti tuntunan atau petunjuk untuk pemerintahan (dalam hal ini pemimpin pemerintahan, kerajaan). Adapun yang menjadi ruang lingkup pembicaraan teks Serat Nitipraja terbagi atas pemimpin kerajaaan itu sendiri, yaitu bupati, raja, patih, dan juga orang-orang yang ada di sekitar pemimpin itu, misalnya jaksa, utusan (duta kerajaan), ulama, dan wanita. Hal itu sesuai dengan uraian Sumaryati (1999), yakni seorang pemimpin haruslah mempunyai sikap religius, yaitu selalu. Wanita dalam Serat Nitipraja ingat akan Tuhan dengan didampingi oleh ulama dalam membina rakyatnya untuk selalu menyembah Tuhan, dan konsep humanitas, yaitu bersikap ramah dan ingat akan sesama dengan bekerjasama, bersosialisasi yang baik, saling menolong dalam menegakkan pemerintahan. Namun demikian, ada hal menarik yang muncul, yaitu adanya subjek wanita dalam pembicaraan dengan ruang lingkup pemimpin atau penguasa. Hal terakhir itu menarik untuk dikaji lebih dalam karena selama ini wanita hanya dianggap berperan domestik. Tulisan ini mencoba mengungkap anggapan teks yang mewakili jaman itu dalam memandang atau memposisikan wanita.
WANITA JAWA DALAM PANDANGAN UMUM
Secara umum, wanita bagi masyarakat Jawa hanya dikenal sebagai kanca wingking. Wanita dalam mitos Jawa identik dengan predikat masak, macak, dan manak. Wanita adalah pendamping suami yang hanya bertugas memasak, berhias untuk suami, dan mempunyai anak. Selain itu, terlihat pula predikat wanita yang lain, yaitu wanita sebagai garwa atau sigaraning nyawa. Konsep itu menggambarkan bahwa wanita dianggap sebagai bagian dari suami. Selain itu, banyak pula ungkapan yang menunjukkan peran domestik wanita lainnya, misalnya apiking suami gumantung istri baiknya seorang suami tergantung istri, dan apiking anak gumantung ibu baiknya seorang anak tergantung ibu. Ungkapan-ungkapan itu diistilahkan sebagai penaklukan diri ke dalam, dalam hal ini di lingkungan keluarga. Semua itu memperlihatkan bahwa wanita hanya berperan domestik Selain mitos, dalam salah satu teks tertuang pula pandangan tentang wanita. Pada teks Paniti Sastra menyebutkan bahwa keutamaan wanita dilihat dari berbagai segi. Dari segi reproduksi, wanita dinilai utama jika dapat melahirkan, terlebih lagi melahirkan anak laki-laki.
Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut :
Lamun mungguh ing wanudya yen alaki/ oleha anak lanang.
Maknanipun :
Dalam hal (ini) wanita jika menikah diharapkan mendapatkan anak laki-laki. Hal itu sangat cocok dengan salah satu predikat wanita dalam mitos yang menyatakan bahwa wanita identik dengan tugas manak mempunyai anak. Terlihat sekali bahwa teks merumuskan hal yang sama dalam memandang salah satu peran wanita. Dari segi keelokan tubuh, kecantikan wanita dan kesetiaan wanita, hanya itulah halhal yang dapat dilihat dari seorang wanita. Adapun kutipan Serat Paniti Sastra/Sudewa, yang memuat pernyataan di atas adalah sebagai berikut :
Lamun mukyaning wanudya/ tan lyan gêmuhing payudara kalih/ ingêma neng paprêman.
Maknanipun :
Dalam hal (ini) keutamaan wanita tidak lain (adalah) (dari) sintalnya kedua payudara, ditimang di peraduan.
Dari teks tersebut terbaca bahwa keutamaan wanita yang lainnya dilihat dari segi keelokan tubuhnya. Bentuk tubuh yang indah, yang dapat dipeluk dan dijadikan teman tidur, menjadi gambaran salah satu peran wanita menurut teks. Hal itu memperlihatkan bagaimana wanita dipandang pada masa itu. Keindahan tubuhnya dan perannya sebagai pendamping suami, terutama sebagai teman tidur suami, sangat dieksplisitkan dalam teks. Hal itu mungkin sedikit membuat risih para wanita yang mungkin akan terasa hanya seperti itukah anggapan tentang wanita ?
Namun demikian, mungkin hal itu akan sedikit terobati dengan melihat peran wanita yang dirasa positif, yaitu kesetiaan.
Dari segi kesetiaan, kutipan tentang kesetiaan seorang wanita berikut :
Yen mungguhing wanudya/ kang linêwih iku/ wanudya kang patibrata/ lan kang bêcik suwarnanira upami/ têgêse patibrata.
Yen lakine mati amilu mati/ nora mati asuduka jiwa/ myang ta kuwu ing setra/ yeka kewala lamun/ lakinipun tumêkeng pati/ tan karsa krama lyan/ tumêka ing lampus/ yeka dyah kang patibrata/ sêdya tumut mring dêlahan wong kêkalih/ têmbe kanthenan asta.
Maknanipun :
Dalam hal wanita yang mempunyai kelebihan adalah wanita yang patibrata dan yang baik tingkah lakunya, misalnya. Artinya patibrata, jika suaminya meninggal ikut meninggal. Bukannya mati bunuh diri, juga tinggal di makam begitu saja, tetapi begini, jika suaminya meninggal (maka) tidak berkehendak (untuk) menikah dengan orang lain sampai (dia) mati. Itulah wanita yang patibrata, bersedia ikut sampai akhirat berdua sambil bergandengan tangan. sangat jelas bahwa wanita pada masa itu diharapkan untuk setia pada suami, dengan istilah yang sangat tepat yaitu patibrata yang menurut arti perkata yaitu berjanji mati. Akan tetapi, bukan demikian maksudnya, jika suami meninggal bukan berarti ikut mati fisik saat itu juga, bukan pula kehidupannya berhenti di situ dengan menunggui makam suaminya, tetapi berjanji untuk tidak menikah lagi. Kesetiaan wanita diukur dengan tidak menikah lagi, masih berpikir tentang suami. Dalam budaya Jawa dikenal pula mitosmitos yang berkaitan dengan kelemahankelemahan jika mengikuti pendapat wanita. Selain kutipan di atas, terlihat dengan tegas pula pada teks Paniti Sastra yang menyebutkan bahwa akan menjadi kelemahan atau kehinaan jika kita (laki-laki?, pemimpin?) mendengarkan pendapat seorang wanita, seperti terlihat dari kutipan berikut :
... ayya manut budining dyah/ atêmah denerang-erang ing sami/ kang sujana pararja.
Maknanipun :
Oleh wirang ing wong sanagari/ yen anurut budining wanudya/ tan wun papa tinêmune/ yen sisip têkeng lampus/ iku kawruhana sayêkti/ nadyan silih patuta/ ing budi rahayu/ yen mêdal saking wanudya/aywa age linakon budinên dhingin/ wê-tokna salinana.
Saking ing karsanira pribadi/ mangkana ngling sang parameng sastra/ ana dyah bênêr atine/ yen ana gagak pingul/ lawan tunjung tuwuh ing curi/ kono ana wanodya/ atine rahayu/ kalingane ing sujana/ den prayitna yen pinarah ing pawestri/ ywa kêne manis ujar.
Maknanipun :
Janganlah menuruti pikiran (seorang) wanita.
Akhirnya akan dipermalukan oleh semua orang, yang selamat orang (yang) pandai.
Mendapatkan hinaan dari orang banyak jika menuruti pikiran wanita (dan) tidak urung kehinaan yang akan ditemui, salah-salah sampai mati.
(Hal itu) ketahuilah (dengan) sungguh-sungguh meski tampaknya pantas dianut dengan pikiran baik.
Jika keluar dari wanita jangan tergesa-gesa dijalankan, pikirkanlah lebih dulu, (setelah itu) wujudkan kembali dan gantilah (dengan bahasamu) seperti keluar dari dirimu, demikian kata para ahli sastra.
Wanita (yang) benar hatinya (hanya) ada jika ada gagak putih juga bunga tunjung (yang) hidup di cadas, di sanalah ada wanita yang baik dan benar budinya, demikian kata para cendikia.
Hendaklah berhati-hati jika didekati oleh wanita, jangan sampai terpikat perkataan manis.
Demikian minornya pandangan tentang wanita, bahkan sangat rendah posisi wanita saat itu dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Wanita hanyalah simbol sisi lemah yang indah, cantik, harus dimanjakan, disayang, dan diharuskan punya anak bahkan dinilai sangat tidak mungkin untuk memimpin karena wanita dalam Serat Nitipraja dianggap tidak berpikiran lurus sehingga tidak mungkin diikuti pikirannya.
Namun demikian, ada sekelumit sisi positif yaitu simbol kesetiaan. Meski demikian muncul peran wanita dalam konsep pemerintahan dalam hal ini dalam teks Serat Nitipraja. Ini adalah hal yang menarik untuk dilihat dan dicermati. Peran apakah yang ada sehingga wanita menjadi perbincangan di tengah topik kekuasaan ?
Adakah peran positif atau kembali pada image negatif ?
Hal inilah yang akan dikaji lebih jauh.
WANITA DALAM SERAT NITIPRAJA
Seperti halnya Serat Paniti Sastra yang berisikan ajaran moral dan sikap hidup yang di dalamnya banyak memberi gambaran tentang posisi wanita pada masa itu, Serat Nitipraja juga memberi porsi tentang wanita. Meski hanya beberapa bait, tetapi sudah memperlihatkan bahwa wanita dianggap sebagai hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan kepemimpinan. Wanita dinilai ada pengaruhnya terhadap kekuasaan. Hal ini menjadi menarik karena selama ini secara formal wanita Jawa tidak mempunyai status yang sah untuk bicara masalah politik, karena politik formal yang ada selama ini cenderung diskriminatif dengan budaya yang berlaku yang cenderung paternalistik.
Bahwa bukan berarti wanita Jawa yang berada dengan kondisi yang demikian tidak dapat mempengaruhi keputusan dalam bidang publik, tetapi tampaknya wanita mempunyai cara sendiri untuk mendapatkan kewenangan, yaitu dengan tanpa meninggalkan nilai keutamaan kultur Jawa, ialah dengan tetap menampilkan keselarasan, hormat dan terkendali dalam segala hal dan dikemas dalam bentuk pengabdian. Pengabdian yang dilakukan oleh wanita merupakan diplomasi untuk mendapatkan kewenangan bicara. Meskipun teks tidak menyebutkan secara eksplisit ihwal pengaruh wanita dalam kekuasaan, tetapi perumpamaan-perumpamaan yang ada membungkus ide atau pandangan tentang wanita. Adapun teks yang menyebutkan wanita dalam Serat Nitipraja adalah bait 38-39, sebagai berikut :
Sampun arakêt lawan pawestri/ jroning pura yeku madu wisa/estri purusa karsane/ estri salokanipun/ tirta suda sêgara gêni/ bahni wrêksa angarang/ puspa wiguneku/antya wilêwih lwirnira/ tirta banyu sagara wus angarani/tan warêg dening toya// Bahni tan warêg ing kayu aking/ wus pandhita guna kagunanya/ antya wilêwih karsane/myang wiku pandheta gung/ noranana warêg ing elmi/ mangkana ing wanita/ tan amilih kakung/ kakung tan anampik ing dyah/ wisanipun kakung arakêt pawestri / yen tan tajêm ing praja.
Maknanipun :
Jangan dekat dengan wanita dalam istana, itu madu (sekaligus) racun. Wanita itu nafsu kehendaknya. Wanita itu perumpamaannya, bagai air yang menyusutkan lautan api, api yang membuat kayu menjadi arang. Itu adalah bunga yang pandai. Sangat berlebih perumpamaanmu (jika seperti) air, lautan (yang) sudah disebut, namun tidak kenyang oleh air. Api tidak kenyang oleh kayu kering, seperti halnya pendeta yang sudah pandai namun berlebih kehendaknya. Demikian juga wiku yang agung yang tidak ada kenyangnya dalam menuntut ilmu. Demikianlah wanita, (dia) tidak memilih laki-laki, laki-laki tidak menolak wanita. Bahayanya laki-laki jika dekat dengan wanita jika tidak kuat imannya. Teks tersebut menunjukkan bagaimana Serat Nitipraja memunculkan subjek wanita dalam pembahasan mengenai pemimpin dan kekuasaan, baik dalam penilaian positif (mendukung kedudukan seorang pemimpin) maupun dari sisi negatif (sebagai penjerumus seorang pemimpin). Dari kalimat pertama dapat dipahami bahwa ada sebuah peringatan kepada siapapun (dalam hal ini pemimpin) bahwa sampun araket lawan pawestri jroning pura janganlah dekat dengan seorang wanita di istana. Kata pura istana adalah simbol kerajaan, kekuasaan, kepemimpinan dan kata itu melekati perintah untuk tidak dekat dengan wanita. Hal itu dapat dimaknai bahwa ketika punya kekuasaan atau menjadi seorang pemimpin diharapkan untuk jangan dekat dengan wanita. Selanjutnya, dinya-takan pula dalam teks yeku madu wisa (wanita) itulah madu (sekaligus) racun. Jika dipahami kata per kata dan medan makna kata itu, akan diperoleh makna bahwa madu adalah simbol kebaikan, keindahan, manis sesuatu yang enak, baik, keberhasilan, tetapi muncul bersama-sama dengan racun sebagai simbol negatif, kerugian, ketidakbaikan, kehancuran, kerusakan untuk subjek yang sama. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ketika kekuasaan itu ada, berhati-hatilah dengan wanita karena wanita itu selain dapat mendatangkan keberhasilan atau kebaikan juga akan dapat mendatangkan kehancuran atau kerugian dalam kepemimpinannya jika tidak hati-hati. Hal itu diterangkan dengan kalimat berikutnya, estri purusa karsane wanita itu nafsu kehendaknya yang artinya wanita dilihat hanya menuruti kemauannya sendiri, memenuhi keinginannya tanpa peduli orang lain, sehingga sangat mungkin jika dalam kepemimpinan didampingi oleh wanita yang demikian, akan menemukan kehancuran karena akan ada pengorbanan demi memenuhi keinginannya. Uraian yang demikian kontrasnya mengumpamakan wanita sebagai madu dan racun terasa lebih rinci dengan uraian selanjutnya mengenai wanita yang tampaknya juga dalam kerangka kepemimpinan yang dikemas dalam perumpamaan-perumpamaan. Teks Serat Nitipraja mengungkapkan secara lebih detail pandangan tentang wanita dengan perumpamaan yang sangat menarik itu seperti dalam teks berikut :
Estri salokanipun/ tirta suda segara gêni/ bahni wrêksa angarang/ puspa wigu-neku.
Maknanipun :
Wanita itu perumpamaannya, bagai air yang menyusutkan lautan api, api yang membuat kayu menjadi arang. Itu adalah bunga yang pandai. Wanita dimisalkan sebagai air. Air adalah zat yang sarat manfaat sebagai sumber kehidupan (pemberi keturunan?) dan dapat menyesuaikan diri dengan sekitarnya yang jika dalam jumlah banyak akan sangat berbahaya, tetapi juga dapat menjadi simbol ketenangan. Api adalah simbol kemarahan, sesuatu yang menggelora, membara, dan sangat berbahaya karena dapat menghancurkan. Bahkan, dilanjutkan dengan api yang membuat kayu menjadi arang yang berarti api yang sangat berbahaya, yang membakar segala sesuatunya menjadi tidak bermanfaat, sesuatu yang meledak-ledak dan merugikan orang lain. Air dan api adalah dua unsur alam, tetapi merupakan dua hal yang berlawanan. Jika kemudian dikatakan wanita sebagai air yang dapat menyusutkan lautan api, dapat dimaknai sebagai penenang. Wanita dalam hal ini dilihat sebagai air dapat menyirami kemarahan yang meledak-ledak, dapat menenangkan sesuatu yang menggelora tak terbendung. Kelembutan, ketenangan wanita dapat mengatasi hal-hal yang meledak-ledak itu. Hal itu sejalan dengan pendapat Handayani, yaitu kepasifan dan ketenangan yang demikian merupakan strategi wanita untuk dapat ikut berbicara di sektor publik. Ciri khas wanita itu (kelembutan dan ketenangan) dikemas dalam bentuk pengabdian kepada suami/pemimpin dengan caranya sendiri, misalnya menerima aduan suami tentang sebuah masalah sehingga muncul sebuah diskusi yang dapat menyelesaikan masalah. Dengan demikian, sebenarnya wanita ikut berperan dalam pengambilan keputusan dan suami/pemimpin tidak merasakan hal itu sebagai sebuah penguasaan atas dirinya melainkan bentuk pengabdian. Selanjutnya, dikatakan itulah bunga yang pandai. Wanita adalah bunga, sesuatu yang indah yang menyenangkan dilihat dan dapat dirasakan manfaatnya. Dengan demikian, jika wanita dapat berfungsi sebagai penyelamat, yaitu sebagai pereda, penenang; itu adalah sifat yang bijak, yang pandai. Kondisi yang demikian itulah yang dinilai sebagai madu. Demikianlah sisi positif wanita yang dimunculkan dari teks Wanita dalam Serat Nitipraja. Hal itu sesuai dengan ciri kekuasaan wanita Jawa, yaitu dengan kepasifan ataupun ketenangannya wanita mengendalikan kekuasaan tanpa adanya pemberontakan atau wanita Jawa mampu membangun kekuasaan tidak dengan melawan, tetapi dengan bermain di dalam ruang kekuasaan dengan cirinya, yaitu lembut, sabar, tenang sebagai sarana untuk mengatur kekuasaan.
Lain halnya dengan perumpamaan selanjutnya, yaitu :
antya wilêwih lwirnira/ tirta banyu sagara wus angarani/tan warêg dening toya// Bahni tan warêg ing kayu aking/ wus pandhita una kagunanya/ antya wilêwih kar-sane/myang wiku pandheta gung/ noranana warêg ing elmi.
Maknanipun :
Sangat berlebih perumpamaanmu (jika seperti) air, lautan (yang) sudah disebut, na-mun tidak kenyang oleh air. Api tidak kenyang oleh kayu kering, seperti halnya pendeta yang sudah pandai, namun berlebih kehendaknya. Demikian juga wiku agung yang tidak ada kenyangnya dalam menuntut ilmu. Perumpamaan itu menunjukkan sifat berlebih. Air, seperti keterangan sebelumnya, akan sangat berbahaya jika ada dalam jumlah yang banyak. Dijelaskan selanjutnya seperti air, lautan, tetapi tidak kenyang oleh air. Hal itu menunjukkan jumlah yang terus menerus yang tidak pernah puas, selalu bertambah. Air setetes bertambah banyak menjadi deras, ber-kembang lagi menjadi sungai, laut dan samudra. Demikian halnya api yang dikatakan tidak kenyang oleh kayu kering. Kayu yang kering adalah simbol sesuatu yang pasti akan sangat mudah terbakar oleh api, dan api akan terus berkobar-kobar, menyala lebih besar ka-rena adanya kayu yang kering. Ditambah lagi keterangan bahwa seperti pendeta, ataupun wiku sebagai simbol orang pandai yang masih terus-menerus menuntut ilmu. Dengan demikian, dari perumpamaanperumpamaan di atas terlihat adanya sifat serakah, sifat tidak pernah puas akan segala sesuatu dan semakin serakah karena adanya faktor pendorong untuk serakah itu. Wanita yang mempunyai sifat itu dianggap tidak berguna dan itulah yang dikategorikan sebagai racun atau penghancur kepemimpinan. Hal lain yang menjadi salah satu kesimpulan juga diutarakan oleh teks Serat Nitipraja
adalah bahwa sekalilagi berhati-hatilah terhadap wanita karena seperti uraian dalam teks :
Mangkana ing wanita/ tan amilih kakung/ kakung tan anampik ing dyah/ wisanipun kakung arakêt pawestri / yen tan tajêm ing praja.
Maknanipun :
Demikianlah wanita, (dia) tidak memilih laki-laki, laki-laki tidak menolak wanita. Bahayanya laki-laki jika dekat dengan wanita jika tidak kuat imannya. Pernyataan itu menggambarkan bahwa sudah kodratnyalah wanita berdampingan dengan lelaki dan sebaliknya, hanya saja diperlukan adanya sifat kewaspadaan. Hal itu berarti bahwa wanita dengan sifat-sifatnya, yaitu penenang, peredam, atau bahkan penguasa, sangat mungkin menguasai laki-laki untuk kemudian diminta memenuhi keinginannya. Dengan demikian, sebagai seorang pemimpin haruslah kuat imannya, kuat hatinya untuk dapat menjalankan pemerintahan dengan benar. Demikian detailnya Serat Nitipraja mengungkapkan sikapnya tentang seorang wanita dalam kaitannya dengan kepemimpinan/kekuasaan. Hal itu menunjukkan gambaran sosial masa itu (masa penulisan Serat Nitipraja). Ternyata masyarakat atau lingkup siosial masa itu sudah melihat adanya peran wanita dalam sebuah kepemimpinan. Aspek-aspek psikologis wanita sangat terlihat dari perumpamaan-perumpamaan yang ada. Setelah dilihat lebih jauh maknanya, terlihat watak-watak yang dibutuhkan ketika seorang wanita mendampingi seorang pemimpin dan hal itu sangat berpengaruh terhadap kepemimpinannya. Sikap positif yang dipunyai oleh seorang wanita ternyata diperlukan oleh seorang pemimpin. Tidak sekadar kanca wingking dan fungsi reproduksi saja pandangan tentang wanita, tetapi ada manfaat positif sebagai seorang pendamping raja/penguasa, yaitu sebagai penenang ataupun peredam kemarahan sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan tenang, damai tanpa ada kekerasan dan gejolak yang merugikan. Di sanalah sangat terlihat wanita memainkan perannya sebagai diplomat yang ulung dengan kelembutan dan ketenangannya serta strateginya mampu berbicara untuk memberikan keputusan pada bidang publik. Namun demikian, harus pula diwaspadai adanya sifat keserakahan atau ketidakpuasan wanita sehingga yang sewaktu-waktu jika tidak terkendali justru akan menimbulkan masalah atau menghancurkan kepemimpinan itu. Sifat waspada dan ingat kepada Tuhanlah yang akhirnya dapat menjaga kepemimpinan atau pemerintahan agar dapat berjalan baik.
TAMBAHAN :
SERAT TRIDATU DALAM NITI SASTRA
Pandangan dunia (vision du mondel) Niti Sastra dalam agama Hindu melingkupi keseluruhan kompleks gagasan, aspirasi, dan perasaan yang berhubungan dengat serat tridatu etika, moral, dan religiusitas. Tiga rangkaian ini, salit salit dijalin dengan frasa tekstual yang mengintroduksi pembaca memahami pandangan visioner penulisnya.
Keselarasan dan kesatuan (wholeness) dari Niti Sastra dalam membangun totalitas bentuk dan totalitas makna tentang jagat serat tridatu etika, moral, dan religiusitas penting untuk dipahami agar tidak terjadi interpretasi melebar (over interpretation) atau bahkan salah interpretasi (misinterpretation).
Niti Sastra dihadirkan oleh pengarang sebagai kaca benggala intropeksi untuk menghadapi tantangan zaman. Agar tidak merasa teralienasi dalam kehidupan yang semakin kompleks. Apalagi secara eksplisit dinyatakan bahwa pada saat kali sanghara (zaman kali), antithesis segala aspek kehidupan dimuliakan. Yang salah dibenarkan, yang benar disalahkan, semua serba nungkalik (bertolak belakang).
Pandangan dunia (vision du monde) yang dibangun dalam teks Niti Sastra, pertama-tama berkaitan dengan aspek etika sebagai salah satu serat tridatu. Penulisnya membangun doktrin universal tentang etika sebagai perbuatan dan perilaku (etiket) tata cara sopan santun yang sebaiknya dijaga dengan pengandaian-pengandaian simbolik yang khas. Tingkah-laku sopan adalah tanda keluarga yang baik. Tanda makanan yang baik ialah membuat badan gemuk. Tanda persahabatan yang baik ialah sifat ramah tamah yang berlebih-lebihan. Sifat suka memberi ampun dan sifat suka rela ialah tanda orang yang suci.
Demikian Niti Sastra, mengandaikan kontur etika sebagai ajaran luhur yang harus dipegang erat.
Pada gilirannya, doktrin itu menghubungkan seuntai tridatu Niti Sastra dengan kehidupan nyata masyarakat. Latar belakang sejarah, zaman dan social masyarakat turut mengkondisikan terciptanya etika baik dari segi isi atau segi bentuk dan strukturnya. Perilaku (etiket) tata cara sopan santun tidak saja mencerminkan diri pribadi, tetapi sebagai cerminan keluarga yang baik pula. Kemudian juga mencerminkan kelompok sosial lebih besar lagi yang secara genetic yang sebaiknya dijaga itu merupakan produk kelompok sosial yang memilikinya berkorelasi dengan situasi social. Dengan situasi sosial itu, maka tidak dapat dipungkiri adanya unsur-unsur sosiokultural menembus batas historis, sosiologis, dan kultural. Apa yang tercermin dalam teks Niti Sastra sesungguhnya merupakan sosio engineering yang terus menerus dimuliakan sepanjang sejarah perdaban agama Hindu.
Simpul serat tridatu Niti Sastra berikutnya yang terefleksi penuh makna ialah masalah moral yang diterima umum. Perbuatan apa saja yang harus dijaga, bagaimanakah bersikap dalam kehidupan sehari-hari, dan kewajiban apa saja yang harus dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat digambarkan dengan indah dalam teks Niti Sastra. Termasuk perilaku mulia, budi pekerti, dan tata susila yang baik.
Moralitas mulia, merupakan ajaran penting dalam agama Hindu. Teks Niti Sastra memberikan peringatan dengan menyebut caturtha yang harus dihindari. Salah satu kuplet sloka Niti Sastra, mengemukakan sebagai berikut :
Caturtha wilanging masuk suka ri purwaka mamuhara duhka tan hade, Ikang wwang ahutang lawan c̡rêgala maithuna ri sêdêng minangkana, salah-salaha nekanang wwang atitusta wêkasanika duhka tan hade, wineh suka sêdêng sinanggama wagarbha wekasanika duhka tan hade
Maknanya :
Ada empat peristiwa, dalam mana kegembiraan selalu diikuti oleh kesedihan, jadi tidak baik, orang berhutang itu dan (juga) srigala kelaparan, suka bersenang-senang melebihi batas. Jangan-jangan orang itu pada akhirnya mendapatkan kesusahan tiada tara. Seorang perempuan yang bersenang-senang dengan bersenggama akhirnya hamil sehingga berduka hati tiada tara.
Pandangan moral yang dikemukakan tersebut sesungguhnya berkorelasi dengan prinsip dasar agama Hindu mengenai Sad Ripu (kama-nafsu atau keinginan, lobha-tamak atau rakus, krodha-kemarahan, moha-kebingungan, mada-mabuk, dan matsya-dengki, iri hati) yang menyelimuti manusia. Pandangan itu, merupakan suatu bentuk kesadaran kelompok kolektif yang menyatukan individu-individu menjadi suatu kelompok yang memiliki identitas kolektif. Namun demikian, bukan merupakan refleksi dari suatu kesadaran kolektif yang nyata ada, melainkan merupakan puncak dalam suatu level koherensi yang amat tinggi dari kecenderungan-kecenderungan khusus bagi kelompok tertentu, suatu kesadaran yang harus dipahami sebagai suatu realitas dinamik yang diarahkan ke suatu bentuk keseimbangan tertentu.
Dengan demikian, pandangan moral yang dikemukakan oleh Niti Sastra sesungguhnya bukan merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat menyatukan kelompok social masyarakat. Jadi segala pandangan moral yang dikemukakan dalam teks Niti Sastra merupakan gagasan, aspirasi, dan perasaan yang terus menerus dicamkan oleh masyarakat sehingga masyarakat sendiri merasakan dengan sepenuhnya bahwa aspek moralitas merupakan suatu hal yang penting dan patut sebagai sebagai cerminan kehidupan. Dan dengan demikian pula, segala tindakan masyarakat diintroduksi untuk budi pekerti yang baik, senantiasa mempertimbangkan yang baik dan buruk dalam melakukan tindakan sesuai dengan moral atau tingkah laku yang baik.
Simpul serat tridatu berikutnya dalam teks Niti Sastra berhubungan dengan religiusitas agama Hindu yang merupakan kompleks makna keseluruhan teks. Sejak awal ketaatan pada agama sudah dintunjukkan oleh teks Niti Sastra. Setelah menguratkan mahawakya Om. Awighnamsastu yang bermakna “Atas nama Tuhan Semoga Tiada Rintangan”, pertama-tama disampaikan pujaan terhadap Tuhan sebagai berikut :
Sêmbahning hulun ing Bhatara Hari sarwajnâtma bhuh nityac̡a, sang tan seng hrêdayantikta tulisen ngke suprap-tisthe-namer, ring wahyâ stuti sembahing hulun i jÓ§ng sang hyang sahasrângc̡umân, dadya prâkrêta nîticâstra hinikêt lambang winâktc̡ng prajâ.
Maknanya :
Sembah hamba kehadapan Bhatara Hari (Tuhan Yang Maha Esa) Yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa selama-lamanya, Beliau selalu bersemayam di dalam hati hamba, disini digambarkan, agar seakan-akan terwujudlah Beliau itu agaknya. Keluar sembah saja tertuju ke bawah duli Sang Hyang Seribu sinar (Bhatara Surya), supaya isi Nitisastra yang saya karang oni menjadi terkenal oleh semua orang.
Ketaatan kepada ajaran agama, merupakan pandangan dunia (vision du monde) dialektik utama yang hendak dikemukakan dalam teks Niti Sastra. Kausa hubungan masalah religiusitas yang dijelaskan pada stanza Niti Sastra tersebut koheren dengan fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dikonkretisasi dengan mengintegrasikan ke dalam keseluruhan. Oleh karena itu keseluruhan teks Niti Sastra memerlukan pemahaman penjelasan.
Religiusitas yang dikemukakan dalam keseluruhan teks Niti Sastra secara keseluruhan (wholeness) berkorenpondensi dengan sifat Tuhan sebagai pemelihara, yaitu Wisnu. Oleh karena itu, pengarang melakukan pujaan kepada Bhatara Hari. Maka, fakta individu yang ditatah secara konseptual mengntegrasikan paham waisnawa puja (pemujaan Wisnu) secara keseluruhan yang ditebar dalam keseluruhan teks agar pembaca menyadari bahwa religiusitas yang dibangun diharapkan membawa pemahaman pentingnya kesejahteraan itu. Dengan jagadhita (kesejahteraan lahiriah dan betiniah) maka tujuan beragama (moksartham jagadhita ya ca iti dharma) akan tercapai. Demikian serat tridatu etika, moral, dan riligiusitas terjalin sempurna dalam teks Niti Sastra.