SISI LAIN SEJARAH KERATON KARTASURA
Kasunanan Kartasura merupakan sebuah kerajaan di Pulau Jawa yang berdiri pada 1680 dan berakhir 1742. Ini sebagai kelanjutan dari Kesultanan Mataram. Beberapa sumber riwayat kerajaan yang usianya relatif singkat ini cenderung diwarnai oleh perang saudara memperebutkan takhta.
Lokasi pusat Kasunanan Kartasura berada di Kartasura, Sukoharjo, sebelah selatan pasar sekarang.
Kompleks keraton sebagian besar telah menjadi pemukiman penduduk, namun masih tersisa tembok bata yang mengitari kompleks inti keraton.
Masyarakat Jawa, terutama kaum bangsawan, telah terjebak pada mitos tentang runtuhnya kerajaan pada akhir abad, dan berdirinya kerajaan baru tiga tahun kemudian.
Lubang besar di tembok Srimanganti Keraton Kartasura akibat tembakan meriam pasukan Sunan Kuning. Di pintu inilah pasukan penyerbu memasuki cepuri keraton, tempat tinggal raja
Lubang besar di tembok Srimanganti Keraton Kartasura akibat tembakan meriam pasukan Sunan Kuning. Di pintu inilah pasukan penyerbu memasuki cepuri keraton, tempat tinggal raja.
Menurut catatan para pujangga Jawa, pada tahun Saka 1400 Kerajaan Majapahit runtuh dan tahun 1403 Kesultanan Demak berdiri.
Pada tahun Saka 1500 Kesultanan Demak runtuh dan tahun 1503 Kesultanan Pajang berdiri yang kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Mataram.
Kemudian pada tahun Jawa 1600 Kesultanan Mataram runtuh dan tahun 1603 Jawa Kasunanan Kartasura berdiri.
SITUS PENINGGALAN KERATON KARTASURA
Menyaksikan bekas Keraton Kartasura (1680-1745) sungguh menyedihkan. Tembok luar keraton atau baluwarti yang terbuat dari bata, telah hancur dan rata dengan tanah, menyisakan sedikit bagiannya di beberapa tempat. Ukuran tembok luar kurang lebih 1 km X 1 km. Tinggi benteng itu lebih dari lima meter, dan tebalnya 2,5 meter. Dulu prajurit keraton melakukan patroli dengan mengendarai kuda di atas dinding pagar. Di dalam tembok baluwarti, kini dipenuhi dengan perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, tempat tinggal puteri keraton (keputren) dan petamanan keraton telah menjadi pemukiman padat. Sitihinggil, tempat yang ditinggikan di depan alun-alun, sebagian telah pula menjadi permukiman. Puing-puing bangunan kuna yang tersisa adalah gedung obat (mesiu), bangunan pos jaga Kumpeni. Situs itu kini dipenuhi makam. Tak ada kolam penuh air di Balekambang keraton, yang letaknya di tenggara keraton. Diganti oleh rumah-rumah dan lapangan sepakbola. Yang tersisa adalah gundukan tanah setinggi lebih dari 20 meter, yang disebut penduduk Gunungkunci. Di puncak gunung itu terdapat makam keramat. Tempat ini bekas segoroyoso, tempat rekreasi keluarga keraton, dibangun pada masa Paku Buwana I (1704-1709). Bangunan macam itu mengikuti pola keraton Plered. Tak ada bangunan keraton yang tampak utuh. Dibandingkan tembok baluwarti, tembok bagian dalam yang mengelilingi keraton atau cepuri, masih kelihatan wujud keseluruhannya. Bagian dalam tembok keraton ini telah dipenuhi makam-makam dari kerabat keraton Surakarta, yang telah bercampur dengan makam-makam penduduk setempat. Di dalam tembok ini juga terdapat mesjid dan beberapa rumah tinggal. Di antara makam-makam tersebut, teronggok dua buah makam tak terurus berlantai bata. Luasnya sekitar 4 X 6 meter. Tempat ini dulu bilik tengah keraton. Menurut sumber Saroso Suyowiyoto penulis sejarah lokal keraton Kartasura, bilik tengah keraton biasanya untuk menyimpan benda-benda pusaka keraton. Makam yang terdapat di situ menurut pensiunan itu adalah makam kosong. Sengaja dibuat makam, agar lahan ini tidak digunakan untuk kepentingan lain. Yang kini masih tetap lestari dari bekas ibukota Kartasura itu, adalah nama-nama toponim. Di dalam tembok baluwarti terdapat tempat-tempat yang bernama Keputren, Sitinggil, Alun-alun, Kandangmacan, Sayuran, Bale Kambang, Sanggrahan, Gedung Obat, Pasar, Pelembatok, Sri Penganti, Manggisan, Krapyak, dan Bakalan. Manggisan dan Sayuran mungkin dulu kebun manggis dan sayur- sayuran keluarga keraton. Kandangmacan adalah tempat macan sebelum dipertandingkan di alun-alun.
Kartasura memang tinggal puing. Hancurnya Kartasura karena pemberontakan orang-orang. Lihat kerusakan yang disengaja di tembok cepuri itu. Dulu dijebol oleh berandal- berandal Cina yang sempat menduduki keraton. Geger Pacina Babad Pacina yang ditulis tahun 1775 Saka atau 1853 Masehi oleh Raden Ngabehi Sasradipraja, menceritakan panjang lebar kehancuran keraton Kartasura oleh pemberontakan orang-orang Cina yang menentang Kumpeni Belanda. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Paku Buwana II yang memerintah di Kartasura sejak tahun 1729 sampai kira-kira tahun 1745. Pemerintahan beliau diwarnai oleh pecahnya perang Cina pada tahun 1740 yang bersumber di Jakarta dan menjalar sampai ke seluruh Pulau Jawa. Pembunuhan massal yang dilancarkan Kumpeni di Betawi terhadap orang-orang Cina, menyebabkan mereka lari ke Jawa Tengah, khususnya di kota-kota pantai utara. Mereka bergabung dengan orang-orang Cina di Jepara, Juwana, Demak, Rembang, Tegal Semarang, dan Surabaya, melawan Kumpeni. Perasaan anti-Kumpeni menjalar pula di ibukota Kartasura. Kekuatan orang-orang Cina ini dimanfaatkan oleh Paku Buwana II untuk membebaskan diri dari Kumpeni dan sekaligus merangkul para pembesar yang anti persahabatan antara raja dan Kumpeni. Terbunuhnya komandan garnisun Belanda, Van Velzen, di Kartasura pada tanggal 10 Juli 1741, menyebabkan orang-orang Belanda minta bantuan Pangeran Cakraningrat dari Sampang. Pangeran Madura ini memang ingin melepaskan diri dari keraton Mataram dan mendirikan kerajaan baru di bagian timur Pulau Jawa.
Sri Sunan cemas dengan perkembangan tersebut, dan akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Belanda untuk mencegah kekuasaan Pangeran dari Madura itu. Sikap raja yang tidak tegas itu menyulut pemberontakan. Para pemberontak mengangkat cucu Amangkurat III, sebagai raja yang bergelar Sunan Kuning, dan bersama-sama orang-orang Cina, berhasil menjarah keraton Kartasura. Sri Sunan terpaksa meninggalkan istana yang telah dikepung musuh dan mengungsi selama beberapa lama, sampai akhirnya Kumpeni berhasil membujuk Pangeran Cakraningrat yang menduduki Kartasura setelah menaklukan musuh. Pada tanggal 21 Desember 1742 Susuhunan Paku Buwana II dapat kembali memasuki Keraton Kartasura dikawal oleh serdadu-serdadu Kumpeni. Akan tetapi keraron telah rusak terbakar setelah diduduki musuh, dan sudah tidak layak sebagai tempat kediaman seorang raja. Sri Sunan menitahkan kepada dua orang patihnya, Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dan mayor Hogendorf serta bupati lainnya untuk mencari tempat untuk mendirikan keraton baru. Akhirnya desa Sala terpilih dari dua tempat lain yang diusulkan. Desa Sala memang letaknya di tepi sebuah sungai besar, Bengawan Solo, strategis sekali dan mudah didatangi dari pantai bila keadaan memaksa. Setelah keraton baru itu selesai, Sri Sunan menitahkan untuk pindah dari Kartasura yang telah hancur ke keraton baru di Desa Sala.
KERATON BARU ITU KEMUDIAN DIBERI NAMA SURAKARTA HADININGRAT MENJADI MAKAM
Bangunan istana Kartasura tempat kediaman raja kini telah berubah menjadi tempat pemakaman kerabat Keraton Surakarta dan penduduk setempat. Makam dari kerabat keraton dipagari tembok dan dibersihkan setiap hari oleh juru kunci.
Makam Nyai Sedah Mirah, selir Pakubowono X. Itu adalah makam Kanjeng Raden Ayu Adipati Sedahmirah, pujangga ayu kesayangan Paku Buwana X, yang menulis kitab Ponconiti, menurut juru kunci menunjukkan satu-satunya makam yang diberi cungkup dari 27 makam dalam kompleks berpagar tembok. Setiap hari makam keramat itu tak pernah kosong dari peziarah. Banyak peziarah datang meminta maksud dan keinginannya terkabul di tempat itu. Panjang umur, murah rezeki, dapat jodoh, peningkatan karier atau sekadar mencari ketenteraman batin. Menurut jurukunci, makam-makam penduduk setempat juga banyak yang berasal dari kalangan keraton.
Dulu mereka ditugaskan oleh fihak keraton untuk mengurusi keraton Kartasura yang telah ditinggalkan. Menurut kepercayaan Jawa, bila keraton pusat kejayaan dan kebesaran sebuah kerajaan telah dirusak oleh tangan-tangan kotor, tempat itu sudah tidak boleh didirikan pusat pemerintahan lagi. Dan bekas keraton Kartasura pun kini dijadikan makam.