TARI BEDHAYA KETAWANG (versi 1)
Kocap kacarito :
(Dikisahkan bahwa pemangku Panembahan Senapati dari Mataram dalam Pertapaannya Bertemu dan Memadu Kasih dengan Kanjeng Ratu Kidul, Inilah Tarian Bedhaya Ketawang yang Dianggap Sakral, Lambang Kebesaran Raja).
Tari Bedhaya Ketawang Kasunanan Surakarta yang hanya dipertunjukkan saat penobatan atau peringatan naik takhta Sunan Surakarta.
Tari Bedoyo Segara Kidul Tarian sakral ini dilakukan oleh 9 penari, yakni 1 orang sebagai figur Nyi Roro Kidul atau Kanjeng Ratu Pantai Selatan dan 8 orang sebagai dayang dayang.
Berdasarkan penelusuran informasi, diketahui bahwa Tari Bedoyo Segoro Kidul adalah karya gagasan Gusti Wedakarna. Tari ini sebagai penghormatan kepada leluhur khususnya untuk Ratu Penguasa Pantai Selatan.
Tari Bedhaya Ketawang merupakan sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan Tingaladalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan taktha raja).
Tari Bedhaya Ketawang ini adalah tarian sakral atau suci yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta yang penuh makna.
Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata ‘bedhaya’ yang berarti penari wanita di istana, sedangkan ‘ketawang’ berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.
Menurut situs Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tarian Bedhaya Ketawang ini hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta peringatan kenaikan takhta raja di Keraton Kasunanan Surakarta.
Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut Ketuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut sejarahnya, tari Bedhaya Ketawang juga menjadi salah satu pusaka warisan leluhur yang dimiliki raja dan merupakan konsep legitimasi raja.
Gerakan tarian Bedhaya Ketawang mengandung makna falsafah yang tinggi, dan masih berjalan sesuai dengan pakem hingga saat ini.
Tarian nan suci ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung Hanyakrakusuma pada 1623-1645.
Menurut legenda, pada saat memerintah Sultan Agung melakukan ritual semedi, dan mendengar suara senandung dari arah langit, yang membuatnya terkesima, sehingga Sultan Agung memanggil pengawal dan mengutarakannya kesaksian batinnya pada mereka.
Pengawal Sultan Agung ketika itu adalah Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap.
Dari kejadian itulah kemudian Sultan Agung menciptakan tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang.
Namun, legenda lain menceritakan bagaimana asal mula Tari Bedhaya Ketawang, ketika dalam pertapaannya Panembahan Senapati bertemu dan memadu kasih dengan Ratu Kencanasari alias Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian Bedhaya Ketawang.
Namun setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, di mana Pakubuwana III bersama Hamengkubuwana I melakukan pembagian harga warisan Kesultanan Mataram, yang sebagian menjadi miliki Kasunanan Surakarta dan sebagian lain menjadi milik Kesultanan Yogyakarta, akhirnya Tari Bedhaya Ketawang menjadi milik istana Surakarta.
Tarian tersebut tetap dipertunjukkan pada saat penobatan dan upacara peringatan kenaikan takhta Sunan Surakarta, hingga sekarang.
Tari Bedhaya Ketawang menggambarkan hubungan asmara kanjeng Ratu Kidul dengan Raja Mataram, yang diwujudkan pada gerak tari.
Kata-kata yang terkandung pada tembang pengiring menggambarkan curahan hati kanjeng Ratu Kidul kepada sang raja.
Mengutip buku Tari Bedhaya dan Bedhayan, Kajian Ideologi dan Historis (2021) karya Sawitri, tari Bedhaya Ketawang merupakan satu tarian khusus yang dianggap sakral sebagai lambang kesabaran raja.
Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian tradisional keraton yang sarat makna dan erat hubungannya dengan upacara adat, sakral, religi.
Tari sakral tersebut diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna yang erat hubungannya dengan upacara adat, sakral atau religius, dan tarian percintaan.
Tari Bedhaya Ketawang bukan tarian yang tidak bisa dipertontonkan semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali, seperti saat upacara kenaikan takhta raja ataupun saat penobatan serta pemilihan raja baru.
Pada saat upacara tari Bedhaya Ketawang berlangsung tidak ada hidangan yang keluar dan tidak boleh menyalakan rokok, yang bisa mengganggu jalannya upacara dan suasana tidak menjadi khidmat lagi.
MEMPUNYAI NILAI SAKRAL DAN MAKNA
Orang percaya bahwa setiap kali tari Bedhaya Ketawang dipagelarkan baik untuk latihan atau pergelaran, Kanjeng Ratu Kidul ikut hadir di tengah-tengah mereka dan ikut menari serta membetulkan kesalahan dari penari yang menarikan tarian tersebut.
Kehadiran beliau tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya mereka yang peka saja dapat melihat kehadirannya.
Kereligiusan tari Bedhaya Ketawang adalah ada dugaan bahwa pada mulanya Bedhaya merupakan untuk pemujaan di candi-candi dengan suasana yang religius.
TARIAN PERCINTAAN
Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta asmara, yang terlukis dalam gerak gerik tangan serta seluruh bagian tubuh dan penari.
Munculnya nilai magis dalam tarian tersebut bukan dalam segi negatif tetapi segi positif, yaitu menggambarkan Tuhan yang memberikan pertolongan kepada Kerajaan Mataram untuk membina.
Panembahan Senopati pada waktu bertapa di tepi samudera itu hanya mempunyai satu tujuan untuk meminta kepada Tuhan bagaimana agar diberi keselamatan.
Tarian Bedhaya Ketawang ini biasanya dipertunjukkan oleh sembilan penari wanita, yang memiliki beberapa prasyarat, antara lain penari harus seorang gadis dan tidak sedang haid.
Seandainya salah satu penari sedang haid, maka penari itu tetap diperbolehkan menari namun harus meminta izin kepada Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan caos dhahar di Panggung Sangga Buwana Keraton Surakarta.
Syarat yang lain adalah suci secara batiniah dengan cara berpuasa selama beberapa hari sebelum pergelaran.
Tari Bedhaya Ketawang dalam pertunjukannya diiringi dengan musik gending ketawang gedhe dengan nada pelog, yang menggunakan istrumen kethuk, kenong, gong, kendhang, dan kemanak, yang iramanya terdengar lebih halus.
Tari Bedhaya Ketawang dibagi menjadi tiga babak (adegan), yang di tengah tarian nada gendhing berganti menjadi slendro selama 2 kali, setelah itu nada gendhing kembali lagi ke nada pelog hingga tarian berakhir.
Dalam pertunjukannya, busana yang digunakan oleh penari saat menari Bedhaya Ketawang adalah busana pengantin perempuan Jawa, yaitu dodot ageng atau disebut juga basahan.
Pada rambut penari menggunakan gelung bokor mengkurep, yaitu gelungan yang ukurannya lebih besar dari gelungan gaya Yogyakarta.
Aksesoris perhiasan yang digunakan para penari seperti centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha (rangkaian bunga yang dikenakan pada gelungan yang memanjang hingga dada bagian kanan).
BEDHAYA KETAWANG (versi 2)
Tarian ini dilakukan oleh 9 penari, yakni figur Kanjeng Ratu Pantai Selatan dan 8 dayang dayang. Bahwa Tari Bedoyo Segara Kidul adalah karya gagasan Gusti Wedakarna. Tari ini sebagai persembahan kepada Kanjeng Ibu Dewi Pantai Selatan.
Bedhaya ketawang disebut juga tarian langit, yang menurut Kitab Wedhapradangga, diciptakan Sultan Agung (1613-1645), seusai mendengar tetembangan dari tawang (langit). Sehingga, secara harfiah, bedhaya ketawang berasal dari ambedhaya (menari) dan tawang. Bedhaya ketawang merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta.
Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan).
Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati), Bedhaya gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX), Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya. Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa tarian ini sengaja diciptakan langsung oleh Kanjeng Ratu Kidul khusus untuk raja-raja Jawa.
Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati. Ini semua terlukis dalam gerak gerik tangan, langkah kaki, dan seluruh bagian tubuh para penari. Namun semuanya tergambar dengan begitu halus sehingga cukup sulit bagi orang awam untuk memahaminya. Segala gerak dalam tarian ini melambangkan melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Sang Ratu, karena masih ingin mencapai sangkan paran, namun beliau masih mau memperistri Kanjeng Ratu Kidul, turun temurun. Kemudian terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus. Sehingga siapa saja raja yang bertahta atas Jawa otomatis akan beristri Kanjeng Ratu Kidul. Sebaliknya bahkan Kanjeng Ratu Kidul yang diminta datang ke daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.
Versi sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.
CERITA DAN ATURAN BEDHAYA KETAWANG
Tari bedhaya ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya dipentaskan pada waktu-waktu tertentu saja. Bedhaya ketawang ada dua jenis, yaitu bedhaya ketawang alit yang dipentaskan setiap tahun pada acara tingalan Jumenengan Dalem dan durasinya hanya 1,5 jam. Satu lagi yaitu bedhaya ketawang ageng yang dipentaskan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali. Tari bedhaya ketawang ageng bisa berdurasi sekitar 5,5 jam dan berlangung hingga pukul 01.00 pagi. Orang yang menyaksikannya pun adalah orang-orang tertentu yang telah terpilih. Selama menyaksikan tari tersebut, hadirin harus dalam keadaan khusuk, semedi, dan hening. Jadi hadirin tidak boleh berbicara atau makan, dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari.
Pada awalnya di keraton Surakarta Hadiningrat, tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang dianggap sakral, jumlah penari kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan puteri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton dan seorang penari gaib yang dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul. Konon, setiap kali bedhaya ketawang ditarikan, Nyai Roro Kidul selalu hadir, ikut menari. Namun tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya bagi mereka yang peka saja Sang Ratu menampakkan diri. Tak heran jika kemudian muncul aturan ketat bagi seluruh orang yang terlibat dalam tarian ini baik pada masa latihan maupun waktu pementasan. Hal ini dikarenakan mereka akan bersentuhan langsung dengan Nyi Roro Kidul yang dipercaya sebagai pencipta tarian tersebut. Bahkan, menurut orang yang percaya, Kanjeng Ratu Kidul sendiri yang datang akan turun membetulkan apabila ada gerakan tari yang salah. Ada juga yang percaya Dalam tari Bedaya Ketawang, Nyai Ratu Kidul menggandakan dirinya menjadi namawatrika sembilan dewi ibu alam semesta, percaya tidak percaya, itu tergantung diri kita masing-masing.
Seyogyanya sebelum dilaksanakan tarian ini ada beberapa laku atau aturan/unggah-ungguh yang juga disebut juga upacara ritus yang harus dipenuhi oleh keraton dan para penarinya.
Adapun yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Untuk Keraton harus melakukan upacara atau ritus Labuhan atau Larungan (persembahan korban) yang berupa sesaji di 4 titik ujung/titik mata angin disekitar keraton. Disini keraton diibaratkan sebagai pusat Kosmis dari dunia dan keempat titik penjuru melambangkan alam semesta, letak geografis dan mitologis keempat titik tersebut adalah :
a. Di Bagian Utara terdapat Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng ratu Sekar.
b. Di Daerah Selatan terdapat Segoro Kidul atau laut kidul dengan penguasa Nyi Rara Kidul.
c. Bagian Barat terdapat Tawang Sari kahyangan ndlpih dengan penguasa Sang Hyang Pramori (Durga di hutan Krendowahono).
d. Dibagian Timur terdapat Tawang Mangu dengan Argodalem Tirtomoyo sebagai penguasa dan Gunung Lawu dengan Kyai Sunan lawu sebagai penguasanya.
2. Aturan penari.
a. Putri-putri yang ikut menari diwajibkan masih Perawan (belum menikah), tidak dalam keadaan haid dan menjalankan puasa tertentu sebelum melakukan tarian.
b. Ada sumber yang menyebutkan bahwa khusus bagi anak raja boleh sudah menikah tetapi harus memasang sesaji tertentu (caos dhahar), begitu juga bagi penari yang sedang haid boleh ikut menari setelah memasang sesaji untuk Kanjeng Ratu Kidul.
Pada malam hari anggara kasih yaitu ke 9 penari termasuk Nyai Rara Kidul yang diyakini memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina disekitar sultan/raja, mereka itu perlambang cakrawala dan membuat formasi nawagraha, perbintangan kartika = 2 + 5 + 2.
c. Diringi irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur.
d. Kemudian bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipulihkan lagi.
e. Tembang yang dinyanyikan melambangkan Re-integrasi tata dunia dalam tata asli transendia dan lama tarian yang dimainkan sekitar 5,5 jam kadang sampai jam 01:00 malam (pada bedhaya ketawang ageng).
f. Pola bedhaya Ketawang berhubungan dengan astronomi, yaitu mengikuti pola perbintangan (rasi bintang) yang dikenal dan dianut masyarakat Jawa untuk keperluan sehari-hari (menentukan musim, bertani, dan sebagainya).
g. Beberapa pola rasi bintang yang digunakan adalah gubug penceng dan waluku.
h. Busana dalam tari bedhaya ketawang menggunakan dhodhot ageng pengantin Jawa yang disebut basahan.
i. Menggunakan gelung bokor mengkurep yang berukuran lebih besar daripada gaya Yogyakarta.
Penyajian tari tersebut diawali dari pembukaan (15 menit), bagian inti (60 menit), dan penutup (15 menit).
- Pertama bagian pembukaan, menceritakan kala Kanjeng Ratu Kidul keluar dari istana dan bertemu Panembahan Senopati, yang memintanya membantu kerajaan yang kalut. Ia mau membantu dengan syarat Senopati harus menjadi suaminya.
- Kedua bagian inti, menceritakan adegan percintaan Penembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang sempat mengabaikan negeri walau akhirnya diingatkan Ki Juru Martani (penasihat kerajaan) untuk kembali ke Mataram. Ketiga bagian penutup, menceritakan tangisan atas kerinduan mendalam dan ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, yang bersumpah tidak akan mencari laki-laki lain, kecuali Raja Mataram. Dia juga berjanji mengabdi dan menjadi istri Raja Mataram hingga turun-temurun, hingga kini.
Bedhaya ketawang tidak menggunakan iringan gamelan lengkap. Instrumen yang digunakan hanya kethuk, kenong, kendhang ageng, ketipung, dan kemanak. Gerongan ketawang ageng menjadi bagian pokok dalam pengiring. Gerongan ini disajikan secara koor (dibawakan oleh lebih dari satu sindhen dan dinyanyikan bersama-sama). Ada satu instrumen unik yang mendapat perhatian khusus, yaitu kemanak. Kemanak adalah instrumen yang berbentuk seperti pisang, tetapi berlubang bagian tengahnya (bayangkan lobang pada kenthongan), berjumlah sepasang. Dimainkan dengan cara dipukul secara bergantian. Suasana yang ditimbulkan oleh perpaduan antara kemanak dan gerongan berkesan tintrim, wingit, dan angker. Walaupun instrumen pengiring bedhaya Ketawang sederhana, namun tidak mudah untuk dimainkan.
Permainan keseluruhan instrumen membutuhkan konsentrasi tinggi. Hal ini disebabkan karena permainan gendhing ini berkesan monoton meskipun ada perubahan irama dari lambat menuju cepat, sehingga menyebabkan para pengrawit mengantuk dan akibatnya akan mengacaukan permainan gendhing tersebut.
BEDHAYA KETAWANG MERUPAKAN GAMBARAN RASA CINTA NYAI RORO KIDUL KEPADA RAJA MATARAM
Tari Bedaya Ketawang merupakan tarian khas Kraton Surakarta yang hanya dipentaskan saat upacara peringatan kenaikan tahta raja. Bagi masyarakat Jawa dan orang-orang di lingkungan Kraton, tarian ini dianggap sakral.
Hal itu dikarenakan tarian ini mengekspresikan hubungan asmara antara para raja Mataram dengan penguasa laut selatan, Nyai Roro Kidul.
Selain itu, ketawang juga dapat dimaknai sebagai sebuah tempat yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.
Awal mula kemunculan tarian ini bermula pada masa Mataram dipimpin oleh Sultan Agung (1612-1645). Pada suatu hari Sultan Agung melakukan ritual semedi. Di tengah pertapaannya itu dia mendengar suara senandung dari arah langit. Ia kemudian terkesima mendengar senandung itu.
Setelah itu Sultan Agung memanggil para pengawalnya dan menceritakan apa yang telah Ia alami. Dari peristiwa inilah kemudian Sultan Agung menciptakan sebuah tarian yang diberi nama Bedaya Ketawang.
Selain itu ada pula yang menceritakan tarian ini sidah ada sejak zaman Panembahan Senopati. Saat bertapa di laut selatan, Ia bertemu dan memadu kasih dengan Ratu Kencanasari atau Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian tersebut.
Setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dilakukan pembagian harta warisan Kesultanan Mataram kepada Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I.
Selain pembagian wilayah, dalam perjanjian tersebut juga dilakukan pembagian warisan budaya di mana Tari Bedaya Ketawang diberikan kepada Kasunanan Surakarta.
Dalam perkembangannya, tarian ini dipertunjukkan saat penobatan dan upacara kenaikan tahta sultan Kasunanan Surakarta.
Tari Bedaya Ketawang menceritakan tentang hubungan asmara antara Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan dengan raja-raja Mataram. Kata-kata yang terkandung dalam tembang pengiringnya berisi curahan hati Nyai Roro Kidul kepada sang raja.
Tak hanya itu, gerak tubuh yang diperagakan selama tarian itu merupakan wujud dari rayuan Nyai Roro Kidul kepada sang raja. Namun karena diperagakan sedemikian halusnya, mata orang awam sulit menangkap makna dari gerakan itu. Satu-satunya tanda yang begitu jelas adalah semua penarinya dirias dengan lazimnya mempelai akan dipertemukan.
Dalam praktiknya tarian ini dibawakan oleh sembilan penari wanita. Menurut kepercayaan masyarakat, saat pementasan tarian ini Nyai Roro Kidul akan selalu hadir dan ikut menari sebagai penari kesepuluh.
Untuk bisa ikut mementaskan tarian ini, ada beberapa syarat yang harus dimiliki para calon penarinya. Syarat yang paling utama yaitu penari harus seorang gadis suci perawan dan tidak dalam kondisi haid.
Jika sedang haid, maka penari harus meminta izin dengan Nyai Roro Kidul terlebih dahulu dengan melakukan caos dhahar di panggung sang buwana, Kraton Surakarta.
Kesucian para penari menjadi hal yang sangat penting. Hal itu dikarenakan saat latihan berlangsung, Kanjeng Nyai Roro Kidul akan datang menghampiri para penari jika gerakannya masih salah.
Dalam pementasannya, Tari Bedaya Ketawang dibawakan dengan iringan musik gending ketawang gedhe dengan nada pelog. Sementara itu, instrumen yang digunakan di antaranya kethuk, kenong, gong, kendhang, dan kemanak.
Selain itu tarian ini juga diiringi oleh tembang lagu yang menggambarkan rasa cinta dan goda rayu Nyai Roro Kidul kepada para raja Mataram. Pada bagian pertama tarian itu diiringi tembang Durma dan dilanjutkan dengan Ratnamulya.
Pada saat penari masuk ke dalem ageng prabasurya, instrument music akan ditambahkan dengan gambang, rebab, gender, dan suling untuk menambah kenyamanan suasana.
Saat pementasan, busana yang digunakan para penari Tarian Bedaya ketawang adalah Dodot Ageng atau bisa juga disebut Basahan. Busana ini pada umumnya digunakan pada acara-acara pernikahan.
Sementara untuk aksesoris yang digunakan antara lain cethung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan rangkaian bunga yang dikenakan pada gelungan yang memanjang hingga bagian dada.
TARIAN BEDHAYA KETAWANG MERUPAKAN PENGHORMATAN TINGGI KEPADA RATU KIDUL
Dalam tarian, kerap ditemukan nilai sakral seperti tarian Bedhaya Ketawang yang berumur ratusan tahun. Tarian ini masih dijunjung tinggi, khususnya di lingkungan kraton Kasunanan Surakarta pun Kasultanan Yogyakarta.
Dalam tarian, kerap ditemukan nilai sakral seperti tarian Bedhaya Ketawang yang berumur ratusan tahun. Tarian ini masih dijunjung tinggi, khususnya di lingkungan kraton Kasunanan Surakarta pun Kasultanan Yogyakarta.
Bedhaya Ketawang dikategorikan sebagai jenis tarian keramat dalam lingkungan kraton-kraton Jawa bagian Selatan. Alasannya, tarian ini tidak bisa lepas dari penggambaran filosofis tentang ‘kecintaan’ sosok Gusti Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Pantai Selatan) terhadap raja-raja Mataram Islam (Tanjung, 2013).
Dalam Kitab Wedhapradangga, tertulis bahwa Bedhaya Ketawang diciptakan oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusumo, Raja Mataram yang memimpin pada tahun (1613-1645), bersama Kanjeng Ratu Kencanasari (Kanjeng Ratu Kidul).
Hal senada pun juga diungkapkan oleh Muhammad Sholikin di dalam bukunya berjudul Kanjeng Ratu Kidul dalam Prespektif Islam Jawa. Tarian ini mengingatkan pada zaman Sultan Agung Hanyakrakusumo. Yang ingin bertemu dengan Ratu Kidul, harus menyelenggarakan tarian Bedhaya Ketawang di malam Selasa Kliwon.
Bedhaya Ketawang dipergunakan untuk menghormati dan mengundang Ratu Kidul agar ia berkenan hati menjaga keseimbangan dan ketentraman kerajaan beserta rakyatnya (Solikin, 2009).
Dalam tarian yang dijalankan sembilan orang ini, tidak sembarang bisa melakukannya. Para penari pun harus dari perempuan (delapan tampak dan yang satu diyakini sebagai Kanjeng Ratu Kidul).
Syarat menjadi penari haruslah menguasai gerak dasar beksan Ketawang, memahami budaya Jawa, memiliki postur tubuh proposional, mempunyai daya tahan tubuh (tarian ini dilakukan selama kurang lebih 2 jam) dan masih perawan serta suci dari haid. Selebihnya, ditambah dengan laku prihatin, tirakat dan puasa mutih.
Para penari nantinya dilatih selama 35 hari sekali. Pada saat pelaksanaannya, mereka dirias layaknya pengantin Jawa dengan memakai dodot bangun tulak yang dipadukan dengan kain cindhe kembang warna ungu.
Riasan rambut berupa sanggul bokor mengkureb lengkap dengan perhiasan yang biasa dikenakan pengantin perempuan, berupa garudha mungkur, sisir jeram saajar, centhung, cundhuk mentul, serta untaian bunga yang digantungkan di dada yang dinamakan tiba dhadha (Tanjung, 2013).
Saat menari, para penari ini harus menempati posisi urutan dari Selatan ke Utara, dengan pelbagai nama peranan masing-masing seperti :
1). Batak (simbol pikiran dan jiwa).
2). Endhel Ajeg (keinginan hati atau nafsu).
3). Edhel Weton (tungkai kanan).
4). Apit Ngarep (lengan kanan).
5). Apit Mburi (lengan kiri).
6). Apit Meneg (tungkai kiri).
7). Gulu (simbol badan).
8). Dhada (simbol hati).
9). Buncit (simbol organ seksual).
Mereka secara keseluruhan dipresentasikan sebagai kontestasi bintang-bintang yang merupakan simbol tawang atau langit yang tidak lepas dari penggambaran alam semesta melalui konsep kraton.
Leluhur Jawa menganggap, Kraton sebagai pusat kerajaan, diibaratkan sebagai inti kosmis yang mengacu kepada empat titik letak geografis penting yang mengelilingi kraton, yakni:
Di bagian Utara terdapat Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng Ratu Sekar; Selatan terdapat Segara Kidul atau laut Selatan dengan penguasa Kanjeng Ratu Kidul; Barat terdapat Tawang Sari Kahyangan Ndilpih dengan penguasa Sang Hyang Pramori; Timur terdapat Tawangmangu dengan Argodalem Tirtomoyo sebagai penguasa; Gunung Lawu dengan Kyai Sunan Lawu sebagai penguasa.
Pemaknaan selanjutnya terkait representasi mengenai alam semesta adalah inspirasinya di dalam formasi tarian. Formasi itu konon menyimbolkan perbintangan yang disebut nawagraha, yaitu 2+5+2 dan gerakan ke samping kiri dan kanan, kemudian maju memutar, yang melambangkan gerakan menanam padi.
Meski tarian ini hanya dikhususkan bagi persembahan raja, namun di baliknya terelaborasi nilai-nilai agraris sebagai elemen yang turut membesarkan kerajaannya (Tanjung, 2013). Selain itu , tarian ini juga memiliki beberapa simbol bermakna manusia (Jawa) dengan segala kehidupannya untuk mencapai keselarasan hidup.
Seperti proses perjalanan spiritual anak manusia dari purwa (awal), madya (yang dijalani di dunia nyata), wasana (sebagai insan kamil atau manusia sempurna), yang kadang harus dihadapkan pada dilema kehidupan antara menurut hawa nafsu atau kebutuhan batin (Sunaryadi, 2013).
Selanjutnya tarian Bedhaya Ketawang ini pun menjadi simbol dari sembilan lubang yang terdapat di badan wadhag (jasmani) manusia, sebagai simbol mikrokosmos dari jagading manungsa yang terdiri dari dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, mulut, dubur dan alat kelamin.
Dalam dunia pendalangan, ketika manusia ingin mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cara semedi (mesubudi). Maka harus menutup sembilan lubang di dalam organ manusia yang menjadi sumber dari segala hawa nafsu (amarah, lauwamah, dan supiah). Artinya, manusia harus mampu mengatasi setiap godaan yang berasal dari mulut, penciuman, pendengaran dan nafsu seks (Sunaryadi, 2013).
Makanya di dalam melakukan tarian Bedhaya Ketawang, para penari bergerak mengikuti sebuah pola atau tata rakit/formasi.
Adapun pola rakit ini terdiri dari (Fitriyani, 2017) :
1. Pola lantai rakit jalur yang menyimbolkan wujud lahiriah manusia yang terbagi menjadi tiga bagian yakni, kepala, badan, serta seluruh anggota badan.
2. Pola lantai iring-iringan yang menggambarkan proses hidup batiniah manusia. Yang di dalam prakteknya sebagai manusia, selalu dihadapkan kepada ketidaksesuaian antara kehendak dan pikiran.
3. Pola lantai ajeng-ajengan menggambarkan siklus kehidupan manusia yang selalu dihadapkan pada dua pilihan, yakni baik dan buruk. Sebagai sifat yang sudah ditakdirkan di dalam diri manusia.
4. Pola lantai lumebet lajur yakni simbol kepatuhan manusia terhadap norma-norma yang telah disepakati bersama.
5. Pola lantai endhel-endhel apit medal yakni pola yang menggambarkan ketidakpuasan manusia terhadap segala yang dimilikinya atau sifat manusia yang terkadang kurang bersyukur dan selalu ingin melepaskan diri dari aturan-aturan.
6. Pola lantai rakit tiga-tiga yakni pola yang menggambarkan perputaran pikiran manusia yang diawali dengan dengan tetap, kemudian goyah dan mencapai kesadaran hingga akhirnya sampai kepada kemanunggalan (penyatuan).
Di dalam perjalanannya, tarian Bedhaya Ketawang masih dilestarikan dan dipertahankan, khususnya pada saat upacara tertinggi tingkatannya di dalam kraton seperti Tingalandalem Jumenengan atau ulang tahun penobatan raja yang diperingati setiap setahun sekali.
Patut diingat, dalam sejarahnya pasca Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, telah terbelah dua Kasultanan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Karenanya, muncul setiap penafsiran yang berbeda-beda saat tari digelar.
Kini, tarian Bedhaya Ketawang menjadi hak milik Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat sebagai bagian warisan pusaka non-bendawi Kasultanan Mataram, setelah diwariskan sebagai bentuk penghormatan berdasarkan kedudukannya yang lebih tua dari Kasultanan Yogyakarta. Sebagai gantinya, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat menciptakan tari Bedhaya Semang.