MENGAPA RAJA PUNYA BANYAK SELIR ?
Pada zaman dahulu, Raja-raja Jawa dipercaya setara dengan dewa oleh masyarakat. Punya banyak selir, ternyata ini yang menjadi rahasia keperkasaan para raja Jawa
Kemakmuran dan kemiskinan ditentukan oleh perintah Raja, Bahkan kejadian bencana alam kerap dikaitkan dengan sosoknya.
Para raja biasanya memiliki banyak selir, Bahkan seorang raja bisa memiliki selir hingga jumlahnya puluhan orang.
Sebelum kita membahas mengenai banyak selir, mari kita terjemahkan makna dari ratu, permaisuri dan selir.
Ratu, permaisuri, dan selir, adalah bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kerajaan atau penguasa.
Ketiga istilah tersebut sama-sama digunakan untuk menyebut pendamping dari seorang penguasa.
Berikut ini perbedaan ratu, permaisuri, dan selir yang patut Anda ketahui.
1. Ratu.
Ratu atau queen adalah gelar kebangsawanan dalam kerajaan yang diberikan kepada seorang perempuan penguasa kerajaan, atau padanan dari raja bagi laki-laki.
Seorang perempuan yang menjadi ratu biasanya mewarisi takhta setelah kematian raja atau ratu sebelumnya.
Contohnya seperti Ratu Elizabeth II yang merupakan penguasa monarki Inggris, atau Tribhuwana Wijayatunggadewi, ratu pemimpin Majapahit di masa kejayaannya.
Namun, istilah ini terkadang juga digunakan untuk merujuk pada istri raja. Dalam konteks ini, pengertian ratu sejajar dengan permaisuri.
Di Indonesia sendiri, istilah ratu berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang berarti pemimpin suatu kelompok dan digunakan oleh laki-laki ataupun perempuan.
Dalam sejarahnya, jumlah ratu lebih sedikit daripada raja, karena sejak zaman dulu perempuan dipandang lebih lemah dan kepemimpinan adalah ranah bagi laki-laki.
Suami seorang ratu akan diberi gelar pangeran, bukan raja sebagaimana abad pertengahan, untuk memastikan kedudukannya tidak lebih tinggi dari ratu itu sendiri.
2. Permaisuri.
Permaisuri atau queen consort adalah sebutan bagi istri utama penguasa monarki (raja, sultan, atau kaisar). Kata permaisuri sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya perempuan tertinggi.
Pada budaya tertentu, tidak semua istri seorang penguasa monarki bisa langsung mendapatkan gelar permaisuri.
Ketika penguasa monarki memiliki lebih dari satu istri, kedudukan permaisuri lebih tinggi dari pasangan raja yang lain.
Begitu pula dengan keturunannya, anak-anak raja dari permaisuri akan memiliki kedudukan lebih tinggi dan didahulukan menjadi pewaris takhta dibandingkan anak-anak raja dari istri yang lain.
Permaisuri harus berasal dari keturunan bangsawan atau memiliki status sosial yang tinggi. Setelah menjadi isri utama raja, permaisuri akan menjadi ibu negara serta terlibat dalam urusan politik kerajaan.
Contoh permaisuri adalah Gusti Kanjeng Ratu Hemas, yang merupakan istri dari Sri Sultan Hamengkubuwana X dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Permaisuri adalah gelar bagi istri dari penguasa monarki pria (raja, maharaja, sultan, atau kaisar). Dalam monarki yang menganut sistem poligami, permaisuri merujuk pada istri utama dari penguasa monarki pria. Meskipun demikian, tidak setiap istri seorang penguasa monarki langsung mendapat gelar permaisuri secara otomatis. Hal ini lantaran perbedaan hukum dan adat yang berlaku di tiap daerah.
Gelar lain yang juga memiliki makna hampir sama dengan permaisuri adalah ratu.
Kata permaisuri diturunkan dari bahasa Tamil (paramēsvari), dari bahasa Sansekerta (parameśvarī) yang bermakna wanita tertinggi. Dalam bahasa Inggris, permaisuri disebut queen consort.
Dalam kebudayaan Melayu (Indonesia, Malaysia, dan sekitarnya), gelar permaisuri digunakan untuk merujuk pada istri utama penguasa monarki pria, baik raja maupun sultan. Sebagaimana kedudukan permaisuri yang lebih tinggi dari pasangan raja yang lain, anak-anak raja dan permaisuri juga memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari anak-anak dari pasangan raja yang lain. Hal ini menjadikan putra-putra permaisuri biasanya didahulukan untuk menjadi pewaris tahta.
Di Brunei Darussalam dan sebagian negara bagian di Malaysia, gelar permaisuri tidak dipergunakan lagi secara resmi dan digantikan oleh gelar lain, seperti "raja isteri" dan "raja perempuan."
Di Asia Timur sebagaimana di kebudayaan Melayu, monarki di Asia Timur juga memiliki kedudukan yang dapat disejajarkan dengan permaisuri. Dikarenakan kaisar lebih tinggi kedudukannya dari raja, permaisuri kaisar juga berkedudukan lebih tinggi dari permaisuri raja. Gelar untuk permaisuri raja ditulis dengan dua huruf Tiongkok 王妃 dan dibaca ōhi di Jepang dan wangbi di Korea, sedangkan gelar untuk permaisuri kaisar ditulis dengan huruf 皇后 dan dibaca huánghòu dalam bahasa Tionghoa, hwanghu dalam bahasa Korea, dan kōgō dalam bahasa Jepang. Permaisuri tidak hanya bertindak sebagai istri utama raja atau kaisar, tetapi juga sebagai Ibu Negara (國母, Guómǔ).
Hampir semua dinasti penguasa di Tiongkok mensyaratkan kedudukan permaisuri hanya diisi oleh satu orang, kecuali pada masa Dinasti Yuan dan pada masa Kaisar Xuan dari Dinasti Zhou Utara. Sebagaimana di Tiongkok, posisi permaisuri di Korea juga hanya dapat diisi satu orang dalam satu waktu. Pada awalnya, seorang selir dapat naik tingkat menjadi permaisuri saat posisi permaisuri kosong. Namun mulai tahun 1701, dikeluarkan keputusan untuk melarang para selir naik menjadi permaisuri raja. Pada tahun 1897, Raja Gojong menyatakan dirinya sebagai kaisar dan mengubah Kerajaan Joseon menjadi sebuah kekaisaran yang berumur singkat, yakni hanya sampai tahun 1910. Pada masa itu, Sunjeong merupakan satu-satunya wanita yang menjadi permaisuri kaisar secara resmi saat masih hidup. Wanita lain dianugerahi gelar permaisuri kaisar secara anumerta.
Di Jepang, seorang kaisar hanya dapat memiliki satu permaisuri sampai pada zaman Heian. Setelahnya, kaisar dapat memiliki dua permaisuri, satu permaisuri bergelar kōgō, sedangkan yang lain bergelar chūgū (中宮). Larangan berpoligami mulai diperkenalkan pada masa Restorasi Meiji, menjadikan Kaisar Meiji sebagai kaisar terakhir yang memiliki lebih dari satu istri.
Di Eropa, gelar kebangsawanan memiliki bentuk pria dan wanita, seperti gelar bahasa Inggris "prince princess", "king queen", dan "emperor empress". Dalam konteks penguasa monarki, biasanya seorang permaisuri menyandang gelar yang sama sebagaimana pemimpin monarki wanita. Di Inggris Raya, gelar queen dapat digunakan untuk penguasa monarki wanita (contoh: Elizabeth II) dan permaisuri raja (contoh: Elizabeth Boweys-Lyon).
Biasanya istri seorang raja akan dimahkotai sebagai permaisuri. Namun wacana terhangat di Inggris Raya terkait pewarisan tahta adalah terkait kedudukan Camilla, istri Pangeran Charles. Beberapa pihak menyatakan bahwa saat Charles naik tahta sebagai raja, Camilla tidak akan menerima gelar queen sebagai para permaisuri sebelumnya, tetapi akan menyandang gelar princess consort atau setara dengan putri.
Di Timur Tengah, kedudukan istri penguasa monarki pria di Timur Tengah bermacam-macam, tergantung adat dan hukum di tiap negara. Arab Saudi tidak memberikan gelar resmi yang dapat disepadankan dengan permaisuri bagi istri-istri Raja Saudi. Di Yordania, istri raja dianugerahi gelar malikah (ملكة) dan gelar ini juga dapat digunakan oleh seorang ratu dalam konteks seorang penguasa monarki. Di Maroko, permaisuri raja dianugerahi gelar amirah (أميرة), gelar yang sama dengan yang disandang oleh putri.
Pada masa Mesir Kuno, istri utama dari firaun pria bergelar ḥmt nswt wrt, yang dapat disejajarkan dengan permaisuri. Pada masa Kekaisaran Utsmani, pada umumnya para pasangan sultan memiliki kedudukan yang cenderung setara. Namun pada abad keenam belas, pasangan utama sultan dianugerahi gelar haseki sultan, gelar yang dapat disejajarkan dengan permaisuri. Pemegang gelar ini memiliki tingkat superioritas yang jauh mengungguli pasangan sultan yang lain, terlihat dari perbandingan pendapatan berkala yang diperoleh. Awalnya gelar ini hanya disandang satu orang saja di tiap masa, tetapi lama-kelamaan gelar ini disandang banyak wanita dalam satu masa, dan kemudian tidak lagi digunakan pada abad kedelapan belas. Setelah tidak digunakannya kembali gelar haseki sultan, kedudukan para pasangan sultan kembali cenderung setara tanpa perbedaan status yang mencolok.
Di Indonesia, monarki setingkat kerajaan yang masih memiliki wilayah kekuasaan adalah Kesultanan Yogyakarta, sedangkan yang lain hanya berperan sebatas lambang kebudayaan semata.
3. Selir.
Sama dengan permaisuri, selir juga istri dari penguasa monarki, baik raja, sultan, ataupun kaisar.
Akan tetapi, selir bukan istri utama. Ia merupakan pasangan ke sekian dan kedudukannya jauh di bawah permaisuri.
Meski begitu, selir tetap memiliki hak untuk dipenuhi meskipun raja atau seorang penguasa mengambil selir lagi.
Para selir akan dijaga dan diawasi oleh kasim, yakni laki-laki yang telah dikebiri dan bekerja sebagai pelayan raja ataupun anggota keluarga kerajaan.
Pada zaman dulu, hampir semua penguasa monarki memiliki banyak selir yang biasanya berasal dari status sosial rendah.
Tanpa melihat latar belakangnya, setiap perempuan yang bekerja di istana dan menarik perhatian raja pun bisa menjadi selir.
Alasan raja memiliki banyak selir umumnya adalah sebagai simbol kekuasaan dan untuk menjamin adanya pewaris takhta di tengah tingginya angka kematian bayi pada zaman dulu.
Meskipun anak-anak yang lahir dari selir biasanya akan diperlakukan dengan cara berbeda dengan anak-anak permaisuri.
Contoh selir adalah Sineenat Wongvajirapakdi, selir Raja Thailand, Raja Maha Vajiralongkorn.
Jumlah selir yang dimiliki biasanya menjadi semacam simbol bagi kekuasaan sang raja. Bisa dikatakan, selir merupakan perempuan-perempuan yang memiliki keterikatan hubungan dengan sang raja tanpa status pernikahan.
Keterikatan itu yang membuat para selir harus melayani sang raja dalam segala hal. Termasuk untuk urusan bercinta.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut adalah rahasia raja bisa kuat dalam urusan bercinta yaitu :
1. Ramuan Khusus.
Ramuan itu diminum tiap hari oleh raja-raja Jawa untuk menggauli para selirnya yang jumlahnya mencapai puluhan orang itu.
Ramuan itu merupakan campuran 40 butir merica, 40 butir daun sirih, serta 40 butir bawang lanang. Bahan rempah tersebut kemudian dihaluskan menggunakan layah dari batu.
Usai dihaluskan, bahan-bahan tersebut lalu direbus dan disaring. Selanjutnya air hasil saringan diembunkan selama semalaman. Pagi harinya air itu diminum. Begitulah setiap harinya.
2. Ilmu Pedoman Bercinta.
Selain memiliki ramuan khusus, para raja di Jawa biasanya memiliki ilmu Asmaragama yang berisi pedoman dalam bercinta. Di dalam ilmu itu, terdapat pedoman gaya bercinta dan sejumlah ajaran cinta yang memiliki filosofi Jawa.
Konsep ajaran pertama adalah Asmaratantra, yang mengajarkan kepada sepasang suami istri untuk memiliki perasaan yang berbeda dan getaran di hati masing-masing saat saling bersentuhan.
Konsep ajaran kedua adalah Asmaraturida, yang mengajarkan pasangan suami istri tidak boleh kaku dan sesekali harus mengeluarkan guyonan yang mengundang tawa.
Ajaran ketiga adalah Asmaranala, yang mengajarkan tentang saling memberi dan saling menerima, disenangkan, maupun menyenangkan.
Selanjutnya ajaran keempat adalah Asmaradana yang mengajarkan agar setiap pasangan mampu menyentuh hati pasangannya.
Sedangkan yang terakhir Asmaratura, yang mengajarkan puji dan rayu antara satu sama lain.
3. Persiapan Diri.
Ritual itu dilakukan raja sebagai bentuk persiapan sebelum bercinta, baik dengan permaisuri maupun selirnya.
Sama halnya dengan raja, para permaisuri dan selir juga mempersiapkan diri sebelum bercinta.
Biasanya mereka mandi, dandan atau memakai wewangian. Hal itu sesuai dengan ajaran Asmaragama dimana kedua pihak harus saling menjaga kebersihan diri.
DAYA TARIK SEKSUAL SELIR
Beberapa raja di Jawa Tengah selatan pada abad ke-19 bangga mempunyai banyak perempuan di Keputren. Kebanggan itu terutama terkait kekuatan seksual sang raja. Raja Jawa Tengah selatan memiliki empat istri resmi atau garwa padmi dan sejumlah istri tak resmi, yaitu selir atau garwa ampeyan. Daya tarik seksual penting dipahami oleh para gadis di lingkungan keraton demi kelangsungan karier sebagai selir. Meningkatkan daya tarik seksual merupakan salah satu cara menjadi selir kesayangan raja.
Di antara istri itu terjadi persaingan. Khususnya persaingan di antara para permaisuri yang ingin keturunannya menjadi penerus raja. Karenanya ada kiat-kita jitu agar perempuan di Keputren menjadi terfavorit. Misalnya, terlihat dari pendidikan yang diberikan kepada anak gadis oleh ibunya di Keraton Surakarta.
Pelajaran tentang menulis, membordir, dan menjahit tidak memiliki tempat, yang dianggap perlu untuk anak perempuan adalah melatih mereka bagaimana mengatur kecantikan,” tulis J.W. Winter sebagaimana dikutip Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-VIX.
J.W. Winter, penerjemah resmi di Surakarta mengatakan, pengetahuan yang diberikan kepada perempuan muda hanya satu hal, yaitu bagaimana berparas cantik, berlagak sopan, dan bertingkah laku pantas. Juga bagaimana pergi dengan payudara yang hampir telanjang bulat.
Mereka diajari bagaimana menghindari bicara ketika bergaul. Mereka harus berlatih berpura-pura berwajah merona malu-malu. Gadis-gadis muda itu dididik untuk tahu bagaimana caranya bersikap sembunyi-sembunyi hingga pada akhirnya dipilih sebagai perempuan, yang menurut istilah Winter sebagai piaraan Sunan, di Keputren. Mereka bisa memakai daya tarik seksualnya untuk memikat raja supaya lebih disukai dibanding semua selir yang lain.
Dari kecil, mereka diajar menepis semua rasa malu.
Di antara selir-selir Sultan Kedua Yogyakarta, disebutkan dua orang selir dari golongan kedua yang terkenal karena kecantikannya. Pertama, Bendoro Mas Ajeng Rantamsari. Sebelum menjadi selir sultan, dia merupakan penyanyi dan penari (teledek). Suatu pekerjaan yang membutuhkan pesona dan daya tarik seksual luar biasa.
Kedua, Mas Ayu Sumarsonowati. Dia terkenal karena warna kulitnya yang kuning-putih warisan darah peranakan Tionghoa dari pesisir utara.
Kendati begitu, sebagaimana dicatat Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa, sebagai istri bangsawan, menjadi prajurit éstri masih lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan sering kali tetap tak boleh meski raja telah meninggal. Itu meski mereka tak jarang dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri.
Namun, Carey menilai kalau kriteria seksual sebagai kunci hubungan penguasa dan selir itu tak selamanya benar. Latar belakang keluarga perempuan jauh lebih penting.
Pernikahan diatur dengan tujuan pokok membentuk aliansi politik dengan keluarga lokal yang kuat atau berpotensi bermusuhan.
BANYAK SELIR SIMBOL KEPERKASAAN RAJA-RAJA JAWA
Pada zaman dahulu, raja-raja Jawa dikenal oleh masyarakat sebagai sosok setara dewa. Kemakmuran dan kemiskinan ditentukan oleh tangan mereka. Bahkan kejadian bencana alam kerap dikaitkan dengan sosok sang raja.
Selain itu, para raja biasanya memiliki banyak selir. Bahkan seorang raja bisa memiliki selir hingga puluhan orang.
Jumlah selir yang dimiliki biasanya menjadi semacam simbol bagi kekuasaan sang raja. Bisa dikatakan, selir merupakan perempuan-perempuan yang memiliki keterikatan hubungan dengan sang raja tanpa status pernikahan.
Keterikatan itu yang membuat para selir harus melayani sang raja dalam segala hal. Termasuk untuk urusan ranjang.
Hal tersebut yang kemudian memunculkan rasa penasaran publik, bagaimana para raja bisa kuat dalam berhubungan dengan para selir yang jumlah banyak. Misalnya saja Susuhunan Pakubuwono X yang diketahui memiliki selir hingga 45 orang.
Salah satu rahasia keperkasaan raja-raja Jawa adalah ramuan khusus. Ramuan itu diminum tiap hari oleh raja-raja Jawa untuk menggauli para selirnya yang jumlahnya mencapai puluhan orang itu.
Ramuan itu merupakan campuran 40 butir merica, 40 butir daun sirih, serta 40 butir bawang lanang. Bahan rempah tersebut kemudian dihaluskan menggunakan layah dari batu.
Usai dihaluskan, bahan-bahan tersebut lalu direbus dan disaring. Selanjutnya air hasil saringan diembunkan selama semalaman. Pagi harinya air itu diminum. Begitulah setiap harinya.
Selain memiliki ramuan khusus, para raja di Jawa biasanya memiliki ilmu Asmaragama yang berisi pedoman dalam bercinta. Di dalam ilmu itu, terdapat pedoman gaya bercinta dan sejumlah ajaran cinta yang memiliki filosofi Jawa.
Konsep ajaran pertama adalah Asmaratantra, yang mengajarkan kepada sepasang suami istri untuk memiliki perasaan yang berbeda dan getaran di hati masing-masing saat saling bersentuhan. Konsep ajaran kedua adalah Asmaraturida, yang mengajarkan pasangan suami istri tidak boleh kaku dan sesekali harus mengeluarkan guyonan yang mengundang tawa.
Ajaran ketiga adalah Asmaranala, yang mengajarkan tentang saling memberi dan saling menerima, disenangkan, maupun menyenangkan. Selanjutnya ajaran keempat adalah Asmaradana yang mengajarkan agar setiap pasangan mampu menyentuh hati pasangannya. Sedangkan yang terakhir Asmaratura, yang mengajarkan puji dan rayu antara satu sama lain.
Selain itu sebelum melakukan hubungan, raja-raja Jawa harus melakukan semedi dan membersihkan diri. Ritual itu dilakukan raja sebagai bentuk persiapan sebelum bercinta, baik dengan permaisuri maupun selirnya.
Sama halnya dengan raja, para permaisuri dan selir juga mempersiapkan diri sebelum bercinta. Biasanya mereka mandi, dandan atau memakai wewangian. Hal itu sesuai dengan ajaran Asmaragama di mana kedua pihak harus saling menjaga kebersihan diri.
RAJA-RAJA JAMAN DAHULU MEMILIKI BANYAK SELIR
Selir dalam sudut pandang keluarga ningrat Jawa dari tingkat bangsawan biasa sampai raja dapat diartikan sebagai Garwa Ampeyan. Sementara itu istri disebut sebagai Garwa Padmi yang menduduki posisi permaisuri. Permaisuri atau Garwa Padmi yang menjadi istri sah biasanya berjumlah dua sampai sampai empat, sementara selir dapat berjumlah puluhan bahkan tidak terhitung jumlahnya. Hal yang harus dipahami ialah selir atau Garwa Ampeyan ini tidak hanya berasal dari kalangan rakyat jelata, namun juga bangsawan.
Selir dari kalangan bangsawan di Jawa memiliki gelar Bendara Raden Ayu (B.R.Ay), Bendara Radan (B.R.), Kanjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) dan Kanjeng Bendara Raden Ayu (K.B.R.Ay.). Sementara itu, selir yang berasal dari golongan rakyat jelata mendapat gelar Mas Ajeng atau Mas Ayu sehingga gelarnya menjadi Bendara Mas Ajeng (B.M.Aj.) atau Bendara Mas Ayu (B.M.Ay.). Perbedaan gelar itu pada intinya menentukan tingkat atau derajat selir, meskipun pada prakteknya seorang raja dapat saja memilih selir dari kalangan rakyat jelata sebagai yang tercinta atau selir kinasih.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seorang raja mengambil perempuan menjadi selirnya. Faktor adanya selir dari kalangan bangsawan ialah :
1. Menyatukan wilayah kekuasaan yang lebih kecil atau lemah sebagai bentuk kompromi politik tanpa perlu adanya perang yang menghabiskan biaya. Hal ini kemudian membentuk aliansi politik dan kekuasaan antara Keraton dan Keadipatian.
2. Pengikat sistem kekeluargaan karena sejatinya selir dari kalangan bangsawan Jawa masih satu darah atau berinduk dari wangsa/keluarga yang sama.
3. Kompromi politik dengan kekuatan yang dianggap asing atau di luar keraton seperti adanya selir dari bangsawan Tionghoa cabang atas.
Sementara itu, faktor selir dari kalangan rakyat jelata adalah :
1. Ingin memiliki keturunan lebih dulu karena belum mendapatkan garwa padmi atau permaisuri dari kalangan setara jika ditilik dari bibit, bebet, dan bobot. Salah satu contoh faktor ini ialah ketika Raden Mas Ario Sosroningrat mengawini Mas Ayu Ngasirah sebagai selirnya dan kedua pasangan itu memiliki anak Raden Mas Panji Sastrokartono dan Raden Ajeng Kartini, selanjutnya Raden Ayu ketika sudah menikah.
2. Tidak dapat menahan gejolak asmara atau dorongan birahi sehingga bangsawan atau raja kemudian mengambil selir yang mana seorang perempuan cantik jelita. Perempuan biasa ini biasanya ialah seorang penari atau istri rakyat jelata yang diambil sebagai selir karena penguasa tidak dapat menahan gejolak birahi. Salah satu contohnya ialah ketika Amangkurat I merebut istri Ki Panjang Mas yang bernama Mas Malang. Perempuan itu kemudiang diangkat sebagai ratu dengan gelar Ratu Mas Malang dan Ki Panjang Mas dibunuh oleh raja Mataram Islam itu.
3. Jika dicermati lebih jauh dari faktor-faktor di atas maka dapat disimpulkan bahwa alasan utama raja memiliki banyak selir adalah karena bentuk aliansi politik jika selirnya merupakan bangsawan dan alasan dorongan nafsu birahi semata jika selirnya dari kalangan rakyat jelata. Para permaisuri dan selir serta anak-anak mereka yang masih kecil disertai emban atau dayang-dayang ditempatkan dalam keputren di lingkungan tembok keraton. Di dalam keputren inilah para selir dari kalangan rakyat jelata diajari adab keraton atau keningratan Jawa yang halus. Pada masa sekarang tentunya sudah sangat sedikit raja Jawa yang memiliki selir.
4. Raja Jawa yang masih memerintah secara de facto dan de jure, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwana X dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat saja hanya memiliki satu istri yang menjadi permaisuri atau garwa padmi, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (G.K.R) Hemas yang memiliki nama lahir Tatiek Dradjad Supriastuti yang sebenarnya masih berdarah biru karena ibunya bernama Raden Nganten Susamtilah Soepono. Sebelum HB X, Pakubuwana VIII diketahui tidak berselir dan hanya punya satu istri, yakni Raden Ayu Ngaisah yang sekaligus menjadi permaisuri. Akan tetapi, dalam keraton Yogyakarta tentu hanya HB X saja seorang raja yang tidak poligami karena pada masa lalu raja-raja dari keraton Yogyakarta memiliki permaisuri dan selir, bahkan HB V dibunuh selirnya sendiri saat sedang memadu kasih. HB IX juga tercatat sebagai raja yang tidak pernah memiliki permaisuri karena kelima istrinya, yang mana empat di antaranya adalah bangsawan, berkedudukan sebagai selir atau garwa ampeyan.
Pakubuwana VIII didampingi permaisuri dan mungkin saudari perempuannya karena dia tidak berpoligami.
ALASAN RAJA PAKUBUWONO X MEMPUNYAI SELIR BANYAK
Kehidupan kaum bangsawan di dalamnya akan sangat menarik untuk dibahas. Tidak hanya soal takhta dan berwenang, kehidupan asmara para anggota kerajaan juga selalu menarik untuk dihubungi.
Salah satunya adalah kebiasaan Raja yang gemar berpoligami alias memiliki istri lebih dari satu. Di Nusantara, istri raja yang tidak resmi atau bukan istri yang pertama, disebut dengan istilah selir, jumlah selir sendiri pun fantastis. Misalnya, Raja Pakubuwono X, menjadi raja yang memiliki selir terbanyak dalam sejarah Nusantara. Yakni mencapai 40 orang.
Raja Pakubowono X akhrinya memiliki anak hingga 60 orang. Bicara soal raja dan para selir, pasti membuat Anda bertanya-tanya. Kira-kira, apa alasan di balik keputusan raja untuk memiliki banyak istri, Apakah murni untuk melampiaskan hasrat seksual yang dimiliki oleh sang raj, Jawabannya adalah tidak.
Memang betul, bahwa para selir menyimpan untuk melayani keinginan raja secara biologis. Tapi ternyata terdapat beberapa alasan kenapa mayoritas raja mempunyai banyak istri, Viva merangkum dari berbagai sumber mengenai berbagai alasan sebagai berikut :
1. Simbol Kekuatan Dan Kekayaan
Harta, Takhta, Wanita. Ungkapan inilah yang menjadi pedoman para raja di zaman dulu. Bagi para raja, harta dan takhta yang mereka miliki merupakan senjata untuk menggaet banyak perempuan.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, semakin banyak perempuan yang mau menjadi selir maka semakin besar juga kekuatan para raja akan takhta dan harta yang mereka. Selain itu, memiliki banyak istri membuat para raja memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh keturunan laki-laki.
Dalam silsilah kerajaan, keturunan laki-laki merupakan hal yang paling berharga, karena bisa menjadi penerus jika kelak sang raja memutuskan untuk turun takhta atau meninggal dunia.
2. Wilayah Kekuasaan.
Selir juga berfungsi untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaan tertentu. Dengan menikahi gadis-gadis yang ada di wilayah-wilayah tertentu tersebut, maka wilayah tersebut juga dapat menjadi wilayah kekuasaan kerajaan.
Karena di masa depan, ketika para selir melahirkan anak laki-laki maka anak tersebut pasti akan ditunjuk untuk memimpin wilayah asal ibunya.
Misalnya ia berasal dari selir di wilayah Mataram Tenggara. Maka secara otomatis, anak-anak tersebut akan memimpin wilayah Mataram Tenggara dengan menjadi pemimpin daerahnya. Jika setiap daerah dipimpin oleh keturunan sang raja.
Secara otomatis roda politik dan perekonomian di wilayah tersebut, berada di bawah kontrol dan pengaruh sang raja.
3. Nilai Keuntungan.
Memberikan anak perempuan kepada raja untuk dijadikan selir, merupakan proses transaksi yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pihak kerajaan dan keluarga si perempuan. Pada zaman dahulu, di mana kita berada dalam kelas masyarakat merupakan hal yang sangat penting.
Semakin tinggi kelas masyarakat, maka semakin meningkat juga keberadaan. Namun beruntung lah, kesempatan untuk menjadi kaum bangsawan atau pejabat adalah takdir. Karena itulah, orang-orang dari kelas masyarakat biasa, berusaha memberikan anak perempuannya untuk menjadi selir raja.
Supaya kehidupan mereka juga ikut terangkat. Jika kehidupan mereka terangkat, maka tidak hanya status di masyarakat yang naik kelas, tetapi juga perekonomian nya. Belum lagi jika anak mereka bisa melahirkan bayi laki-laki. Bisa dipastikan bahwa kedudukan mereka di masyarakat akan membanggakan.
4. Faktor Ekonomi.
Begitu juga dengan faktor ekonomi nya yang akan terus membaik. Meski begitu, untuk menjadi selir raja mudah. Ada banyak sekali syarat yang harus dipenuhi. Termasuk apakah raja tertarik pada perempuan tersebut atau tidak.
Itulah mengapa, para perempuan zaman dulu tidak pernah sulit untuk bisa baca-tulis hingga menjahit. Melansir dari buku berjudul ‘Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVII-VIX’ yang ditulis oleh J.W. Winter, mengungkap kalau anak perempuan hanya melihat untuk melatih kecantikan diri mereka.
5. Daya Tarik.
Mulai dari sopan, bertingkah laku pantas, berdandan atau mempercantik diri, belajar bagaimana menghadapi malu-malu, termasuk menghindari bicara saat bergaul sampai tampil seksi, di mana ketika berpakaian mereka hampir terlihat bulat.
Hal ini penting untuk dilakukan agar mereka memiliki daya tarik secara seksual, sehingga raja akan lebih menyukai mereka dibandingkan dengan selir lainnya. Itulah fakta alasan mengapa raja mempunyai banyak istri yang dapat diinformasikan ke kamu. Untung lah saat ini raja pun sudah tidak mempunyai banyak istri, misalnya Raja Kesultanan Hamengkubowono X Yogyakarta yang saat ini hanya mempunyai satu istri dan menjadikannya sebagai simbol kesetiaan.
KISAH 20.000 SELIR DAN 100.000 KASIM DI HAREM KAISAR TIONGKOK
Harem jadi bagian dari para penguasa masa lalu. Firaun Mesir kerap mewajibkan para gubernur untuk mengirimkan gadis cantik untuk dijadikan hamba sahaya.
Montezuma II, penguasa Aztec dari Meksiko, dikabarkan memiliki 4.000 selir.
Dalam masyarakat Aztec, setiap anggota kaum bangsawan wajib memiliki selir sebanyak-banyaknya, semampu mereka.
Sementara itu, Raja Kashyapa dari Sigirya di Sri Lanka memiliki 500 perempuan di haremnya.
Harem bukan soal syahwat belaka. Pada masa lalu, dianggap suatu kehormatan besar bagi perempuan yang menjadi bagian dari harem sang penguasa. Hal itu juga berlaku untuk para para kaisar China.
Sebab, tugas mereka tak cuma memimpin negara, para penguasa Tiongkok juga wajib memastikan kelanjutan dinastinya.
Caranya, dengan memproduksi keturunan lelaki. Untuk tujuan itulah, para perempuan terpilih ditempatkan di harem atau dalam bahasa setempat disebut hougong berasal dari kata hou-kung yang secara harfiah berarti istana belakang.
Istilah itu merujuk ke bagian istana yang diperuntukkan bagi permaisuri kaisar China, selir, hamba perempuan, dan orang-orang kasim.
Seperti dikutip dari situs Ancient Origins, di dalam harem berlaku hierarki, meski tak ajek karena berubah sesuai zaman. Namun, pada dasarnya ada tiga tingkatan di dalamnya permaisuri, selir resmi (consort), dan selir biasa.
Permaisuri (Huanghou) atau istri resmi kaisar ada di puncak hierarki. Para ratu adalah perempuan paling dihormati dan dipuja di seluruh Tiongkok. Karena posisinya yang terhormat, ia dijuluki ibu dunia.
Di dalam harem, hanya dua sosok yang kedudukannya lebih tinggi dari permaisuri: kaisar dan ibu suri. Sementara lainnya wajib tunduk pada titahnya. Melanggar bisa berarti mati.
Selain permaisuri juga ada empress dowager janda kaisar yang diberi pangkat tersebut. Yang paling terkenal dari mereka adalah Cixi dari Dinasti Qing dan Wu Zetian dari Dinasti Tang.
Wu Zetian kemudian bahkan jadi perempuan pertama yang jadi Kaisar China.
Di bawah permaisuri ada para consort atau selir resmi. Jumlah dan ranking mereka berbeda-beda tergantung dinasti yang berkuasa.
Selama Dinasti Qing, misalnya, harem kekaisaran memiliki satu Imperial Noble Consort (Huang Guifei), dua Noble Consort (Guifei), dan empat Consort (Fei).
Tak hanya itu, para kasim yang melayani para perempuan milik raja juga menjadi bagian tak terpisahkan dari harem.
Menurut Ritus Zhou, seorang kaisar bisa memiliki hingga 9 selir tinggi, 27 selir menengah, dan 81 di peringkat rendah.
Namun, selama Dinasti Han (206 SM - 220 M), tak ada batas berapa selir yang bisa dimiliki kaisar.
Selama pemerintahan Kaisar Huan dan Kaisar Ling, dikabarkan ada lebih dari 20.000 perempuan yang hidup di Kota Terlarang.
Dan, untuk memastikan bahwa setiap anak yang lahir di harem adalah keturunan kaisar, pria dilarang keras memasuki kompleks istri-istri sang penguasa. Satu-satu pengecualian adalah para kasim yang telah dikebiri.
Sepanjang sejarah Kekaisaran China, kasim bertugas melayani keluarga kerajaan, termasuk sebagai pembantu di harem.
Meski statusnya adalah hamba biasa, namun, kasim bisa mendapatkan posisi penting juga kekayaan dengan melibatkan diri dalam politik harem.
Selama Dinasti Ming (1368-1644), dikabarkan ada 100.000 kasim yang melayani kaisar dan haremnya.
PERSAINGAN SENGIT PARA GUNDIK
Selama Dinasti Ming (1368-1644 Masehi), diterapkan sistem resmi untuk memilih para selir yang akan masuk ke harem kaisar.
Proses pemilihan akan dilakukan di dalam Istana Terlarang atau Forbidden City setiap tiga tahun.
Para kandidat, yang berusia 14 sampai 16 tahun dipilih berdasarkan latar belakangnya, kebajikan, perilaku, karakter, penampilan, dan kondisi tubuh.
Harem dipenuhi banyak perempuan, dengan kepentingan masing-masing, drama persaingan tak terelakkan.
Mereka berebut mendapatkan perhatian sang kaisar. Tentu saja, posisi sebagai permaisuri jadi incaran. Bisa melahirkan putra raja dianggap bonus terbesar.
Tak jarang, selir yang ambisius berkomplot dengan para kasim untuk menyingkirkan lawan. Sebagai imbalan, para kasim yang dianggap berjasa akan mendapatkan jabatan penting.
Intrik harem seperti itu sering terjadi dalam sejarah China. Misalnya, selama Dinasti Tang, salah satu selir resmi Kaisar Gaozong adalah Wu Zetian.
Menurut legenda, Wu Zetian tega membunuh anaknya yang baru lahir dan melemparkan kesalahan pada Permaisuri Wang.
Akhirnya, sang permaisuri di dicopot dari jabatannya dan Wu Zetian kemudian menggantikannya.
Namun, tak semua harem jadi ajang konflik dan konspirasi. Kaisar Huangdi yang punya reputasi semi-mistis konon punya empat selir yang tak dipilih berdasarkan kecantikan melainkan kompetensi.
Selir keduanya dikisahkan sebagai penemu masakan dan sumpit. Lainnya dipercaya sebagai penemu sisir.
Bersama empat selirnya, Kaisar Huangdi memerintah China.
DARI SELIR JADI KAISAR CHINA
Tercatat dalam sejarah seorang perempuan pernah memimpin Tiongkok dan menyandang gelar kaisar: Wu Zetian.
Memerintah pada Abad ke-7 Masehi, Wu menjadi penguasa yang kontroversial dan memegang kekuasaan sedemikian besar. Meski memiliki segudang prestasi, karakter aslinya tetap misterius, diselubungi narasi bernada penghinaan.
Ini salah satunya: "Ia berhati ular dan memiliki sifat seperti serigala," demikian Liputan6.com kutip dari situs Smithsonian.com.
Maharani Wu Zetian digambarkan sejarah sebagai sosok kontroversial dan sadis (China Culture). Sejarawan lain menulis, Ia membunuh saudarinya sendiri, membantai kakak-kakak lelakinya, membunuh para penguasa, dan meracuni ibunya. Ia dibenci para dewa juga manusia.
Selama berabad-abad, Wu dicela oleh para sejarawan. Digambarkan sebagai sosok perampas yang kejam dan perempuan 'nakal'. Sosoknya yang menonjol bahkan disebut-sebut karena kesediaannya memenuhi selera seksual Kaisar Taizong yang tak biasa.
Namun seberapa akurat gambaran tersebut, masih jadi perdebatan sengit. Mungkin benar, demikianlah kelakuan sang maharani. Atau jangan-jangan sejarah ditulis oleh mereka yang berseberangan.
Yang jelas perjalanan Wu menuju takhta diwarnai intrik kekuasaan.
Lahir pada 624 Masehi, ia masuk ke istana pada usia 14 tahun. Sebagai selir Kaisar Taizong, penguasa Dinasti Tang yang lebih pantas jadi kakeknya.
Ia tak hanya cantik. Orangtuanya yang kaya dan dari kalangan darah biru memberinya bekal pengetahuan menulis, membaca sastra klasik China. Wu juga pandai main musik.
Kelebihannya itu yang konon membuat Wu menonjol dari perempuan lain di istana. Membuatnya mampu bersaing dengan selir-selir yang jumlahnya hampir 30 orang. Kaisar menjadikannya sebagai favorit.
Pada 649, sang penguasa mangkat. Seperti selir-selir lainnya, ia dikirim ke biara untuk menghabiskan masa hidupnya di sana. Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk kembali ke istana.
Pesona Wu memikat sang pewaris takhta, Kaisar Gaozong yang menjadikannya selir 3 tahun setelah ayahnya tiada.
Wu secara bertahap mendapatkan kepercayaan dan dukungan Gaozong. Setelah melahirkan 2 putra, ia mulai bersaing dengan Ratu Wang dan selir senior Xiaoshu untuk memperebutkan perhatian sang kaisar.
Untuk mencapai tujuannya, Wu menghabisi orang-orang yang menghalangi jalannya. Ia bahkan sampai hati membunuh putrinya sendiri yang masih bayi dan menjadikan Ratu Wang yang terakhir memegang bocah itu sebagai kambing hitam.
Setelah berhasil menjadi ratu pada 655, Wu memerintahkan Wang dan selir Xiaoshu dihabisi. Jasad keduanya bahkan dimutilasi dan dimasukkan dalam tong anggur.
Wu juga mengangkat kerabatnya untuk mengisi jabatan penting. Perlahan, perempuan itu ikut memerintah bersama suaminya.
Setelah kematian Gaozong pada 683, Wu tetap mengendalikan kekuasaan sebagai ibu suri. Ia mengangkat putranya Li Xian sebagai Kaisar Zhongzong.
Tak sampai setahun, kaisar baru yang sulit dikendalikan ia gulingkan. Wu kemudian mengangkat putra keempatnya Li Dan sebagai Kaisar Ruizong. Dan pada 16 Oktober 690, Wu merebut takhta dan mendirikan wangsa baru, Dinasti Zhou yang dikendalikan dari ibukota Luoyang.
Pemerintahannya diwarnai skandal. Wu tak tak punya belas kasih pada orang-orang yang gagal memenuhi keinginannya atau tak ia sukai. Ganjarannya penjara atau bahkan eksekusi mati. Tak terkecuali jika pelakunya adalah saudara atau kerabatnya sendiri, pun dengan orang-orang yang berjasa mendirikan dinasti.
Wu juga disebut-sebut memiliki semacam harem yang dipenuhi pria muda.
Di sisi lain, Wu adalah penguasa yang berhasil. Masa pemerintahannya berlangsung damai dan sejahtera. Ia memperkenalkan sistem meritokrasi dan ujian masuk bagi para calon birokrat.
Di bawah kuasanya, Tiongkok juga menghindar dari perang. Wu juga menerima kunjungan sejumlah duta besar, termasuk dari Bizantium.
Wu memerintahkan penulisan biografi para perempuan terkenal, dan memerintahkan anak untuk berduka bagi kematian kedua orangtuanya bukan hanya ayah. Ia juga mengangkat seorang penasihat perempuan, Shangguan Wan'eryang disebut-sebut sebagai perdana menterinya.
Di bawah pemerintahan Wu, biaya militer dipangkas, pajak dipotong, gaji pegawai berprestasi dinaikkan, pensiun diberi tunjangan, dan tanah luas dekat ibukota diubah menjadi lahan pertanian, tulis Mary Anderson dalam bukunya, Hidden Power.
Imajier Nuswantoro