NAFSU DAN KEBAHAGIAAN
Hai budak nafsu !
Jangan mengaku-ngaku telah mencapai maqam para rabbani. Kau memuja nafsu, sedangkan mereka hanya menyembah Allah. Dambaanmu dunia, sedangkan dambaan mereka akhirat. Matamu hanya melihat dunia, pandangan mereka melihat Tuhan penguasa bumi dan langit. Kau mencintai ciptaan, sedangkan mereka mencintai Sang Penciptaan. Hatimu terpaut pada dunia, hati mereka terpaut kepada Tuhan pemilik Arasy.
Kau adalah korban segala kau lihat, sedangkan mereka tak memerhatikan segala yang kau lihat. Mereka hanya melihat Sang Pencipta segala sesuatu, yang tak mungkin terlihat (mata manusia). Mereka telah meraih tujuan hidup mereka, dan keselamatan mereka terjamin, sedangkan kau tetap menjadi korban nafsu dunia.
Mereka telah lepas lepas dari ciptaan, dari nafsu dunia, dan dari kehendak diri. Dengan demikian, mereka bergegas mendekati hadirat Tuhan yang menganugerahi mereka kekuatan untuk mencapai puncak wujud mereka, yaitu patuh kepada-Nya. Itulah wujud Ridha Allah, yang Dia anugerahkan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Mereka menjadikan ketaatan dan pemujaan sebagai kewajiban. Mereka kukuh menjalani keduanya dengan bantuan-Nya tanpa mengalami kesulitan sehingga kepatuhan menjadi ruh hidup mereka.
Akhirnya, dunia menjadi rahmat dan tempat yang menyenangkan bagi mereka, bagaikan syurga. Ketika melihat sesuatu, mereka melihat Sang Pencipta. Kerana itulah keberadaan mereka memberi daya kepada bumi dan langit. Keberadaan mereka menjadi sumber kesenangan bagi yang mati dan yang hidup.
Sungguh, Tuhan telah menjadikan mereka pasak bagi bumi ini. Mereka bagaikan gunung-gunung yang tegak berdiri. Mereka adalah yang terbaik di antara yang telah diciptakan dan ditebarkan-Nya di dunia ini. Semoga kedamaian dari Allah melimpahi mereka, juga salam dan rahmat-Nya, selama bumi dan langit masih ada.
(Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kitab Futuhul Ghaib)
Selain akal, manusia juga dibekali hawa nafsu. Nafsu ibarat mesin yang selalu mendorong manusia untuk melakukan sesuatu, sementara Akal ialah tali kekang untuk mengontrol dan mengendalikan keinginan tersebut.
Kedua hal ini mesti dijaga keseimbangannya. Memenangkan salah satu keduanya akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia.
Manusia akan menjadi benda mati bila tidak memiliki nafsu dan sebaliknya, dia dapat berubah menjadi mesin penghancur jika akal sudah hilang didalam dirinya.
Menjinakkan nafsu tentu bukan pekerjaan ringan, Ia lebih sulit dibandingkan mengendalikan kuda liar. Bahkan menaklukan musuh di medan perang jauh lebih ringan ketimbang menaklukan nafsu yang ada di dalam diri kita sendiri.
Saking sulitnya mengendalikannya, seorang penyair menendangkan :
قلبي الى ما ضرني داعي..........يكثر اسقامي واوجاعي
كيف احتراسي من عدوي ادا.....كان عدوي بين اضلاعي"
Hatiku selalu mendorongku terhadap sesuatu yang merusakku, Bahkan ia sering kali membuatku sakit, bagaimana aku bisa membentengi diriku dari musuhku, sementara musuhku bersembunyi di balik tulang rusukku.
Untuk menuju proses keseimbangan tersebut, perlu dilakukan penilaian, evaluasi, dan koreksi atas diri sendiri.
Dalam perjalanan kehidupan ini, kira-kira apakah kita pernah salah melangkah, berbuat salah,
Sudah baikkah tingkah laku kita kepada orang lain?
Pertanyaan kritis seperti ini, perlu ditujukan sesekali untuk diri guna menimbulkan perbuatan positif pada tahap berikutnya.
Dalam proses intropeksi diri, seseorang juga mesti adil terhadap dirinya.
Hal ini sama ketika mengintropeksi dan mengadili orang lain.
Mesti adil dan tidak boleh berat sebelah.
Seseorang insan juga tidak boleh berlebih-lebihan dalam memuja kebaikan yang pernah dilakukannya, dan dia juga tidak boleh menganggap dirinya makhluk paling hina, buruk, dan jelek karena pernah melakukan kesalahan.
Seberat apapun kesalahan yang dilakukan, arif lah ketika menilai.
Sebagaimana yang dijelaskan al-Mawardi dalam Adabud dunia wad Din :
Prasangka baik terhadap diri sendiri secara berlebihan akan membuat keburukan 'di pelupuk mata tidak terlihat', sedangkan terlalu berlebihan berprasangka buruk akan membuat kebaikan diri sendiri 'di pelupuk mata tidak terlihat'.
Cara seperti ini tidak akan menghilangkan keburukan dan tidak mengarahkan kita pada kebaikan.
Al-Jahizh mengatakan di dalam Al-Bayan, kita perlu adil dan bijak dalam menilai diri.
Setiap manusia tentu tidak ada yang sempurna dan tidak ada pula manusia yang sepanjang detik, menit, dan hari mengerjakan maksiat terus-menerus.
Sudah dimaklumi bahwa perjalanan kehidupan manusia selalu diwarnai dengan sifat baik dan buruk.
Sebab itu, jangan berlebihan menilai diri.
Apapun hasil evaluasi tersebut, harus diterima dengan lapang dada supaya menimbulkan perubahan yang positif.
KEBAHAGIAAN
بِسْـــــــــــــــــــــمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيم
Setiap manusia menginginkan kebahagiaan. Tetapi sering kali mereka begitu sibuk mencarinya, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan sesungguhnya tidak kemana-mana. Tetapi justru ada di mana-mana.
Kebahagiaan bisa hadir di setiap tempat, di semua rasa, dan tentunya setiap hati yang selalu mensyukuri.
Bagi orang miskin, uang itulah kebahagiaan.
Bagi orang sakit, kesehatan itulah kebahagiaan
Bagi pemuda lajang, pasangan hidup itulah kebahagiaan
Bagi mahasiswa gelar, sarjana itulah kebahagiaan
Bagi penganggur pekerjaan, itulah kebahagiaan
Bagi yang kebanyakan pekerja, liburan itulah kebahagiaan.
Bagi orang tua, anak berbakti itulah kebahagiaan
Bagi orang lumpuh, berjalan itulah kebahagiaan
Bagi orang buta, melihat itulah kebahagiaan
Bagi pemabok, alkohol itulah kebahagiaan
Bagi ibu-ibu kaya, shopping itulah kebahagiaan
Bagi politikus, jabatan dan kuasa itulah kebahagiaan
Bagi selebritis, popularitas itulah kebahagiaan.
Semua orang punya definisi kebahagiaan namun sedikit sekali yang mengatakan hidup dalam kasih sayang Allah dan rasa syukur itulah kebahagiaan!
Semua itu sejalan sebagaimana sejak Nabi Adam diturunkan ke Bumi dan Allah berfirman kepadanya
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
فَاَ زَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَ خْرَجَهُمَا مِمَّا كَا نَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَـكُمْ فِى الْاَ رْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَا عٌ اِلٰى حِيْنٍ
fa azallahumasy-syaithoonu 'an-haa fa akhrojahumaa mimmaa kaanaa fiihi wa qulnahbithuu ba'dhukum liba'dhin 'aduww, wa lakum fil-ardhi mustaqorruw wa mataa'un ilaa hiin
Lalu, setan memerdayakan keduanya dari surga sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga). Dan Kami berfirman, Turunlah kamu ! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 36).
Kebahagiaan-kebahagiaan di atas sebenarnya bukanlah kebahagiaan, lebih tepat adalah kesenangan, kepuasan dan kegembiraan yang singkat dan sementara.
Kebahagiaan sejati hanya ada dalam kasih sayang Allah dan rasa syukur kita kepada apa yang telah Allah berikan.
Hanya rasa syukur yang mendatangkan sukacita, kedamaian dan keceriaan.
Hanya kasih sayang Allah dan rasa syukur yang mendatangkan kebahagiaan sejatiI dalam hidup.
Hanya bersyukurlah yang membuat segalanya jadi indah.
BAHAGIA
Bahagia itu sederhana, sering sekali kita mendengar kalimat itu.
Sederhana, Tapi tidak sesederhana itu. Ada sebuah usaha yg menyertai nya.
Bahagia itu tidak timbul dengan tiba tiba, tidak juga kita berdoa lalu kita mendapatkannya. Butuh sebuah usaha utk mencapai kata bahagia itu. Dan malam ini kita akan sama sama membongkar rahasia kehidupan yang bernama bahagia.
Bahagia itu hanya soal rasa. Apa yang terjadi saat ini maka itu yang akan mempengaruhi rasa bahagia kita. Ketika datang berkat otomatis hati akan bahagia, tetapi ketika ada kabar duka maka tanpa di komando hati akan mendadak sedih. Sebenarnya apa bahagia itu ?
Banyak org mendefinisikan bahagia dengan harta, uang, kekasih, jabatan, dan semua yg berhubungan dengan euforia. Tapi apa sebenarnya bahagia itu ?
Bahagia adalah ketika kita mampu ihklas menerima takdir dan menjalaninya tanpa mengeluh. Bahagia itu kita yg ciptakan. Pertanyaan nya bagaimana cara menciptakan ?
Berdamai dengan hati. Ketika pikiran mampu seirama dengan hati maka menciptakan rasa damai. Dan ketika damai itu ada tanpa di paksa maka bahagia akan datang dengan sendirinya. Contoh paling sederhana adalah belajarlah utk membuang semua pikiran negatif dan perasaan curiga kepada org lain. Letakkan pikiran di titik netral dan jangan menilai apapun. Seringkali ketika kita melihat orang miskin di pasar maka ketika ia meminta uang receh kepada kita maka reaksi kita adalah menolak sambil menilai org tersebut dengan berkata dalam hati makanya kerja jangan males, kerjanya cuma meminta minta menyusahkan orang aja.
Pikiran buruk dan hati yg pandai menilai org lain itu memunculkan energi negatif. Coba kita belajar utk memahami org lain dan menyelaraskan pikiran dan hati dengan hal yg positif. Bereaksilah dengan tepat. Sederhanakan masalah. Jika ada uang dan rela berilah dengan ihklas tanpa mengomel. Jika tidak ihklas tidak usah memberi dan diam. Karna itu akan jauh lebih terhormat dari pada memberi cuma uang receh tapi dengan bonus omelan. Itu akan menyakiti perasaan orang lain.
Kita belajar memahami hidup dan menemukan rumus bahagia yaitu berani melepaskan apapun. Itu adalah pelajaran tingkat tinggi yg tidak semua orang mau melakukannya. Jika di tanya soal kemampuan semua orang sebenarnya mampu, tapi tidak semua mau. Banyak orang mencari bahagia dengan rumusan yang beraneka ragam. Ada yang mencari kesenangan sesaat, membeli teman, bahkan ada merasa sangat bahagia ketika mampu membuat sengsara orang lain. Kebanyakan orang merasa bahagia ketika mampu memenuhi keinginan dan ambisinya. Padahal tanpa sadar mereka sedang menjauhkan bahagia itu sendiri dari hidupnya.
Konsep bahagia itu justru sebenarnya akan muncul dengan sendirinya ketika kita mampu melepaskan semuanya. Melepaskan hak kita utk kita marah ketika org lain salah, melepaskan pengampunan ketika kita di sakiti, melepaskan doa berkat bagi orang yang sudah menghina kita dan yang terbesar adalah melepaskan keinginan kita utk mengeluh ketika semua kejadian tidak seperti yang seharusnya kita mau.
Bahagia adalah sebuah keadaan yang kita ciptakan, namun kita baru bisa menciptakan kebahagiaan ketika kita bisa merelakan. Yang mampu menetralkan pikiran adalah hati. Ketika hati kita nampu mengihklaskan segala hal maka pikiranpun akan setuju untuk menerima informasi yg positif. Namun ketika hati kita belum bisa berdamai dengan keadaan maka jangan pernah berharap pikiran akan mampu menciptakan kebahagiaan. Sebab ketika hati dan pikiran tenang maka hal sesederhana apapun akan mampu mendatangkan bahagia.