SULUK LINGLUNG
(SUNAN KALIJAGA)
Secara etimologi suluk berarti mistis, atau jalan menuju kesempurnaan batin. Di samping pengertian tersebut dalam perspektif lain suluk diartikan sebagai khalwat, pengasingan diri dan ilmu-ilmu tentang tasawuf atau mistis. Dalam sastra Jawa suluk berarti ajaran, falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, sedangkan dalam seni pendalangan suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk menimbulkan suasana tertentu.
Dalam komunitas tarekat suluk diartikan sebagai perjalanan untuk membawa seseorang agar dekat dengan Tuhan sedangkan orang yang melakukan perjalanan tarekat dinamakan salik. Dalam tarekat pengertian suluk cenderung bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk mencapai kehidupan rohani.
Linglung merupakan struktur bahasa Jawa yang artinya “bingung”. Bingung di sini diartikan ketidakpastian, atau dapat diartikan sebagai kumpulan dari cerita, aplikasi ritual tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia mengalami kebingungan dalam mencapai hakekat kehidupan.
Suluk dalam Jawa adalah ajaran filsafat untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, suluk merupakan salah satu bentuk ajaran yang termanifestasikan dalam sebuah kitab atau karya. Suluk Linglung Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari sekian ajaran filasafat yang digubah oleh Iman Anom.
Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan Kalijaga yang sampai saat ini masih jarang ditemukan diliteratur Jawa. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab kuno warisan dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng. Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, yang keduanya adalah anak cucu Sunan Kalijaga yang ke-13 dan 14.39 Kitab kuno yang diberi nama Suluk Linglung ini memuat tentang pengobatan dengan menggunakan berbagai ramuan tradisional, azimah yang berbentuk rajah huruf arab serta memakai isim, berbagai macam do’a. Disamping itu suluk merupakan sebuah goresan dalam bentuk bibliografi dari proses kehidupan batin seseorang atau tokoh.
Buku kuno ini menggunakan simbol-simbol prasastri penulisan ngrasa sirna sarira aji yang berarti bermakna 1806 caka bertepatan dengan tahun 1884 Masehi. Buku kuno ini ditulis diatas kertas yang dibuat dari serat kulit hewan yang merupakan transliterasi dari kitab Duryat yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Sunan Kalijaga.
Kondisi Teks dan Kandungan Ajaran Suluk Linglung Sunan Kalijaga Tentang Makrifat.
Dalam kehidupan tasawuf, seorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya. Dimana tahap paling dasar adalah syari’at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran jasmani. Dalam syari’at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan untuk membawa seseorang ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.
Begitu juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga di dalam kitab Suluk Linglung, ia sangat menekankan pentingnya menjalankan syari’at Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat dan menjalankan ibadah haji. Agar dapat menjalankan ajaran Islam yang sempurna dan sungguh-sungguh (kaffah), baginya harus melalui berbagai tirakat dan perenungan diri yang sungguh-sungguh pula. Dengan begitu manusia akan dapat mengerti makna hidup sejati dan mencapai makrifat yang diajarkan Sunan Kalijaga dalam suluk tersebut, adalah sebagai berikut;
Pertama, Brahmara Ngisep Sari Pupuh Dhandanggula (Kumbang Menghisap Madu). Dalam teks aslinya, “pawartane padhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah, pejah sajroning uripe, sanget kepenginipun, pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan uningeng luput, anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para nabi wali, mila wangsul kewala”.
Artinya: “menceritakan tentang seorang alim ulama’ yang cerdik dan pandai yang sudah bisa merasakan mati, mati dalam hidup yang mempunyai keinginan besar untuk memperoleh petunjuk dari seorang yang sudah menemukan hakekat kehidupan dan perjalanan untuk tidak memperdulikan dampak yang terjadi. Beliau bernafsu untuk mendapatkan petunjuk, petunjuk yang dipegang oleh para nabi dan wali, itulah tujuan yang diharapkan semata-mata“.
Pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berhasrat besar untuk mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan wali. Dengan kondisi bimbang dan tidak menentu Sunan Kalijaga selalu berusaha untuk mengabdi dan mencari petunjuk, salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan mengendalikan segala hawa nafsunya yang selanjutnya berserah diri kepada Allah, yang diibaratkan sebagai kumbang ingin mengisap madu / sari kembang.
Dalam hal ini Sunan Kalijaga berusaha untuk mengendalikan segala hawa nafsunya. Rendah hati dalam bersikap, prihatin, tidak bermewah-mewah (memikirkan kehidupan dunia), membunuh segala nafsu jiwa raga dan berserah diri pada Allah.
Maksud mengalirnya madu adalah orang yang diberi kemuliaan oleh suksma. Dia tetap kokoh dalam budi. Arti menjalankan tapa adalah menyakiti badan dari waktu muda sampai tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi di tempat yang sepi, membunuh jiwa raga. Dengan begitu bila mendapat hidayah Ilahi, maka pengetahuan tentang Allah akan sampai kepadanya, begitulah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Manfaat orang yang suka prihatin, seluruh cita-citanya akan dikabulkan Allah, apabila belajar ilmu akan mudah paham, apabila mencari rizki akan mudah didapatkan dan apabila melakukan sesuatu pekerjaan akan cepat selesai.
Demikian tapanya para ulama dan wali Allah yang telah sempurna tekadnya. Bila orang ingin seperti itu hendaklah jiwa raga disiksa, raga selalu disakiti lupakan tidur. Bila ingin tahu tentang asal mulanya, jasadnya disiksa dengan maksud agar menyatu pada suksma. Dalam teksnya dijelaskan:
“……Dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat kabanjur kalantur, eca dhahar lawan nendra, saking tyas awon poerang lan napsu neki,…….
Artinya “………berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi atau mengobati nafsunya, jangan sampai terlanjur nafsunya, puas makan dan tidur sebab hatinya kalah perang dengan nafsunya“.
Kedua, Kasmaran Branta Pupuh Asmara Dana (rindu kasih sayang pupuh asmara dana) pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, serta wejangan-wejangan (petunjuk-petunjuk) yang diterimanya.
Untuk memperkuat ketajaman batin, maka Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai jenis tapa agar diikuti para murid-muridnya. Sunan Kalijaga sendiri pernah menjadi petapa ketika berguru kepada Sunan Bonang.
Pertama ia bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang dan kedua bertapa ngidang menyamar menjadi kijang, makan daun-daunan dan tinggal di hutan belantara. Dalam teksnya dijelaskan:
Pada bait ketiga ” wonten setengah wanadri, gennya ingkang gurdagurda. Pan sawarsa ing lamine, anulya kinene ngaluwat, pinendhen madyeng wana, setahun nulya dinudhuk, dateng jeng suhunan benang”
Artinya “, berada ditengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda yang banyak sekali, dengan tenggang waktu setahun lamanya, kemudian disuruh “ngaluwat” ditanam ditengah hutan. Setahun kemudian dibongkar oleh kanjeng Sunan Bonang“
Dan pada bait ketujuh belas, ” pan angidang lampah neki, awor lan kidang manjangan, atenapi yen asare pan aturu tumut, lir kadya sutaning kidang”
Artinya, “untuk menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, bilamana ingin tidur, ia mengikuti cara tidur terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau pergi mencari makan seperti caranya anak kijang“.
Tapa-tapa yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:
Badan, tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar berbuat kebajikan.Hati atau budi, tapanya rela dan sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk.Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah menjalani cobaan dalam sengsara dan mudah mengampuni kesalahan orang.Nyawa atau roh, tapanya belaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain dan tidak mencela.Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam dan menyesali kesalahan atau bertaubat.Cahaya ata Nur, tapanya berlaku suci dan zakatnya berhati ikhlas. Atma atau hayu, tapanya berlaku awas dan zakatnya selalu ingat. Di samping itu diajarkan pula tapa dan perbuatan yang berhubungan dengan tujuh anggota badan;Mata, tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain.Telinga, tapanya mencegah hawa nafsu, zakatnya tidak mendengarkan perkataan-perkataan yang burukHidung, tapanya mengurangi minum, zakatnya tidak suka mencela keburukan orang lainLisan, tapanya mengurangi makan, zakatnya dengan menghindari perkataan-perkataan burukAurat, tapanya menahan syahwat dan zakatnya menghindari perbuatan zinaTangan, tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya tidak suka memkul orang lainKaki, tapanya tidak untuk berjalan berbuat kejahatan dan zakatnya menyukai berjalan untuk istirahat dan intropeksi.
Ketiga, Pupuh Durna, yang berisikan tentang Sunan Kalijaga yang diperintahkan ibadah haji ke Makkah dan bertemu dengan nabi Khidir di tengah samudera. Dalam teks tersebut disebutkan:
“Sang pendeta wus lajeng hing lampahira, mring benang dhepok sepi, nyata kawuwusa, Lampahe Syeh Melaya, kang arsa amunggah kaji, dhateng hing makkah, lampahnya murang margi”.
Artinya, ” Sunan Bonang sudah lebih dulu melangkahkan kaki, menuju desa Benang yang sepi. Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeikh Malaya, yang berkehendak naik haji menuju Makkah dia menempuh jalan pintas.
Setelah melalui proses tafakkur Sunan Bonang kemudian menyuruh Sunan Kalijaga untuk pergi ke makkah menunaikan ibadah haji yang kemudian diperintahkan untuk bertemu nabi Khidzir dan berguru kepadanya.
Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidzir ditengah samudera yang kemudian nabi khidzir memberikan wejangan kepada Sunan Kalijaga tentang Hidayatullah (petunjuk Allah).
Hidayatullah dapat diartikan sebagai petunjuk Allah. Petunjuk merupakan sebuah anugerah yang tidak diterima oleh setiap orang. Sebagaimana dalam teks tersebut dijelaskan “nyuwun wikan kang sifat hidayatullah munggah kajiyo miring Makkah marga suci”, artinya bahwa untuk mencapai petunjuk dari Allah manusia harus dalam kondisi suci, suci secara dhahiriyah dan bathiniah dan dilakukan hati tulus dan ikhlas.
Sebagaimana Sunan Bonang menyarankan kepada Sunan Kalijaga untuk mencari kepandaian dan hidayatullah di Makkah. Makkah merupakan kota suci, kota sebagai kiblat bagi seluruh umat Islam yang mampu naik haji, sehingga dalam Islam pun diwajibkan bagi umat Islam yang mampu naik haji sebagai perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima.
Keempat, sang Nabi Khidzir (Pupuh Dhandhang Gula), mengupas tentang dialog antara Syeh Malaya dengan nabi Khidzir yang berisikan wejangan tentang hidayatullah dan kematian dengan berbagai aspeknya.
Dalam teks aslinya “….nadyan wus haji iku yen tan weruh paraning kaji ,…margone tan kanggo lunga, mring ka’bah yen arsa wruh ing ka’bah jati, jati iman h idayat”.
Artinya, “…oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji bila belum tahu tujuan yang sebenarnya dari ibadah haji, kamu akan rugi besar…ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya ka’batullah (ka’bah Allah). Demikian itu sesungguhnya iman hidayat yang harus kamu yakinkan dalam hati. Kalau seseorang akan melakukan ibadah haji, maka harus diketahui tujuan yang sebenarnya, kalau tidak, apa yang dilakukan itu sia-sia belaka, itulah yang dinamakan iman hidayat. Dan sebelum seseorang melakukan sesuatu hendaklah diteliti agar tidak tertipu oleh nafsu, supaya tetap dalam jati diri yang asli (pancamaya). Penghalang tingkah laku kebaikan ada tiga golongan, dan siapa berhasil menjauhi penghalang tersebut akan berhasil menyatukan dirinya dengan yang ghaib. Yang dimaksud dengan penghalang tersebut adalah marah, sakit hati, angkara murka, sombong dan semacam itu.
Dalam teksnya dijelaskan, “pan isine jagad amepeki, iya iku kang telung prakara, pamurunge laku kabeh kang bisa pisah iku, yekti bisa amoring ghaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng, abang, kuningsamya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore sulama mulya”.
Artinya, ” sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi ke dalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku kalau mampu menjauhi itu, pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri, hati yang tiga macam, hitam, merah, kuning, semua itu, menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya, akan menyatunya dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia”.
Godaan yang berat digambarkan empat penari pada keempat sudut itu, yaitu nafsu-nafsu yang timbul dari badan kita sendiri, pertama, amarah, yaitu nafsu yang menimbulkan rasa ingin marah, ingin menguasai, ingin menaklukkan, serakah dan kejam, segala tindakannya selalu merugikan orang lain. Dalam ilmu Jawa, nafsu amarah biasa digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna merah, kedua, aluamah, nafsu yang menimbulkan keinginan untuk makan dan minum secara berlebihan. Orang yang menuruti nafsu aluamah gemar makan yang enak-enak, rakus, tak pernah merasa puas, dan malas bekerja. Nafsu aluamah digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna hitam. Ketiga sufi’ah, nafsu yang menimbulkan sifat dengki dan iri hati. Orang dengan nafsu ini selalu menggerutu dan iri hati kepada temanya yang kaya dan pandai, tetapi ia sendiri tidak mau berusaha.
Sifat sufiah digambarkan dengan sinar (cahaya) berwarna kuning. Keempat, mutmainnah, nafsu yang pada dasarnya baik, suka memberi, penyayang. Orang yang menuruti hawa nafsu mutmainnah sangat menyayangi orang lain tanpa perhitungan. Hal ini dapat menjadikan dirinya celaka dan orang yang diberi juga ikut celaka. Sifat mutmainnah digambarkan dengan sinar (cahaya) putih.
Si penari (budi manusia) haruslah dapat mengekang dan menguasai empat nafsu itu, dan disalurkan ke arah (hal-hal) yang baik, agar dapat memiliki (mencapai) waranggana (cita-cita yang mulia) yang dikejarnya. Nafsu amarah disertai keberanian dan terpelihara, dapatlah ia mencapai martabat yang tinggi dan tidak akan berbuat kejam. Nafsu aluamah disertai rajin dan menjaga kesehatan dapatlah ia mencapai kecukupan hidupnya dan badan tetap terpelihara. Nafsu sufiah, disertai usaha maka ia sanggup mencapai apa yang diinginkan. Nafsu mutmainah, disertai perhitungan, akan mendatangkan ketenteraman hidup, tertolong sebagaimana mestinya.
Kelima, Kinanthi (Pupuh Kinanthi) yang terdiri dari enam puluh bait yang berisikan tentang ajaran nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga tentang ilmu yakin, ainul yakin, haqqul yakin, makrifatul yaqin dan iman hidayat serta sifat-sifat yang terpuji.
Dalam teks aslinya disebutkan “urip jroning johar iku, urip mati sajroning, iya aneng johar awal, pagene sholat sireki, ya ora ing ndalem ndoya, purwane sholat puniki”.
Artinya: “jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh johar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam johar awal. Dari keterangan tentang johar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya; mengapa kamu wajib sholat, di dalam dunia ini?“.
Pada bagian ini Sunan Kalijaga belajar tentang ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin serta makrifat, yang kemudian nabi Khidzir memberikan contoh tentang sholat sebagai bukti keyakinan manusia tentang adanya Tuhan atau Allah yang harus disembah, yang pada prinsipnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan. Begitu pun juga manusia, eksistensi manusia di bumi karena adanya sang pencipta yaitu Allah. Adanya manusia itulah yang membuktikan adanya Allah, dan tanda-tanda adanya Allah adalah pada dirimu kata Nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga.
Sebenarnya tanda-tanda adanya Allah itu ada pada diri manusia sendiri, barang siapa yang mengetahui dirinya sendiri maka akan mengetahui Tuhannya, jadi dengan bertafakkur atas diri dan sifat-sifatnya sendiri, manusia mengetahui bahwa ia sebenarnya dijadikan dari setetes air yang tidak mempunyai akal sedikitpun dan, tidak pula mempunyai pendengaran, penglihatan, kaki, tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan terang dan nyata bawa tingkat kesempurnaan yang ia capai bukan ia sendiri yang membuatnya melainkan Allah lah yang menciptakan karena sehelai rambut manusia tidak akan sanggup membuatnya.
Manusia harus selalu bermakrifat kepada Allah, dalam ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan makrifat, kalau tidak makrifat berarti tidak menghargai Allah. Allah berfirman;”… dan tiada mereka mengagungkan Allah sebagaimana mestinya (al-An-‘am: 91).
Yang dimaksud tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu berarti tidak makrifat kepada-Nya. Makrifat merupakan sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan. Selain itu makrifat dapat membersihkan diri dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, yang kemudian lama-lama dapat mengetuk “pintu” Allah dengan hati yang istiqomah, dia melakukan makrifat untuk menjauhi dosa-dosa. Sehingga dia memperoleh hidayah dari Allah.54 Yang kesemuanya itu diperlukan adanya tauhid yang kuat. Dalam teksnya dijelaskan “…tauahid panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru’yat minangka seksi” artinya tauhid adalah pengetahuan yang penting untuk menyembah pada Allah juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya rukyat (ya dengan melihat pakai mata telanjang) sebagai saksi adanya terlihat dengan nyata.
Keenam, Pupuh Dhandhang Gula yang terdiri dari lima puluh dua bait, pada bagian ini berisi tentang Sunan Kalijaga menerima wejangan dari nabi Khidzir Dalam teks aslinya disebutkan kawisayan kang marang ing pati, den kahasto pamanthenging cipta, rupa ingkang sabenere, sinengker buwaneku, urip data nana nguripi, datan antara mangsa, iya anaripun, pas wus ana ing sarira, tuhu tunggal sejane lawan sireki, tan kena pisahenna.
Artinya; “cobaan hidup yang menuju kematian. ditimbulkan akibat buah pikir, bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukanlah sudah berada ditubuh? Sungguh bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan.
Pada bagian ini Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang hakikat hidup, hidup yang penuh cobaan dan masalah semua itu harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena segala yang muncul di muka bumi karena Allah.
Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian, sumber keselamatan, meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Kemampuan untuk melihat wajah-Nya, kemampuan untuk menghadap dihadirat-Nya, sehingga sang jiwa menjadi madeg dan mantep dalam mengarungi kehidupan ini.
Manusia harus menghadap realita mutlak (kebenaran sejati) yang berada dalam diri manusia sendiri, sehingga di dalam Suluk Linglung dinamakan “tunggal lawan sang hyang widi”, hamba menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebut dalam Pupuh Kinanthi bait 53;
” Thaukid hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang widi, tunggal sira lawan Allah, uga donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki”.
Artinya; “Thaukid hidayat yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan yang terpilih. Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu”.
Ajaran makrifat yang di ajarkan oleh sunan kalijaga tidak hanya melibatkan dunia dalam microkosmos tetapi juga memandang dunia secara macrokosmos (misalnya alam semesta, kenyataan sosial, dll), agar manusia jangan sampai melupakan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya baik di dunia dan di akhirat.
Bagi sufi mencapai makrifat, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan akhirnya dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.
Selama dia belum menghancurkan dirinya, yaitu dia masih sadar akan dirinya dia tidak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disebut fana (hilang, hancur). Fana yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri, yaitu hancurnya peranan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.
Jika seseorang telah mencapai, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya fana’ tak ubahnya dengan fana’ tentang kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk. Dengan hancurnya hal-hal buruk ini, maka yang tinggal ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
NABI KHIDIR / KHADIR
Al-Khidr (Khadr, Khadr) adalah nama yang diberikan kepada seorang nabi misterius dalam Surah Al-Kahf ayat 65-82. Selain kisah tentang Nabi Khadir yang mengajarkan tentang ilmu hikmah dan kebijaksanaan kepada Nabi Musa, asal usul dan kisah lainnya tentang Nabi Khadir tidak banyak disebutkan.
Dalam bukunya yang berjudul Mystical Dimensions of Islam, oleh penulis Annemarie Schimmel, Khadir dianggap sebagai salah satu nabi dari empat nabi dalam kisah Islam dikenal sebagai Sosok yang tetap Hidup atau Abadi. Tiga lainnya adalah Idris, Ilyas, dan Isa. Khadir abadi karena ia dianggap telah meminum air kehidupan, dikatakan bahwa Khadir telah berusia lebih dari enam ribu tahun. Ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Khadir adalah masih sama dengan seseorang yang bernama Elia. Ia juga diidentifikasikan sebagai St. George. Di antara pendapat awal para cendikiawan Barat, Rodwell menyatakan bahwa Karakter Khadir dibentuk dari Yitro.
Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama dan julukan yang telah disandang oleh Khadir. Beberapa orang mengatakan Khadir adalah gelarnya; yang lainnya menganggapnya sebagai nama julukan. Khadir telah disamakan dengan St. George, dikenal sebagai Elia versi Muslim dan juga dihubungkan dengan Pengembara abadi. Para cendikiawan telah menganggapnya dan mengkarakterkan sosoknya sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain.
Al-Khadir secara harfiah berarti 'Seseorang yang Hijau' melambangkan kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan berlarut langsung dari sumber kehidupan. Dalam situs Encyclopædia Britannica, dikatakan bahwa Khadir memiliki telah diberikan sebuah nama, yang paling terkenal adalah Balyā bin Malkān.
Menurut Ibnu Abbas, Khadir adalah seorang anak cucu Nabi Adam yang taat beribadah kepada Allah dan ditangguhkan ajalnya. Ibunya berasal dari Romawi sedangkan bapaknya keturunan bangsa Parsi. Kemudian mufasir Mahmud al-Alusi menambahkan bahwa ia tidak membenarkan semua pendapat mengenai riwayat asal usul Nabi Khadir, tetapi An-Nawawi mengatakan bahwa ia adalah seorang putra raja.
Al-Khadir (kanan) dan Dzu al-Qarnayn, takjub dengan penglihatannya terhadap seekor ikan air asin yang kembali hidup ketika ditaruh ke dalam Air Kehidupan.
TEGURAN ALLAH KEPADA MUSA
Kisah Musa dan Khadir dituturkan oleh Al-Qur'an dalam Surah Al-Kahf ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab menceritakan bahawa dia mendengar Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu dia ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”
Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.” Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk menemui hamba yang shalih itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.
Musa kemudiannya menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin Nun.
Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.
Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya' tertidur dan ketika terjaga, dia lupa untuk menceritakannya kepada Musa Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya dan pada keesokan paginya,
“Nabi Musa berkata kepada Yusya` “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62)”
Ibn `Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa,
Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk kedalam laut itu dengan cara yang amat aneh. (Surah Al-Kahfi : 63).
Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan.
“Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64)”
Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Khadir. Ada yang mengatakan bahawa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.
PERSYARATAN BELAJAR
Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Khadir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu” Jawab Musa, “Aku adalah Musa.” Khadir bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”
Khadir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi: 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”
“Nabi Musa berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69)”“Dia (Khadir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)”
PERJALANAN KHADIR DAN MUSA
Demikianlah seterusnya Musa mengikuti Khadir dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji bahwa baginda tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil oleh Nabi Khadir. Setiap tindakan Nabi Khadir itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa terperanjat.
Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khadir menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khadir. Nabi Khadir memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena kalancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khadir.
Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khadir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Nabi Khadir tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khadir. Nabi Khadir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan dia diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Khadir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khadir.
Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu wilayah perumahan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan oleh penduduk, Nabi Khadir malah menyuruh Nabi Musa untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khadir ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka. Akhirnya Nabi Khadir menegaskan pada Nabi Musa bahwa dia tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khadir.
Selanjutnya Nabi Khadir menjelaskan mengapa dia melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khadir menghancurkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.
Kejadian yang kedua, Nabi Khadir menjelaskan bahwa dia membunuh seorang anak karena kedua orang tuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.
Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khadir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan oleh orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Dipercaya tempat tersebut berada di negeri Antakya, Turki.
Akhirnya Nabi Musa sadar hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khadir. Akhirya mengerti pula Nabi Musa dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan oleh Allah dengan seorang hamba Allah yang shalih yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari yaitu ilmu ladunni. Ilmu ini diberikan oleh Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Nabi Khadir yang bertindak sebagai seorang guru banyak memberikan nasihat dan menyampaikan ilmu seperti yang diminta oleh Nabi Musa, dan Nabi Musa menerima nasihat tersebut dengan penuh rasa gembira.
Saat mereka di dalam perahu yang ditumpangi, datanglah seekor burung lalu hinggap di ujung perahu itu. Burung itu meneguk air dengan paruhnya, lalu Nabi Khadir berkata, “Ilmuku dan ilmumu tidak berbanding dengan ilmu Allah, Ilmu Allah tidak akan pernah berkurang seperti air laut ini karena diteguk sedikit airnya oleh burung ini.”
Sebelum berpisah, Khadir berpesan kepada Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan, berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan, wahai Ibnu `Imran.”
SULUK LINGLUNG KARYA SUNAN KALIJAGA
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang lain itu sebagai “kaca benggala”. Nah, kini kita belajar pada pengalaman dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya dihadang Nabi Khidir.
Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau Jawa akan kembali kafir. Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan wejangannya:
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki.
Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.
Adapun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya.
Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami.
Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku.
Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya ALLOH ana nireki.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu.
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi.
Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup.
Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (Sunan Kalijogo) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.
Mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut “mati sajroning ngahurip” dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
TAREKAT SULUK LINGLUNG
Secara etimologi suluk berarti mistis, atau jalan menuju kesempurnaan batin. Dalam perspektif lain, suluk diartikan sebagai khalwat, pengasingan diri dan ilmu-ilmu tentang tasawuf atau mistis. Dalam sastra Jawa, suluk berarti ajaran, falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, sedangkan dalam seni pendalangan suluk dapat diartikan sebagai nyanyian dalang untuk menimbulkan suasana tertentu.
Dalam komunitas tarekat, suluk diartikan sebagai perjalanan untuk membawa seseorang agar dekat dengan Tuhan sedangkan orang yang melakukan perjalanan tarekat dinamakan salik. Dalam tarekat pengertian suluk cenderung bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk mencapai kehidupan rohani.
Linglung merupakan struktur bahasa Jawa yang artinya bingung. Bingung di sini, diartikan ketidakpastian, atau dapat diartikan sebagai kumpulan dari cerita, aplikasi ritual tasawuf Sunan Kalijaga ketika ia mengalami kebingungan dalam mencapai hakekat kehidupan.
Suluk dalam Jawa adalah ajaran filsafat untuk mencari hubungan dan persatuan manusia dengan Tuhan, suluk merupakan salah satu bentuk ajaran yang termanifestasikan dalam sebuah kitab atau karya. Suluk Linglung Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari sekian ajaran filasafat yang digubah oleh Iman Anom.
Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan Kalijaga yang sampai saat ini masih jarang ditemukan diliteratur Jawa. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab kuno warisan dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng. Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, yang keduanya adalah anak cucu Sunan Kalijaga yang ke-13 dan 14.
Kitab kuno yang diberi nama Suluk Linglung ini memuat tentang pengobatan dengan menggunakan berbagai ramuan tradisional, azimah yang berbentuk rajah huruf arab serta memakai isim, berbagai macam doa. Disamping itu suluk merupakan sebuah goresan dalam bentuk bibliografi dari proses kehidupan batin seseorang atau tokoh.
Buku kuno ini menggunakan simbol-simbol prasastri penulisan ngrasa sirna sarira aji yang berarti bermakna 1806 caka bertepatan dengan tahun 1884 Masehi. Buku kuno ini ditulis diatas kertas yang dibuat dari serat kulit hewan yang merupakan transliterasi dari kitab Duryat yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Sunan Kalijaga.
Dalam kehidupan tasawuf, seorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya. Dimana tahap paling dasar adalah syari'at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran jasmani. Dalam syari'at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan untuk membawa seseorang ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.
Begitu juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga di dalam kitab Suluk Linglung, ia sangat menekankan pentingnya menjalankan syari'at Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat dan menjalankan ibadah haji. Agar dapat menjalankan ajaran Islam yang sempurna dan sungguh-sungguh (kaffah), baginya harus melalui berbagai tirakat dan perenungan diri yang sungguh-sungguh pula.
KISAH NABI KHIDIR DALAM SASTRA SULUK
Cerita Nabi Khidir di dalam sastra Jawa, khususnya sastra suluk. Kajian ini bertujuan ingin mengetahui kreatifitas pengarang sastra suluk dalam meresepsi dan mentransformasikan kisah Nabi Khidir di dalam sastra Jawa (suluk). Teori yang digunakan adalah teori resepsi dan transformasi. Dalam teori resepsi dijelaskan bahwa setiap pembaca mempunyai resepsi sendiri-sendiri terhadap karya yang dibacanya. Dalam hal ini pengarang meresepsi kisah Nabi Khidir dalam Alquran (melalui kitab Qishasul Anbiya Kisah para Nabi) lalu menulis kembali (mentransformasikan) ke dalam Serat Suluk Walisana. Hasilnya adalah bahwa tokoh Nabi Musa (dalam Alquran) diganti dengan tokoh Syekh Malaya (dalam sastra suluk), inti ajaran ilmu laduni yang dimiliki oleh Nabi Khidir ditransformasikan dalam inti ajaran kejawen manunggaling kawula Gusti. Kepopuleran Nabi Khidir di Jawa dimanfaatkan untuk melegitimasi inti ajaran manunggaling kawula-Gusti dalam sastra suluk. Oleh karena itu, dalam suluk, ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Nabi Khidir terhadap Syekh Malaya seluruhnya dapat diterima dengan sempurna.
RAHASIA NABI KHIDIR DALAM SULUK LINGLUNG SUNAN KALIJAGA
Suluk Linglung merupakan karya yang mengisahkan perjalanan rohani Sunan Kalijaga dan pengetahuan-pengetahuan rohani Kanjeng Sunan. Dalam pembukaan terjemahan disebutkan bahwa Suluk Linglung ini diadaptasi dari Kitab Duryat yang masyhur, peninggalan keluarga Sunan Kalijaga. Kitab Duryat itu disimpan, menurut keterangan pembukaan, oleh Ray Supartini Mursidi, salah satu keturunan Sunan Kalijaga. Isinya tentang pengobatan dan penggunaan berbagai ramuan, azimat dan rajah berbahasa Arab, dan berbagai doa dalam bahasa Jawa dan Arab.
Menurut keterangan di pembukaan Suluk Linglung, pada bagian terakhir Kitab Duryat mengisahkan Sunan Kalijaga dengan tembang macapat dan kemudian ditransliterasi ke dalam tulisan latin sekaligus diterjemahkan dengan judul Suluk Linglung Sunan Kalijaga.
Suluk ini ditulis dengan merujuk pada sengakalan “Ngerasa Sirna Sarira Ji”, yang diberi keterangan berdasarkan paragraf pembuka di SL ini, yaitu sekitar tahun 1806 Saka (1884 M). Oleh tim penerjemah diberi identitas: Karangan Iman Anom; adalah pujangga dari Surakarta yang merupakan keturunan Sunan kalijaga; tahun 1980 Caka/1884 M.
Suluk Linglung terdiri dari beberapa pupuh, dan di antara bagian di pupuh itu menceritakan Syeh Malaya atau Sunan Kalijaga yang bertemu dengan Nabi Khidir. Mereka yang membaca kisah ini, perlu memaklumi bahwa di kalangan para ulama dan para ahli tarekat, kepercayaan bahwa Nabi Khidir masih hidup, adalah kepercayaan mayoritas di kalangan para ulama, seperti dikatakan Imam an-Nawawi, Syaikh Mahfudz at-Termasi, dan selainnya, di mana tulisan tentang itu pernah saya tulis di tulisan sebelum ini.
Pada bagian “Durma”, yaitu Pupuh ke-3 dari SL, kisah pertemuan Nabi Khidir dan Sunan Kalijaga dibicarakan; sedangkan pada pupuh ke-4 dibeberkan pengetahuan-pengetahuan dalam pertemuan itu. Di sini akan saya kutip dari pupuh ke-3 dari SL berdasarkan terjemahan yang disebutkan di atas tentang pertemuan itu:
“Sunan Bonang segera menerobos, ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan, yang sedang laku kijang, yang tengah berlari segera dilempar, dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syeh Melaya agak lambat larinya, lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syeh Melaya, kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, ingat dan sadar kemudian berbakti pada Sunan Bonang.
Dia berlutut mencium kaki Sunan Bonang, berkatalah sang guru Sunan Bonang: “Anakku, ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapatkan kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci /ikhlas.”
“Ambilah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air suci, serta sekaligus mengharap berkah syafa`at, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia.” Syeh Melaya berbakti, mencium kaki, mohon diri dan segera menuju tujuan.
Sunan Bonang sudah lebih dulu melangkah kaki, menuju desa Benang yang sepi, dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeh Melaya, yang berkehendak naik haji, menuju Mekah, dia menempuh jalan pintas.
Menerobos hutan, naik gunung turun jurang, tebing-tebing didakinya, sampai tepi pantai, hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya.
Terhalang oleh samudera yang luas, sejauh mata memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama sekali memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh, di tepi samudera. Syahdan tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Pajuningrat, mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung (Syeh Melaya).
Sang Pajuningrat tahu segala perjalanan yang dialami, oleh Syeh Melaya dengan sejuta keprihatinan, karena ingin meraih hidayat; berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayat, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang Haqq.
Syeh Melaya sudah terjun, merenangi lautan luas, tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri, semakin lama Syeh Melaya, sudah hampir di tengah samudera, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudera.
Ternyata setelah Sunan Kalijaga, ada di tengah samudera, penglihatannya melihat seseorang, yang sedang berjalan tenang diatas air, yang berjuluk Nabi Khidir, yang tidak diketahui dari mana datangnya, bertanya dengan lemah lembut.
“Syeh Melaya apa tujuanmu? Mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Padahal disini tidak ada apa-apa? Tidak ada yang dapat dibuktikan, apalagi untuk dimakan, juga untuk berpakaian pun tak ada.”
“Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan, senangkah kamu dengan melihat ini semua?” Kanjeng Sunan Kalijaga, heran mengetahui penjelasan itu.
Nabi Khidir berkata lagi kepada Sunan Kalijaga: “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini, di tempat ini, segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya.”
“Mengandalkan pikiranmu saja masih belum apa-apa, padahal kamu tidak takut mati, kutegaskan sekali lagi, disini tidak mungkin kau dapatkan yang kau maksudkan.” Syeh Melaya bingung hatinya tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh selanjutnya.
Semakin pelan ucapan Syeh Melaya, terserah bagaimana baiknya sang guru Nabi Khidir menebak: “Apakah kamu juga, sangat mengharapkan hidayatullah?” Akhirnya Nabi Khidir menjelaskan: “Ikutilah petunjukku sekarang ini.”
“Menjalankan petunjuk gurumu, Sunan Bonang sang guru, memberi petunjuk padamu, menyuruh menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji, maka ketahuilah olehmu, sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan itu”.
“Jangan pergi kalau belum tahu yang kutuju, dan jangan makan juga, kalau belum tahu rasanya, rasanya yang dimakan, jangan berpakaian juga, kalau belum tahu juga kegunaan berpakaian”.
“Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia, sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah! Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang bodoh dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas diberi.”
“Biarpun kuningan tetap dianggap emas mulia, demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syeh Melaya ketika mendengar itu, spontan tertunduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan bahwa Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang terkandung di hatinya.
Dengan duduk bersila dia berkata: “Yang kami dengar akan kami laksanakan.” Syeh Melaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang jelas: “Siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian?” Sang Pajuningrat menjawab: “Sesungguhnya saya ini Nabi Khidir”.
Syeh Melaya berkata: “Saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku mohon petunjuk, adapun saya perlu dikasihani; Saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini.
Dapat dikatakan lebih bodoh dungu serta tercela di jagad, menjadi bahan tertawaan di muka bumi; Saya ibarat keris, tanpa kerangka keris, ibarat bacaan yang tanpa isi yang tersirat. Maka berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga.”
Selain Sunan Kalijaga, jejak Nabi Khidir di Nusantara juga terdapat dalam cerita tentang Sunan Gunung Jati dalam Babad Cerbon; juga kisah dari para ulama di Nusantara di kalangan muta’akhirin, seperti Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadhrotusy Syaikh Hasyim Asyari, KH. Muhammad Shiddiq Jember, Syaikh Abu Ibrahim Woyla Aceh, dan Gus Miek (dan tentu lebih banyak lagi yang tidak saya ketahui), berdasarkan ijazah wirid dan beberapa tulisan yang mengungkapkan itu.
TERJEMAH SULUK LINGLUNG
SUNAN Kalijaga berhasrat besar mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan Wali, ibaratnya kumbang ingin menghisap madu/sari kembang.
Mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Raden Mas Sahid putra kanjeg Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang cerdik dan pandai. Bahkan beliau sudah dapat merasakan mati di dalam hidup. Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun beliu belum puas dengan apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan ingin memperoleh petunjuk dari seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipegang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.
Tekadnya semakin membaja, menyebabkan beliau melakukan perjalanan hidup yang tidak mempedulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun beliau merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur, hanya puas makan dan tidur.
Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah tempat berserah diri.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Yang Terpilih, semoga dibukakan oleh Tuhan Pembuat Nyawa, agar istiqomah hatinya, selaras dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah. Sekian lama beliau berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliau mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin ?
Ling lang ling lung, akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buak dari laku ini, dirasanya masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam batingnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk keluarga sendiri atau darah daging sendiri!
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliau berusaha bertapa berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. Ling lang ling lung, menuruti kesenangan memperindah diri, selalu meminta upah.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid meminta upah dari laku bertapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil. Beliau akhirnya menyadari kebodohannya dan tersemyun sendiri. Mengapa sampai teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang! Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Yang Maha Karya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri di Desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah bertapa menunggu pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.
Ling lang ling lung, Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya. Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Gusti Allah Pencipta Nyawa yang sudah menjadi kemulian Tuhan Yang terpilih, timbul dari kasih Sayang Allah...(Mahabbatullah)....
RINDU KASIH SAYANG
Syekh Malaya berguru menuntut ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata, rasanya Cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak bertapa, oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.
Laku tapa yang kedua, disuruh ngaluwat yaitu ditanam di tengah hutan.
Setelah setahun kemudian dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian diperintahkan pindah, Tafakur (berzikir) di tepi sungai yg nantinya beralih menjadi nama sebutannya (Kalijaga = menjaga sungai) selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tafakur saja, Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Sanga atau Wali Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali.
Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demikian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan).
Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingin memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tak punya hak menentukan, karena kau ini juga yang menentukan Gusti Allah Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.Syekh Malaya berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sungguh hamba sangat berterima kasih, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba memohon pada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut iman hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Gusti Allah, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya.
Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang kukerjakan.
Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat bertapa kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.
Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Bapak Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”. Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalau kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia”.
Sudah habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang segera meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju. Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat itu, masuk kehutan belantara.
Raden Mas Sahid menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, segala gerak laku kijang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kijang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kijang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kijang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kijang, pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kijang.
Nyata sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kijang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat ke Mekah, dalam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku kijangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kijang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh Malaya berlaku seperti anak kijang, segera ia mendekati gerombolan kijang, barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.
Syekh Malaya yang kebetulan sedang berlaku meniru kijang tahu akan didekati gurunya. Beliau ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya juga manusia maka ia harus menghindari jangan sampai didekati manusia biarpun oleh gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing, ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompati.
Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kijang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak pernah lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal! Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”.
Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliau berusaha menciptakan nasi tiga kepal telah disiapkan, dan segera ia mundur siap melempar Kijang.
PUPUH DUMA
Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kijang, tengah berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudian berbakti pada Sunan Bonang.
Syekh Malaya berlutut hormat mencium kaki Sunan Bonang. Berkata sang guru Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang yang sepi.
Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeh Melaya yang berkehendak naik haji menuju Mekah, dia menempuh jalan pintas.
Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama sekali di tepi samudera memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.
Dalam cerita tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Pajuningrat, mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang haq.
Syekh Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudra.
Beliau kehabisan tenaga untuk merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berusaha mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan nyawanya.
Ternyata disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air.
Orang yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Nabi Khidir yang menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa! Tidak ada yang dapat dibuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu.
Sunan Kalijaga heran mengetahui penjelasan ini. Nabi Khidir berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungkin mendapat apa yang kau maksudkan.
Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Nabi Khidir , katanya "Terserah bagaimana baiknya menurut Guru”. Sang guru Nabi Khidir menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah?”.
Akhirnya Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”.
Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!”.
“Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian?
Sang Pajuningrat menjawab,
“sesungguhnya saya ini Nabi Khidir”.
Syekh Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”.
Maka berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga.
SANG NABI KHIDIR
Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung di dinding Ka’bah tanpa digantungkan.
Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenernya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”.
Nabi Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi, keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata halu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?.
Nabi Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Nabi Khidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Nabi Khidir, ini jalan di telingaku ini”.
Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Nabi Khidir. Sesampainya di dalam tubuh Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin jauh tampaknya. Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apa yang kamu lihat?”
Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”.
Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Nabi Khidir malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaringf matahari, tenang rasanya sebab melihat Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.
Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawab, “Ada warna empat macam yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”.
Berkata Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membimbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli.
Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira. Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia.
Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.
Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya mengahalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian”.
Nabi Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi.
Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati (bohong).
Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan.
Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan eret antara manusia dan Penciptanya”.
Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
Nabi Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”.
Syekh Malaya berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.
Sang Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirimu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia.
Didunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada dalam dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”.
Syekh Malaya mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”
Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang dapat menguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.
Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjdi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.
Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh badan.
Permana itu bila mati ikut menanggung, namun bila bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada.
Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.
Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?
”Nabi Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya menyela pembicaraan. “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai tuntas. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil...”.
SULUK LINGLUNG II
PUPUH KINANTHI
Nabi Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan sindiran, “Umpamanya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci.
Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati.
Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dengan johar awal. Adapun johar akhir ialah ;
Satu wujud dalam keadaan sehidup semati segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati.
Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu.
Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”.
Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati.
Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati!
Apa ada daranya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi.
Pengertian jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang disebut Angling.
Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar
Tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang arti sebenarnya luqkawi.
Alif jatuh / bertempat / berada pada nuqadnya. ketiadaannya keberadaannya menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?.
Setelah diajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi inti pembahasannya. Adapun wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu. Yang dinamakan Kalam Karsa.
Timbullah hasrat kehendak Allah untuk menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri!
Adapun sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng Nabi Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya.
"Kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.
Dan untuk memperjelas jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berbeda dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya.
"Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna); “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku…(Bagi pembaca maupun pendengar dianjurkan untuk berdo'a pada Allah. Insya Allah berhasil kabul apa yang dinginkan. Amin, amin, amin ya Rabbal 'alamin).
Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan.
Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipta karena sudah menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu.
Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar awal ibarat bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.
Dari keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah :
Disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan saat itu; Bukankah Kamu juga berdiri tegak, bersidakep menciptakan keheningan hati, bersidakep menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu?
Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. rahasia iman dapat kau resapi.
Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat wujud Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segalawujud gerak kita (pelajaran tentang ikhsan).
Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini.
Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.Dan janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah!
Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliau sering menjalankan puasa.
Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan shodaqoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat.
Matahari berbeda dengan bulan, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat (melihat dengan mata telanjang) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata.
Mari kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, aslinya dari Allah.
Sesungguhnya Allah itu, Allah yang hidup. Segala af'alnya (perbuatanya) adalah berasal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati.
Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairati (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairati (mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna).
Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu.
Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuqad ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik.
Dan serta badannya, akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Nabi Khidir berkata dengan tersenyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati.
Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka.
Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT.
Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah.
Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah.
Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa meserangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan.
Ruh Idhafi seudah ada sebelum tercipta.
Syirik itu dapat terjadi, tergantung saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning.
Keenamnya jauhar awal. Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga agra nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan.
Bermula dari ibarat ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak. Ruh serba pasrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi.
Jauhar awal itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu mengunakan air wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran.
Demikianlah tadi cara shalat Daim (shalat selamanya selagi masih hidup di mana saja dan kapan saja serta situasi bagaimanapun juga). Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih.
Adanya itu menujukkan adanya Allah, yang mustahil kalau tidak berwujud sebelumnya.
Kehidupan itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya. Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu. Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah.
Bukankah hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah; Dapat pula disebut utusan Allah. Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu.
Disebut iman maksum, kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati (orang yang sudah layak dijadikan suri tauladan segala tingkah lakunya). Bukankah demikian itu pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat.
Kelak nanti tidak boleh tidak, karena tidak mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan dipahami lebih seksama baru dikerjakan,
Allah itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip. Di antaranya bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran mendekatkan pada kufur kafir.
Fakir dekat dengan kafir. Sebabnya karena kafir itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka. Fakhir tidak akan mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud pendekatan ini,
Tidak menyembah dan memuji, karena kefakirannya. Seperti itulah kalau fakir terhadap Dzatullah.
Dan sesungguhnya Tuhan Allah, mematikan kefakiran manusia, kepastiannya ada di tangan Allah semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak ada stu makhluk pun yang mengetahui kecuali Allah sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman.
Ruh Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman tauhid. Meyakini adanya Allah juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu.
Ruh Idhafi ada di dalam dirimu. Makrifat itu sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat.
Ruh Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup.
Akuilah sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu, terjadi karena Allah itu hidup dan menghidupi dirimu, dan menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif (huruf alif) harus dimintakan penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi pengetahuan tentang kafir dan syirik!
Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang menjalankan shalat itu berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Tuhan Allah. Sebagai sarana pengabdian hamba kepada Tuhan Allah. Yang menjalankan shalat sesungguhnya raga. Raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang menjalankannya.
Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas hambanya. Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin.
Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi. Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri utusan Allah (Rasulullah).
Syarat jisim lathif (jasad halus) itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Cahayanya berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat adanya sifat jamal (sifat keindahan).
Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Jelasnya, semua yang tercipta akan mati. Setelah semuanya menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi.
Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya, itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan kepada yang menitipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti sedia kala.
Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifat?
Titipan yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata karena menyesali sewaktu masih hidup.
Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur.
Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, saya merasa kehilangan.
Mati atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya?
Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratuspun dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersumber dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya.
Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada Allah sudah dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat Nabi Khidir. Syekh Malaya senang hatinya sehingga beliau belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu...
Pupuh Dhandhanggula
SUNAN KALIJAGA MENERIMA WEJANGAN DARI NABI KHIDIR
..."Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita. Tiada selera makan dan tidur. Tidak merasa ngantuk dan lapar. Tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat. Nabi Khidir memperingatkan, “yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian”!
Nabi Khidir semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata Nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah! Terhadap hambatan upaya! Jangan sampai kau kembali! Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah.
Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, kalau tanpa seizin-Nya! Sekiranya ada yang akan mempersoalkan, memperbincangkan masalah ini! Jangan sampai terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan peduli terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar!
Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh, bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan!
Kemudian tidak pernah memberitahukan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah ada padamu? Cara mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adapun telinganya, matanya yang diberikan oleh Allah. Ada padamu itu.
Secara lahir sukma atu ada padamu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar, pasti ada asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pun dengan Hyang Sukma.
Sekiranya kita mengetahui wajah hamba Tuhan. Dan sukma yang kita kehendaki ada. Diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena dalanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagad. Bentuk wayang adalah sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan.
Yang berhak menentukan semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya. Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias.
Yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama manusia sesungguhnya. Berbentuk di dalam kaca.
Lebih besar lagi pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih lembut seperti lembutnya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini? Artinya lembut ialah karena kecilnya. Sekecil kuman. Bukankah lebih lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari, karena menentukan segalanya. Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya.
Dapat mengenai yang kasar dan yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya. Badan atau dirimu doronglah dalam meraihnya. Pahamilah liku-liku ulah tingkah kehidupan manusia!
Ajaran itu sebagai ibarat benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila kau bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma dan rasa.
Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada yang Empunya suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatasnamai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau "Angraga Sukma." Yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah menurut pendapatmu!
Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah tercakup/kuasai olehmu. Jagad seisinya justru benar-benar untukmu.
Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah.
Masalah itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan baik, berguna dimana saja!
Artinya mati di dalam hidup. Atau sama dengan hidup di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma muksa. Jelasnya mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu.
Seperti bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turunnya wahyu menghilangkan kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”.
Kemudian Nabi Khidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”.
Habislah sudah wejangan Nabi Khidir. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Umpama bunga yang masih lama kuncup, sekarang sudah mekar berkembang.
Ditambah bau semerbak mewangi. Karena sudah mendapatkan sang Pancaretna, kemudian Sunan Kalijaga disuruh keluar dari raganya Nabi Khidir kembali ke alamnya semula”.
Lalu Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap.
Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Berarti kau sudah mengetahui jawaban atas pertanyaanmu! Artinya godaan hati ialah rasa qona'ah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus.
Diresapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekertimu atau akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati.
Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai sarungmu.
Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.
Tampak oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai hambatan yang menghadang agar gagal usaha atauu ikhtiar atau cita-citanya.
Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya.
Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam. Bukankah aku banyak sekali melekat atau mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran. Dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak tahunya malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam penerapannya.
Ada pemuka agama yang ibaratnya menjadi burung. Ia hanya sekedar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru. Ada orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat.
Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa.
Menumpuk kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat dan martabat.
Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat, tanpa menghasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti mengalami kegagalan total.
Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan. Apa kebiasaan ketika hidup didunia. Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia tak tersangkal lagi. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya mencari kemuliaan. Tidak boleh lagi merasa terlekat kepada anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajalnya.
Bila salah menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau matinya binatang mudah penyelesaiannya. Karena matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair.
Tidak mempedulikan pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya.
Ingatlah pada agamawan selalu mencari penyelesaian yang benar. Yaitu bagaimana hilang dan mati bersama raganya ialah diidamkannya. Sehingga mempertinggi semedinya, untuk mengejar keberhasilan.
Tapi sayang tanpa petunjuk Allah, apalagi hanya semedi semata. Tidak disertai dukungan ilmu.Akibatnya hasilnya kosong melompong. Karena hanya mengandalkan pikirnya. Ini berarti belum mendapat tata cara hidup yang benar hakiki yang seperti ini adalah idaman yang sia-sia.
Bertapanya sampai kurus kering, karena sedemikian rupa caranya menggapai kematian. Akhirnya meninggalnya tanpa ketentuan yang benar. Karena terlalu serius.adapun cara yang benar adalah tapa itu hanya sebagai ragi atau pemantap pendapat. Sedangkan ilmu itu sebagai pendukung. Tapa tanpa ilmu tidak akan berhasil. Bila ilmu tanpa tapa,
Rasanya hambar tidak akan memberi hasil. Berhasil atau tidaknya tergantung pada penerapannya. Dicegah hambatannya yang besar, sabar dan tawakal. Bukankah banyak agamawan palsu. Ajarannya setengah-setengah. Kepada sahabatnya merasa pintar sendiri. Yang tersimpan dihati, segera dilontarkan segala uneg-unegnya.
DISAMPAIKAN KEPADA GURUNYA
Penyampaiannya hanya berdasarkan perkiraan belaka.
Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sangking tobatnya tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan. Dengan menamakan rohaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar. Pendapatnya atau ilmunya adalah wahyunya itu anugerah yang khusus diberikan pribadi. Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak.
Ditekan-tekankan tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang atau menyampaikan ajaran, duduk merasa sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat batin. Luansnya tanggapan bahwa segalanya merupakan merupakan wahyu Allah. Kebaikannya, keduanya antara guru dan sahabat saling memahami. Kalau seorang diantara mereka dianggap sebagai orang yang berilmu.
Harus ditaati segala apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga harus disembah biasanya bertempat di pucuk-pucuk gunung.
Pengaruh ajarannya sangat mengundang perhatian menemui perguruannya. Bila ada yang berguru atau menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang dipukul. Bukankah ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau berbobot. Akibatnya rugilah mereka yang berguru?
Janganlah seperti itu orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan ditempatnya. Terangnya blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama, layar ibarat alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu-nunggu buah pikir atau kreasi manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia.
Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap.
Penanggapnya ada di dalam rumah, istana. Tidak diganggu oleh siapapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana dalangnya. Wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara ke selatan dan barat serta timur. Seluruh gerakkannya. Digerakkan oleh sutradara. Bila semuanya digerakkan berjalan. Semua ada di tangan dalang.
Dialognya menyampaikan pesan juga. Bila bercakap lisannya itu menyampaikan berbagai nasihat, menurut kehendaknya. Penonton dibuat terpesona, diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada di dalam puri atau rumah atau istana. Ia tanpa warna itulah dia Hyang Sukma.
Cara Hyang Permana mendalang, mempercakapkan tanpa dirimu. Tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlibat sebagai pelaku? Misalnya berada dalam tubuhmu? Atau ibarat minyak di dalam susu? Atau api dalam kayu?.
Berhasrat sekali karena belum diberi petunjuk sehingga menggelar doa di kayu, dakon dan gesekan. Dengan beralatkan sesama batang pohon. Gesekan itu disebabkan oleh angin. Hangusnya kayu, keluarlah kukusnya.
Tak lama kemudian apinya. Api dan asapnya keluar dari kayu itu. Bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahasia atau rahsa?
Manusia itu tidak paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, tapi berisi segala macam titah. Hanya saja manusia itu. Penguasanya satu. Yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna.
Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi! Kembalilah kau ke pulau Jawa! Bukankah sebenarnya kau mencari dirimu juga?.
Syekh Malaya bergegas. Bersembah dan berkata dengan berbelas kasih untuk memenuhinya, yang disebut Kalingga Murda,”Hamba setia dan taat”. Nabi Khidir lalu musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera. Tapi tidak tersentuh air.
Syekh Malaya sangat berjanji dalam hati atas peringatan atau ajaran sang guru yang sempurna. Bukankah ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki atau mengetahui ilmu kawekas. Isinya jagad telah terkuasai dalam hati, merasa mantap dan disimpan dalam ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru lagi. Diresapi dalam jiwa dan dijunjung sampai mati. Ia telah lulus dari sumber aroma kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap.
Sesudah itu Syekh Malaya pulang. Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas dalam hati. Ia tidak salah lagi melihat dirinya siapa sebenarnya. Penjelmaan jiwanya menyatu dalam satu wujud. Walau secara lahiriah dirahasiakan. Norma atau perilaku tatacara jiwa kesatria, berhasil dikuasai. Bukankah ia sudah menggunakan mata batinnya yang tajam atau peka? Ibarat hewan dengan bebannya!
Sudah tak ada atau terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah bagaimana ia menerima ajaran gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh ajaran gurunya sudah tamat dan di kuasai dengan tersimpan dalam hati, serta diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan, pikiran dan rasa bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai anugrah Tuhan.
Sesungguhnya sang guru benar-benar sudah hilang raganya, sudah tidak ada. Akan tetapi selalu terbayang dalam hatinya. Dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap.
Rasanya tenanglah dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami sepaham-pahamnya.
Bukankah sudah memahami buah pikir lewat petunjuk?
Sehingga tidak takut akan kematian yang sering timbul dalam buah pikiran?
Ia sudah mengharapkan bahwa raganya akan ikhlas kalau kematian yang mulia. Yang diridhai oleh Tuhan atau Sang Hyang Widi. Namun sebenarnya tidak ada anggapan perasaan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya pandang atau wawasan seperti itu. Bukankah sudah lenyap selamanya. Tinggal jiwa suci yang terpuji mulia? Mulia seperti zaman dahulu atau awalnya.
Tidak meragukan kematian yang sebenarnya. Yang menjemput maut setiap saat. Tidak merasakan akan kematiannya. Toh yang rusak itu nafsu dan badan, jiwa hidup abadi dan aman sejahtera. Senang, mulia dan merdeka, semuanya itu sudah diterapkan dalam hati. Sehingga berpegang pada kuasa-Nya. Semuanya bersih, abadi suci dan merata sama posisinya. Sudah mengetahui akan makna kematian yang sebenarnya.
Ia tidak merasa takut kapanpun maut menjemput. Yang sempurna ialah yang diterima oleh Tuhan. Tak akan tampak wujudnya. Adapun kesempurnaan mati itu.
Sekali lagi ialah sudah aman, sejahtera, mulia, itulah makna yang sempurna. Yaitu tidak meninggalkan hak-Nya. Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya alam ini sudah jelas? Kini yang lain ibarat kau sajalah!
Penguasa alam bukankah sudah kita ketahui? Yang bernama Abirawa yang artinya berkuasa dan berkehendak. Adapun alam yang keenam artinya ialah yang telah lenyap : timur, barat, utara, selatan, atas, bawah serta kayu dan batu dan diri sendiri. Bila kita telah mati yang ada hanya kosong dan sepi. Yang terdengar hanya deru angin, debur air dan kobaran api di alam dahana.
Matahari, bulan, bukankah termasuk alam juga? Dua puluh tiga alam yang serba nafsu itu, semuanya baru hadis belaka. Walaupun bukankah sama dahulunya? Syekh Malaya sudah memahami hal itu semua? Kalau itu semua adalah alam serba nafsu. Dan alam yang sebenar-benarnya sudah jelas yaitu penguasa alam semua. Sedang penyelarasnya hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum dan mewangi.
Tapi bukan pribadi majazi. Yang hakiki yang menyelaraskan alam. Menjadi terang dan mulia semua. Dan alam berarti itu ialah tempat jiwa suci, terang, bersih. Itulah alam malakut. Artinya ialah sudah tiba menjelang alam kemuliaan. Ibarat ruangan, sekat sebagai pemisah. Adapun alam anbiyak ialah.
Alam mulia yang masih akan digapai. Sifat hidup itulah kehidupannya. Banyak yang belum tahu akan kenyataannya. Tentang mana mirah mana intan. Sudah jelas nilai dari Kumala Adi. Yaitu sebagus-bagusnya warna dari intan itu sendiri. Lenyapnya bukankah sama dengan lainnya? Yaitu sudah menyatu dengan sebenar-benarnya kematian lainnya. Itulah alam anbiya.
NABI KHIDIR DAN IMAJINASI ORANG DJAWA
Untuk memahami pengetahuan dan imajinasi orang Jawa terkait datangnya Nabi Khidr, maka bisa ditelisik dalam Kosmologi Jawa. Banyak masyarakat percaya bahwa Nabi Khidr datang dengan menjelma sesuka yang Nabi Khidr inginkan.
Namun, tidak banyak yang tahu, bahwa kedatangan Nabi Khidrbisa dirasakan melalui kondisi alam. Dalam kosmologi filsafat Jawa Nabi Khidr berasal dari kata khidr atau al-khadra, yang artinya hijau. Pada karya Lorong-lorong Istana Presiden dijelaskan tentang Mitos orang Jawa warna hijau konon berhubungan dengan Nabi Khidr. Ternyata pernyataan tersebut sesuai dengan hadis riwayat Imam al-Bukhari dalam kitabShahih-nya (j. 9 h. 156),
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدٍ ابْنُ الأَصْبِهَانِيِّ، أَخْبَرَنَا ابْنُ المُبَارَكِ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِنَّمَا سُمِّيَ الخَضِرَ أَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاءَ، فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ مِنْ خَلْفِهِ خَضْرَاء»
Beliau dinamai Khidr karena beliau duduk diatas tanah putih, tiba tiba berguncang dibelakang beliau berwarna hijau. (H.R Bukhori)
Nama asli Khidr di kalangan ahli sejarah dan ulama memang ada perbedaan pendapat, salah satunya pendapag Kamaluddin ad-Damiri (w. 808 H.) pada kitab Hayat al-Hayawanal-Kubro (j. 1 h. 271), yang mengatakan,
إن اسم الخضر مضطرب فيه اضطرابا متباينا والأصح -كما نقله أهل السير وثبت عن النبى صلى الله عليه وسلم كما نقله البغوى وغيره -أن اسمه “بليا”، وأن أباه يسمى “ملكان”، وكان من بنى إسرائيل ومن أبناء الملوك ، وفر من الملك وانصرف إلى العبادة
Nama Khidr diperselisihkan. Dan yang benar, sebagaimana yang dinukil ahli sirah, dan berdasarkan hadis nabi shallallahu ‘alaihiwasallam sebagaimana yang dinukil oleh al-Baghawi dan yang lainnya, bahwa nama beliau adalah Balyan. Dan ayahnya bernama Malkan. Termasuk keturunan bani Israil dan keturunan raja-raja. Beliau lari dari kerajaan dan menghabiskan waktunya untuk ibadah.
Namun, kali ini kami hanya akan membahas Nabi Khidr atas dasar pandangan kosmologi dan imaji masyarakat Jawa. Alasan penggunaan perspektif kosmologi Jawa adalah agar dapat memahami bagaimana resepsi masyarakat Jawa terkait datangnya Nabi Khidr yang hanya menjumpai manusia yang memiliki kesucian seperti halnya wali atau seseorang yang diberi karomah oleh Allah.
Konsep kosmologi dalam pemahaman orang Jawa dimaknai sebagai kepercayaan tentang alam (cosmos). Ronald mengatakan ada empat unsur yang digunakan dalam memahami kosmologi Jawa, yaitu kepercayaan, mitos, norma-norma, dan pandangan hidup. Dari semua unsur-unsur tersebut berkaitan dengan filsafat Jawa sebagai tanda-tanda yang melekat dalam masyarakat Jawa. Tanda-tanda tersebut berupa, makna, simbol-simbol dan kepercayaan tentang supranatural.
Al-Khidir memiliki makna harfiah yang berarti seseorang yang hijau, maksudnya seseorang yang mempunyai kesegaran akan pengetahuan atau memiliki kesucian jiwa. Salah satu kisah yang saya akan kutip dalam menjelaskan tema ini iadalah kisah Habib Soleh Jember.
Habib Sholeh mendapatkan amalan sholawat yang mansub (disandarkan) olehnya kepada Nabi Khidr. Habib Sholeh merupakan seorang wali Allah yang sempat tinggal di Jember Jawa Timur, dan dimakamkan di daerah Tanggul, di kota yang sama. Habib Sholeh dipercaya memiliki karomah yaitu sholawat Mansub.Masyarakat Jember percaya, jika Sholawat Mansub dipraktikkan amalannya, maka hajat mereka akan dimudahkan oleh Allah SWT.
Saat itu Habib Sholeh bertemu Nabi Khidr ketika berada di Stasiun Jember. Nabi Khidr menjelma menjadi seorang pengemis yang meminta uang kepada Habib Sholeh. Namun Habib Sholeh hanya memiliki uang 10 rupiah dan tidak memberikan uang tersebut pada pengemis. Pengemis lantas pergi dan balik lagi meminta uang pada Habib Sholeh hingga Habib Sholeh curiga dan menjabat tangan pengemis tersebut. Ternyata jempol tangan pengemis tidak bertulang, sontan Habib Sholeh menyadari, bahwa jelmaan pengemis tersebut ialah Nabi Khidr.
Selain ditandai kosmologi, ada tanda lain yaitu berada di ciri fisik Nabi Khidr yaitu Nabi Khidr tidak mempunyai tulang jempol. Selain tulang jempol, memang sulit mengetahui bahwa itu adalah Nabi Khidr, karena wajahnya yang sering berganti-ganti serta penampilannya tidak menunjukkan dari kalangan orang alim. Terkadang Nabi Khidr terlihat pakaiannya compang camping tidak karuan dan menjelma menjadi seorang pengemis. Begitu sebaliknya, terkadang Nabi Khidr juga berpenampilan layaknya preman, hingga orang-orang sekitar takut melihatnya dan akan beranggapan buruk tentang jelmaan Nabi Khidir tersebut.
Selain kisah Habib Sholeh, ada juga kisah Syekh Malaya atau yang lebih terkenal dengan nama Sunan Kalijaga. Ia bertemu dan berguru dengan Nabi Khidir saat perjalanan spiritual menuju Makkah untuk beribadah haji atas titah Sunan Bonang, setelah ia melakukan khalwat atau bertapa. Kehadiran Nabi Khidr ketika Syekh Malaya berada di tengah-tengah samudera saat menyebrang lautan dalam perjalanan ke Mekkah, di samudera itulah muncul sosok Nabi Khidir yang kemudian berdialog dengan Syekh Malaya yang memberikan pengajaran sufistik, seperti tauhid hidayah, iman hidayah, ma’rifat, Insan Kamil dan ruh idafi. Ajaran tersebut disampaikan melalui dialog antara Nabi Khidir dan Syekh Malaya. Keduanya memiliki ikatan mengenai penyucian jiwa untuk menuju Insan Kamil dan hakikat manusia sebagai perwujudan.
Dari kisah Syekh Malaya tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa seorang ulama atau wali yang mencapai tingkatan sufi tidak mustahil untuk bertemu Nabi Khidir, tidak hanya sekedar bertemu tapi memberikan sebuah amalan dan pengajaran. Begitu pula dari pertemuan Habib Sholeh dengan Nabi Khidir muncullah SholawatMansub yang dipercayai dan diamalkan akan mendatangkan kemudahan setelah kesulitan, menghilangkan segala penyakit dan mengabulkan segala hajat.
MISTERI JATI DIRI NABI KHIDIR
Misteri Jati diri Nabi Khidir, menurut Syekh Siti Jenar?
Di dalam buku “Suluk Abdul Jalil”, tulisan Agus Sunyoto, diceritakan tentang tafsir Syekh Siti Jenar, berkenaan dengan sosok Nabi Khidir.
Bermula ketika, Sri Mangana, yang merupakan ayah angkat Syekh Siti Jenar, berkisah tentang pertemuaannya dengan Nabi Khadir.
Sri Mangana, menuturkan ketika ia dalam kondisi antara tidur dan terjaga, dia merasa seolah-olah berjalan dengan seorang anak muda di sebuah tanah menjorok lurus.
Pada sisi kanan dan kiri tanah tersebut merupakan bentangan lautan luas tanpa tepi. Di tempat aneh itu dia merasa berjumpa dengan Khidir.
Syekh Siti Jenar mencoba menafsirkan kejadian yang dialami ayah angkatnya itu. Menurutnya “tanah menjorok dengan lautan di sebelah kanan dan kiri”, merupakan perlambang dari alam barzakh.
Dan makna kedua lautan adalah Lautan Makna (bahr al-ma’na), perlambang alam tidak kasatmata (‘alam al-ghaib), dan Lautan Jisim (bahr al-ajsam), perlambang alam kasatmata (‘alam asy-syahadat)” (Sumber : Suluk Abdul Jalil).
Kisah Nabi Khadir
Menurut Syekh Siti Jenar, peristiwa yang dialami Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an, bukanlah peristiwa sejarah seorang manusia bertemu manusia lain. Ia adalah peristiwa perjalanan ruhani yang berlangsung di dalam diri Nabi Musa sendiri.
Tempat di mana Nabi Musa berdiri di hadapan Khidir merupakan wilayah perbatasan antara alam kasatmata dan alam tidak kasatmata.
Sementara pemuda yang mendampingi Nabi Musa saat mencari Khidir, yang membawa bekal makanan, merupakan perlambang terbukanya pintu alam tidak kasatmata.
Hijab gaib yang menyelubungi manusia dari Kebenaran Sejati tidak akan bisa dibuka tanpa kehendak Dia, Sang Pembuka (al-Fattah).
Itu sebabnya, saat Nabi Musa bertemu dengan Khidir, pemuda yang mendampinginya itu, tidak disebut-sebut lagi karena ia sejatinya merupakan perlambang keterbukaan hijab gaib.
Dan makna bekal makanan yang dibawa sang pemuda adalah perlambang pahala perbuatan baik yang hanya berguna untuk bekal menuju ke Taman Surgawi (al-jannati).
Bagi pencari Kebenaran sejati, pahala perbuatan baik itu justru mempertebal gumpalan kabut penutup hati (ghairi).
Andaikata saat itu Nabi Musa memerintahkan si pemuda untuk mencari bekal yang lain, apalagi sampai memburu bekal ikan yang telah masuk ke dalam laut, niscaya Nabi Musa tidak akan bertemu Khidir. Nabi Musa dan si pemuda tentu akan masuk ke Lautan Jisim (alam kasatmata) kembali.
Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, sosok Nabi Khidir adalah mursyid sejati di dalam diri manusia itu sendiri. Masing-masing manusia akan mengalami pengalaman ruhani yang berbeda sesuai pemahamannya dalam menangkap kebenaran demi kebenaran (Sumber : Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar).
Nabi Musa bertemu dengan Khidir di alam tidak kasatmata, yaitu alam yang tidak jelas batas-batasnya. Alam yang tidak bisa dinalar karena segala kekuatan akal.
Manusia tidak bisa ber-ijtihad untuk menetapkan hukum yang berlaku di alam gaib. Itu sebabnya, Khidir melarang Nabi Musa bertanya sesuatu dengan akalnya dalam perjalanan tersebut.
Dan, apa yang disaksikan Nabi Musa terhadap perbuatan yang dilakukan Khidir benar-benar bertentangan dengan hukum dan akal sehat yang berlaku di dunia, seperti melubangi perahu tanpa alasan, membunuh seorang anak kecil tak bersalah, dan menegakkan tembok runtuh tanpa upah.
KISAH SUNAN KALIJAGA DIDATANGI NABI KHIDIR WAKTU PERGI HAJI
Sunan Kalijaga adalah salah satu penyebar agama Islam di Jawa Tengah dia adalah salah satu wali yang terkenal dalam pendekatan seni dan budaya dalam si'arkan agama Islam, sehingga banyak masyarakat jawa dulu yang tertarik masuk agama Islam.
Dikisahkan, suatu ketika Sunan Kalijaga berada di Malaka. Ia memiliki kehendak untuk menjalankan ibadah haji. Namun siapa sangka, seorang wali qutub, Maulana Maghribi, meminta Sunan Kalijaga untuk kembali ke Jawa. Tidak memperkenankannya untuk melanjutkan perjalanannya ke Makkah.
Larangan Maulana Maghribi terhadap Sunan Kalijaga tersebut bukan tanpa dasar. Maulana Maghribi beralasan, jika Sunan Kalijaga tetap pergi haji maka masyarakat Jawa akan keluar Islam atau kembali kafir karena pada saat itu kerajaan Demak masih dalam transisi. Runtuhnya kerajaan Majapahit menyebabkan kekacauan dan kerusuhan dimana-mana.
Lebih dari itu, Maulana Maghribi juga berkata kepada Sunan Kalijaga kalau Makkah (rumah Allah) yang asli itu ada di dalam diri sendiri. Sementara, baitullah (Ka’bah) yang ada di Makkah itu hanyalah ‘batu peninggalan Nabi Ibrahim.’ Dengan demikian, ibadah haji bukan hanya sekedar perjalanan fisik ke Makkah. Akan tetapi, ibadah haji adalah ibadah metafisik-spiritual.
Seseorang akan sampai di ‘Makkah sejati’ manakala mereka sanggup menjalani kematian dalam kehidupan (mati sajroning urip) dan bisa membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu. Demikian kisah dalam Suluk Wijil yang diceritakan buku Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat.
Versi lain dikisahkan bahwa yang melarang Sunan Kalijaga berhaji adalah Nabi Khidir. Ketika Sunan Kalijaga berada di tengah laut dalam sebuah perjalanan menuju ke Makkah, tiba-tiba Nabi Khidir menghentikannya. Segera saja Nabi Khidir memberikan nasehat kepada Sunan Kalijaga agar tidak usah melanjutkan perjalanannya ke Makkah jika tidak mengetahui apa yang akan dilaksanakannya selama tinggal di sana. Cerita ini terekam dalam Suluk Linglung.
Kisah Sunan Kalijaga di atas memberikan banyak pengajaran bagi kita. Salah satunya adalah lebih memprioritaskan problematika umat. Sunan Kalijaga dilarang berhaji karena pada saat itu iman masyarakat Jawa yang menjadi medan dakwah Sunan Kalijaga masih rapuh.
Adalah sesuatu yang tidak benar jika ada seseorang yang sering menunaikan ibadah haji dan umrah di Makkah sementara umatnya, tetangganya, dan saudaranya masih dalam keadaan yang memprihatinkan.
Bukankah ada banyak cerita yang mengisahkan bahwa seseorang mendapat status haji mabrur meski tidak menjalankan ibadah haji di Makkah. Ada hadits nabi yang juga menceritakan hal itu. Dikisahkan bahwa usai menunaikan haji para sahabat mendatangai Nabi Muhammad Saw. Mereka bertanya perihal siapa yang hajinya mabrur. Nabi Muhammad Saw. menjawab bahwa yang hajinya mabrur adalah si fulan.
Mendengar nama sahabat yang disebut Nabi Muhammad Saw. tersebut, para sahabat jadi terheran-heran. Mengapa? Karena si fulan yang disebut nabi tersebut tidak jadi menunaikan ibadah haji. Malah, si fulan menggunakan uang yang disiapkan untuk bekal haji itu untuk menolong tetangganya yang sedang sakit.
SUNAN KALIJAGA BERGURU KEPADA NABI KHIDIR
Bagian ini memuat sebuah prosa yang dikutip dari Suluk Linglung. Sebuah kitab klasik semacam kumpulan puisi yang berisi : dialog-pertemuan-dan wejangan Nabi Khidir kepada SunanKalijaga. Suluk ini aslinya berbahasa Jawa. menurut penelitiah : penulis isi dari suluk ini hampir sama dengan Serat Dewa Ruci yang sebelumnya disinyalir oleh para sejarawan sebagai pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir.
Karena berupa suluk apalagi berisikan wejangan mahaguru para wali. maka orang awam tidak bisa hanya sekali baca langsung : mengerti. Ajaran-ajaran syari'at- ma'rifat-hakikat tingkat tinggi mewarnai suluk ini.
PERTEMUAN SUNAN KALIJAGA DENGAN NABI KHDIR
Sete1ah menjalani latihan berat, berupa puasa dan riyadhah-riyadhah lainnya seperti dikubur hidup-hidup selama beberapa hari, Sunan Kalijaga menghadap gurunya yaitu Sunan Bonang. Berkata Sunan Bonang, "Muridku ketahuilah olehmu, jika kau ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, pergi ke Baitullah di Mekkah dengan hati tulus ikhlas.
Ambillah air zam-zam di Mekah. Itu adalah air yang suci dan sekaligus mengharap berkat syafaat Kanjeng Nabi Muhammad saw yang menjadi suri tauladan umat manusia.
Sunan Kalijaga tunduk patuh, setelah memberi hormat penuh takzim sebagaimana dilakukan seorang murid kepada gurunya maka ia mohon diri untuk mengerjakan apa yang dianjurkan gurunya yaitu pergi ke Tanah Suci Mengharap hidayah ilahi.
Konon Sunan Kalijaga menempuh jalan pintas, menerobos hutan, naik gunung turun jurang dan tanjakan, tetebingan didakinya memutar, tanpa terasa perjalannya tiba di tepi pantai. Hatinya bingung kesulitan menempuh jalan selanjutnya. Terhalang oleh samudra luas. Sejauh mata memandang yang nampak hanya air semata. Dia diam termenung lama sekali, memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.
Sementara itu, di tepi samudra syahdan seorang insan kamil yaitu Nabi Khidir as mengetahui seorang kedatangan Sunan Kalijaga yang tengah bingung. Nabi Khidir as mengetahui segala perjalanan yang dialami oleh Sunan Kalijaga dengan sejuta keprihatinan, karena ingin meraih hidayat. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayat, kecuali kalau mendapatkan anugerah atau rahmat tlari Allah Yang Mahabenar.
Sementara itu Sunan Kalijaga temyata sudah terjun merenangi lautan luas, tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri, semakin lama Sunan Kalijaga, sudah hampir di tengah samudera, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudera. Ternyata setelah Sunan Kalijaga, ada di tengah samudera, ia melihat seseorang, yang sedang berjalan tenang di atas air, siapa lagi orang yang mampu berjalan di atas air di tengah samudera, ia tak lain adalah mahaguru para wali yaitu Nabi Khidir as, yang tidak diketahui dari mana datangnya, sosok manusia suci yang penuh perbawa itu bertanya dengan lemah lembut :
"Hai Kalijaga apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Padahal di sini tidak ada apa-apa? Tiada yang dapat dibuktikan, apalagi untuk dimakan, juga untuk berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu dengan melihat itu semua?
"Sunan Kalijaga, heran mengetahui penjelasan itu. Nabi Khidir as berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, "Kalijaga di sini ini, banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini, di tempat ini, segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya." · "Mengandalkan pikiranmu saja masih belum apa-apa, padahal kamu: tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, disini tidak mungkin kau dapatkan yang dapat diharapkan hasilnya"
Sunan Kalijaga bingung hatinya tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh selanjutnya. Semakin pelan ucapan Sunan Kalijaga, "Terserah bagaimana baiknya menurut guru:
Sang mahaguru Nabi Khidir as menebak, "Apakah kamu juga, sangat mengharapkan hidayahtullah (petunjuk Allah)?"
Sunan Kalijaga mengangguk penuh hormat.
NABI KHIDIR DAN PESAN SYARAT HIKMAH
Kisah Nabi Khidir AS memang syarat dengan pesan dan hikmah bijak. Bukan hanya seputar perjalanannya yang fenomenal dengan Nabi Musa AS, melainkan masih banyak lagi kisah hidup lain dari Nabi Khidir yang bermuatan hikmah agung.
Di antaranya, seperti dikisahkan Jurnal 1001 Kisah Teladan Muslim, Nabi yang menerima wahyu melalui mimpi itu, pada suatu malam bermimpi mendapat perintah. Perintah tersebut berbunyi: “Esok engkau dikehendaki keluar dari rumah pada waktu pagi menghala ke barat.” Begitu bunyi bait pertama kepada Nabi Khidir.
Masih di dalam tidurnya, Nabi Khidir menerima lima perintah yang harus dikerjakannya dengan segera jika ingin mendapatkan ridha Allah SWT. “Engkau juga dikehendaki berbuat, pertama apa yang engkau lihat (hadapi) maka makanlah, kedua engkau sembunyikan, ketiga engkau terimalah, keempat jangan engkau putuskan harapan, dan yang kelima larilah engkau daripadanya.”
Pada keesokan harinya, Nabi Khidir itu pun keluar dari rumahnya menuju ke barat. Baru beberapa kilo keluar dari rumahnya, Nabi Khidir dipertemukan dengan perintah pertama.
Naum Nabi Khidir bingung karena yang diperintahkan pertama itu adalah memakannya. Sementara yang ia temui adalah sebuah bukit. Karena kebingungan itu ia bergumam dalam hatinya.
“Aku diperintahkan memakan pertama aku hadapi, tapi sungguh aneh sesuatu yang mustahil yang tidak dapat dilaksanakan."
Maka Nabi itu terus berjalan menuju ke bukit itu dengan hasrat untuk memakannya. Ketika ia menghampirinya, tiba-tiba bukit itu mengecilkan diri sehingga menjadi sebesar buku roti.
Maka Nabi Khidir itu pun mengambilnya lalu disuapkan ke mulutnya. Bila ditelan terasa sungguh manis bagaikan madu. Ia pun mengucapkan syukur.
“Alhamdulillah perintah pertama sudah aku kerjakan semoga Allah memudahkan pelajaran yang tersirat ini,” katanya.
Setelah menyelesaikan perintah pertama, Nabi Khidir meneruskan perjalanannya lalu bertemu pula dengan sebuah mangkuk emas.
Ia teringat akan arahan mimpinya supaya disembunyikan. Untuk itu ia bersegera menggali sebuah lubang lalu ditanamkan mangkuk emas itu dan kemudian ia tinggalkan begitu saja.
Setelah meninggalkan beberapa langkah. Tiba-tiba mangkuk emas itu keluar seperti semula. Nabi itu pun menanamkannya kembali. Kejadian itu berulang-ulang hingga tiga kali berturut-turut. Maka berkatalah Nabi Khidir. “Aku telah melaksanakan perintah-Mu ya Allah.”