SITUS UMPAK SONGO
Situs Umpak Songo merupakan salah satu situs peninggalan Kerajaan Blambangan yang memiliki nilai historis tinggi. Situs ini menyimpan sejarah besar terkait eksistensi kerjaan Blambangan pada abad 14 Masehi berdasarkan prasasti Balawi (1227 Saka atau 1305 M). Situs ini juga menjadi saksi bisu perpindahan ibu kota Kerajaan Blambangan saat masa peperangan melawan pasukan VOC Belanda pada abad 18 Masehi.
Situs Umpak Songo terletak di Desa Tembokrejo Kecamatan Muncar. Sekitar 1 KM dari Pura Agung Blambangan, pura terbesar di Kabupaten Banyuwangi. Dahulu situs Umpak Songo memiliki luas sekitar 2 Hektar, namun kini hanya tersisa beberapa meter karena telah dijadikan permukiman penduduk.
Umpak atau dalam bahasa Indonesia berarti Penyangga Tiang dan Songo berarti Sembilan. Benar saja, ditempat ini dapat ditemui struktur bekas pendapa yang menyisakan sembilan batu dengan lubang di tengahnya, ditempat yang sama juga dapat ditemukan 49 batu besar lainnya. Kesembilan batu inilah yang diduga kuat berfungsi sebagai penyangga tiang Pendapa pada masa kolonial.
Situs Umpak Songo adalah sisa - sisa Kerajaan Blambangan ketika ibu kota kerajaan pindah ke Ulupampang setelah Blambangan dipecah menjadi dua yakni Blambangan Barat dan Blambangan Timur pasca pemberontakan Jagapati terhadap VOC pada tahun 1772.
Menurut cerita, dahulu kala pendapa ini juga pernah digunakan sebagai tempat pelantikan Bupati Blambangan pada saat itu, yaitu Mas Alit atau Raden Tumenggung Wiraguna. Balai pertemuan ini terbengkalai sejak Mas Alit memindahkan ibu kota Kerajaan Blambangan ke lokasi yang kini menjadi pendopo Kabupaten Banyuwangi pada 20 November 1774.
Reruntuhan balai ini ditemukan kembali oleh Mbah Nadi Gede, warga Bantul, Yogayakarta pada tahun 1916 saat membuka hutan dalam kondisi tertimbun tanah. Namun sayangnya ia tidak mengetahui apa yang dia temukan.
Hingga pada tahun 1928, Mbah Nadigede kedatangan Mangkubumi IX yang berasal dari Keraton Solo. Dari pertemuan itulah Mbah Nadigede menyadari bahwa yang ia temukan merupakan reruntuhan bekas Kerajaan Blambangan.
Saat ini situs Umpak Songo masih banyak dikunjungi terutama pemeluk agama Hindu dan penganut aliran kejawen. Pada malam Sabtu Pahing dalam penanggalan Jawa, penganut ajaran kejawen menggelar ritual tirakatan semalam penuh.
Puncak keramaian Umpak Songo terjadi pada hari raya Kuningan bagi umat Hindu, termasuk pemeluk Hindu Bali. Bahkan sekarang Umpak Songo juga menjadi salah satu situs warisan budaya dalam deretan Geopark Ijen.
Dalam cerita Situs Umpak Songo dulunya sebagai bangunan Kerajaan Blambangan. Prabu Menak Jingga sebagai salah satu rajanya diyakini berhak menduduki takhta Majapahit. Namun, Menak Jinggo para tokoh Damar Wulan.
Menak Jingga dan Kerajaan Blambangan hanya legenda yang terinspirasi dari pertikaian keluarga Kerajaan Majapahit. Pertikaian ini bersumber pada perebutan kekuasaan antara Bhre Wirabhumi (anak kandung Raja Majapahit Hayam Wuruk dari perkawinannya dengan istri selir) dan Bhra Hyan Wisesa atau Wikramawardhana (keponakan Hayam Wuruk).
Wikramawardhana waktu menikah dengan Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk dari istri permaisuri. Dari pertikaian itu muncul peperangan paregreg atau perang saudara hingga berakhirnya Kerajaan Majapahit
Saat itu, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di kedhaton wetan atau kerajaan wilayah timur yang membentang dari Lumajang sampai Blambangan. Menurut Hasan, sosok Bhre Wirabhumi menjadi inspirasi kemunculan legenda Prabu Menak Jingga dari Blambangan.
Prabu Menak Jingga tidak pernah menjadi raja Majapahit. Dalam buku yang ditulis Hasan, Masa Akhir Majapahit (2012), kronologi raja-raja Majapahit berawal dari Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) yang berkuasa pada 1293-1309. Rajasanagara atau Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit keempat pada 1350-1389.
Wikramawardhana menjadi raja kelima pada 1389-1429. Ia melihat Raja Suhita, 1429-1447. Majapahit bertahan hingga raja ke-12, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, 1474-1519. Penyebab runtuhnya Majapahit adalah perpecahan keluarga kerajaan.
Dikisahkan pula, berawal dari kunjungan seorang raja dari Solo, Mangku Bumi IX, diketahui Kerajaan Blambangan mengalami pergantian raja sebanyak lima kali. Mereka antara lain Raja Siung Manoro yang berasal dari Kediri. Ada pula Raja Kebo Mancuet dari Bali yang memiliki tanduk.
Kebo Mancuet adalah anak Raja Kelungkung di Bali. Karena memiliki tanduk, ia dibuang oleh ayahnya ke Alas Purwo di Banyuwangi dan dirawat oleh Ki Ayah Pamengger, eyang dari Menak Jingga, yang dikenal pada masa mudanya sebagai Joko Umbaran.
Pada masa Kebo Mancuet berkuasa, disebutkan bahwa ratu dari Majapahit, Kencana Wungu, membuat sayembara, Barangsiapa membunuh Kebo Mancuet, ia akan diberi Tanah Blambangan dan menikah dengan Kencana Wungu.
Banyak peserta sayembara gugur, tetapi Joko Umbaran berhasil membunuh Kebo Mancuet. Sayangnya, dalam pertarungan itu, wajah Joko Umbaran menjadi rusak. Joko Umbaran pun akhirnya naik menjadi Raja Blambangan dan mendapat gelar Menak Jingga.
Berdirinya kerajaan baru tiga tahun kemudian.
Lubang besar di tembok Srimanganti Keraton Kartasura akibat tembakan meriam pasukan Sunan Kuning. Di pintu inilah pasukan penyerbu memasuki cepuri keraton, tempat tinggal raja
Lubang besar di tembok Srimanganti Keraton Kartasura akibat tembakan meriam pasukan Sunan Kuning. Di pintu inilah pasukan penyerbu memasuki cepuri keraton, tempat tinggal raja.
Menurut catatan para pujangga Jawa, pada tahun Saka 1400 Kerajaan Majapahit runtuh dan tahun 1403 Kesultanan Demak berdiri.
Pada tahun Saka 1500 Kesultanan Demak runtuh dan tahun 1503 Kesultanan Pajang berdiri yang kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram.
Kemudian pada tahun Jawa 1600 Kesultanan Mataram runtuh dan tahun 1603 Jawa Kasunanan Kartasura berdiri.