SEDAH MIRAH BERBAGAI SUMBER, VERSI & CERITA
Dikisahkan bahwa asal mula nama Desa Benculuk ini bermula pada saat itu Sultan Mataram sudah berulang kali mencoba untuk menaklukkan Kerajaan Blambangan, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Setelah Panembahan Senopati berhasil menaklukkan Blambangan, namun Sultan Mataram tidak menjadikan Kerajaan Blambangan sebgai daerah jajahannya.
Panembahan Senopati sangat kagum akan kegigihan dan kesaktian Panglima Perang bersama para prajuritnya dalam membentengi Kerajaan Blambangan. Demikian pula Sri Sultan juga memuji kebijaksanaan raja Blambangan dalam membina angkatan perangnya. Itulah sebabnya Sultan Mataram tidak menganggap raja Blambangan sebagai taklukkannya, akan tetapi sebagai sekutunya.
Pada saat Adipati Kinenten dari Pasuruhan mengadakan pemberontakan terhadap Mataram, secara tidak langsung Blambangan memberi bantuan kepada Pasuruhan. Hal itu menyebabkan Sultan Mataram marah serta memerintahkan Mas Jolang (Nama Sultan Agung, sebelum menjadi raja) dan Ki Juru Martani mengerahkan pasukannya untuk menghukum dan menyerang Blambangan. Untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Blambangan, Prabu Siung Laut memerintahkan Patih Jatasura bersama adiknya, yakni Hario Bendung Adipati Asembagus mengerahkan pasukan Blambangan untuk menanggulangi serangan dari pasukan Mataram itu.
Dalam pertempuran yang cukup sengit, pasukan Mataram ternyata kewalahan menghadapi para prajurit Blambangan, bahkan Mas Jolang bersama Ki Juru Martani melarikan diri dari medan pertempuran. Senopati Blambangan yang berusaha mengejar dan menangkap kedua tokoh dari Mataram itu ternyata sia-sia. Dalam pelarian tersebut, Mas Jolang berhasil menyelinap dan bersembunyi di Taman Sari. Di dalam Taman Sari itu Mas Jolang bertemu dengan Putri Sedah Merah yang akhirnya keduanya saling jatuh cinta.
Kendati demikian ulah kesatria Maratam bersama putri Blambangan itu diketahui oleh keluarga istana, yang kemudian Mas Jolang ditangkap. Akan tetapi karena permohonan sang putri kepada raja, sehingga Prabu Siung Laut terpaksa merestui pernikahan Mas Jolang dengan Putri Sedah Merah.
Dalam pelariannya, Ki Juru Martani menuju ke arah Selatan sambil berteriak-teriak dan memanggil-manggil (bahasa Jawa: celuk-celuk), namun tidak ada jawaban, sedang usahanya mencapai Mas Jolang tidak berhasil. Menurut kisahnya, tempat Ki Juru Martani berteriak-teriak memanggil Mas Jolang itu dinamakan Desa Benculuk berasal dari kata celuk-celuk.
Sementara itu Patih Jatasura dalam mengejar musuh yang didampingi oleh salah seorang putra raja, yakni Mas Kembar. Untuk menjalankan tugasnya, secara tiba-tiba putra raja itu meninggal dunia. Hal itu menyebabkan Prabu Siung Laut sangat sedih, yang akhirnya terkena sakit ingatan (setengah gila).
Setelah Prabu Siung Laut sakit ingatan dan Mas Kembar mangkat, kesempatan itu akan dipergunakan Patih Jatasura untuk mempersunting Putri Sedah Merah, karena Prabu Siung Laut pernah menjanjikan akan menjodohkan Patih Jatasura dengan Putri Sedah Merah.
Dalam hal ini Patih Jatasura segera masuk ke Taman Sari untuk menemui putri idaman hatinya. Betapa kecewa dan marahnya setelah menyaksikan dan mengetahui bahwa Putri Sedah Merah ternyata telah dipersunting oleh Mas Jolang yang tak lain adalah bekas musuh ayahanda raja.
Dengan kemarahan yang meluap-luap Patih Jatasura menyerang dan berhasil membunuh Putri Sedah Mirah. Sedangkan Mas Jolang berhasil menyelamatkan diri bersama putranya (hasil perkawinannya dengan Putri Sedah Mirah).
Patih Jatasura setelah membunuh Putri Sedah Mirah menuju ke Asembagus menemui Hario Bendung dan membuat fitnah bahwa Putri Sedah Mirah dibunuh oleh prajurit Mataram. Mendengar kematian Putri Sedah Mirah, Adipati Asembagus naik pitam dan segera mengerahkan pasukannya bergerak menuju Blambangan guna menuntut balas atas kematian Putri Sedah Mirah kepada prajurit Mataram.
Pada waktu itu Hario Bendung bertemu dengan Ki Juru Martani dan Ki Juru Martani menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya bahwa yang membunuh Putri Sedah Mirah adalah Patih Jatasura yang tak lain kakak Hario Bendung sendiri. Di samping itu Ki Juru Martani juga memberi tahu bahwa Hario Bendung sebenarnya masih putra keponakan Ki Juru Martani sendiri.
Setelah mendengar dan mengerti duduk persoalan yang sebenarnya dari pamannya dan menyadari kenyataan itu Hario Bendung berbalik meluapkan amarahnya kepada kakaknya, yakni Ki Patih Jatasura. Sang Adipati kemudian bertekat untuk menghukum Ki Patih atas kekejamannya terhadap Putri Sedah Mirah.
Sedangkan pada saat Patih Jatasura ditemui Hario Bendung, Ki Patih Blambangan itu sedang memperkosa dan membunuh istri pamannya (Ki Juru Martani). Menyaksikan kenyataan itu Hario Bendung semakin meluapkan amarahnya dan terpaksa menghabisi nyawa kakaknya, yakni Ki Patih Jatasura.
LEGENDA MENAK JINGGA
Hikayat Blambangan Setelah Menak Jingga Tidak Berkuasa. Setelah Joko Umbaran atau Menak Jingga tidak berkuasa, Raja Blambangan berikutnya menurut penjagaan Situs Umpak Songo, Soimin-ialah Siung Laut. Namun, Siung Laut kemudian pergi ke Bali dan menyerahkan takhta Blambangan kepada patihnya, Joto Suro.
Siung Laut memiliki putri bernama Sedah Merah. Siung Laut ingin menikahkan sang putri dengan patihnya, Joto Suro. Namun, Sedah Merah malah memilih pangeran bernama Pangeran Julang untuk menjadi seorang suami dan pergi ke Mataram.
Setelah menjadi Raja Blambangan, Joto Suro menyerang Mataram dan membawa kembali Sedah Merah. Pangeran Julang kalah dan pergi mengungsi. Di Blambangan, Sedah Merah menolak Joto Suro. Sedah Merah akhirnya bunuh diri.Dikisahkan pula, Joto Suro mengangkat patih yang bernama Ario Bendung. Joto Suro pada suatu ketika memerintahkan Ario Bendung pergi untuk menyerang Mataram. Waktu itu, Pangeran Julang, suami Sedah Merah, masih berada di Mataram.
Di Mataram, Ario Bendung diberi tahu bahwa dirinya hanya ditipu Joto Suro. Hal yang terjadi sesungguhnya adalah Joto Suro menginginkan istrinya. Maka, Ario Bendung pulang dari Mataram dan menemukan istrinya sudah meninggal karena menolak Joto Suro. Terjadilah kemudian pertempuran Ario Bendung melawan Joto Suro.
Joto Suro tak terkalahkan. Ario Bendung kemudian kembali ke Mataram untuk mengabarkan keadaan Blambangan kepada Pangeran Julang. Ada kutipan yang unik dalam Catatan Kerajaan Blambangan yang disodorkan Soimin, penjaga Situs Umpak Songo. Dikisahkan bahwa Ario Bendung mengabarkan hanya rakyat Blambangan yang masih hidup. Pangeran Julang lalu menyatakan, masih ada satu orang yang hidup.
Dalam cerita Situs Umpak Songo dulunya sebagai bangunan Kerajaan Blambangan. Prabu Menak Jingga sebagai salah satu rajanya diyakini berhak menduduki takhta Majapahit. Namun, Menak Jinggo para tokoh Damar Wulan.
Menak Jingga dan Kerajaan Blambangan hanya legenda yang terinspirasi dari pertikaian keluarga Kerajaan Majapahit. Pertikaian ini bersumber pada perebutan kekuasaan antara Bhre Wirabhumi (anak kandung Raja Majapahit Hayam Wuruk dari perkawinannya dengan istri selir) dan Bhra Hyan Wisesa atau Wikramawardhana (keponakan Hayam Wuruk).
Wikramawardhana waktu menikah dengan Kusumawardhani, putri Hayam Wuruk dari istri permaisuri. Dari pertikaian itu muncul peperangan paregreg atau perang saudara hingga berakhirnya Kerajaan Majapahit.
Saat itu, Bhre Wirabhumi diberi kekuasaan di kedhaton wetan atau kerajaan wilayah timur yang membentang dari Lumajang sampai Blambangan. Menurut Hasan, sosok Bhre Wirabhumi menjadi inspirasi kemunculan legenda Prabu Menak Jingga dari Blambangan.
Prabu Menak Jingga tidak pernah menjadi raja Majapahit. Dalam buku yang ditulis Hasan, Masa Akhir Majapahit (2012), kronologi raja-raja Majapahit berawal dari Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) yang berkuasa pada 1293-1309. Rajasanagara atau Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit keempat pada 1350-1389
Wikramawardhana menjadi raja kelima pada 1389-1429. Ia melihat Raja Suhita, 1429-1447. Majapahit bertahan hingga raja ke-12, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, 1474-1519.
Penyebab runtuhnya Majapahit adalah perpecahan keluarga kerajaan.
Dikisahkan pula, berawal dari kunjungan seorang raja dari Solo, Mangku Bumi IX, diketahui Kerajaan Blambangan mengalami pergantian raja sebanyak lima kali. Mereka antara lain Raja Siung Manoro yang berasal dari Kediri. Ada pula Raja Kebo Mancuet dari Bali yang memiliki tanduk.
Kebo Mancuet adalah anak Raja Kelungkung di Bali. Karena memiliki tanduk, ia dibuang oleh ayahnya ke Alas Purwo di Banyuwangi dan dirawat oleh Ki Ayah Pamengger, eyang dari Menak Jingga, yang dikenal pada masa mudanya sebagai Joko Umbaran.
Pada masa Kebo Mancuet berkuasa, disebutkan bahwa ratu dari Majapahit, Kencana Wungu, membuat sayembara, Barangsiapa membunuh Kebo Mancuet, ia akan diberi Tanah Blambangan dan menikah dengan Kencana Wungu.
Banyak peserta sayembara gugur, tetapi Joko Umbaran berhasil membunuh Kebo Mancuet. Sayangnya, dalam pertarungan itu, wajah Joko Umbaran menjadi rusak. Joko Umbaran pun akhirnya naik menjadi Raja Blambangan dan mendapat gelar Menak Jingga.
ASAL USUL BRAY ADIPATI SEDAH MIRAH & PETILASAN KRATON SURAKARTA
Amangkurat II tidak mau menempati keraton Mataram yang berada di Pleret, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta karena menurut kepercayaan Jawa, Kerajaan yang sudah pernah diduduki oleh musuh berarti telah ternoda. Sunan Amangkurat II kemudian memerintahkan Senopati Urawan untuk membangun Kraton baru di kawasan Pajang. Perintah ini dilaksanakan dan akhirnya Senopati Urawan dibantu oleh Nerang Kusuma berama rakyat berhasil mendirikan Keraton yang terletak di sebelah barat Pajang, yang kemudian dinamakan Keraton Wanakerta. Itulah asal usul situs Kraton (lama) Kartasura Hadiningrat. Keraton di Wanakerta secara resmi mulai ditempati pada tahun 1680 oleh Sunan Amangkurat II.
Situs Keraton Kartasura (1680 – 1745) kini hanya tinggal puing-puing saja, dengan pagar tembok/benteng Baluwarti terbuat dari batu bata merah setebal 2-3 meter dan tinggi kurang lebih 3 meter. Petilasan ini membuktikan keberadaan Keraton Kartasura Hadiningrat memang pernah ada sebelumnya di masa lalu. Di dalam situs antara lain terdapat ; alun-alun, kolam segaran yang sekarang berubah menjadi tanah lapang, gudang mesiu yang sekarang berubah menjadi gedong obat. Tembok berlubang sebagai saksi bisu atas terjadinya peristiwa Geger Pacinan, Sumur Madusaka digunakan untuk memandikan pusaka-pusaka kerajaan, genthong batu, lingga dan yoni, tombak Kyai Jangkung dan Tombak Kyai Slamet. Dan terdapat beberapa makam keramat di antaranya adalah Makam Mas Ngabehi Sukareja, Makam B.R.Ay Adipati Sedah Mirah, Makam KPH Adinegoro, Makam Ki Nyoto Carito dalang Keraton yang terkenal pada masanya, serta masjid tua yang dibangun Sunan Paku Buwono II.
Peninggalan sejarah yang masih dapat dijumpai di situs Keraton Kartasura berupa reruntuhan bangunan dan nama-nama tempat atau toponim. Sedangkan luas kota Kartasura di masa lampau diperkirakan mencakup seluruh wilayah Kecamatan Kartasura saat sekarang, ditambah beberapa kawasan yang masuk wilayah Kabupaten Boyolali dan Karanganyar. Saat sekarang, Keraton Kartasura yang terletak di Kelurahan Siti Hinggil, menjadi kota kecamatan seperti pada umumnya.
BENARKAH BRAY SEDAH MIRAH ADALAH ISTRI MANTAN PB IX
BRAy Adipati Sedah Mirah pada masa mudanya bernama Raden Ajeng Mayangsari. Menurut catatan yang tersebar di khalayak, BRAy Adipati Sedah Mirah adalah garwa ampil atau selir ISKS Paku Buwono IX. Tentu saja hal ini menyisakan tanda tanya besar. Jika benar beliau adalah istri ISKS PB IX, lantas mengapa makamnya berada di dalam situs tua Keraton Kartasura yang digunakan pada tahun 1680-1742 Masehi. Sedangkan ISKS PB IX hidup pada tahun 1830-1893, atau hidup pada masa berikutnya ketika Keraton Kasunanan yang lokasinya sudah pindah di wilayah Sala sejak tahun 1845, sedangkan BRAy Adipati Sedah Mirah telah wafat pada tahun 1826 Masehi. Ini artinya terdapat ketidakcocokan waktu, beliau berdua hidup di zaman yang berbeda. Lagi pula seandainya BRAy Sedah Mirah adalah istri PB IX makam beliau kemungkinan besar berada di Bangsal Kaping Sangan atau bangsal ke sembilan yang berada kompleks makam Raja Mataram di Pajimatan Agung Imogiri, Kab Bantul, DI Yogyakarta. Lantas siapakah sesungguhnya BRAy Adipati Sedah Mirah ?
KOREKSI CATATAN SEJARAH
Ini adalah koreksi mendasar soal catatan sejarah yang selama ini banyak beredar di dunia maya maupun media cetak yang menyatakan BRAy Adipati Sedah Mirah yang wafat pada tahun 1826 Masehi adalah selir PB IX yang lahir tahun 1830 dan wafat pada 1893 masehi. Dilihat dari kurun waktu sudah jelas pendapat yang salah jika mengatakan Adipati Sedah Mirah sebagai selir PB IX. Mana mungkin seorang bayi yang baru lahir mempunyai istri yang telah wafat 4 tahun sebelumnya. Lagi pula Adipati Sedah Mirah sendiri adalah pelaku sejarah yang melakukan koreksi secara langsung. Tak ada keraguan sedikitpun atas apa yang beliau sampaikan bahwa beliau adalah garwa ampil PB IV, karena beliau lah yang melakoni sendiri pada waktu hidupnya.
TEKA-TEKI SEDAH MIRAH
Nyai Sedah Mirah adalah seorang pujangga sekaligus garwa ampil (selir) Pakubuwana IV yang cantik dan pintar.
Arti atau makna dari nama Sedah Mirah. Sedah adalah bahasa Jawa yang berarti sirih, maknanya adalah obat atau pengobatan. Mirah artinya murah dan mudah. Sedah Mirah adalah kemudahan mendapatkan obat atau kesembuhan dan tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Yang pasti, Adipati Sedah Mirah adalah seorang yang serba bisa, termasuk kecakapannya dalam ilmu pengobatan tradisional Jawa. Begitulah beliau menjelaskan bagaimana kehidupannya di zaman dulu pada saat masih hidup dengan raga. Sekarang beliau telah hidup tanpa raga dan mencapai tataran kamulyan sejati karena amal perbuatannya sewaktu hidup, beliau mengabdikan hidupnya agar berguna untuk banyak orang.
Segudang Prestasi BRAy Sedah Mirah ( … – 1826)
Melebihi RA Kartini (1879-1904)
B.R.Ay Adipati Sedah Mirah pada masa hidupnya memiliki segudang prestasi besar. Selain dikenal berparas cantik, juga pandai berdiplomasi serta memiliki ilmu pengasihan tinggi sehingga beliau sebagai wanita mempunyai kharisma dan wibawa luar biasa. Sebagai pemimpin, beliau pemimpin yang dicintai rakyatnya, pemimpin yang disayangi rajanya, dihormati kawan, sekaligus disegani lawan. BRAy Adipati Sedah Mirah adalah seorang pujangga, beliaulah penulis Kitab Ponconiti. Selain itu beliau juga dikenal sebagai pemegang babon serat yasan dalem Susuhunan seperti kitab Wulang Reh yasan dalem PB IV, dan serat babad Centhini yang ditulis semasa PB V. Kepandaiannya dalam bidang olah kanuragan atau ilmu beladiri pencak silat, membuat sang Raja berkenan menganugerahkan gelar padanya sebagai seorang Adipati. Berkat kepiawaian beliau banyak bidang khususnya spiritual, BRAy Adipati Sedah Mirah dipercaya oleh Keraton untuk mengemban tugas sebagai pemimpin upacara dan ritual sakral yakni Adhang Dhandhang Kyai Duda atau menanak nasi menggunakan alat berupa kukusan dan dhandhang yang terbuat dari tembaga. Dhandhang Kyai Duda adalah pusaka peninggalan Ki Ageng Tarub dan istrinya yang seorang bidadari Dewi Nawang Wulan. Berkat dhandhang pusaka ini pula bidadari Dewi Nawang Wulan menanak nasi cukup hanya satu butir beras tetapi nasinya bisa dimakan orang banyak. Selanjutnya BRAy Adipati Sedah Mirah memimpin acara labuh semua bekas acara ritual adhang dhandhang Kyai Duda ke pantai selatan tepatnya di pantai Parangkusumo. Acara ini cukup langka karena diadakan hanya setiap 8 tahun atau sewindu sekali.
Begitulah sekilas tentang BRAy Adipati Sedah Mirah. Banyak sekali nama Sedah Mirah, tetapi saat ini hanya ada dua yang saya kenal secara langsung. Yang satunya adalah Punggawa Keraton Kidul namanya Nyai Sedah Mirah, dan satu lagi punggawa bernama Nyai Nitipiro.
BENDORO RADEN AYU ADIPATI SEDHAH MIRAH
Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat bernama kecil Raden Mas Duksina ini dilahirkan 22 Desember 1830, meninggal 13 Maret 1893.
Ia memerintah antara 1861 hingga akhir hayatnya.
Ia dikenal sebagai raja yang suka membangun keratonnya.
Pada masa kekuasannya yang 32 tahun, Keraton Solo tampil cukup megah lewat perbaikan bangunan-bangunan utamanya.
Pakubuwana IX konon tidak memiliki istri permaisuri.
Namun ia mempunyai 57 selir yang menurunkan puluhan putra/putinya.
Nama Sedhah Mirah tidak disebut dalam silsilah ini.
Alur leluhur PB IX ini jika diurutkan ke atas berawal dari sosok Pangeran Benawa di Pajang.
Benawa memiliki putra Pangeran Kaputran yang menurunkan Pangeran Danupoyo.
Tokoh ini berputra Ki Singaprana di Walen, dan menurunkan Kyai Ageng Singaprana.
Ageng Singaprana memiliki putra Ki Singawangsa, yang menurunkan Raden Tasikwulan.
Perempuan ini kemudian jadi istri selir KGPA Mangkubumi.
Pangeran ini memiliki putri GKR Ageng yang jadi istri permaisuri Sri Susuhunan Pakubuwana VI.
Pasangan ini memiliki putra Raden Mas Duksina yang kemudian jadi Sunan PB IX.
Seorang penulis dan pelaku spiritual Ki Sabda Langit menyebut tokoh ini pada masa kecil memiliki nama Raden Ajeng Mayangsari.
Lokasi penguburannya yang berada di makam bekas situs Keraton Kartasura menimbulkan tanda tanya besar jika ia benar-benar istri PB IX.
Sebab ketika PB IX berkuasa, keraton sudah berdiri megah di Dusun Sala, atau lokasi keraton yang sekarang di pusat kota Solo.
Kerabat dekat raja sejak itu, umumnya juga dimakamkan di Bangsal Kaping Sangan di komplek makam raja-raja Mataram di Pajimatan Imogiri.
Dari hasil penelusurannya, diperoleh informasi jika Sedhah Mirah ini sebenarnya garwa ampil (selir) Susuhunan Pakubuwana IV yang berkuasa antara 1768-1820.
Mereka menurunkan seorang pangeran yang kemudian marak jadi Susuhunan PB VI (1807-1846). Sedhah Mirah wafat pada 1826.
ARTI NAMA SEDHAH MIRAH
Sekarang tentang arti namanya.
Sedah dalam bahasa Jawa berarti sirih.
Makna lain adalah obat atau pengobatan.
Mirah artinya murah atau mudah, atau juga warna merah.
Tafsirnya Sedhah Mirah adalah sosok yang dermawan, bisa bermanfaat untuk orang lain dengan cara paling sederhana, tidak perlu biaya besar.
Tak hanya cantik, sosok Sedhah Mirah ini pintar dan memiliki kharisma, wibawa, dan ilmu pengasihan tinggi.
Kepintarannya olah kanuragan membuat ia diberi gelar tambahan Adipati.
Jadilah gelar lengkapnya Bendoro Raden Ayu Adipati (BRAA) Sedhah Mirah, gelar yang jarang didapat perempuan bangsawan Mataram.
Letak makam Sedhah Mirah di situs Keraton Kartasura ada di sebelah utara paseban atau pendopo istirahat pengujung.
Ada kavling khusus, yang menurut Freddo Candra, berisi makam Sedhah Mirah dan para pembantunya yang semuanya perempuan.
Komplek makam ini terbilang yang paling awal dibangun sejak keraton itu ditinggalkan bangsawan Mataram sesudah Geger Pacinan pada 1742.
Peristiwa ini merupakan puncak konflik yang ditandai serbuan Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning yang ditahtakan sebagai Sunan Amangkurat V.
Ia didukung laskar Tionghoa, dan sukses mendepak Sunan Pakubuwana II yang dilindungi tentara VOC. Tapi Sunan Kuning tak bertahan lama di Kartasura.
PUTRI SEDAH MERAH
MENELUSURI DONGENG RAKYAT BLAMBANGAN
Sampai saat ini di daerah Banyuwangi masih banyak dongeng rakyat yang hidup dan berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada umumnya dongeng rakyat atau cerita rakyat itu hanya berfungsi sebagai pelipur lara. Hal ini disebabkan ceritera atau dongeng rakyat bukan peristiwa sejarah murni, tegasnya ceritera rakyat tidak dapat dijadikan pedoman atau penetapan sesuatu hal yang penting. Dalam kenyataan masyarakat di tanah air masih banyak yang awam dan berpola pikir tradisional yang lebih cenderung menonjolkan nilai-nilai mithologi dari pada nilai yang historisnya, sehingga sering mengkaburkan pemahaman mereka terhadap peristiwa sejarah yang sebenarnya, bahkan dapat mempengaruhi pandangan hidup sehingga dapat merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Meskipun demikian, ceritera rakyat atau dongeng rakyat perlu dilestarikan dan dipertahankan guna menambah khasanah kebudayaan nasional kita, khususnya yang berlatar belakang pendidikan. Dongeng rakyat Putri Sedah Merah ini berkisar antara Mas Jolang Putri Sedah Merah yang dikaitkan dengan ceritera sejarah Kesultanan Mataram. Dalam hal ini sudah menunjukkan bahwa pengaruh Islam telah masuk di kerajaan Blambangan pada saat itu.
Adapun dongeng rakyat Putri Sedah Merah, adalah sebagai berikut :
Pada saat itu Sultan Mataram sudah berulang kali mencoba untuk menaklukkan Kerajaan Blambangan, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Setelah Panembahan Senopati berhasil menaklukkan Blambangan, namun Sultan Mataram tidak menjadikan Kerajaan Blambangan sebgai daerah jajahannya. Panembahan Senopati sangat kagum akan kegigihan dan kesaktian Panglima Perang bersama para prajuritnya dalam membentengi Kerajaan Blambangan. Demikian pula Sri Sultan juga memuji kebijaksanaan raja Blambangan dalam membina angkatan perangnya. Itulah sebabnya Sultan Mataram tidak menganggap raja Blambangan sebagai taklukkannya, akan tetapi sebagai Sekutunya.
Pada saat Adipati Kinenten dari Pasuruhan mengadakan pemberontakan terhadap Mataram, secara tidak langsung Blambangan memberi bantuan kepada Pasuruhan. Hal itu menyebabkan Sultan Mataram marah serta memerintahkan Mas Jolang dan Ki Juru Martani mengerahkan pasukannya untuk menghukum dan menyerang Blambangan. Untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan Blambangan, Prabu Siung laut memerintahkan Patih Jatasura bersama adiknya, yakni Hario Bendung Adipati Asembagus mengerahkan pasukan Blambangan untuk menanggulangi serangan dari pasukan Mataram itu.
Dalam pertempuran yang cukup sengit, pasukan Mataram ternyata kewalahan menghadapi para prajurit Blambangan, bahkan Mas Jolang bersama Ki Juru Martani melarikan diri dari medan pertempuran. Senopati Blambangan yang berusaha mengejar dan menangkap kedua tokoh dari Mataram itu ternyata sia-sia. Dalam pelarian tersebut, Mas Jolang berhasil menyelinap dan bersembunyi di Tamansari. Di dalam tamansari itu Mas Jolang bertemu dengan Putri Sedah Mirah yang akhirnya keduanya saling jatuh cinta, Kendati demikian ulah kesatria Maratam bersama putri Blambangan itu diketahui oleh keluarga istana, yang kemudian mas Jolang ditangkap, namun karena permohonannya Sang putri kepada raja, sehingga Prabu Siung Laut terpaksa merestui pernikahan Mas Jolang dengan putri Sedah Mirah.
Dalam pelariannya Ki Juru Martani menuju ke arah Selatan sambil berteriak-teriak dan memanggil-manggil (bhs. Jawa: celuk-celuk), namun tidak ada jawaban, sedang usahanya mencapai Mas Jolang tidak berhasil. Menurut kisahnya, tempat Ki Juru Martani berteriak-teriak memanggil Mas Jolang itu dinamakan Desa Benculuk (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cluring, Banyuwangi). Sementara itu Patih Jatasura dalam mengejar musuh yang didampingi oleh salah seorang putra raja, yakni Mas Kembar. Untuk menjalankan tugasnya, secara tiba-tiba putra raja itu meninggal dunia. Hal itu menyebabkan Prabu Siung Laut sangat sedih, yang akhirnya terkena sakit ingatan (setengah gila).
Setelah Prabu Siung Laut sakit ingatan dan Mas Kembar mangkat, kesempatan itu akan dipergunakan Patih Jatasura untuk mempersunting Putri. Sedah Merah, karena Prabu Siung Laut pernah menjanjikan akan menjodohkan Patih Jatasura dengan putri Sedah Mirah. Dalam hal ini Patih Jatasura segera masuk ke tamansari untuk menemui putri idaman hatinya. Betapa kecewa dan marahnya setelah menyaksikan dan mengetahui bahwa Putri Sedah Mirah ternyata telah dipersunting oleh Mas Jolang yang tak lain adalah bekas musuh ayahanda raja. Dengan kemarahan yang meluap-luap Patih Jatasura menyerang dan berhasil membunuh Putri Sedah Mirah. Sedangkan Mas Jolang berhasil menyelamatkan diri bersama putranya (hasil perkawinannya dengan Putri Sedah Mirah).
Patih Jatasura setelah membunuh Putri Sedah Mirah menuju ke Asembagus menemui Hario Bendung dan membuat fitnah bahwa Putri Sedah Merah dibunuh oleh prajurit Mataram. Mendengar kematian Putri Sedah Mirah, Adipati Asembagus naik pitam dan segera mengerahkan pasukannya bergerak menuju Blambangan guna menuntut balas atas kematian Putri Sedah Mirah kepada prajurit Mataram. Pada waktu itu Hario Bendung bertemu dengan Ki Juru Martani dan Ki Juru Martani menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya bahwa yang membunuh Putri Sedah Mirah adalah Patih Jatasura yang tak lain kakak Hario Bendung sendiri. Di samping itu Ki Juru Martani juga memberi tahu bahwa Hario Bendung sebenarnya masih putra keponakan Ki Juru Martani sendiri.
Setelah mendengar dan mengerti duduk persoalan yang sebenarnya dari pamannya dan menyadari kenyataan itu Hario Bendung berbalik meluapkan amarahnya kepada kakaknya, yakni Ki Patih Jatasura. Sang Adipati kemudian bertekat untuk menghukum Ki Patih atas kekejamannya terhadap Putri Sedah Mirah. Sedangkan pada saat Patih Jatasura ditemui Hario Bendung, Ki Patih Blambangan itu sedang memperkosa dan membunuh istri pamannya (Ki Juru Martani). Menyaksikan kenyataan itu Hario Bendung semakin meluapkan amarahnya dan terpaksa menghabisi nyawa kakaknya, yakni Ki Patih Jatasura).
Kelanjutan cerita tersebut, mengisahkan bahwa antara Mas Jolang, Ki Juru Martani dan Hario Bendung ternyata saling menjaga hubungan yang cukup baik, bahkan putra Mas Jolang dijadikan menantu dan dijodohkan, dengan salah seorang putri Hario Bendung. Dengan demikian terjadilah jembatan untuk membina perdamaian antara Kesultanan, Mataram dan Kerajaan Blambangan, Mulai saat itu antara Kesultanan Mataram yang berpusat di Jawa Tengah dan Kerajaan Blambangan yang berpusat di Jawa Timur terus bahu-membahu dan saling bekerja sama dalam mengatur pemerintahan serta membina rakyatnya.
Sebenarnya dongeng rakyat Blambangan, yakni Putri Sedah Mirah dapat digolongkan sebagai Roman Sejarah. Hal ini mengingat di samping sebagaimana diketengahkan di muka bahwa dongeng rakyat Putri Sedah Mirah itu dihubung-hubungkan dengan peristiwa di bumi Mataram, juga hubungan Putri Sedah Mirah dengan Mas Jolang putra Mahkota Kesultanan Mataram ternyata merupakan hubungan asmara (percintaan).
Perihal roman sejarah sebenarnya merupakan gabungan ceritera historis yang sebenarnya (faktual) dan ceritera rekaan (dongeng rakyat). Dalam hal ini seyogyanya dipilah-pilahkan mana yang ceritera historis dan mana yang ceritera non historis, karena ceritera historis (faktual) memungkinkan sekali dijadikan sebagai pedoman untuk menetapkan sesuai hal yang penting, sedangkan yang non historis (dongeng rakyat) sebagaimana tersebut di atas pula hanya berfungsi sebagai hiburan atau pelipur lara.
MAKAM PUTRI SEDAH MERAH DI JIPANG PANOLAN
Ditemukan dan dipercaya oleh masyarakat sekitar hingga luar daerah versi Makam Putri Sedah Mirah yang beralamat di Sorogo Kelurahan Ngelo Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa.
MAKAM SEDAH MERAH DI KEDIRI
Sumber cerita bahwa jaman dahuku makam Nyai Sedah Merah dimakamkan di dekat Pasar Paing Kediri, karena Pasar Paing dipindah dan diperbesar/renovasi maka makam Nyai Sedah Merah dipindah oleh R. Hadiwidjojo di letakkan di sebelah barat Pasar Paing (sekarang depan Pompes Assidiqiah Jamsaren Kediri). Rumah tua tersebut dimanfaatkan sebagai kedai mengingat era jaman cafe mengkafe. Tepatnya di belakang rumah tua selatan jalan HOS Cokroaminoto (timur perempatan reco pentung) ada warung / cafe wedangan omah lawas mugkin bisa berubah penggunakan rumah tua tersebut kedepannya, tepat dibelakang rumah tua itu ada sebuah makam konon dalam ceritanya ada makam NYAI SEDAH MIRAH. Bila ingin masuk di pemakaman lewat gang sebelah barat rumah tua itu ada pintunya.
Dituturkan pula bahwa dulu pasar Paing Kediri masih banyak pohon-pohon besar yang mengintari Pasar Paing serta banyak monyet-monyet bertinggal di tempat tersebut, karena perkembangan jaman pasar dan monyet2 tersebut menghilang.
SEDAH MIRAH VERSI CERITA ANTARA (SIUNG LAUT, SEDAH MIRAH, JOTO SURO & PANGERAN JULANG)
Setelah Joko Umbaran atau Menak Jingga tidak berkuasa, Raja Blambangan berikutnya menurut penjagaan Situs Umpak Songo, Soimi ialah Siung Laut. Namun, Siung Laut kemudian pergi ke Bali dan menyerahkan takhta Blambangan kepada patihnya, Joto Suro.
Siung Laut memiliki putri bernama Sedah Mirah. Siung Laut ingin menikahkan sang putri dengan patihnya, Joto Suro. Namun, Sedah Mirah malah memilih pangeran bernama Pangeran Julang untuk menjadi seorang suami dan pergi ke Mataram.
Setelah menjadi Raja Blambangan, Joto Suro menyerang Mataram dan membawa kembali Sedah Mirah. Pangeran Julang kalah dan pergi mengungsi. Di Blambangan, Sedah Merah menolak Joto Suro. Sedah Merah akhirnya bunuh diri.Dikisahkan pula, Joto Suro mengangkat patih yang bernama Ario Bendung. Joto Suro pada suatu ketika memerintahkan Ario Bendung pergi untuk menyerang Mataram. Waktu itu, Pangeran Julang, suami Sedah Merah, masih berada di Mataram.
Di Mataram, Ario Bendung diberi tahu bahwa dirinya hanya ditipu Joto Suro. Hal yang terjadi sesungguhnya adalah Joto Suro menginginkan istrinya. Maka, Ario Bendung pulang dari Mataram dan menemukan istrinya sudah meninggal karena menolak Joto Suro. Terjadilah kemudian pertempuran Ario Bendung melawan Joto Suro.
Joto Suro tak terkalahkan. Ario Bendung kemudian kembali ke Mataram untuk mengabarkan keadaan Blambangan kepada Pangeran Julang. Ada kutipan yang unik dalam Catatan Kerajaan Blambangan yang disodorkan Soimin, penjaga Situs Umpak Songo waktu itu. Dikisahkan bahwa Ario Bendung mengabarkan hanya rakyat Blambangan yang masih hidup. Pangeran Julang lalu menyatakan, masih ada satu orang yang hidup.
BEDOL NEGARA
Sejarah Bedol Keraton Kartasura Rabu Paing 17 Muharam 1670 (1745 M), tercatat sebagai perpindahan pusat kerajaan Mataram Islam terakhir dari Kartasura ke Keraton Surakarta. Seluruh harta benda Kerajaan Kartasura diboyong. Sepasang pohon beringin yang masih muda, mahligai, bangsal pengrawit, gajah dan burung kesayangan sri baginda, arca-arca emas untuk upacara, pusaka Kyahi pangarab-arab dan pusaka Kyai Butamancak, kitab-kitab pusaka, dan tak ketinggalan pula pusaka Nyai Setomi.
Bedol negara, mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan upacara perpindahan tersebut. Tidak hanya keluarga raja dan pejabat-pejabat tinggi saja yang ikut pindah, tetapi juga tukang emas, tukang besi, penjahit, tukang kayu, tukang batu, abdi dalam keraton, peniup terompet, abdi dalem dapur dengan segala perkakasnya, penangkap-penangkap ikan dengan kail dan perahunya, dan harimau dalam kandangnya. Rombongan itu memerlukan waktu empat jam jalan kaki dari Kartasura ke Surakarta, berangkat jam delapan pagi dan tiba pukul dua belas siang. Dari Plered Ke Kartasura
Sisa-sisa Keraton Barang-barang berharga keraton Kartasura sekarang berada di keraton Surakarta Hadiningrat, seperti yang tercatat dalam sejarah. Sebagian disimpan di Museum Radyapustaka di Solo, ceritanya kemana harta kekayaan Kartasura itu berada sekarang setelah diboyong Paku Buwana II pada tahun 1745. Ketika kaki melangkah memasuki Museum Radyapustaka di Jalan Slamet Riyandi, Solo, pandangan terpaku pada ukir-ukiran kayu yang indah, menghiasi bagian atas pintu dalam museum. Itu tebeng atau hiasan pintu peninggalan keraton Kartasura. Menurut Sudaryanto Darmopustoko (60), penjaga museum. Ia lalu menunjukkan benda peninggalan Kartasura lainnya. Lonceng perunggu yang besar, kursi-meja, perlengkapan kuda, wayang dan beberapa alat permainan anak-anak. Rongsokan mesin jam yang besar teronggok di salah satu ruang museum, sangat menarik perhatian. Rongsokan jam ini pernah diletakkan di alun-alun Keraton Kartasura.
Alex Sudewa, dosen Sanatha Dharma Yogyakarta yang meneliti naskah kuna masa Kartasura, sempat merenungkan keberadaan jam itu di Kartasura pada zamannya. Bagi masyarakat Jawa arloji tidak berbicara apa- apa, hanya sebagai penunjuk waktu. Dipasangnya jam buatan orang Eropa di alun-alun Kartasura, tentunya bukan sekadar iklan dengan wajah sponsor, tetapi jam itu menunjukkan waktu yang bertepatan dengan waktu shalat. Apabila keraton memasang alat penunjuk waktu orang Eropa di tempat umum, menunjukkan adanya perubahan cara berpikir.
Apakah benar masa Kartasura adalah zaman kegelapan ?, pertanyaan ini mengawali analisanya terhadap naskah-naskah zaman Kartasura, yaitu Serat Menak, Serat Iskandar, Serat Yusuf dan Serat Ngusulbiyat. Tertarik oleh jam panggung itu, Sarosa bersedia mengantarkan ke tempat dipasangnya jam itu di Situs Kartasura, lokasi bekas keraton yang sekarang berada di Kawedanan Kartasura di Kabupaten Sukoharjo, di Surakarta Jawa Tengah. Sampai di lokasi, Saroso kemudian menunjuk daerah pemukiman padat. Di situ dulu alun-alun utara. Pagelaran yang terdapat pada alun-alun, sekarang telah pula jadi kampung yang padat. Sulit sekali menelusuri lokasi tepat dipasangnya jam karena padatnya rumah penduduk. Alun-alun bagian selatan pun tidak jauh berbeda. Lebih kurang 23 tahun Sunan Amangkurat II menikmati kekuasaannya di Keraton Kartasura sekalipun pada masa itu diselingi berbagai pergolakan.
SITUS PENINGGALAN KERATON KARTASURA
Menyaksikan bekas Keraton Kartasura (1680-1745) sungguh menyedihkan. Tembok luar keraton atau baluwarti yang terbuat dari bata, telah hancur dan rata dengan tanah, menyisakan sedikit bagiannya di beberapa tempat. Ukuran tembok luar kurang lebih 1 km X 1 km. Tinggi benteng itu lebih dari lima meter, dan tebalnya 2,5 meter. Dulu prajurit keraton melakukan patroli dengan mengendarai kuda di atas dinding pagar, kata Sarosa meyakinkan. Di dalam tembok baluwarti, kini dipenuhi dengan perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, tempat tinggal puteri keraton (keputren) dan petamanan keraton telah menjadi pemukiman padat. Sitihinggil, tempat yang ditinggikan di depan alun-alun, sebagian telah pula menjadi permukiman. Puing-puing bangunan kuna yang tersisa adalah gedung obat (mesiu), bangunan pos jaga Kumpeni. Situs itu kini dipenuhi makam. Tak ada kolam penuh air di Balekambang keraton, yang letaknya di tenggara keraton. Diganti oleh rumah-rumah dan lapangan sepakbola. Yang tersisa adalah gundukan tanah setinggi lebih dari 20 meter, yang disebut penduduk Gunungkunci. Di puncak gunung itu terdapat makam keramat. Tempat ini bekas segoroyoso, tempat rekreasi keluarga keraton, dibangun pada masa Paku Buwana I (1704-1709). Bangunan macam itu mengikuti pola keraton Plered. Tak ada bangunan keraton yang tampak utuh. Dibandingkan tembok baluwarti, tembok bagian dalam yang mengelilingi keraton atau cepuri, masih kelihatan wujud keseluruhannya. Bagian dalam tembok keraton ini telah dipenuhi makam-makam dari kerabat keraton Surakarta, yang telah bercampur dengan makam-makam penduduk setempat. Di dalam tembok ini juga terdapat mesjid dan beberapa rumah tinggal. Di antara makam-makam tersebut, teronggok dua buah makam tak terurus berlantai bata. Luasnya sekitar 4 X 6 meter. Tempat ini dulu bilik tengah keraton. Menurutnya, bilik tengah keraton biasanya untuk menyimpan benda-benda pusaka keraton. Makam yang terdapat di situ menurut pensiunan itu adalah makam kosong. Sengaja dibuat makam, agar lahan ini tidak digunakan untuk kepentingan lain. Yang kini masih tetap lestari dari bekas ibukota Kartasura itu, adalah nama-nama toponim. Di dalam tembok baluwarti terdapat tempat-tempat yang bernama Keputren, Sitinggil, Alun-alun, Kandangmacan, Sayuran, Bale Kambang, Sanggrahan, Gedung Obat, Pasar, Pelembatok, Sri Penganti, Manggisan, Krapyak, dan Bakalan. Manggisan dan Sayuran mungkin dulu kebun manggis dan sayur- sayuran keluarga keraton. Kandangmacan adalah tempat macan sebelum dipertandingkan di alun-alun, menurut Sarosa yang telah menulis sejarah lokal keraton Kartasura.
Kartasura memang tinggal puing. Hancurnya Kartasura karena pemberontakan orang-orang Cina, kata Sarosa. Lihat kerusakan yang disengaja di tembok cepuri itu. Dulu dijebol oleh berandal- berandal Cina yang sempat menduduki keraton. Geger Pacina Babad Pacina yang ditulis tahun 1775 Saka atau 1853 Masehi oleh Raden Ngabehi Sasradipraja, menceritakan panjang lebar kehancuran keraton Kartasura oleh pemberontakan orang-orang Cina yang menentang Kumpeni Belanda. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Paku Buwana II yang memerintah di Kartasura sejak tahun 1729 sampai kira-kira tahun 1745. Pemerintahan beliau diwarnai oleh pecahnya perang Cina pada tahun 1740 yang bersumber di Jakarta dan menjalar sampai ke seluruh Pulau Jawa. Pembunuhan massal yang dilancarkan Kumpeni di Betawi terhadap orang-orang Cina, menyebabkan mereka lari ke Jawa Tengah, khususnya di kota-kota pantai utara. Mereka bergabung dengan orang-orang Cina di Jepara, Juwana, Demak, Rembang, Tegal Semarang, dan Surabaya, melawan Kumpeni. Perasaan anti-Kumpeni menjalar pula di ibukota Kartasura. Kekuatan orang-orang Cina ini dimanfaatkan oleh Paku Buwana II untuk membebaskan diri dari Kumpeni dan sekaligus merangkul para pembesar yang anti persahabatan antara raja dan Kumpeni. Terbunuhnya komandan garnisun Belanda, Van Velzen, di Kartasura pada tanggal 10 Juli 1741, menyebabkan orang-orang Belanda minta bantuan Pangeran Cakraningrat dari Sampang. Pangeran Madura ini memang ingin melepaskan diri dari keraton Mataram dan mendirikan kerajaan baru di bagian timur Pulau Jawa.
Sri Sunan cemas dengan perkembangan tersebut, dan akhirnya terpaksa bekerja sama dengan Belanda untuk mencegah kekuasaan Pangeran dari Madura itu. Sikap raja yang tidak tegas itu menyulut pemberontakan. Para pemberontak mengangkat cucu Amangkurat III, sebagai raja yang bergelar Sunan Kuning, dan bersama-sama orang-orang Cina, berhasil menjarah keraton Kartasura. Sri Sunan terpaksa meninggalkan istana yang telah dikepung musuh dan mengungsi selama beberapa lama, sampai akhirnya Kumpeni berhasil membujuk Pangeran Cakraningrat yang menduduki Kartasura setelah menaklukan musuh. Pada tanggal 21 Desember 1742 Susuhunan Paku Buwana II dapat kembali memasuki Keraton Kartasura dikawal oleh serdadu-serdadu Kumpeni. Akan tetapi keraton telah rusak terbakar setelah diduduki musuh, dan sudah tidak layak sebagai tempat kediaman seorang raja. Sri Sunan menitahkan kepada dua orang patihnya, Adipati Pringgalaya dan Adipati Sindureja, dan mayor Hogendorf serta bupati lainnya untuk mencari tempat untuk mendirikan keraton baru. Akhirnya desa Sala terpilih dari dua tempat lain yang diusulkan. Desa Sala memang letaknya di tepi sebuah sungai besar, Bengawan Solo, strategis sekali dan mudah didatangi dari pantai bila keadaan memaksa. Setelah keraton baru itu selesai, Sri Sunan menitahkan untuk pindah dari Kartasura yang telah hancur ke keraton baru di Desa Sala.
KERATON BARU ITU KEMUDIAN DIBERI NAMA SURAKARTA HADININGRAT MENJADI MAKAM
Bangunan istana Kartasura tempat kediaman raja kini telah berubah menjadi tempat pemakaman kerabat Keraton Surakarta dan penduduk setempat. Makam dari kerabat keraton dipagari tembok dan dibersihkan setiap hari oleh juru kunci.
Makam Nyai Sedah Mirah, selir Pakubowono X. Itu adalah makam Kanjeng Raden Ayu Adipati Sedahmirah, pujangga ayu kesayangan Paku Buwana X, yang menulis kitab Ponconiti, kata juru kunci menunjukkan satu-satunya makam yang diberi cungkup dari 27 makam dalam kompleks berpagar tembok. Setiap hari makam keramat itu tak pernah kosong dari peziarah. Banyak peziarah datang meminta maksud dan keinginannya terkabul di tempat itu. Panjang umur, murah rezeki, dapat jodoh, peningkatan karier atau sekadar mencari ketenteraman batin. Menurut jurukunci, makam-makam penduduk setempat juga banyak yang berasal dari kalangan keraton.
Dulu mereka ditugaskan oleh fihak keraton untuk mengurusi keraton Kartasura yang telah ditinggalkan. Menurut kepercayaan Jawa, bila keraton pusat kejayaan dan kebesaran sebuah kerajaan telah dirusak oleh tangan- tangan kotor, tempat itu sudah tidak boleh didirikan pusat pemerintahan lagi. Dan bekas keraton Kartasura pun kini dijadikan makam.
SITUS KERATON KARTOSURO
Setelah Keraton Kartosura ditinggalkan dan berpindah ke Surakarta pada tahun 1745, praktis pusat pemerintahan juga ikut berpindah ke Keraton yang baru di desa Sala.
Karena ditinggal penghuninya, maka Keraton Kartosuro kembali menjadi hutan belantara. Bahkan benteng Keraton di huni oleh ribuan menjangan.
Putra dari juru kunci Hastana Keraton Kartasura bernama Raden Tumenggung Kerti Hastono Dipuro,Surya Lesmana mengatakan rasa rindu penguasa Keraton Kasunanan Surakarta terhadap rumah lamannya yang mendorong diperintahkannya prajurit Keraton untuk mencari keraton lama peninggalan leluhurnya.
Setelah ditemukan dan dibersihkan, akhirnya kawanan menjangan di giring ke sebuah desa dan di buatkan kandang dan desanya di beri nama Kandang Menjangan yang saat ini lokasinya sudah dijadikan Markas Kopassus Kandang Menjangan.
Di masa sekarang situs saksi sejarah peninggalan Keraton Kartosura yang merupakan cikal bakal berdirinya dinasti Mataram yakni Solo dan Jogjakarta hanya tersisa hanyalah tembok bata yang masih berdiri kokoh. Tak hanya itu, bekas keraton Kartosuro saat ini telah berubah status menjadi pemakaman bagi pihak keraton Surakarta.
Di situs Keraton Kartosuro inilah, dimakamkan Kerabat Keraton,termasuk para selir dari Paku Buwono IX. Masih kokohnya sisa-sisa tembok Keraton Kartosuro yang dibangun pada tahun 1680 1745 menandakan bila arsitektur pembangunan Keraton yang memerintah selama 65 tahun ini, sangat luar biasa.
Meskipun pada masa pembangunannya tidak menggunakan semen namun menggunakan tetes tebu sebagai perekat batu batanya. Namun mampu membangun tembok setinggi 6 meter dan memiliki ketebalan 2 meter. Sedangkan luas bangunan Keraton Kartosuro sendiri seluar 5 Hektar.
Mereka yang dimakamkan di komplek tersebut adalah Makam Mas Ngabehi Sukareja, Makam B.R.Ay Adipati Sedah Mirah yang merupakan garwa ampil atau selir PB IX yang semasa hidupnya dikenal cantik, pandai berdiplomasi dan memiliki pengasihan. Terus makam KPH Adinegoro, Makam Ki Nyoto Carito seorang dalang terkenal. Tapi atas perintah Gusti Wandansari (gusti Mung) makam ini ditutup. Selain sudah penuh, adanya ontran-ontran di dalam Keraton karena ada dualisme kepemimpinan di Kraton Solo. Sehingga membingungkan para abdi dalem.
KERATON KARTOSURO DAN MAKAM SEDAH MIRAH
Setelah Keraton Kartosura ditinggalkan dan berpindah ke Surakarta pada tahun 1745, praktis pusat pemerintahan juga ikut berpindah ke Keraton yang baru di desa Sala.
Karena ditinggal penghuninya, maka Keraton Kartosuro kembali menjadi hutan belantara. Bahkan benteng Keraton di huni oleh ribuan menjangan.
Putra dari juru kunci Hastana Keraton Kartasura bernama Raden Tumenggung Kerti Hastono Dipuro, Surya Lesmana mengatakan rasa rindu penguasa Keraton Kasunanan Surakarta terhadap rumah lamannya yang mendorong diperintahkannya prajurit Keraton untuk mencari keraton lama peninggalan leluhurnya.
Setelah ditemukan dan dibersihkan, akhirnya kawanan menjangan di giring ke sebuah desa dan di buatkan kandang dan desanya di beri nama Kandang Menjangan yang saat ini lokasinya sudah dijadikan Markas Kopassus Kandang Menjangan.
Di masa sekarang situs saksi sejarah peninggalan Keraton Kartosura yang merupakan cikal bakal berdirinya dinasti Mataram yakni Solo dan Jogjakarta hanya tersisa hanyalah tembok bata yang masih berdiri kokoh. Tak hanya itu, bekas keraton Kartosuro saat ini telah berubah status menjadi pemakaman bagi pihak keraton Surakarta.
Di situs Keraton Kartosuro inilah, dimakamkan Kerabat Keraton, termasuk para selir dari Paku Buwono IX. Masih kokohnya sisa-sisa tembok Keraton Kartosuro yang dibangun pada tahun 1680 1745 menandakan bila arsitektur pembangunan Keraton yang memerintah selama 65 tahun ini, sangat luar biasa.
Meskipun pada masa pembangunannya tidak menggunakan semen namun menggunakan tetes tebu sebagai perekat batu batanya. Namun mampu membangun tembok setinggi 6 meter dan memiliki ketebalan 2 meter. Sedangkan luas bangunan Keraton Kartosuro sendiri seluar 5 Hektar.
Mereka yang dimakamkan di komplek tersebut adalah Makam Mas Ngabehi Sukareja, Makam B.R.Ay Adipati Sedah Mirah yang merupakan garwa ampil atau selir PB IX yang semasa hidupnya dikenal cantik, pandai berdiplomasi dan memiliki pengasihan. Terus makam KPH Adinegoro, Makam Ki Nyoto Carito seorang dalang terkenal. Tapi atas perintah Gusti Wandansari (gusti Mung) makam ini ditutup. Selain sudah penuh, adanya ontran-ontran di dalam Keraton karena ada dualisme kepemimpinan di Kraton Solo. Sehingga membingungkan para abdi dalem.
PETILASAN KERATON KARTASURA (SEGARYOSO KARTASURA)
Bukit Kecil yang dulu Tamansari Keraton Kartasura kini tinggal gundukan tanah / bukit kecil dipingir segaran (lapangan Gunung kunci) masyarakat mengenalnya dengan Gunung Kunci, bekas alun-alun, kolam segaran (sekarang jadi lapangan).
Tak ada kolam penuh air di Balekambang keraton, yang letaknya di tenggara keraton. Diganti oleh rumah-rumah dan lapangan sepakbola. Tempat ini bekas segaryoso, tempat rekreasi keluarga keraton, dibangun pada masa Sunan Amangkurat II atau Sunan Amangkurat Amral (1677-1703) Yang tersisa adalah gundukan tanah setinggi lebih dari 20 meter, yang disebut penduduk Gunungkunci. Di puncak gunung itu terdapat makam keramat.
Keraton Mataram Kartasura dibangun oleh Sunan Amangkurat II atau Sunan Amangkurat Amral (1677-1703) dengan suatu pertimbangan bahwa Keraton Mataram Pleret sudah pernah diduduki musuh (Trunajaya). Keraton yang pernah diduduki musuh dalam pandangan masyarakat Jawa dianggap sudah ternoda atau kehilangan kesakralannya. Untuk itu jika raja hendak menduduki tahtanya kembali diusahakan untuk membuat keraton yang baru.
Demikian juga seperti yang dilakukan Sunan Amangkurat Amral. Pilihan atas Hutan Wanakerta untuk dijadikan lokasi keraton yang baru didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi ini tidak jauh dari Pajang, Mataram maupun Pengging. pada lokasi ini tersedia cukup air untuk kehidupan dan pertanian.
Kecuali itu neneknda Sunan Amangkurat II pernah bermimpi tentang cucunya ketika menginap di Butuh. Dalam mimpi itu diceritakan bahwa cucunya akan menjadi raja dengan kedudukan pada sebuah hutan di sebelah barat Butuh. Padahal lokasi di sebelah barat Butuh tersebut tidak ada lain adalah Hutan Wonokerto. Perancangan pembuatan kedaton ini dilaksanakan oleh Patih Nerangkusuma selaku patih Sunan Amangkurat Amral. Sedangkan pemilihan lokasinya dilakukan oleh Adipai Urawan selaku tokoh tua dan dihormati di Mataram. Sunan Amangkurat Amral meminta kepada Nerangkusuma agar meniru pola Kedaton Pleret.
Kedaton Kartasura ini selesai dibuat dalam waktu tujuh bulan, sekalipun belum sempurna. Bentengnya relatif luas dan tebal. Benteng ini dibuat dari gundukan tanah keliling dengan papan di bagian luar dan di dalamnya sebagai penyangga agar tidak runtuh. Tanggal 11 September 1680 Sunan Amangkurat II memasuki istana yang baru di Wanakerta ini bersama dengan Jacob Couper selaku wakil pemerintah Kumpeni. Tiba di istana Sunan Amangkurat II kemudian duduk di Bangsal Pangrawit yang telaknya berada di tengah pagelaran dihadap kerabat dan abdi-abdinya. Lebih kurang 23 tahun Sunan Amangkurat II menikmati kekuasaannya di Keraton Kartasura sekalipun pada masa itu diselingi berbagai pergolakan.
Keraton Kartasura secara resmi pertama kali didiami oleh Sunan Amangkurat II (1677-1702), walau pembangunannya masih belum sempurna. Tepatnya pada tanggal 11 September 1680. Raja Mataram yang semula bernama Pangeran Adipati Anom itu merupakan raja pertama yang menempati Kartasura, keraton dan ibukota baru Kerajaan Mataram pengganti Keraton yang lama di Plered, Yogyakarta. Pada waktu itu keraton di Plered dalam keadaan yang menyedihkan akibat perebutan kekuasaan yang berlarut-larut antara Sunan Amangkurat I (1646-1647) dan Trunajaya. Sunan Amangkurat I terpaksa meninggalkan keraton Plered setelah istana dikepung dan diduduki Trunajaya. Dalam pelariannya Baginda meninggal dunia di Tegalwangi, kota kecil di sebelah selatan Tegal. Sebelum menutup mata, beliau menyerahkan pusaka-pusaka kerajaan Mataram kepada Pangeran Adipati Anom, yang kemudian menggantikan beliau sebagai Sunan Amangkurat II. Dengan bantuan Kumpeni, Trunajaya dapat dikalahkan.
Tanggal 2 Januari 1680 Raden Trunajaya dihukum mati, ditikam sendiri oleh Sunan Amangkurat II di daerah Malang dekat perbatasan Kediri. Mahkota kerajaan Mataram lalu diserahkan kepada Sunan Amangkurat II. Akan tetapi keadaan keraton Plered sudah tidak terurus dan rusak, menyebabkan Sunan baru itu memutuskan untuk memindahkan ibukota dan keraton ke tempat yang baru. Pemilihan lokasi keraton dan ibukota Kerajaan Mataram yang baru diserahkan kepada tokoh-tokoh kerajaan. Setelah melakukan survei, mereka berembug dan akhirnya menetapkan tiga lokasi yang dianggap tepat untuk membangun keraton. Lokasi yang diusulkan adalah : Wanakerta, Logender dan Tingkir. Ketiga lokasi ini punya kelaikan tinggal. Logender daerahnya terbuka dan cukup air, Tingkir juga cukup air lagipula daerahnya bagus dan sejuk, sedangkan Wanakerta selain daerahnya datar dan cukup air, juga dekat dengan daerah Pajang dan Mataram. Pilihan atas Hutan Wanakerta untuk dijadikan lokasi keraton yang baru didasarkan pada pertimbangan bahwa lokasi ini tidak jauh dari Pajang, Mataram maupun Pengging. Kecuali itu, pada lokasi ini tersedia cukup air untuk kehidupan dan pertanian. Kecuali itu neneknda Sunan Amangkurat II pernah bermimpi tentangnya cucunya ketika menginap di Butuh. Dalam mimpi itu diceritakan bahwa cucunya akan menjadi raja dengan kedudukan pada sebuah hutan di sebelah barat Butuh. Padahal lokasi di sebelah barat Butuh tersebut tidak ada lain adalah Hutan Wonokerto.
Setelah panjang lebar membahas ketiga lokasi tersebut, Adipati Hurawan, sesepuh tokoh Mataram, menjatuhkan pilihan pada lokasi di Wanakerta. Terpilihnya Wanakerta karena datarannya luas, air cukup lagi mudah diperoleh dari Pengging, dan memiliki aksesibilitas yang baik dengan tanah Pajang dan Mataram. Adipati Hurawan memberi penjelasan panjang lebar tentang laiknya Wanakerta menjadi lokasi keraton baru. Sri Baginda menyetujui dan berpesan agar pola keraton yang baru mengikuti Keraton Plered. Perancangan pembuatan kedaton ini dilaksanakan oleh Patih Nerangkusuma selaku patih Sunan Amangkurat Amral. Tujuh bulan lamanya keraton dibangun dan mendekati selesai. Bentengnya yang luas dan tebal baru dibuat dari gundukan tanah berkeliling dan disangga dengan papan di luar dan di dalamnya, agar tidak runtuh. Semak berduri mengelilingi bagian depan benteng, dan parit berair mengelilingi seluruh kedhaton. Di luar tembok benteng baluwarti bagian selatan terdapat alun-alun. Loji Kumpeni terletak agak jauh di bagian utara dari alun- alun utara. Semua bangunan hampir belum ada yang berdinding bata, masih berbilik bambu dan beratapkan rumbia.
Keraton Kartasura baru kelihatan megah dan sempurna pada tahun 1682. Pada tanggal 11 September 1680, Sunan Amangkurat II memasuki istana yang baru. Nama Wanekerta diganti menjadi Kartasura Hadiningrat. Dua puluh tiga tahun ia menikmati keraton Kartasura, sambil menghadapi pemberontakan-pemberontakan. Pemberontakan antara lain dilakukan oleh adik Sri baginda sendiri, yaitu Pangeran Puger yang tidak mau mengakui Sunan Amangkurat II menjadi raja, karena ia sendiri telah berhasil merebut kedaton Plered dari tangan pemberontak. Belum lagi pemberontakan dari sisa-sisa pengikut Trunojoyo yang dipimpin oleh Wanakusuma serta didalangi oleh Panembahan Kajoran. Pemberontakan Untung Surapati melawan Kumpeni juga melibatkan keraton Kartasura secara tidak langsung. Kerusakan-kerusakan pun terdapat di lingkungan benteng keraton Kartasura akibat pemberontakan-pemberontakan tersebut.
Sunan Amangkurat II meninggal 1703 dan dimakamkan di Imogiri. Putera mahkota menggantikannya dengan gelar Susuhunan Amangkurat Senopati ing Alaga Sayidin Panata Gama III, atau terkenal dengan nama Sunan Amangkurat Mas (1703-1704). Setelah itu berturut-turut Kartasura dipimpin oleh Sunan Paku Buwana I (1704-1719), Sunan Prabu Hamangkurat Jawi (1719-1727), dan akhirnya Paku Buwana II, yang memindahkan keraton tersebut ke Surakarta.