KALENDER NUSANTARA 911 SM.
KARYA MPU HUBAYUN DAN AJI SAKA & SUMBER MENURUT VERSI LAINNYA
Tidak semua suku dan bangsa di dunia bahkan bisa dihitung dengan jari yang, memiliki kalender sendiri dan Jawa termasuk di antara yang sedikit itu. Kalender Jawa diciptakan oleh mPu Hubayun, pada tahun 911 SM, dan pada tahun 50 SM Prabu Sri Mahapunggung I (Ki Ajar Padang I) melakukan perubahan terhadap huruf/aksara, serta sastra Jawa.
Bila kalender Jawa diibuat berdasarkan :
1. Sangkan Paraning Bawana (asal usul/isi semesta).
2. Aksara Jawa dibuat berdasarkan Sangkan Paraning Dumadi (asal usul kehidupan).
3. Mengikuti peredaran matahari (Solar System).
Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, yaitu :
1. Dengan memulai perhitungan dari angka nol (Das =0), menyerap angka 0 dari India, sehingga pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa baru.
2. Tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa, Windu Kuntara (tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (Minggu Kliwon), bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M. Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka adalah orang India/Hindustan. Tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf Jawa, bahwa :
1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris.Tak ditemukan bukti-bukti peninggalan keris di India, dan keris adalah asli Jawa.
2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 (empat) orang (bukan 2 orang seperti yang banyak dikisahkan), dengan nama berasal dari bahasa Kawi, atau Jawa Kuno.
Mereka adalah :
a. DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR. Bila dibaca sebagai Duro (seperti bunyi huruf O pada kata Sidoarjo), artinya = bohong, sangat jauh berrbeda dengan aslinya.
b. SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa API. Bila dibaca dengan cara kini, iaitu seperti O pada kata Sidoarjo, akan berarti mampu atau sesuai.
c. DUGA ( dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuno berarti anasir TANAH, namun bila dibaca dengan cara kini, akan berarti pengati-ati atau adab.
d. PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuno artinya adalah ANGIN, dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti sebaiknya/ seyogyanya. Keempat unsur/anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (Jagad/bawana Ageng) serta dalam tubuh manusia (Jagad/bawana Alit).
3. Nama Ajisaka (Aji & Saka) adalah berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang berarti Raja/Aji yang Saka (mengerti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual. Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka Sangkala, Widayaka, Sindhula. Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pada saat Sultan Agung Anyakrakusuma bertahta di Mataram abad XVI Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya dominan yaitu :
a. Jawa/Kabudhan (solar system)
b. Hindu (solar system).
c. Islam (Hijriah, Lunar Sytem).
Sementara di wilayah Barat/ Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa asing / Belanda. Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung melakukan penyatuan kalender yang digunakan. Namun penyatuan kalender Jawa /Saka dan Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan, iaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon (Tahun Alip, tg 1 Suro, hari Selasa Pon).
Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1554 Saka, 8 Juli 1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1554 Jawa (Sultan Agungan), yang digunakan sekarang.
Dengan demikian, apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan mPu Hubayun pada 911 SM, maka :
1. Tahun 2012 adalah tahun 2923 Jawa (asli, bukan Saka, Jowo kini, atau Hijriah).
2. Tahun 2013 = 2924 (tahun Jawa).
3. Tahun 2014 = 2925 (tahun Jawa).
4. Tahun 2015 = 2926 (tahun Jawa).
5. Tahun 2025 = 2936 (tahun Jawa).
Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan apapun.
SEJARAH SURO DI JAWA (VERSI 01)
Terkadang saya merasa prihatin terhadap generasi muda Indonesia saat ini.
Apa yang ada di benak kalian saat mendengar malam 1 Suro ?
Mungkin tidak semua orang mengerti sejarah Suro (Tahun baru Jawa / tahun baru Islam). Kali ini saya akan berbagi sedikit mengenai hal itu.
Tentunya tidak semua suku/bangsa di dunia, bahkan sangat sedikit yang, memiliki kalender sendiri, dan Jawa termasuk di antara yang sedikit itu. Berdasar diskusi dari beberapa rekan penghayat / kejawen.
Kalender Jawa diciptakan oleh mPu Hubayun, pada tahun 911 Sebelum Masehi, dan pada tahun 50 SM Raja/ Prabu Sri Mahapunggung I (juga dikenal sebagai Ki Ajar Padang I) melakukan perubahan terhadap huruf/aksara, serta sastra Jawa. Bila kalender Jawa diibuat berdasarkan Sangkan Paraning Bawana (asal usul/isi semesta), maka aksara Jawa dibuat berdasarkan Sangkan Paraning Dumadi (asal usul kehidupan), serta mengikuti peredaran matahari (Solar System).
JAWA MASA AJI SAKA
Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, iaitu dengan memulai perhitungan dari angka nol (‘Das’=0), menyerap angka 0 dari India, sehingga pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa baru, tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa, Windu Kuntara (tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (- Minggu Kliwon), bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M.
Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka ialah orang India/ Hindustan. Tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf Jawa bahwa :
1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris. Tak ditemukan bukti-bukti peninggalan keris di India, dan keris adalah asli Jawa.
2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 (empat) orang (bukan 2 orang seperti yang banyak dikisahkan), dengan nama berasal dari bahasa Kawi, atau Jawa Kuno.
Mereka adalah :
DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR. Bila dibaca sebagai Duro (seperti bunyi huruf O pada kata Sidoarjo), artinya = bohong, sangat jauh berrbeda dengan aslinya.
SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa API. Bila dibaca dengan cara kini, iaitu seperti O pada kata Sidoarjo, akan berarti mampu atau sesuai.
DUGA ( dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuno berarti anasir TANAH, namun bila dibaca dengan cara kini, akan berarti pengati-ati atau adab.
PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuno artinya adalah ANGIN, dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti sebaiknya/ seyogyanya. Keempat unsur/anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (Jagad/bawana Ageng) serta dalam tubuh manusia (Jagad/ bawana Alit).
3. Nama Ajisaka (Aji & Saka) adalah berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang berarti Raja/ Aji yang Saka (mengereti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual. Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka Sangkala, Widayaka, Sindhula.
Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pada saat Sultan Agung Anyakrakusuma bertahta di Mataram abad XVI Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya dominan, yaitu Jawa/ Kabudhan (solar system), Hindu (solar system), dan Islam (Hijriah, Lunar Sytem), sementara di wilayah Barat/ Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa asing / Belanda.
Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung melakukan penyatuan kalender yang digunakan. Namun penyatuan kalender Jawa /Saka dan Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan, iaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon (Tahun Alip, tg 1 Suro, hari Selasa Pon).
Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1554 Saka, 8 Juli 1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1554 Jawa (Sultan Agungan), yang digunakan sekarang.
Dengan demikian, apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan mPu Hubayun pada 911 SM, maka :
Tahun 2025 = 2936 Jawa (asli, bukan Saka, Jowo kini, atau Hijriah).
Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan apapun.
Budaya Spiritual Jawa merupakan bagian dari perkembangan kebudayaan makro bangsa Indonesia. Pengaruh Budha Hindu sampai sekitar tahun 1500 masehi yang ditandai dengan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Dalam hal ini pengaruh budaya Hindu masih dominan dalam kehidupan bangsa Indonesia umumnya dan orang Jawa khususnya. Pengaruh kebudayaan Islam di Jawa kemudian berkembang seiring runtuhnya Majapahit.
Namun, bukan berarti pengaruh Hindu menjadi hilang begitu saja,melainkan malah teradaptasi dan membentuk suatu budaya Jawa. Di jawa sendiri terdapat suatu Ideologi kawula gusti saat itu yang nerupakan suatu alat legitimasi raja untuk mengontrol rakyatnya dalam rangka mengatur negara.
Dengan ideologi inilah yang mendorong Sultan Agung sebagai Raja waktu itu untuk merubah system kalender SAKA (perpaduan Jawa Asli dan Hindu), menjadi kalender yang merupakan perpaduan antara kalender SAKA dan kalender Hijriah (Islam).
Perubahan tersebut dimulai pada tanggal 1 Sura tahun ALIP 1555, tepat pada tanggal 1 Muharam Tahun 1043 Hijriah atau pada tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
SEJARAH DAN PERJALANAN KALENDER JAWA
Terdapat berbagai kalender kebudayaan yang dikenal oleh dunia. Beberapa di antaranya telah banyak kita gunakan, seperti Kalender Masehi, Kalender Hijriyah bagi umat muslim, hingga Kalender Jawa yang tetap lestari hingga saat ini.
Tidak banyak suku di dunia yang memiliki sistem kalender sendiri, khususnya sistem yang masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita sepatutnya berbangga karena turut menjaga kalender ini hingga tetap eksis hingga kini.
Meskipun tidak digunakan secara umum seperti halnya Kalender Masehi, Kalender Jawa masih menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Tak jarang, perhitungan hari baik dan pengambilan keputusan masih didasarkan pertimbanga kalender ini.
Kalender Jawa sistem penanggalan warisan Kesultanan Mataram.
Kalender Jawa mulai digunakan pada 1633 Masehi setelah pertama kali dicetuskan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo. Sistem penanggalan ini kemudian dimanfaatkan di Kesultanan Mataram dan kerajaan pecahan lain yang mendapatkan pengaruhnya.
Lahir pada tahun 911 Sebelum Masehi, Kalender Jawa diciptakan oleh seseorang bernama Mpu Hubayun. Selanjutnya, terjadi beberapa perubahan terhadap huruf atau aksara dan sastra Jawa oleh Prabu Sri Mahapunggung I, tepatnya pada sekitar 50 Sebelum Masehi.
Dilansir dari Info Budaya, kalender Jawa diciptakan berdasarkan asal usul atau isi semesta, atau disebut sebagai Sangkan Paraning Bawana. Peran Kesultanan Mataram dalam menyebarkan kalender ini membuatnya terus diwariskan secara turun-temurun.
Maka dari itu, hingga saat ini masih berlaku hampir di seluruh Pulau Jawa. Pada sistem ini, terdapat dua siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad hingga Sabtu), dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran.
MEMADUKAN TIGA SISTEM PENANGGALAN DARI BUDAYA BERBEDA
Salah satu keunikan kalender Jawa terletak pada macam-macam sistem penanggalan yang menginspirasinya. Ialah sistem penanggalan hijriyah (islam), sistem penanggalan hindu, dan sistem penanggalan masehi (julian) dari budaya barat.
Tiga sistem tersebut mulanya beredar dan digunakan di masyarakat secara terpisah. Namun, Sultan Agung mengusulkan penyatuan kalender guna memperkuat persatuan di wilayah Mataram untuk melawan bangsa asing.
DIMULAI PADA 21 JUNI 78 M
Meskipun telah eksis bertahun-tahun sebelumnya, kalender Jawa baru dimulai pada tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa Windu Kuntara (tanggal 1, bulan 1, tahun 1, dan windu 1). Bertepatan dengan hari Radite Kasih (Minggu Kliwon), atau dalam 21 Juni 78 M pada kalender juvian.
KALENDER JAWA DAN SISTEM KURUP
Pada dasarnya, sistem penanggalan kalender Jawa mengikuti sistem Kalender Hijriyah. Meskipun begitu, tetap terdapat beberapa perbedaan yang memisahkan keduanya. Kalender Jawa memiliki tiga tahun kabisat di tiap windunya (delapan tahun), sedangkan kalender Islam memiliki sebelas tahun kabisat setiap tiga puluh tahunnya.
Perbedaan ini tentunya memiliki dampak tertentu bagi penanggalan kalender Jawa, yaitu peristiwa 120 tahun sekali di mana terdapat satu hari yang harus dibuang agar perhitungan Kalender Jawa dan Kalender Hijriyah tetap sama. Siklus ini dinamakan Siklus Kurup.
PERBEDAAN KALENDER JAWA KERATON SURAKARTA DAN KALENDER JOGYAKARTA
Dilansir dari beberapa sumber, terdapat perbedaan dalam Siklus Kurup antara Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Salah satunya terjadi pada tahun 1748 Masehi. Ketika itu, Keraton Surakarta telah membuang satu hari pada tahun 1675 Jawa. Walaupun menurut perhitungan, saat itu baru berjalan 74 tahun.
Sebagai seseorang yang memutuskan hal tersebut, Pakubuwana V beralasan bahwa penanggalan Jawa sebenarnya sudah tertinggal 1 hari dari Kalender Hijriyah. Sistem ini baru diikuti Keraton Yogyakarta atas perintah Sultan Hamengkubuwana VI pada tahun 1749 Jawa atau 1866 Masehi.
PRABU SRI MAHARAJA KANWA (± antara 90-60 SM) DAN PRABU DEWAHESA (±120-90 SM), (Sumber : kitab pustaka raja purwa)
Mudanya bernama Raden Pakukuhan, putra keenam dari Prabu Dewahesa.
Raja penerus kerajaan Purwacarita (jawa tengah, dahulu bernama Medang Kamulan, kaki gunung Mahendra atau sekarang disebut gunung lawu). Kerajaan Purwacarita didirikan oleh Prabu Budakresna, setelah lengser digantikan oleh seorang resi dari India yang kemudian bergelar Prabu Dewahesa, akan tetapi Pusat pemerintahannya dipindah ke Gilingaya (bekas kerajaan Medang Gili, kaki gunung Mahera/gunung salak, banten).
Setelah ayahnya wafat, Prabu Kanwa menjadi satu-satunya penguasa di jawa. Prabu Kanwa adalah penggagas pertama kali sistem pertanian-persawahan di jawa, terbentang dari (saat ini daerah klaten-bantul hingga surabaya-malang). Menggantikan sistem bertani dengan cara berpindah-pindah. Saat itu Purwacarita mengalami masa kejayaan.
Prabu Kanwa mempunyai senjata pusaka berbentuk tombak yang ujungnya dari patahan gading gajah Prabu Iramba.
Iramba adalah nama kakak kandungnya, seorang raja yang lari ke daerah Swarnadwipa (Sumatra) karena kalah berperang melawan Prabu Kanwa akibat suatu kesalahpahaman.
Saat itu daerah jawa dan sumatra masih satu wilayah daratan belum terpisah.
PRABU DEWAHESA (±120-90 SM)
Adalah raja Purwacarita generasi kedua setelah Prabu Budakresna.
Di jaman kepemerintahan Prabu Dewahesa terdapat penataan agama bagi masyarakat Jawa kuno, dengan dibantu oleh kelima putranya. Mereka mendapat tugas antara lain :
1. Penduduk beragama Kala dipimpin oleh Prabu Isru,
2. Penduduk beragama Wisnu dipimpin oleh Prabu Harnida,
3. Penduduk beragama Indra dipimpin oleh Prabu Agina,
4. Penduduk beragama Sambu dipimpin oleh Prabu Rugista,
5. Penduduk beragama Bayu dipimpin oleh Prabu Iramba,
6. Penduduk beragama Brahma dipimpin oleh Sri Maharaja Dewahesa sendiri.
Kemudian penataan sistem penanggalan yang dipersembahkan oleh keponakannya, seorang resi bernama Resi Radi. Yaitu penetapan hari dan pranatamangsa.
Pada zaman dahulu Empu Sengkala (th 1 candra sengkala / ±432SM)
telah menciptakan penyebutan hari lima dalam satu pekan, yaitu Sri, Kala, Brahma, Wisnu, dan Guru, namun masyarakat Jawa merasa segan menggunakannya karena merasa takut terkena balak atau dianggap kurang sopan jika menyebut secara langsung nama para dewa, sehingga mereka lebih suka menggantinya dengan istilah warna, hari :
1. Putih.
2. Kuning.
3. Merah.
4. Hitam dan.
5. Mancawarna.
Mulai saat itu Resi Radi memperkenalkan penyebutan hari lima dengan istilah baru, yaitu :
1. Legi.
2. Pahing.
3. Pon.
4. Wage dan.
5. Kliwon.
Kelima hari tersebut dikenal dengan istilah Pasaran.
Empu Sengkala dahulu juga menetapkan nama-nama masa dalam satu tahun dengan meniru penanggalan di Tanah Hindustan, yaitu :
1. Caitra.
2. Waisaka.
3. Jyesta.
4. Asada.
5. Srawana.
6. Badrapada.
7. Aswina.
8. Kartika.
9. Margasirsa.
10. Pusa.
11. Manggakala dan.
12. Palguna.
Maka, Resi Radi mengubah nama-nama masa tersebut dengan menggunakan istilah Jawa supaya lebih mudah dimengerti masyarakat Jawa yaitu :
1. Kasa.
2. Karo.
3. Katiga.
4. Kapat.
5. Kalima.
6. Kanem.
7. Kapitu.
8. Kawolu.
9. Kasanga.
10. Kadasa.
11. Pasta dan.
12. Sada.
Ke 12 masa tersebut dikenal dengan istilah Pranatamangsa.
PENAMAAN KALENDER JAWA DAN PERJALANAN HINGGA KINI
Penamaan nama bulan pada Kalender Jawa sebagian menyesuaikan nama pada Kalender Hijriyah. Namun, terdapat pula nama bulan yang diambil dari Bahasa Sansekerta.
Penamaan tujuh hari pada Kalender Jawa adalah :
1. Radite (Minggu).
2. Soma (Senin).
3. Hanggara (Selasa).
4. Budha (Rabu).
5. Respati (Kamis).
6. Sukra (Jum’at), dan.
7. Tumpak (Sabtu).
Sedangkan pekenan pasar yang terdiri dari lima hari ialah :
1. Legi.
2. Pahing.
3. Pon.
4. Wage, dan.
5. Kliwon.
Seiring dengan penggunaan Kalender Jawa, lahirlah weton Jawa sebagai salah satu budaya yang tak lekang waktu hingga saat ini. Weton Jawa adalah perhitungan tertentu mengenai Kalender Jawa yang digunakan untuk menentukan tanggal acara-acara saklar, mengetahui ramalan masa depan, hingga mengetahui kepribadian seseorang.
Sebagai salah satu warisan budaya, kita perlu bangga memiliki Kalender Jawa sebagai ciri khas unik yang dimiliki Nusantara.
PERBEDAAN PENDAPAT TAHUN SAKA (VERSI)
Kealpaan sejarawan menganggap angka tahun Saka yang tertulis di seluruh prasasti di hitung mulai dari tahun 78 Masehi.
Penghitungan awal saka tahun 78 ini lah yang menjadikan angka tahun peradaban dan kerajaan kerajaan menjadi Muda dan lebih kebelakang lagi sejarah maju Nusantara Indonesia terdahulu menjadi Hilang sebelum tahun itu, seolah tidak ada peradaban
Tahun saka Nusantara,Tidak di mulai tahun 78 Masehi,Tahun itu adalah saat leluhur Nusantara menaklukan Raja Salivahana di india selatan oleh kaum yang bernama Çakya/Sakya/Sakkas/Schytia/Ras Arya.
Di tahun itulah daerah taklukan di India memakai awal perhitungan kalendernya, bukan untuk menghitung tahun awal Saka di prasasti dimana kaum itu berasal.
Kaum Penakluk itu adalah leluhur bangsa Nusantara bernama Çakya/Sakya/Sakkas/Schytia/Ras Arya.
Sumber di relief paling dasar Borobudur
terpahat Máhēçākyā, Bangsa Çãkyã/Şàkyà/Schytia/Saka, Aryān yang Agung, Nusantara maju terdahulu sudah mempunyai tahun yang di sebut Çãkã atau Saka dan awal thn itu bukan 78 M tapi jauh sebelum itu
CATATAN :
Kalender Jawa diciptakan oleh “mPu Hubayun”,dibuat berdasarkan ‘Sangkan Paraning Bawana‘,asal usul isi semesta pada tahun 911 SM mengikuti peredaran matahari.
Tahun 1625, Sultan Agung atas dasar kesinambungan, anehnya (perlu didiskusikan) mengeluarkan semacam sabda pendhita ratu tahun 1547 Çaka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa
Beliau memakai kalender Saka india 1547+78 = Tahun 1.625 Masehi
Jika di hitung berdasar awal tahun Jawa “mPu Hubayun” 911 SM (1547 – 911 + 1 ), Seharus nya 635 Masehi.
Saliwahana adalah Raja dari India bagian selatan,yang di kalahkan oleh kaum “Çaka” dan tahun yg di gunakan adalah tahun yang di pakai bangsa kaum “Pemenang”,Di mulai saat di “Taklukan” nya thn 78 M
Kalender Saka yang di pakai saat ini,berawal pada tahun 78 M juga disebut sebagai penanggalan Saliwahana/Sâlivâhana
Kaum Sakkas” ini istilah sejarawan barat menyebut nya,mereka termasuk kaum “Arya” dari suku “Scythia” sub ras ke 4 yang berasal dari bangsa “Jawi ” bangsa yg menurun kan kaum Çaka yaitu :
1. Jawi (Bukan suku jawa)
2. Madayu (Mada,Medes, Madyan, Midian,Medea)
3. Cambyses
4. Scythia,Sakkas,Çaka (Kaum Aryān/Ras Arya)
5. Manessah
6. Mala (Turunan bangsa atau sukunya Jakun, Iban, Kadazan, Melanau, Bajau)
7. Malai
8. Mada
9. Mada-yu
10. Mala-yu
Dari terjadi nya saat kekalahan Raja india oleh kaum Sakkas atau Çâkâ kita dapat mengetahui bahwa ada kaum hebat, dan kaum itu adalah leluhur bangsa Nusantara,.. Dunia tidak catat bahkan di “Hidden”
Dokumen kitab kitab leluhur kita dan valid asli ada di Leiden yg panjang nya 12 Km jika dijajar,Imperium besar di Nusantara, Dinasti Surya nama nama Raja kerajaan sebelum nya ada tercatat di sana
Keturunan kaum Çaka,penerus dinasty Surya dan yang Tertua hanya tercatat,Kutai,Taruma Nagara dan Medang kemudian menurunkan kedua dinasti ini yaitu Dinasti Sunda & Dinasti Medang atau Galuh.
Ini adalah generasi penerus kaum Çãkã /Ras Arya, sub bangsa Jawi Imperium dinasti besar berpusat di Nusantara Indonesia terdahulu yang mengalahkan Raja india thn 78 M
Adalah suatu kekilafan besar jika tahun Saka di prasasti di hitung mulai pada thn 78 Masehi ini penyebab hilang nya sejarah kita sebelum tahun itu.
KALENDER JAWA.
Kalender Jawa Asli itu belum benar-benar diketahui. Ada beberapa rujukan terkait kalender Jawa Asli. Namun rujukan tersebut hanya sepotong-sepotong. Kadang hanya sekedar cerita turun temurun. Yang keabsahannya belum bisa dibuktikan. Dimana satu dengan yang lain bisa saling bertentangan, tidak sinkron. Jadi terlalu dini dan gegabah jika ada yang mengaku memakai kalender Jawa Asli. Lebih gegabah lagi jika merasa paling benar kemudian menyalah-nyalahkan yang lain. Karena pengakuan semacam itu hanya sekedar klaim sepihak saja, yang masih butuh pembuktian lebih lanjut.
Namun demikian, masih bisa kita temukan eksistensi kalender Jawa Asli yang sudah bercampur dengan kalender Syaka India. Percampuran kalender Jawa Asli dengan kalender Syaka India, menjadi kalender Syaka Jawa. Sebuah kalender yang dipergunakan masyarakat Jawa Kuno semenjak masuknya pengaruh Hindhu Buddha sampai pada masa Majapahit akhir, abad-15. Bahkan pada masa Kesultanan Demak sampai Kesultanan Pajang dan awal Keraton Mataram Islam, Syaka Jawa masih dipergunakan bersama dengan kalender Hijriyah Islam. Jadi pada masa transisi ini, negara mempergunakan dua kalender sekaligus. Syaka Jawa dan Hijriyah.
Baru pada masa pemerintahan Susuhunan Adiprabhu Anyakrakusuma atau Sultan Agung (1613-1645 M), raja Mataram Islam yang ke-3, kelender Syaka Jawa digabung dengan kalender Hijriyah Islam sehingga lahir menjadi kalender Kêjawen (Jawa Islam) yang baru kita peringati tadi malam. Tahun pertama kalender Kêjawen meneruskan tahun Syaka Jawa 1555. Sehingga tahun pertama kalender Kêjawen langsung memakai angka 1555. Perhitungan diubah, yang semula mempergunakan perhitungan matahari, diubah mempergunakan perhitungan rembulan. Sekarang, kalender Syaka Jawa baru menginjak tahun 1944 Syaka Jawa. Adapun kalender Kêjawen sudah memasuki tahun 1956 Ehe Jawa. Lebih cepat kalender Kêjawen karena mempergunakan perhitungan rembulan.
OPINI TENTANG PENANGGALAN JAWA
Sistem penanggalan Jawa yang asli, murni tidak tercampur dengan sistem almanak manapun.
Sekilas dibaca akan membuat kita percaya, bahkan banyak juga yang kemudian menjadi perbedaan pendapat hingga perdebatan tiada ujung.
Sistem almanak Jawa yang ada sekarang, notabene hasil modifikasi Kanjeng Sultan Agung, raja Mataram Islam yang termasyur.
Sebuah suku/peradaban mempunyai sistem penanggalan jika peradaban tersebut sudah mempunyai aksara. Budaya tulis akan digunakan sebagai dasar perhitungan sistem kalender. Bisa dicek, peradaban yang mempunyai sistem kalender pasti mempunyai budaya tulis & aksara. Tidak ada satupun peradaban yang tidak mengenal aksara dan tulisan yang mempunyai sistem penanggalan tersendiri. Kalender karya mPu Hubayun yang digadang-gadang asli Jawa, yang usianya ribuan tahun ini memakai aksara yang bagaimana ?. Mungkin belum ditemukan bukti yang cukup kuat untuk memastikan sebagai landasan perhitungan penanggalan Jawa.
Secara umum, tidak ada satupun sumber tulis yang ditemukan dinegeri ini menggunakan sistem mPu Hubayun. Semua memakai sistem Saka Jawa kuno.
Makanya, jawa kuna cuma punya hari 6 saja, bolak balik urut mutĕr saja yang sangat muḍaḥ ḍihapal, yaitu paringkĕlan, sĕbab tiḍak ḍitulis juga bisa kalꜷ hanya menghapal siklus 6 hari saja,
Pranatamangsa itu ḍibuat untuk pĕnanḍaan musim tani, ḍasaṙnya kalèṇḍĕṙ saka,
jaḍi pranåtamangsa itu bukan kalèṇḍĕr.
Aḍanya pĕnaṅggalan saka, yang bĕṙbasis matahari lalu ḍibagi 12 untuk pĕnanḍa musim tani.
Makanya tiḍak aḍa pĕñcatatan tanggal 43, misalnya, sĕbab måṅgså bukan pĕnanggalan, tapi hanya umuṙ musim, ḍari sĕmua musim itu kalꜷ ḍijumlaḥ aḍa 365 hari, sĕbab yang ḍibagi mĕñjaḍi 12 bagian juga jumlaḥ hari pĕnanggalan saka, jumlaḥnya juga 365 hari,
Kemuḍian, sĕtĕlaḥ jaman Sultan Agung, pranåtamangsa ikut mati, sĕbab babonnya pĕnaṅggalan saka juga mati.
Ḍi masukkan kĕ kalénḍĕr jawa tiḍak bisa, sĕbab kalènḍĕṙ jawa aḍalaḥ kalèṇḍĕr bulan 354 hari,
hingga akhṙnya pranatamangsa bĕnar² mati ratusan tahun,
Sampai akhirnya jaman landa, låndå bawa masèhi,
kaṛĕna maséhi aḍalaḥ pĕnanggalan matahari.
maka pranåtamangsa bisa ḍihiḍupkan lagi, olèḥ Pakubuwana 4,.
sĕjak saat itu pranåtå mångså ḍitèmpèlkan ḍi masèhi.
Imajier Nuswantoro