BABAD JAKA TINGKIR
Babad Jaka Tingkir memuat pola-pola suksesi dan pola-pola kepemimpinan yang patut untuk diteliti, sebab kepemimpinan tetap menjadi potret yang menarik untuk diperbincangkan. Namun, sejauh ini belum adanya penelitian tentang aspek kepemimpinan dalam babad Jaka Tingkir. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola suksesi yang terdapat dalam Babad Jaka Tingkir dan bagaimana peran kepemimpinan dalam struktur Babad Jaka Tingkir. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengungkap pola suksesi yang terdapat dalam Babad Jaka Tingkir dan mengungkap peran pola kepemimpinan dalam Babad Jaka Tingkir. Pendekatan dalam penelitian ini adalah sosiologi sastra, karena penelitian ini mengungkap masalah suksesi dan kepemimpinan yang merupakan gejala sosial yang terdapat dalam teks babad serta karena sastra dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam teks Babad Jaka Tingkir ditemukan tiga pola suksesi, yaitu :
1. Perebutan takhta,
2. Pendirian kerajaan baru,
3. Genealogi, dan Wasiat.
Melalui analisis tentang pola kepemimpinan dalam Babad Jaka Tingkir ditemukan pola kepemimpinan, seperti :
1. Mulat,
2. Milala,
3. Miluta,
4. Palidharma, serta.
5. Palimarma.
Panca Pratama yaiku :
1. Milala tegese seneng peparing marang andhahane, ora malah kosok baline. Makna Milala adalah orang yang berani, cerdas, dan pekerja keras.
2. Mulat tegese ora worsuh paminta prataning kaparyan, sarta tansah waspada sakabehing tumindak.
Kata mulatbdalam bahasa Kawi berarti melihat. Jadi, kembali mulat sarira ialah kembali melihat tubuh.
3. Miluta tegese angraket utawa raket marang andhahane
4. Pali darma : tegese tansah aweh pitutur marang kelakuan kang becik marang andhahane.
5. Pali marma tegese sugih pangapura, ora seneng nibakake paukuman marang andhahane.
Pola kepemimpinan menjadi salah satu unsur pembangun cerita dalam Babad Jaka Tingkir di samping genealogi, fiksi, mistis, dan historiografi yakni menjadi alur utama dalam teks Babad Jaka Tingkir.
INTISARI TEKS BABAD JAKA TINGKIR
Babad Jaka Tingkir atau Babad Pajang merupakan salah satu dari sekian banyak babad mengenai sejarah Jawa dan kebanyakan dari sekian banyak babad merupakan kitab anonim. Babad Jaka Tingkir ditulis pada hari Minggu pada bulan Sapar tanggal 22 jam 11 mangsa Katiga hitungan Jawa ditandai dengan sengkala Sang Mahamuni Anata Goraning Rat atau tahun Jawa 1748 juga bertepatan dengan tarikh nabi dengan sengkala “Pandhita Aguna Sinembah Ing Jagad Kabeh atau 1237 bertepatan pula dengan tahun Masehi bulan Agustus tanggal 23 dengan sengkala Trus Sinembah Sariraning Ratu” atau tahun 1820. Babad Jaka Tingkir diawali dengan penciptaan langit dan bumi serta manusia sebagai penghuninya, cerita terus bersambung dengan zaman para nabi serta beberapa jaman yaitu dari jaman srikalaraja yang ditandai dengan ke-moksa-an Raja Majapahit yaitu Brawijaya V, setelah ke-moksa-an ini maka jaman berganti menjadi jaman kalawijisaya dan muncul tiga negara yaitu Benang, Giri dan Demak. Diceritakan pula tentang Raja Bali Prabu Kalagerjita yang menyerang Jawa dengan 3 laksa, pasukan kemudian muncul Sri Handayaningrat dari Pajang-Pengging yang dapat mengalahkan Prabu Kalagerjita kemudian ia melakukan penaklukkan ke seluruh nusantara. Raja Brawijaya diceritakan memiliki banyak selir dan dari selir-selir itu lahir putra-putri yang memiliki kelebihan dan kekuatan diatas kekuatan manusia biasanya.
Suatu ketika raja Pajang Pengging Sri Handayaningrat meninggal dan meninggal dua orang putra yaitu Kebokenanga dan Kebokanigara lalu kedua anak ini diasuh oleh Brawijaya sedangkan kerajaan Pajang Pengging diubah kedudukannya menjadi sebuah kadipaten. Seperti diceritakan sebelumnya setelah kemoksaan Brawijaya V maka istrinya yaitu Ratu Andarawati atau Putri Cempa memeluk agama Islam dan ia punya putra di Ampelgading yang terkenal sebagai Sunan Ampel dan Sunan Ampel ini berputra Jeng Sunan Benang (Bonang). Ratu Andarawati tinggal di Benang bersama Kebokanigara dan Kebokenanga dan tak lama kemudian ia meninggal. Diceritakan pada hari Senin para wali di Jawa berkumpul bersama dengan seluruh pembesar daerah untuk bermusyawarah tentang upaya mendirikan sebuah masjid, kemudian disusunlah rencana-rencana pembangunan yang terutama adalah mengenai empat saka guru (saka utama) yang dibebankan kepada sembilan orang wali kemudian tiang sejumlah 12 (saka pangendhit)yang akan diletakan diatas empat saka guru tadi akan dibebankan kepada para pangeran kemudian ada duapuluh tiang yang lain lagi yang disebut saka rawa dibebabnkan kepada para bupati dan pembesar-pembesar lain.
Pada masa Sunan Ampel ada seseorang dengan gelar Pangeran Atas-Angin dan ia adalah seorang mufti di Kaliwungu, salah satu keturunannya berkedudukan sebagai adipati di Pandanaran. Bupati Pandanaran dan adiknya ini dididik berbagai ilmu oleh Sunan Kalijaga karena diramalkan olehnya Adipati Pandanaran dan adiknya ini akan menjadi seorang waliyullah yang besar. Setelah belajar beberapa lama kepada Sunan Kalijaga maka pada suatu malam Adipati Pandanaran, istri dan adiknya pergi meninggalkan Kadipaten Pandanaran meninggalkan keduniawian dan bermukim di Gunung Tembayat dan di tempat ini ia menetap dan bergelar Sunan Tembayat sedangkan adiknya bergelar Panembahan Kajoran.
Kembali ke kerajaan Demak bahwa sepeninggal Panembahan Bintara maka ia digantikan oleh putranya yaitu Dipati Unus atau lebih dikenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor namuin ia juga juga gugur di medan peperangan dan ia segera digantikan oleh Sunan Trenggana.
Diceritakan setelah sekian lama Raden Kebokanigara dan Raden Kebokenanga tinggal di Bonang maka Raden Kebokenanga dan Raden Kebokanigara pulang ke Pengging namun ia merasa kecewa terhadap Sultan Demak karena Pengging hanya dianggap sebuah kadipaten kecil, setelah tinggal di Pengging ia bergelar Kyai Ageng Pengging dan ia juga murid dari Seh Siti Jenar. Kyai Ageng Pengging tinggal di Pengging bukan lagi sebagai seorang ningrat yang hidup bermewah-mewah namun ia malah menjadi seorang petani biasa yang menggarap sawah dan aktivitasnya sehari-hari hanyalah pergi bekerja di sawah kemudian ketika di rumah maka ia hanya berdoa kepada Tuhan. Raja Bintara yang baru mulai resah karena Kyai Ageng Pengging tidak pernah sowan ke Demak dan karena dasar itulah maka Sultan Demak berpikiran bahwa Kyai Ageng Pengging akan membelot dari kekuasaan Demak dan merongrongnya.
Bertepatan upacara Garebeg di Demak maka ibokota Demak sangat ramai terutama di masjid agung Demak beberapa hari sesudahnya berkumpul seluruh wali dan para pembesar bermusyawarah mengenai penyebaran agama Islam. Sunan Kudus melaporkan perihal Seh Siti Jenar kepada Jeng Sunan Drajad mengenai ajarannya yang menyimpang dan dianggap akan membahayakan perkembangan agama Islam kemudian Sunan Drajad berkehendak memanggil Seh Siti Jenar untuk disidang dihadapan para wali. Dihadapan para wali Seh Siti Jenar membeberkan ajarannya mengenai manunggaling kawula gusti dan konsep sangkan paraning dumadi, ajaran-ajaran Seh Siti Jenar itu dianggap bid’ah dan setelah melewati perdebatan panjang antara para wali dengan Seh Siti Jenar maka para wali memutuskan untuk menghukum mati Seh Siti Jenar. Pada hari Jum’at seluruh orang berkumpul untuk menyaksikan putusan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Seh Siti Jenar dan setelah berwasiat maka Sunan Kudus segera menebas leher Seh Siti Jenar dan putuslah kepala dari lehernya namun terjadi suatu keajaiban bahwa kepala yang tergeletak itu bicara dan kembali tersambung dengan badannya kemudian tak lama tubuh Seh Siti Jenar mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan tak lama kemudian ia moksa beserta badan kasarnya.
Kematian Seh Siti Jenar segera diikuti oleh beberapa muridnya yang ikut mati meninggalkan kesengsaraan di dunia. Peristiwa hukuman mati itu terulang lagi namun kali ini para wali menghukum seorang syeh yang juga murid dari kanjeng Seh Siti Jenar dan ia bernama Seh Malangsumirang, ia dihukum mati oleh para wali karena dianggap mengganggu ketentraman masyarakat karena ia berpura-pura gila dan mengganggu masyarakat namun setelah prosesi hukuman mati terhadapnyapun terjadi keajaiban, Seh Malangsumirang moksa bersama seluruh badannya.
Kembali kepada kisah di Demak bahwa Kyai Ageng Pengging memohon kepada Tuhan untuk diberi keturunan dan tak lama kemudian permohonannya dikabulkan oleh Tuhan lewat sebuah wangsit yang memberitahukan kepadanya bahwa ia akan mendapatkan seorang anak laki-laki yang sehat dan memiliki kesaktian luar biasa dan akan menjadi raja besar di tanah Jawa. Benarlah kiranya wangsit itu karena tak lama kemudian Nyai Ageng Pengging hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang bertepatan dengan pertunjukan wayang beber di rumah Ki Ageng Pengging dan atas saran Ki Ageng Tingkir (Raden Kebokanigara) bayi laki-laki tersebut diberi nama Mas Karebet. Raja Demak mengirim Kyai Ageng Wanalapa ke hadapan Kyai Ageng Pengging untuk memberi pilihan kepadanya namun Ki Ageng Pengging tidak memberi pilihan karena Ki Ageng Pengging berpendapat bahwa ia tidak pernah merasa diperintah oleh Sultan Demak karena ia mempercayai bahwa semua manusia adalah umat dari Tuhan. Jawaban yang tegas dari Kyai Ageng Pengging ini ditafsirkan oleh Raja Demak sebagai sebuah pembangkangan terhadap kekuasaan raja dan sebagai sebuah reaksi maka Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk pergi ke Pengging dan Sunan Kudus berangkat ke Pengging bersama tujuh orang santrinya dan tak lupa ia membawa serta sebuah pusaka berupa bendhe kyai macan.
Perjalanan Sunan Kudus ke Pengging melewati beberapa daerah dan atas usul dari dirinya pula ia memberi nama tempat yang ia lalui seperti ia memberi nama sebuah tempat dengan nama Sama Katingal karena banyak orang yang berdatangan melihat bungkusan pusaka yang dibawa Sunan Kudus beserta ketujuh santrinya tempat yang lain adalah sima karena pada saat rombongan Sunan Kudus melewati daerah ini pusaka kyai macan dipukul dan suaranya seperti suara harimau.
Kembali ke kadipaten Pengging diceritakan bahwa Kyai Ageng Pengging telah beberapa hari didalam sanggar pamujan memohon ke-moksa-an kepada Tuhan tak beberapa lama kemudian rombongan Sunan sampai ke Pengging dan Sunan Kudus segera meminta izin untuk menemui Kyai Ageng Pengging setelah ia bertemu maka kedua orang ini terlibat dalam sebuah perdebatan karena Sunan Kudus menginginkan kematian Ki Ageng Pengging maka Kyai Ageng Pengging menurut saja dan ia meminta menyobek siku tangannya dan setelah siku Kyai Ageng Pengging sobek maka ia segera meninggal. Merasa tugasnya selesai ia bersama santrinya meninggalkan Pengging tak lama kadipaten Pengging kacau karena Kyai Ageng Pengging telah meninggal, Nyai Ageng Pengging sangat sedih karena ia masih putra yaitu Mas Karebet dan atas permintaan Ki Ageng Tingkir (Raden Kebokanigara) ia diminta sabar dan anaknya diminta untuk tinggal bersamanya di Tingkir dan Mas Karebet diangkat sebagai anak.
Perjalanan pulang dari Pengging Sunan Kudus beristirahat di tepi sungai dan sungai ini diberi nama Kali Pepe, setibanya di keraton Demak rombongan Sunan Kudus disambut dengan meriah bak seorang pahlawan dan Sunan Kudus mendapat ucapan selamat dari Sultan Demak.
MOKSA
Moksa adalah sebuah istilah dalam ritus Hindhu yaitu suatu peristiwa kematian seseorang pergi ke alam nirwana atau kematian dengan disertai jasad kasarnya.
Moksanya Prabu Brawijaya V :
“lenyep saking manusapadeki…datan kalawan lampus, paripurna waluya jati…waskiteng sangkan paran.” (hilang dari dunia ini…tidak karena mati akan tetapi musnah bersama badannya…tahu apa yang akan terjadi).
Moksanya Seh Siti Jenar :
“punang getih mulaya sami bali kabeh lir sinerot…mring gegembungneki…nulya Seh Sunyata jati murti…nulya anglandeng cahya manginggil tan atara gaib.” (darah yang berceceran masuk kembali ke badan kemudian Seh Siti Jenar badannya mengeluarkan cahaya kemudian meninggi dan akhirnya lenyap).
Penentuan kiblat masjid Demak oleh Sunan Kalijaga :
Jeng Susunan Kali saking ler majeng mangidul jumangkah suku sawiyos…suku tengen prapteng Makah sampun ngancik…suku kiwa kantun…asta tengen anyandhak kakbah, asta kiwa nyandhak gada mesjid kono. Tinarik kekalihipun…angaben gathuk. (Jeng Sunan Kali dari utara menghadap ke selatan dengan kaki terbuka…kaki kanan berada di makkah…kaki kiri tertinggal… tangan kanan menarik kakbah, tangan kiri memegang puncak masjid Demak. Keduanya ditarik... supaya menjadi sama).
Wangsit yang didapat oleh Kyai Ageng Pengging yang memohon untuk diberi keturunan :
“…tan adanya antarane…saking aib swara dumeling…sira bakal andawe atmaja urip…dadya pangeraning wong akeh tegese dadi ratu.” (…tanpa tahu darimana asalnya…sebuah suara gaib berkata….kamu akan memiliki seorang anak…yang akan menjadi teladan orang banyak atau menjadi ratu).
LEGENDA
Desa Samakatingal yang diberi nama oleh Sunan Kudus sewaktu perjalanan ke Pengging, diberi nama desa Samakatingal karena waktu itu banyak orang yang datang melihat pusaka yang dibawa Sunan Kudus :
“…desa iki paman sun paringi jejuluk pan iya samakatingal, dene sun akeh ningali.”
Desa Sima juga diberi nama oleh Sunan Kudus karena saat melewati desa ini pusaka yang dibawa Sunan Kudus dibunyikan dan ternyata mengeluarkan suara seperti suara macan/harimau yang membuat penduduk setempat ketakutan :
“…sedyanira angiter sima mangkin, angambang swaranipun, ing mangke datan ana.”
MITOS
Akar-mimang yaitu sejenis akar yang mendatangkan kesaktian bagi pemiliknya yang dipakai oleh Jaka Karewet (putra Brawijaya V dari seorang parara-rara) yang ketika dipakainya ia dapat menghilang dan ia dapat mengembara ke seluruh Majapahit hingga pada akhirnya ia tertangkap basah oleh Brawijaya sendiri.
Bendhe Kyai Macan yaitu pusaka berupa sebuah gamelan menyerupai gong yang dibawa Sunan Kudus ke Pengging, bendhe ini jika dibunyikan akan mengeluarkan suara seperti suara macan/harimau. Konon pusaka bendhe Kyai Macan ini adalah pusaka peninggalan dari Adipati Terung.
UNSUR HISTORIS BABAD JAKA TINGKIR
Pada babad pajang pajang ini dapat dikatakan bahwa tidak semua isinya berupa mitos atau legenda saja melainkan juga terdapat unsur-unsur historis yang ada didalamnya.
Wilayah Pajang ialah salah satu tanah mahkota kerajaan Majapahit pada abad-14 dan raja Hayam Wuruk sendiri paling sedikit pernah melakukan perjalanan tahunan ke wilayah Pajang. Pemerintahan Sultan Pajang pada paruh kedua abad ke-16 oleh pujangga keraton Mataram seabad kemudian menjadi prolog kekuasaan dinasti-dinasti Mataram atas hampir seluruh Jawa.
Keturunan sultan Pajang berasal dari Pengging yang dalam babad ini disebutkan bernama Andayaningrat yang konon ia masih kerabat dari keluarga raja Majapahit. Sri Andayaningrat menikah dengan Ratu Pembayun (putri dari Brawijaya V, dari putri ini ia mendapat dua orang putra yaitu kebo kanigara dan kebo kenanga) hal tersebut dilakukan karena Andayaningrat dinilai telah berjasa kepada Majapahit yaitu dengan melakukan penaklukkan Blambangan dan Bali. Ia mendapat kemenangan itu dengan bantuan masyarakat bajul (buaya).
Bahan pembanding dalam menganalisa babad Jaka Tingkir ini adalah Babad Tanah Jawi yang didalamnya disebutkan bahwa kerajaan Pengging runtuh oleh tindakan kekerasan yang dilakukan Sunan Kudus. Penguasa Demak pada Babad Jaka Tingkir ini mencurigai penguasa Pengging (saat itu Pengging diperintah oleh Kebo Kenanga sebagai pengganti Andayaningrat) selain kecurigaan itu juga penguasa Pengging saat itu merupakan murid dari guru bid’ah Islam di tanah Jawa yaitu Syeh Siti Jenar. Tindakan kekerasan dari sunan Kudus terhadap pengikut bid’ah Syeh Siti Jenar dapat dilihat sebagai upaya mempertegas legitimasi kekuasaan penguasa Demak serta meng-eliminir pengaruh Syeh Siti Jenar yang dianggap meresahkan masyarakat.
Babad Jaka Tingkir sebagaimana babad-babad yang lain juga penuh dengan mitos dan legenda namun juga dapat dilihat unsur-unsur historis yang menyertainya, hal ini sesuai dengan fungsi penulisan babad itu sebagai pelegitimasian status quo atau dinasti yang tengah berkuasa pada saat itu.
SIAPA JAKA TINGKIR ?
Ketika lahir, Jaka Tingkir memiliki nama kecil Mas Karebet. Ia merupakan cucu Andayaningrat, penguasa kerajaan kuno di Boyolali.
Andayaningrat atau Jaka Sanagara atau Jaka Bodo, konon masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga raja Majapahit.
Ketika Jaka Tingkir masih di dalam kandungan, ayahnya yang bernama Kebo Kenanga atau Ki Angeng Pengging, menggelar pertunjukan wayang dengan dalang Ki Ageng Tingkir.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dibunuh Sunan Kudus setelah dianggap memberontak terhadap Kerajaan Demak.
Setelah itu, Jaka Tingkir diangkat anak oleh Nyi Ageng Tingkir, janda Ki Ageng Tingkir.
Sejak saat itu, ia lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang tumbuh sebagai pemuda tangguh.
Ayahnya meninggal karena pembunuhan. Dia kemudian menggunakan kecerdikan untuk menjadi raja.
Dari sekian banyak karya sastra Jawa klasik, ada satu yang berjudul Babad Jaka Tingkir. Babad tersebut unik lantaran di dalamnya tidak ditemukan tokoh Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir, menurut Nancy Florida dalam Writing The Past, Inscribing The Future, merupakan tokoh legendaris pendiri kerajaan Islam pertama di pedalaman Jawa Tengah. Ia berayah Ki Kebo Kenanga yang berasal dari wilayah Pengging dekat Boyolali.
Dalam Babad Jaka Tingkir hasil transliterasi Moelyono Sastronaryatmo diceritakan, ada seorang anak bernama Mas Karebet. Ia merupakan anak dari Ki Ageng Pengging dan keponakan dari Ki Ageng Tingkir.
Ayah Mas Karebet wafat di tangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Demak, Raden Patah. Mas Karebet lalu diasuh oleh bibinya, Nyi Ageng Tingkir. Kendati tidak dituliskan secara pasti bahwa Mas Karebet adalah Jaka Tingkir, kemungkinan kedua nama itu adalah orang yang sama dapat dipastikan dari tempat Mas Karebet hidup. Ada cerita tutur mengisahkan bahwa para penguasa Pajang merupakan keturunan dari para penguasa Pengging.
JAKA TINGKIR MENJADI RAJA
Meskipun ayahnya dibunuh atas perintah sultan, Jaka Tingkir tetap belajar dan mengabdikan diri ke Demak. Jaka Tingkir bahkan berhasil menjadi abdi dalem Sultan Trenggana.
Menurut Nancy Florida, kemampuannya di pertempuran sempurna, ia naik dengan cepat melalui pangkat. Tak lama, pemuda ini telah mencapai pangkat komandan yang sangat tinggi serta pengawal elite Sultan Trenggana.
Akan tetapi Jaka Tingkir harus menelan nasib pahit karena ulahnya. Ia dipecat saat menyeleksi prajurit Demak.
Semua berjalan dengan baik sampai Tingkir, muak dengan Dhadhungawuk kemudian menikamnya dengan sadak (penjepit rambut, atau dalam penggunaan modern daun sirih yang digulung). Dhadhungawuk mati lalu Jaka Tingkir memerintahkan penjaga untuk memotong-motong tubuh itu. Sultan ngeri ketika mendengar berita kekejaman ini sampai padanya. Tingkir dicopot dari komandonya dan diasingkan dari kerajaan.
Selama masa pengasingan, Jaka Tingkir mengasah kemampuannya. Kemampuan bela diri Jaka Tingkir semakin meningkat hingga dapat menghalau hewan buas seperti buaya dan ular. Kemampuan tersebut digunakan Jaka Tingkir untuk kembali merebut hati Sultan Trenggana.
Jaka Tingkir mengatur kerbau untuk mengamuk. Seluruh prajurit tidak bisa mengatasi hanya Jaka Tingkir yang bisa. Sultan kemudian mengizinkan Jaka Tingkir kembali sekaligus menjadi Adipati Pajang dan menikah dengan Ratu Mas Cempaka.
Setelah Sultan Trenggana wafat, takhta Demak diteruskan oleh Susuhunan Prawata. Akan tetapi ia dibunuh Aria Panangsang, raja bawahan di Jipang, dengan motif balas dendam. Kerajaan Demak praktis dianggap runtuh.
Tujuannya ialah membalas dendam kematian ayahnya, yang sebelumnya telah dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata.
Menurut De Graff dan Pigeud dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram.
Aria Panangsang kemudian juga berencana membunuh Jaka Tingkir. Namun rencana ini gagal. Arya Panangsang dikirimi surat provokatif oleh Jaka Tingkir.
Aria Panangsang yang terprovokasi lalu menggunakan kuda Gagakrimang menuju Bengawan Solo. Ia tidak berhasil menemukan Jaka Tingkir. Di sana hanya ada pasukan Pajang di bawah komando Sutawijaya, yang dijanjikan oleh Jaka Tingkir hadiah berupa tanah. Aria Panangsaang tewas di tangan Sutawijaya.
Demikianlah berakhir keluarga raja Demak cabang Jipang, dan mulailah Pajang memegang kekuasaan tunggal.
Pusat pemerintahan lalu Demak dipindahkan ke Pajang. Jaka Tingkir selaku penguasa di Pajang diangkat menjadi sultan Pajang dengan nama baru Sultan Adiwijaya. Faktor lain yang memperkuat alasan Jaka Tingkir cocok memimpin Kerajaan Pajang karena ia masih keturunan keluarga Kerajaan Majapahit.
Sesuai dengan janjinya, Jaka Tingkir memberi tanah Mentaok untuk Sutawijaya dan Ki Ageng Pemanahan (ayah Sutawijaya). Tempat di sebelah barat Pajang ini kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram.
Babad Banyumas mengatakan sultan Pajang telah memerintahkan untuk membunuh Yang Dipertuan di Wirasaba (suatu daerah di sebelah utara wilayah Banyumas), yang bernama Warga Utama. Menurut De Graff dan Pigeud, diperkirakan bahwa Keraton Pajang dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Raja Adiwijaya masih ingin meneguhkan kekuasaannya di tanah pedalaman dengan kekerasan senjata.
Pada 1581, Sultan Adiwijaya telah mendapat pengakuan sebagai raja Islam dan sultan di Jawa Timur serta pesisir di sebelah timur.
Hal itu terjadi pada waktu berlangsung musyawarah khidmat di keraton Sunan Prapen dari Giri,” kata De Graff dan Pigeud. Hadir dalam musyawarah itu raja-raja dari Japan Wirasaba (di Jawa Timur), Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sidayu, Lasem, Tuban, Pati, dan Panji Wiryakrama dari Surabaya.
Beberapa tahun setelahnya, Sultan Adiwijaya wafat. Penyebabnya masih menjadi misteri. Ada sumber yang mengatakan karena penyakit, ada juga yang mengatakan karena kecelakaan. Bahkan, ada yang berpendapat karena tindakan seorang juru taman (tukang kebun) tidak dikenal yang ingin berjasa kepada Senapati Mataram.
JAKA TINGKIR (VERSI 1)
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, Lahir pada tanggal 18 Jumadilakhir tahun Dal mangsa VIII menjelang subuh. Diberi nama Mas Karebet karena ketika dilahirkan, ayahnya Ki Kebo Kenanga dari Pengging Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang beber dan dalangnya adalah Ki Ageng Tingkir. Namun suara wayang yang kemebret atau tertiup angin membuat bayi itu diberi nama Mas Karebet.Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir) sejak saat itu masa remajanya lebih dikenal dengan nama Joko Tingkir.
Mas Karebet gemar bertapa, berlatih bela diri dan kesaktian, sehingga tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, tampan dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga.
Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi. Disamping tampan dan jagoan, sayangnya pemuda Jaka Tingkir alias Mas Karebet ini juga sedikit nakal. Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro yang tidak lain adalah kakak mendiang ayahnya. Dalam perguruan ini ada murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Makam Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya yang terletak di Desa Butuh.
Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Pajang yang berkuasa antara tahun 1568-1582.
Sebelum mendirikan Kerajaan Pajang, Jaka Tingkir memindahkan pusat Kerajaan Demak yang mengalami konflik internal.
Setelah berkuasa selama kurang lebih 15 tahun dan menjadi salah satu raja yang berpengaruh di Jawa, perjalanan Jaka Tingkir harus terhenti pada 1582.
Kala itu, meletus perang antara Pajang dan Mataram. Sepulang dari pertempuran, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, Lahir pada tanggal 18 Jumadilakhir tahun Dal mangsa VIII menjelang subuh. Diberi nama "Mas Karebet" karena ketika dilahirkan, ayahnya Ki Kebo Kenanga dari Pengging Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang beber dan dalangnya adalah Ki Ageng Tingkir. Namun suara wayang yang "kemebret" tertiup angin membuat bayi itu diberi nama "Mas Karebet".Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap Kerajaan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir) sejak saat itu masa remajanya lebih dikenal dengan nama "Jaka Tingkir".
Mas Karebet gemar bertapa, berlatih bela diri dan kesaktian, sehingga tumbuh menjadi pemuda yang tangguh, tampan dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) ayahnya sendiri dan Muhammad Kabungsuan (Ki Ageng Pengging sepuh) kakek Adiwijaya. Ki Ageng Pengging Sepuh ini adalah anak bungsu dari Syeikh Jumadil Kubro, tapi jalur spiritualnya menuju ke Syeikh Siti Jenar.
Selain ayah dan Kakek, ia juga belajar dengan kakek dari Ibu, yaitu Sunan Kalijaga. Ia juga juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi. Disamping tampan dan jagoan, sayangnya pemuda Jaka Tingkir alias Mas Karebet ini juga sedikit 'nakal' alias mata keranjang. Jaka Tingkir kemudian berguru pada Ki Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro (saudara tua ayahnya / kakak mendiang ayahnya). Dalam perguruan ini ada murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
SILSILAH JAKA TINGKIR
Jaka Tingkir adalah putera Kebo Kenanga dan cucu Adipati Andayaningrat. Manakala Adipati Andayaningrat juga di kenali dengan Syarief Muhammad Kebungsuan.
Gambaran silsilah sebagai berikut :
Dari jalur ayah :
Joko Tingkir putra dari Ki Kebo Kenongo putra dari Ki Ageng Pengging Sepuh (Andayaningrat/Jaka Sengara/Muhammad Kabungsuan) putra dari Syeikh Jumadil Kubro. (Jamaluddin Akbar al-Husaini), ayahnya, Kebo Kenongo menikah dengan Nyai Ratu Mandoko putri dari Sunan Kalijaga dengan Syarifah Zaenab binti Syeikh Siti Jenar.
Sedangkan kakeknya, Andayaningrat menikah dengan Ratu Pembayun putri dari prabu Brawijaya V raja Majapahit.
PENGABDIAN KE DEMAK
Pangeran Jaka Tingkir membunuh seekor kerbau di bawah pengawasan Sultan Demak dan pengiringnya.
Babad Tanah Jawi selanjutnya mengisahkan, Jaka Tingkir ingin mengabdi ke ibu kota Demak. Beberapa kejadian menarik mengikuti Jaka Tingkir, baik dalam perjalanan menuju Demak maupun pada saat mengabdi di Demak.
Para pujangga zaman dahulu mempunyai kebiasaan (atau semacam kode etik) berupa menghaluskan kisah atas suatu kejadian yang menyangkut raja atau istana yang kurang sepantasnya diceritakan dengan menggunakan kisah kiasan. Ada beberapa kisah kiasan yang mengikuti perjalanan hidup Jaka Tingkir alias Mas Karebet.
Dalam perjalanan ke Kerajaan Demak, zaman dahulu sebagai alat transportasi dipergunakan getek (rakit bambu) melalui sungai. Jaka Tingkir ditemani oleh teman seperguruannya Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil. Versi kisah kiasan dari pujangga, dikisahkan bahwa dalam perjalanan itu di Kedung Srengenge (kedung adalah bagian sungai yang dalam) Jaka Tinggir diserang oleh segerombolan buaya. Karena jagoan, Jaka Tingkir berhasil mengalahkan buaya-buaya tersebut dan sebagai tebusannya dalam melanjutkan ke Demak Jaka Tingkir dikawal oleh buaya-buaya di sebelah kiri, kanan depan dan belakang sebanyak masing-masing 40 ekor. Para pujanggapun menciptakan gending (lagu) atas kejadian tersebut yang terkenal hingga kini, yaitu lagu 'Sigra Milir'.
Kisah ini, menurut sebuah sumber disebutkan setelah beliau menikahkan putrinya dengan Panembahanan Lemah Dhuwur di Sumenep. Maka saat dia ingin kembali ke Pajang, dia mendapat mimpi (ada juga yg sebut diberikan wasiat oleh Sunan Prapen) bahwa tidak pantas jika dia akan kembali ke dalam jabatan di Kesultanan Pajang. Pasukannya sudah kalah oleh Sutawijaya, ia harus merelakan agar pajang dilanjutkan Arya Pangiri. Ini digambarkan dia seperti berada dalam perahu. Maka jika dia kembali ke air, habislah dia dimakan buaya. Maka akhirnya dia mendirikan padepokan di Pringgoboyo (Lamongan) sebelum akhirnya mengasingkan diri ke Sukowati. yaitu sampai wafatnya di Butuh, Sragen.
Sesampainya di Demak, Jaka Tingkir tinggal di rumah pamannya Kyai Gandamustaka (saudara Nyi Ageng Tingkir) yang menjadi perawat Masjid Demak berpangkat lurah ganjur. Jaka Tingkir menarik simpati raja Demak Sultan Trenggana atas suatu kejadian. Di istana Demak terdapat sebuah kolam yang cukup besar. Pada suatu hari ketika Jaka Tingkir sedang berdiri di tepian kolam, tiba-tiba pamannya berteriak agar dia (Jaka Tingkir) segera menyingkir dari tempatnya, karena Sultan Trenggana segera lewat. Situasinya saat itu cukup sulit bagi orang biasa untuk menyingkir, karena tidak ada ruang buat menyingkir selain melompati kolam yang cukup lebar. Jaka Tingkir alias Mas Karebet yang terlatih dengan sigap dan mudah segera melompati kolam, agar tidak mengganggu jalannya Sultan Trenggana. Sultan Trenggana sangat terkesan melihat kejadian tersebut, sehingga ia diangkat menjadi kepala prajurit Demak berpangkat lurah wiratamtama.
Kejadian berikutnya versi kisah kiasan dari pujangga dikisahkan bahwa suatu hari Jaka Tingkir sebagai lurah wiratamtama bertugas menyeleksi penerimaan prajurit baru. Ada seorang pelamar bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Jaka Tingkir menguji kesaktiannya dan Dadungawuk tewas hanya dengan menggunakan Sadak Kinang. Akibatnya, Jaka Tingkir pun dipecat dari ketentaraan dan diusir dari Demak.
Kejadian sesungguhnya atas versi kisah kiasan Dadungawuk adalah sebagai berikut. Alkisah Sultan Trenggana mempunyai seorang puteri cantik bernama puteri Cempaka. Bukan Jaka Tingkir kalau tidak mengetahui ini dan tidak dapat menaklukan hati sang puteri. Secara diam-diam Jaka Tingkir menjalin hubungan dengan puteri Cempaka. Namun tindakan tidak terpuji ini sempat ketahuan, sehingga Jaka Tingkir diusir dari Kerajaan Demak.
Kejadian berikutnya menurut versi kisah kiasan pujangga, diceritakan bahwa pada suatu hari Sultan Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau yang dinamakan sebagai Kebo Danu. Kerbau Danu sudah diberi tanah pada telinganya, sehingga kerbau merasa tidak nyaman dan mengamuk. Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu menaklukan si kerbau. Sultan Trenggana memerintahkan bala tentaranya untuk mencari Jaka Tingkir yang diharapkan dapat menaklukan kerbau tersebut. Jaka Tingkir diketemukan dan tampil menghadapi kerbau ngamuk. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
MENJADI RAJA PAJANG
Prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Sultan Trenggana.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan Kakak kandung Sultan Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Adiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya.
Adiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.
SUMPAH KI AGENG MATARAM
Sesuai perjanjian sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan bergelar Ki Ageng Pati. Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan masih menunggu karena seolah-olah Adiwijaya menunda penyerahan tanah Mataram.
Sampai tahun 1556, tanah Mataram masih ditahan Adiwijaya. Ki Ageng Pemanahan segan untuk meminta. Sunan Kalijaga selaku guru tampil sebagai penengah kedua muridnya itu. Ternyata, alasan penundaan hadiah adalah dikarenakan rasa cemas Adiwijaya ketika mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir sebuah kerajaan yang mampu mengalahkan kebesaran Pajang. Ramalan itu didengarnya saat ia dilantik menjadi raja usai kematian Arya Penangsang.
Sunan Kalijaga meminta Adiwijaya agar menepati janji karena sebagai raja ia adalah panutan rakyat. Sebaliknya, Ki Ageng Pemanahan juga diwajibkan bersumpah setia kepada Pajang. Ki Ageng bersedia. Maka, Adiwijaya pun rela menyerahkan tanah Mataram pada kakak angkatnya itu.
Tanah Mataram adalah bekas kerajaan kuno, bernama Kerajaan Mataram yang saat itu sudah tertutup hutan bernama Alas Mentaok. Ki Ageng Pemanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, membuka hutan tersebut menjadi desa Mataram. Meskipun hanya sebuah desa namun bersifat perdikan atau sima swatantra. Ki Ageng Pemanahan yang kemudian bergelar Ki Ageng Mataram, hanya diwajibkan menghadap ke Pajang secara rutin sebagai bukti kesetiaan tanpa harus membayar pajak dan upeti.
MENUNDUKKAN JAWA BAGIAN TIMUR
Saat naik takhta, kekuasaan Adiwijaya hanya mencakup wilayah Jawa Tengah saja, karena sepeninggal Sultan Trenggana, banyak daerah bawahan Demak yang melepaskan diri.
Negeri-negeri di Jawa Timur yang tergabung dalam Persekutuan Adipati Bang Wetan saat itu dipimpin oleh Panji Wiryakrama bupati Surabaya. Persekutuan adipati tersebut sedang menghadapi ancaman invansi dari berbagai penjuru, yaitu Pajang, Madura, dan Blambangan.
Pada tahun 1568 Sunan Prapen penguasa Giri Kedaton menjadi mediator pertemuan antara Adiwijaya raja Pajang di atas negeri yang mereka pimpin. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama diambil sebagai menantu Adiwijaya.
Selain itu, Adiwijaya juga berhasil menundukkan Madura setelah penguasa pulau itu yang bernama Raden Pratanu bergelar Panembahan Lemah Duwur Arosbaya menjadi menantunya.
Dalam pertemuan tahun 1568 itu, Sunan Prapen untuk pertama kalinya berjumpa dengan Ki Ageng Pemanahan dan untuk kedua kalinya meramalkan bahwa Pajang akan ditaklukkan Mataram melalui keturunan Ki Ageng tersebut.
Mendengar ramalan tersebut, Adiwijaya tidak lagi merasa cemas karena ia menyerahkan semuanya pada kehendak takdir.
PEMBERONTAKAN SUTAWIJAYA
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Adiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Adiwijaya mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Adiwijaya menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Adiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
LELAYU (KEMATIAN)
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Adiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
PENGGANTI
Adiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak raja Demak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang Arya Pangiri sebagai penerus garis suksesi Sultan Demak dahulu.
Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (Sayyid Amir Khan, Pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja. Pangeran Benawa sang "putra mahkota" disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang dengan nama tahta Ngawantipura.
KISAH KI AGENG ENIS GURU JAKA TINGKIR DAN LELUHUR RAJA MATARAM
Ki Ageng Enis adalah tokoh di balik berdirinya Kerajaan Islam Mataram . Dia adalah putra bungsu Ki Ageng Sela dengan Nyai Bicak (Nyai Ageng Sela) putri Sunan Ngerang. Dia memiliki enam saudara, di mana semua saudaranya adalah perempuan, yaitu: Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba, Nyai Ageng Bangsri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen dan Nyai Ageng Pakisdadu. Ki Ageng Enis menikah dengan Nyai Ageng Enis, dan berputra Ki Ageng Pamanahan. Putranya itu kemudian menikah dengan Nyai Sabinah (Nyai Ageng Pamanahan). Dari hasil pernikahan mereka, Ki Ageng Enis dikaruniai seorang cucu yang dalam perjalanan kariernya menjadi raja pertama Mataram, bergelar Panembahan Senapati. Baca juga: Wanita-Wanita Disekeliling Amangkurat I Raja Mataram Islam Kiai Ageng Enis dalam Serat Kandha disebutkan menjadi guru spiritual Sultan Hadiwijaya saat belum naik tahta menjadi raja atau masih bernama Joko Tingkir atau Mas Karebet. Kemudian setelah itu mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya sebagai sesepuh dan orang penting di Kasultanan Pajang. Dengan demikian, Kiai Ageng Enis adalah leluhur raja-raja Mataram yang kemudian melahirkan peradaban kerajaan baru seperti Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Mangkunegaran dan Pakualaman. Dahulu sebelum Ki Ageng Enis hadir dan hijrah, Pengging dikenal sebagai peradaban Hindu, masuknya Islam di tanah Pengging tidak luput dari peran serta Ki Ageng Enis. Laweyan yang saat itu merupakan wilayah kekuasaan Kadipaten Pengging masyarakat di sekitarnya masih menganut Hinduisme. Ki Ageng Beluk, teman Ki Ageng Enis, dikenal sebagai tokoh yang berpengaruh bagi masyarakat Laweyan. Ki Ageng Beluk seorang penganut agama Hindu, namun karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Enis di Laweyan, membuat Ki Ageng Beluk tertarik memeluk agama Islam.
Berawal dari Kegemaran Sultan Agung Mataram Menyantap Nasi Arab Halaman : 12 show all advertising advertising cerita pagikerajaan mataram Berita Terkait Momen Gayatri Panggil Gajah Mada Pasca Sumpah Palapa yang Berujung Konflik di Istana Majapahit Raja Samaratungga, Sosok Utama di Balik Selesainya Candi Borobudur Sosok Sabdo Palon, Peramal Ulung Penjaga Tanah Jawa yang Misterius Kisah Sultanah Safiatuddin, Penguasa Aceh yang Bikin Belanda
Kocar-kacir Pembangunan Candi Borobudur Dimulai Rakai Panangkaran Diselesaikan Samaratungga Sejarah Nasi Uduk, Berawal dari Kegemaran Sultan Agung Mataram Menyantap Nasi Arab Kisah Mistik Sultan Agung Taklukkan Mekkah Krisis Myanmar.
KESULTANAN PAJANG
Kesultanan Pajang atau Kerajaan Pajang Aksara Jawa :ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦥꦗꦁ (كسلطانن ڤاجڠ) adalah sebuah kesultanan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keratonnya pada masa ini tinggal tersisa berupa batas-batas pondasinya saja yang berada di perbatasan Kelurahan Pajang Kota Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
1548-1568 adalah masa perebutan kekuasaan antara kerabat kerajaan setelah wafatnya penguasa terakhir Demak, Trenggana.
BERITA KUNO TENTANG PAJANG
Pada zaman Jawa kuno, kawasan antara Gunung Lawu dan Merapi di daerah pedalaman Bengawan Solo yang bermuara ke Laut Jawa di dekat Gresik, merupakan wilayah yang kurang berpotensi untuk bidang ekonomi dan politik dibandingkan dengan daerah Mataram di sebelah baratnya. Raja-raja Jawa-Hindu khususnya, yang selama berabad-abad sebelum dan sesudah tahun 1000 masehi memerintahkan pembangunan candi-candi di Jawa Tengah bagian selatan, lebih memilih tempat singgasana mereka di daerah aliran sungai Opak dan Progo yang bermuara di Lautan Hindia daripada di daerah aliran Bengawan Solo.
Sebagian besar prasasti raja-raja yang masih tersimpan (berupa batu atau lembaran tembaga) memberitakan tempat-tempat bersejarah di Jawa Tengah bagian selatan. kebanyakan wilayah tersebut terletak di daerah Mataram dan Kedu atau sekitarnya. Satu catatan yang berhasil diketahui ialah pada Prasasti Panumbangan dari tahun 903 M. Prasasti tersebut menerangkan mengenai penyeberangan sungai dengan perahu tambang, karena terdapat jalur perdagangan yang bersilangan dengan bagian pedalaman Bengawan Solo di Wonogiri saat ini. Berdasarkan prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa pada abad kesepuluh daerah kekuasaan raja-raja Jawa Hindu di Mataram lama juga meliputi daerah hulu Bengawan Solo. Diperkirakan jalur perdagangan lama di dekat daerah Panumbangan yang memotong sungai Bengawan Solo tersebut merupakan salah satu jalan penghubung antara Jawa Tengah bagian selatan dan daerah di sebelah timur yang terletak di daerah Madiun saat ini. Jalan penghubung antara daerah sepanjang pantai selatan Jawa, yang melewati lereng selatan gunung-gunung besar seperti Lawu, Wilis dan Semeru, memiliki peran penting dalam sejarah politik-ekonomi di Jawa.
ASAL-USUL
Nama negeri Pajang telah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit yang dijuluki sebagai tanah mahkota pada abad keempat belas. Menurut Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, bahwasanya pada zaman tersebut adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit saat itu) bernama asli Dyah Nertaja menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Dyah Nertaja merupakan ibu dari Wikramawardhana (Bhre Mataram), raja Majapahit selanjutnya.
Berdasar naskah-naskah babad, bahwa negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal Pajang. Disebutkan bahwa Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya Candi Prambanan.
Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir menurut naskah babad), bahwa nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan bahwa putri Brawijaya yang bernama Ratna Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.
Atas jasanya itu, kemudian Jaka Sengara diangkat oleh Brawijaya sebagai adipati Pengging dan dinikahkan dengan Ratna Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Adipati Andayaningrat.
BERDIRINYA PAJANG
Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Islam di daerah pesisir.
Menurut naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak.
Beberapa tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke Demak.
Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Adiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, menjadi awal mula permasalahan muncul di Jipang Panolan (Bojonegoro) dan Pajang. Kedua wilayah di Jawa Tengah itu sama-sama menuntut hak atas takhta Demak. Arya Panangsang, keponakan Sultan Trenggana, yang memerintah Kadipaten Jipang berusaha menguasai salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa tersebut. Namun penguasa Pajang, Jaka Tingkir, menghalangi usahanya. Konflik pun meluas.
Diceritakan Serat Kandha, Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Trenggana karena menikahi Ratu Mas Cempaka. Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya (kelak Sultan Adiwijaya). Secara keturunan jelas ia tidak memiliki hak apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan Trenggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak Bintara dan persetujuan seluruh Adipati bawahan Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindah ke Pajang. Seluruh benda-benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut.
Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawoto, seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan di wilayah Prawata adalah desa di kecamatan Sukolilo, Pati, sebuah pasanggarahan yang digunakan raja Demak selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan. Selanjutnya Sunan Prawoto naik takhta. Namun Sunan Prawoto kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Panangsang bupati Jipang tahun 1547. Setelah itu, Arya Panangsang juga berusaha membunuh Adiwijaya namun gagal.
Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana), Adiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Adiwijaya selanjutnya merebut takhta Demak lalu mendirikan Kesultanan Pajang.
PERKEMBANGAN
Pada awal berdirinya atau pada tahun 1568, bahwa wilayah Pajang yang terkait eksistensi Demak pada masa sebelumnya, hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggana.
Pada tahun 1568 Adiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama dari Surabaya (pemimpin persekutuan adipati Jawa Timur) dinikahkan dengan putri Adiwijaya.
Negeri kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai menantu Adiwijaya.
PERAN WALISONGO
Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan dituduh terlibat pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Trenggana.
Meskipun tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali secara pribadi pribadi masih ikut berperan dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik Adiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan Adiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pamanahan meminta haknya pada Adiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara membunuh Arya Panangsang.
Wali lain yang masih berperan adalah Panembahan Kudus. Sepeninggal Adiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.
PEMBERONTAKAN MATARAM
Mataram dan Pati adalah dua hadiah sayembara Adiwijaya untuk siapa saja yang mampu menumpas Arya Panangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya Panangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi.
Ki Panjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini disebabkan karena Adiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen bahwa kelak Mataram akan lahir menjadi kerajaan yang lebih besar daripada Pajang.
Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng Pamanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya menumpas Arya Panangsang. Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya semakin hari semakin maju dan berkembang.
Pada tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram disebabkan Sutawijaya membela adik iparnya, yaitu Tumenggung Mayang terkait hukum buang ke Semarang oleh Adiwijaya kepada sang tumenggung. Perang tersebut dimenangkan pihak Mataram, meskipun pasukan Pajang berjumlah lebih besar.
KERUNTUHAN
Sepeninggal Adiwijaya, terjadilah persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583. Pemerintahan Arya Pangiri disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan akibat kemelut tersebut. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Adiwijaya, tetapi Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga. Menurut 'Babad Mataram, sebelum ia diangkat menjadi raja, Pangeran Benawa menyerahkan hak atas warisan ayahnya (Adiwijaya) kepada Senopati Mataram (Sutawijaya). Tetapi ia menolaknya dan hanya menginginkan imbalan harta dari Kerajaan Pajang. Sutawijaya sendiri mendirikan Kerajaan Mataram, di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati.
Kekuasaan Pangeran Benawa atas Pajang hanya bertahan satu tahun setelah pengangkatannya. Pemerintahannya berakhir pada tahun 1587, yang menurut salah satu sumber ia meninggalkan Pajang untuk membaktikan diri pada agama di Parakan (bagian utara daerah Kedu). Tidak ada putra mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Pada saat itu oleh Senopati Mataram, kekuasaan atas Pajang telah dipercayakan kepada salah seorang pangeran muda dari Mataram bernama Pangeran Gagak Baning atau adik Sutawijaya dengan mengangkatnya sebagai bupati di sana.
Di bawah kekuasaan raja baru, Kerajaan Pajang telah melakukan pemberontakan besar dan perluasan istana kerajaan. Namun pemerintahannya tidak bertahan lama. Sekitar tahun 1591, tiga tahun kemudian ia meninggal. Sebagai penggantinya, raja Mataram yang saat itu telah diakui kekuasaannya oleh banyak raja di Jawa Tengah, menunjuk putra Pangeran Benawa, cucu almarhum Sultan Adiwijaya untuk memerintah Pajang sebagai vasal (wilayah asosiasi) Mataram. Sesudah Senopati Mataram meninggal pada tahun 1601 dan selama pemerintahan penggantinya, Panembahan Seda-Ing Krapyak (1601-1613), Pangeran Benawa II memerintah Pajang tanpa kesulitan besar meskipun dengan usianya yang masih muda.
Pada tahun 1617 hingga 1618 timbul pemberontakan besar di Pajang melawan kekuasaan Sultan Agung. Pemberontakan tersebut dibantu oleh sekelompok masyarakat yang tidak puas di Mataram. Penindasan pasukan Mataram terhadap gerakan pemberontakan di daerah Pajang tersebut disertai penghancuran besar-besaran, dan penduduk desa setempat diangkut secara paksa untuk membantu pembangunan kota kerajaan yang baru. Setelah bencana tersebut, sisa-sisa daerah Pajang selama sebagian besar abad ketujuh belas menjadi lemah terhadap perkembangan ekonomi dan politik, sampai ketika cucu Sultan Agung, Mangkurat II, terpaksa meninggalkan tanah warisannya, Mataram. Ia kemudian memerintahkan membangun istana kerajaan yang baru, Kartasura, di Pajang.
Pada tahun 1618 raja terakhir dari keluarga raja Pajang, setelah menderita kekalahan dalam pertempuran melawan Mataram, melarikan diri ke Giri dan Surabaya. selama masih memegang kekuasaan, keluarga raja Pajang masih memiliki hubungan yang baik dengan keluarga raja-raja di Jawa Timur. Pada dasawarsa ketiga abad ketujuh belas, perlawanan terhadap ekspansi Sultan Agung terpusat di sepanjang pantai utara Jawa. Yang Dipertuan di Tambak Baya (sekarang Madiun), sebagai seorang vasal Pajang yang terakhir juga ikut melarikan diri ke Surabaya.
KESULTANAN PAJANG
1. Jaka Tingkir atau Adiwijaya (1568-1583)
2. Arya Pangiri atau Awantipura (1583-1586)
3. Pangeran Benawa atau Prabuwijaya (1586-1587)
Perpindahan kekuasaan ke Mataram (1587).
4. Pangeran Gagak Baning (1587-1591), adik dari Panembahan Senapati
5. Pangeran Sidawini (1591-1617)
PAKU BUWANA VI DAN BABAD JAKA TINGKIR
Sebagai wangsa Mataram Islam, Paku Buwana VI yang bernama lengkap Raden Mas Sapardan (1807-1849 M) terlahir dari pasangan Susuhunan Pakubuwana V dan istrinya KRAy. Sasrakusuma banyak mengalami problematika kehidupan. Dinaikkan ke tahta dalam usia muda pada saat itu usia enam belas tahun, dikenal sebagai raja yang mbalelo sekaligus cerdas. Ke-mbalelo-annya ini dikarena sebagai wangsa Mataram ia selalu berpergian dengan menggunakan busana Walandi atau Belanda. Namun, sang raja dalam memerintah dinasti Mataram tidak lama hanya sekitar tujuh tahun saja dari tahun 1827-1830 M.
Pada masa susuhan memimpin sedang terjadi perang Jawa (1825-1830 M). Perang Jawa ini yang membuat pihak Belanda mengalami kerugian yang begitu besar dan tentunya imbasnya kembali ke Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Sekaligus mencopot PB VI sebagai raja dikarenakan ia dianggap membangkang dan bersekutu dengan kaum pinggiran untuk memberontak kepada kolonial pada masa itu. Pakubuwana yang berusia pada dua puluh tiga tahun ditangkap pada bulan Juni 1830 di Pantai Selatan Jawa ketika sang raja sedang menjalin hubungan dengan Ratu Pantai Selatan, dan kemudian sang raja muda diturunkan dari tahta sebagai raja Mataram Surakarta dan dibuang ke pulau terpencil di Ambon (M.C Ricklefs, 2005:257)
Akhir Abad XVIII, gerak raja Jawa selalu dibatasi oleh pihak Belanda. Mereka (kolonial) sangat mengintervensi raja dalam masalah-masalah keraton. Maka keraton Surakarta pada masa itu mengalih-fokuskan ke dalam kerajaan, ke dalam kegiatan-kegiatan keraton dan etika pribadi raja sendiri (John Pemberton, 2018:88) Di balik dinding keraton ritual-ritual yang diistimewakan dilakukan di muka umum sebagai pelestarian budaya Jawa dari para leluhur yang harus dilestarikan. Karena di samping sebagai penjaga tradisi leluhur, seorang raja juga harus memiliki hubungan yang erat dengan rakyatnya dengan cara melestarikan kebudayaan Jawa.
Karena di samping sebagai penjaga tradisi leluhur, seorang raja juga harus memiliki hubungan yang erat dengan rakyatnya dengan cara melestarikan kebudayaan Jawa.
Seorang penguasa mutlak muslim (Muhammedaansch despot), kalaulah ia ingin dihormati oleh rakyatnya harus keluar sedikit dari Keratonnya. Tampaknya ini bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh pihak kolonial. Bagi pihak Belanda raja harus tetap diam di Keratonnya supaya rakyat stabil tidak ada pemberontakan kepada Belanda. Sebagai seorang Mohammedaansch despot yang gemar membaca, khususnya sejarah tradisional Jawa dan rupanya ia seorang penulis yang cukup ulung dengan kepiawaiannya dalam menulis (Nancy K. Florida, 2020:75). Kepiawaiannya PB VI dalam menulis sastra yang membuat ia sangat dimusuhi oleh De Kock sebagai Gubernur Jenderal pada saat itu. Sebagai seorang raja yang gemar menulis banyak karya yang telah ia guaratkan salah satunya mengenai Babad Jaka Tingkir.
Babad Jaka Tingkir ditulis dengan bahasa dan ungkapan puitis sejarah, dengan tradisi kepenulisan di Surakarta dan Keraton Surakarta. Gayanya, gaya tulisan yang sekarang bisa dianggap sebagai “renaisans Surakarta” yakni penulisan dari Surakarta Abad XVIII-XIX. Penulisan babad ini ditulis dengan jumlah yang banyak dan panjang bahkan di akhir-akhir isinya sangat sesuai dengan sejarah yang ada di istana-istana kerajaan Surakarta.
Babad Jaka Tingkir memuat adegan keraton sebagaimana terjadi di istana kerajaan kuno yakni Majapahit dan Demak. Namun demikian, istana yang dipaparkan pasti berkaitan dengan Keraton Surakarta. Syair ini selalu memetakan Keraton Surakarta tetapi ada juga memetakan di tempat yang lain. Bahkan sang penulis selalu menceritakan Keraton Surakarta sampai hal-hal yang bersifat khusus di dalam Keraton Surakarta seperti halnya Keputren yang ada di istana Keraton Surakarta. Dengan melihat hal ini kita bisa mengetahui bagaimana babad ini ditulis di dalam lingkungan kerajaan Keraton Surakarta dan sang penulis tidak lain dan tidak bukan adalah Sinuhun sendiri.
Babad Jaka Tingkir ini ingin memberikan informasi terhadap raja yang besar raja yang agung raja segala raja pada masanya. Sesuai judul babad ini, Babad Jaka Tingkir ingin mengungkapkan kisah sang Raja Agung dari Pajang yakni Pangeran Hadiwijaya namun dalam babad ini tidak mengisahkan sejarah raja agung tersebut. Babad ini hanya mengisahkan asal muasal raja agung tersebut, silsilah keluarga, dan daerah yang menopang kerajaan Pajang. Tidak menceritakan secara eksplisit mengenai sang raja sendiri. Babad ini ingin memberikan edukasi kepada kita sebagai orang Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya, bahwasanya masa lalu bisa dijadikan pijakan untuk menatap masa depan, karena orang yang bisa mengetahui masa lalunya dia akan mengetahui masa depannya.
KI AGENG PENGGING
Sebagai ayah Jaka Tingkir yang menjadi nama babad ini ia adalah cucu dari Brawijaya V dan anak dari Handayaningrat. Sebagai keturunan darah biru, Ki Ageng yang harusnya melanjutkan tampuk kepemimpinan dari sang ayahandanya malah mengubah haluan menjadi seorang kiai desa yang sederhana dan disegani oleh para santri-santrinya. Ki Ageng menjadi simbol perlawanan kaum pinggiran kepada pusat kerajaan di Demak Bintoro karena ke-mbalelo-annya yang tidak mau menghadap kepada raja Demak.
Sebagai keturunan darah biru, Ki Ageng yang harusnya melanjutkan tampuk kepemimpinan dari sang ayahandanya malah mengubah haluan menjadi seorang kiai desa yang sederhana dan disegani oleh para santri-santrinya.
Sebagai bapak dari Jaka Tingkir Ki Ageng mengajarkan Islam di daerah pedalaman Jawa dengan bercorak tasawuf falsafi sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya yakni Syech Lemah Abang atau Syech Siti Jenar. Ajaran Islam yang mereka amalkan ini menurut anggapan para wali Sembilan dan para fuqaha kerajaan Demak membahayakan umat Islam dan akan membawa masyarakat awam ke dalam sifat panteisme. Dengan salah satunya dalih inilah Ki Ageng dipanggil beberapa kali untuk menghadap sang Raja Demak Bintoro. Dan juga sang Raja Demak mencurigai Ki Ageng memberontak dirinya sebagai penguasa kerajaan Islam dalam tuturnya “ Ing Pengging tila kabupaten, sarta kapernah Santana dening Sultan Demak, bokmenawi amikir sumeja jumeneng ratu” yang artinya Pengging bekas kabupaten, lagipula ia masih kerabatan Sultan Demak mungkin ia berpikir ingin menjadi raja. (De Graff dan PIgeaud, 2019:358)
Dengan asumsi inilah sang Raja Demak mengutus bawahannya memanggil Ki Ageng sampai tiga kali berturut-turut untuk menghadap sang raja, walaupun nanti hasilnya nihil Ki Ageng tidak pernah menghadap ke Demak. Dalam panggilannya yang ketiga oleh sang Raja dengan dikepalai oleh Sunan Kudus Ki Ageng ditantang untuk menentukan pilihan yang terakhir kalinya. Pilihan yang diberikan oleh penguasa pusat untuknya adalah antara di luar atau di dalam artinya Ki Ageng disuruh memilih di antara pilihan politis versus kekuasaan rohaniah dan praktik lahir muslim taat versus kesadaran batin sufi, yang di atas atau di bawah, di kuasai atau menguasai dan sebagainya.
Maka Ki Ageng Pengging menjawab :
Yen miliya jero mapan sisip / yen miliya ing jaba pan asar / semang-semang pangidhepe / yen miliya ing luhur / pan kemandhang dipun ulati / lamun miliya ngarsa / yaketi sasar usur / sasare pithung medhahab / ngisor dhuwur kiwa tengen duwek mami / orane duwek ing awing / (BJT XXIX: 15)
Yang artinya :
Kalau memilih yang dalam salah / kalau memilih yang luar tersesat / Bimbanglah dalam kepercayaan / Kalaulah memilih yang atas / Bagai memburu gema / kalaulah memilih depan / sungguh kesasar tersesat / Kesasar Tujuh madzhab / Atas, bawah, kiri, kanan, milikku / tak ada yang kumiliki/ (BJT XXIX: 15)
Penolakan Ki Ageng Pengging ini dianggap sebagai musuh negara dan karenanya menandatangani kematiannya. Dan lawan bicaranya secara langsung mengeksekusi hukuman mati tersebut kepada Ki Ageng. Namun, hanya dengan kehendak ki Ageng sendirilah Sunan Kudus bisa menusukkan kerisnya di sikunya yang membawa kematian bagi Ki Ageng sendiri. Bahkan dengan kematiannya pun junjungan Pengging ini tidak dapat ditentukan keberadaannya.
Setelah keberhasilan Sunan Kudus mebunuh Ki Ageng Pengging kembalilah dia ke Demak bak pahlawan yang habis memenangkan peperangan yang besar, ia diseruapakan dengan kera putih utusan Prabu Rama, raja legendaris yang amat terekenal itu. Sang pangeran datang melaporkan kesusesannya tiu untuk membunuh Ki Ageng Pengging. Laporan ini juga dituliskan dalam Babad Jaka Tingkir sendiri yang berbunyi :
Ananging sanget lenggona / sumiwing ngarsa nerpati / tan rumaos yen kebawah / akiyas kedah ngengkoki / tan arsa nampik milih / sedayane pan winengku / (BJT XXXII : 7)
Yang artinya :
/ Namun kukuh menolak / Menghadap sang raja / Tak merasa kalau di bawah / Berdalih memaksa mengaku / Tak hendak menolak memilih / semuanya diliputinya / (BJT XXXII : 7)
Babad Jaka Tingkir berhenti pada pupuh Sinom ini yang menandakan bahwasanya kisah sang Pangeran Pajang terhenti dalam kisah sang ayahandanya yang bersikukuh tidak mau menghadap sang Raja Demak sehingga menemukan ajalnya. Yang perlu diketahui bagi penguasa pusat adalah jangan meremehkan orang-orang pinggiran yang kapan saja bisa memberontak ketika hak dan kewajibannya terabaikan.