SERAT PRANITIWAKYA
.......Landeping Trisula Triniji Suci Janur (janating nur) ngugemi janji pangreksaning Gusti Kang Akaryo Jagad, Cengkir (kencenging pikir) mandegani kawaskitan kamanungsan, Tebu (antebing qolbu) ngrantasi babagan kadigdayan... ikhlas, pasrah, sumarah, Iki dalan kanggo kang eling lan waspada, Bolo prewangan padha baris, rebut benering garis......
ISI SERAT PRANITIWAKYA
Ada beberapa Ramalan Jangka Jayabaya yang dianggap buatan Prabu Sri jayabaya, antara lain :
1. Jangka Jayabaya Musadar.
2. Jangka Jayabaya Pranitiwakya.
3. Jangka Jayabaya Pancawati.
Dan masih banyak lagi. Tetapi secara garis besar isinya sama.
Isi pokok adalah menceritakan pertemuan antara Maulana Ngali Samsujen dengan Prabu Jayabaya, kemudian membeberkan jangka (ramalan) mengenai jaman-jaman yang akan datang setelah Prabu Jayabaya. Di beberapa serat dilukiskan pula pertemuan antara Prabu Jayabaya dengan Ajar Subrata yang hidangannya merupakan jangka keadaan tanah Jawa.
Mengenai tambahan pengisian orang di tanah Jawa atau juga sebagian isi Jangka Jayabaya, seringkali dimasukkan oleh Pujangga Ronggowarsito ke dalam naskahnya yang lain, seperti dalam buku Pusaka Raja, buku Walisanga dan juga ke dalam buku Centini.
(Catatan : Jangka Jayabaya hampir seluruhnya sama inti dan isinya).
RAMALAN JANGKA JAYABAYA GANCARAN
Di waktu Prabu Jayabaya di Kediri bertemu dengan Syeh Ali Samsu Zein (ada yang meyebut Maolana Ali Samsu Zein, ada yang menyebut Sultan Maolana Ngali Samsujen) dan menguraikan ilmu, maka Syeh Ali Samsu Zein membeberkan rahasia alam dari sebelum tanah Jawa ada manusia sampai kepada hari kiamat.
Konon menurut shahibul hikayat, raja di Rum bernama Sultan Al Gabah (ada yang menyebut Catbah) kerajaannya terletak di Brusah, sebelah utara Negara Arab, yang sekarang termasuk daerah Turki Asia. Di kala Sultan memuja semedi di dalam tempat persemedian mendapat perintah dari Hyang Sukma.
He Kalifah-Ku, kamu saya jadikan manusia pilihan, gunanya tidak lain untuk membuat kebahagiaan bumi ini. Tetapi agaknya kamu tidak mengerti, bahwa ada daerah di bumi ini yang masih kosong, belum berisi manusia. Oleh karena itu, isilah daerah itu agar supaya dunia ini menjadi bahagia serta sentausa.
Setelah mendengar sasmita tersebut di atas, Sultan kemudian memanggil patihnya yang bernama Amirulsyamsu. Diceritakanlah segala perintah yang didapatnya dari Hyang Sukma.
Patihku, apakah kamu tahu sebuah daerah yang masih kosong?” tanya Sang Sultan.
Hamba tidak mengerti Kanjeng Sultan. Sebaiknya kita tanyakan kepada para saudagar-saudagar yang seringkali mengadakan perjalanan laut jarak jauh. Mungkin mereka mengerti, jawab Sang Patih.
Sang Patih kemudian memanggil seluruh saudagar dan pedagang yang seringkali mengadakan perjalanan jauh. Akan tetapi, tidak ada yang mengetahui dimana gerangan letaknya pulau kosong tersebut. Karena biasanya mereka mendatangi tempat-tempat yang ada penghuninya untuk mengadakan hubungan dagang.
Tersebutlah seorang pedagang yang bernama Kyai Imam Musa, mengetahui adanya tanah yang masih kosong. Letaknya di sebelah timur laut, keadaan tanahnya sangat subur. Di sebelah selatan pulau tersebut tidak ada pulaunya lagi.
Namun, Sang Sultan. Pulau itu sangat angker, banyak jim dan setannya. Siapa yang menginjakkan kakinya di tanah tersebut akan dijemput maut, kata Kyai Imam Musa.
Sultan Rum mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian memerintahkan kepada patihnya agar menyiapkan orang sebanyak 20.000 (dua leksa) keluarga, untuk dibawa ke tanah yang masih kosong tersebut. Lengkap dengan alat-alat serta biji-biji tumbuh-tumbuhan untuk persediaan makan.
Keberangkatan Patih Amirulsyamsu disertai seorang pelarian dari Arab yang bernama Jaka Sengkala atau Jaka Ajisaka Saka (dalam sumber yang lain, dia dikatakan sebagai seorang raja di India yang bernama Prabu Usaka atau Aji Saka putranya Batara Hanggajali. Ibunya dari Negara Najran, anak Raja Sarkil. Sedangkan Batara Hanggajali ini anaknya Mpu Ramadi). Sementara dari sumber yang lain, dikatakan bahwa keberangkatan Patih Rum tidak dengan Jaka Ajisaka, sebab tengah bertapa di puncak Ardi Hyang.
Rombongan dari Rum yang dipimpin sang Patih datang di Pulau Jawa dan tiba di Wukir Kandha atau Gunung Kendeng. Waktu itu dicatat tahun Rum 437, tepat pada bulan Anisan. Dihitung sejak Nabi Adam AS waktu itu sudah 5.154 tahun matahari, atau 5.306 terhitung tahun rembulan. Dihitung menurut tahun Hindu 768 masa Wisaka, sedangkan tahunnya dinamakan tahun Sambrama. Bila dihitung tahun Saka baru tahun 1.
Orang-orang dari Rum tersebut kemudian membuka hutan di daerah Kendeng. Pohon-pohon ditumbangkan dibentuk pekarangan, dan pula mula membuat rumah.
Patih Rum lalu kembali mengabarkan kepada rajanya bahwa tugas sudah terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Sultan Rum pun bersuka cita.
Namun, apa yang terjadi di daerah Kendeng sendiri? Tatkala malam hari para demit dan setan-setan penghuni tanah Jawa marah bukan kepalang. Sebab mengetahui kahyangannya yang berupa pohon-pohon ditebangi dan dirusak. Lalu menyerang manusia-manusia dari Rum dengan mendatangkan pelbagai penyakit. Pagi sakit, sorenya meninggal, dan sebaliknya. Sehingga menimbulkan kesedihan dan keprihatinan. Sebagian juga ada yang dimakan binatang buas. Sehingga dari 20.000 keluarga, tinggal 10.000 keluarga.
Keadaan sudah sedemikian mengerikannya ditambah lagi dengan datangnya api yang membakar hutan seisinya. Sehingga manusia-manusia banyak yang mati terbakar. Lari tidak karu-karuan. Api datangnya dari empat penjuru menyerang penghuni baru tersebut. Yang selamat berkumpul di padang Tegal Parama. Dihitung waktu itu penduduk sudah semakin menyusut sampai 200 keluarga.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Palguna, tahunnya Kalayudi, sedangkan tahun Saka baru menginjak tahun 3. Maka dalam sebuah sumber diberi candra sengkala : Geni Tiba Maletiking Angin, maknanya 0003.
Yang sebanyak 200 keluarga itupun akhirnya tinggal 20 keluarga saja. Sisa yang masih hidup tersebut segera meninggalkan tanah Jawa dengan naik perahu seadanya (perlu ditambahkan, kedatangan orang-orang Rum yang pertama di tanah Jawa ini, keadaan Pulau Jawa masih bersambung dengan Pulau Sumatra, Bali dan Madura).
Kembalinya orang-orang Rum tersebut pada bulan Naya tahunnya Kanda. Sedangkan tahun Saka baru menunjuk tahun ke- 4 (sengkalan : Toya Muluk Ing Gegana).
TUMBAL BAGI PULAU JAWA
Betapa sedihnya Sultan Rum tatkala mendengar cerita para orang yang dapat mencapai Rum dalam pelarian mengungsikan nyawanya itu.
Agar supaya tanah Jawa tersebut dapat ditempati orang, sebaiknya diberi tumbal dahulu, Kanjeng Sultan. Kata Patih Rum.
Baiklah, Patih. Panggil seluruh pandita, ulama, jamhur supaya menghadap. Jangan lupa raja Pandita Usman Aji (Ngusmanaji), untuk memimpin penumbalan ini, titah Sang Sultan.
Singkat cerita, berangkatlah Patih Rum bersama raja Pandita Usman Aji, diiringi para pendeta, ulama dan ahli-ahli kebatinan.
Kedatangan mereka di Pulau Jawa bulan Manggasri tahunnya Rahuci, baru menginjak tahun Saka 5 (sengkalan : Tata Sonya Tanpa Barakan). Sedangkan bulan Rum bulan Tansrinhiki.
Para pendeta dan ahli tapa itu kemudian mengadakan perjalanan keliling di Pulau Jawa. Pendeta Ngusmanaji mengetahui bahwa di gunung Hyang muridnya yang bernama Aji Saka bertapa. Maka raja pandita Bani Israil itu segera mencari dan member tambahan ilmu kepada Aji Saka.
Bertemunya Sang Raja Pendeta Ngusman Aji dengan Aji Saka di waktu bulan Wisaka tahun Dundumi, baru tahun Saka 6 (sengkalan : Hanggas Pecahing Awang-awang). Dalam sumber lain juga menyebutkan bahwa Aji Saka senantiasa mengikuti kegiatan langsung dari Rum. Bahkan yang menunjuk pendeta Ngusman Aji adalah Aji Saka sendiri.
Setelah diadakan penghitungan yang masak, maka pemasangan tumbal dibagi menjadi 5 bagian. Timur, selatan, barat, utara. Kemudian yang satu ditanam di tengah, di gunung Tidar (sekarang daerah Kedu). Petugaspun dibagi menjadi 5 bagian, yang masing-masing menunggu tumbal dengan seluruh kekuatan batinnya.
Menjelang hari yang kedelapan, maka terdengarlah suara bergemuruh dari timur, selatan, barat dan utara bersahut-sahutan. Tidak ada henti-hentinya siang maupun malam. Gempa bumi bagai mengguncang Pulau Jawa. Angin topan bergemuruh datangnya. Kayu-kayu dan pohon-pohon bertumbangan, gunung meledak dan hancur. Gunung Merapi yang tinggi terpotong menjadi dua, terlempar ke sebelah timur menjadi gunung Kelud. Demikian juga gunung Ijo (gunung Wilis) juga terpotong. Potongannya terlempar menjadi gunung Padang (tempat Ajar Subrata di kelak kemudian hari). Tanah-tanh pun longsor, air meluap tidak terkendali lagi. Semuanya itu dikarenakan kekuatan tumbal para pendeta dan ulama.
Jin, setan, demit penghuni Pulau Jawa berlarian mencari hidup. Tidak kuat melawan keampuhan tumbal yang dibuat oleh Pendeta Ngusman Aji. Mereka pun mengungsi ke laut, jurang, ataupun goa-goa.
Kehancuran para brekasan (dedemit) tersebut kurang lebih memakan waktu 21 hari. Kemudian setelah lewat waktu tersebut, angkasa yang tadinya gelap-gulita menjadi terang-benderang. Sura gemuruh pun mereda.
Para petugas dari Rum pun merasa telah menyelesaikan tugasnya dengan baik. Kemudian bersama-sama kembali ke Rum dengan naik perahu. Kejadian itu pada bulan Jita tahun Triya Dwari, tahun 7 Saka (tahun rum menunjuk tahun 444).
Semua laporan perjalanan sudah disampaikan kepada Sultan Rum, membuat Sri Sultan bergembira. Sedangkan Aji Saka kemudian mengikuti Pendeta Ngusman Aji untuk mendapat tambahan ilmu.
Ilmu Aji Saka makin tinggi, maka diberikan tambahan nama Pandhita Ibsak.
PENGHUNI PULAU JAWA KE-II
Sultan Rum segera memikirkan kembali penghunian Pulau Jawa. Maka dipanggillah Pati Amirulsyamsu dan Aji Saka (Jaka Sengkala). Penghunian Pulau Jawa supaya segera dilaksanakan kembali. Akan tetapi untuk sementara tidak membawa penduduk dari Rum, mungkin tidak cocok hawanya. Jadi Jaka Sengkala mencari dari daerah Hindu dan sekitarnya yang berhawa panas.
Aji Saka dan patih Amirulsyamsu menuju ke Hindustan. Menghadap kepada Hyang Jagad Nata yang menguasai daerah tersebut. Memohon orang sebanyak 20.000 keluarga (sumber lain mengatakan membawa orang buangan Keling). Hyang Jagad Giri Nata mengijinkan. Maka Jaka Sengkala menerima orang Hindu sebanyak 15.000 keluarga, lengkap dengan binatang pertanian serta alat-alatnya. Kemudian singgah di Pulau Kanthi (Pulau Selon atau Ceylon, sekarang Sri Lanka) sebelah selatan Hindustan. Mengambil 2.000 keluarga. Kemudian singgah lagi di Seyemi (Hindia Belakang) mendapat orang sebanyak 3.000 keluarga. Sehingga lengkaplah semuanya 20.000 keluarga.
Kapal tersebut tidak langsung berlabuh di Pulau Jawa. Sebab waktu itu dari lautan masih tampak api membara disebabkan gunung berapi yang meledak-ledak dikarenakan tumbal yang dulu dipasangnya. Rombongan singgah dulu di Pulau Kencana (Pulau Kalimantan).
Kedatangannya di Pulau Kalimantan waktu bulan Asuji tahun Tisimuka dan tahun 8 Saka.
Perlu ditambahkan, bahwasany Aji Saka dikuti pula oleh adik-adiknya, yaitu: Mpu Bratandang, Empu Broruni dan Empu Braradya. Menurut sumber lain lagi mengatakan, bahwa kemudia ada susulan dari Rum yang dipimpin oleh Said Jamhur Muharam yang membawa penduduk Rum sebanyak 20.000 keluarga.
Setelah 10 bulan beristirahat di Pulau Kalimantan, maka rombongan tersebut berangkat lagi menuju ke Pulau Jawa. Dibagi menjadi 2 bagian. Yang satu sebanyak 20 perahu menuju ke Pulau Baweyan, sebelah utara Pulau Madura. Sedangkan yang 20 perahu menuju ke Pulau Paminihan (Karimun Jawa). Ditempat tersebut masih banyak yang diserang penyakit dan dimakan binatang buas.
Sehingga waktu dihitung orang-orang yang di Baweyan tinggal 8.997 keluarga (janda dan duda lebih dari 105. Ketambahan lagi anak-anak). Sedangkan yang di Pulau Paminihan tinggal 2.716 (janda serta duda lebih 87).
Kemudian orang-orang yang di Pulau Paminihan dijadikan satu dengan yang ada di Pulau Baweyan. Dari jumlah 20.000 keluarga, kini tinggal 11.172 keluarga.
Aji Saka kemudian memerintahkan untuk mencari orang di Pulau Kencana dan Pulau Makasar. Orang dari Pulau Kencana sebanyak-banyaknya 6.505 keluarga, sedangkan dari nusa Makasar sebanyak 2.325 keluarga, hingga seluruhnya menjadi 20.003 keluarga. Pada waktu itu Pulau Baweyan ditebangi hutannya. Terjadi pada tahun 9 Saka.
Selanjutnya, Aji Saka (Jaka Sengakala = Empu Sengkala) membagi rombongan menjadi empat bagian, dipimpin oleh adik-adik Aji Saka sendiri. Yang sebagian menuju ke Pulau Paminihan kemudian membuka hutan di sana. Perjalanan dilanjutkan sampai di Wukir Rajabasa (di Pulau Sumatra). Kebanyakan yang datang di tempat tersebut dari Siyem dan Pulau Kencana.
Sebagian lagi ke selatan menuju gunung Kendeng (daerah Rembang). Sebagian lagi langsung ke selatan sampai di daerah Gunung Kidul (Mataram). Sebagian yang lainnya lagi menuju ke sebelah timur sampai di Nusa Barong (kebanyakan orang Makasar). Datang ke tempat-tempat tersebut kemudian diatur lagi masing-masing seribu ke tempat-tempat di dekatnya untuk mengadakan babad (membuka) hutan. Membuat rumah-rumah yang panjang-panjang serta mulai mengadakan pertanian dan peternakan.
Terjadi pada bulan Srawana tahun Suharja, tahun 10 Saka.
Setelah semuanya teratur baik maka pada tahun ke-II Patih Amirulsyamsu akan kembali ke Rum. Tetapi Jaka Sengkala tidak ikut (ada yang mengatakan Jaka Sengkala ikut kembali. Ada lagi yang menceritakan bahwa orang-orang Rum yang dibawa Said Jamhur Muharam dikembalikan ke Rum, sebab dianggap nanti akan merepotkan. Kecuali jumlahnya terlalu banyak, juga bentuk tubuh orang Rum dengan orang Keling itu berlainan sekali).
Kabar mengenai penghunian Pulau Jawa yang sukses itu sangat menggembirakan hati Sultan Rum. Hanya yang sangat disayangkan oleh Sultan Rum, mengapa Aji Saka tidak ikut kembali ke Rum. Padahal tokoh tersebut sangat besar gunanya bagi Negara Rum. Setiap waktu dibutuhkan dapat menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Demikianlah kisah yang diuraikan oleh Syeh Maolan Ali Samsu Zein kepada Prabu Jayabaya. Kemudian dilanjutkan mengenai kisah tahun ke tahun dari sejak Pulau Jawa dihuni manusia sampai nanti hari Kiamat. Prabu Jayabaya dengan mudah dapat menangkap seluruh yang diceritakan oleh gurunya.