Serat Babad Kadhiri
Babad
merupakan hikayat, sejarah, cerita tentang peristiwa yang sudah terjadi. Dalam
serat Babad Kadhiri ini menceritakan tentang cikal bakal negara Kediri sampai
berdirinya keraton dengan menceritakan empat keraton yaitu di Janggala,
Ngurawan, Panaraga dan di Kediri. Selain itu juga menceritakan berdirinya
keraton Bintara, Demak. Mas Ngabei Purbawijaya melakukan interaksi dengan jin
bernama Kyai Butalocaya yang bertempat di gua Selabale gunung Klothok dengan
sarana Ki Dermakandha dan Ki Sondong. Yang mana Ki Butalocaya dulunya adalah
seorang manusia yang akan menjadi cikal bakal Kediri, namanya Kyai Daha. Namun
namanya itu digunakan untuk nama negara dan dirinya mendapat nama baru yaitu
Butalocaya yang artinya “bodoh namun dapat dipercaya”. Selain bernama negara
Daha, juga mendapat nama Kediri.
Menurut
Babad Kediri, Raja Jayabaya, yang memerintahkan kerajaan Kediri pada paruh
pertama abad ke-12 M, mempunyai dua abdi bernama Kyai Daha dan Kyai Daka. Pada
saat babat alas (membuka hutan) di pinggir sungai Kediri, banyak warga yang
bergabung. Pada saat itu, yang membuka hutan adalah kakak-beradik sakti dan
bijaksana Kyai Doho dan Kyai Doko. Pemerintahan Jayabaya membuat tempat
tersebut berkembang pesat menjadi sebuah negeri yang diberi nama Kerajaan Doho
dan ibu kotanya bernama Daka, sementara istananya bernama Mamenang.
Serat Babad Kadhiri menuliskan
Dhawuh
pangandikanipunSri Prabu Aji Jayabaya makatên: Bênêr kowe iku wong bodho,
nanging kêna dak pêrcoyo. Ing samêngko ingsun mung darmo jumênêng ratu, siro
kang dak pitoyo among anak putuniro. Namanipun adhi kula Kyai Daka inggih
kapundhut, kaangge nama dhusun, adhi kulo kaparingan nama Kyai Tunggul Wulung,
kadadosakên senapati.
Kemudian
Prabu Aji Jayabaya berfirman: Benar kamu itu orang bodoh, tapi bisa dipercaya.
Jika nanti saya menjadi raja, kamu akan berada di antara menteri-menteri. Nama
adik Kyai Daha juga diambil, sebagai nama dusun, adik akan diberi nama Kyai
Tunggul Wulung, dijadikan senapati.
Kyai
Daha dijadikan patih yang taat berganti nama menjadi Buta Locaya, sementara
Kyai Daka dijadikan senopati perang dengan nama Tunggul Wulung. Saat Raja
Jayabaya moksa, keduanya juga ikut moksa. Buta Locaya ditugaskan untuk menjaga
Selabale (gua Selomangleng), sedangkan Tunggul Wulung diperintahkan untuk
menjaga kawah Gunung Kelud agar letusannya tidak banyak merusak desa sekitar,
dan memakan banyak korban jiwa. Konon, nantinya Raja Jayabaya akan datang
kembali, dan tugas Tunggul Wulung adalah mempersiapkan kedatangan sang raja
yang telah muksa.
Cerita Babad Kadhiri Ki Dermakanda
Pada
suatu malam Ki Dermakanda duduk lalu membaca mantra, suasana menjadi hening,
beberapa saat kemudian, Ki Dermakanda berhenti membaca mantra dan duduk
berhadapan dengan ki Sondong.
Mereka
berdua terlihat bercakap - cakap sambil berpandangan, Sekejap kemudian ki
Sondong kehilangan kesadaran lalu terjatuh, tak lama kemudian dia bangun
kembali dan duduk tegak. Pada saat yang sama, Ki Dermakanda berpura-pura atau
bertingkah seolah-olah dia adalah mas Ngabei Purbawidjaja yang sedang menunggu
pembicaraan sambil bertanya, “Selamat berkencan dengan Ki Buta locaya.
Ki
Sondong yang raganya sudah dimasuki jin Mas Ngabei Purbawidjaja memanggilku?
"Ki Dermakanda yang berteriak dan bertingkah menjadi Mas Ngabei
Purbawidjaja menjawab," Iya Kyai Buto Locaya, lalu aku akan membuka
rumahku. Ada dua tujuan. Yaitu, pertama saya ingin bersahabat dengan tuan dan
kedua karena saya punya argumen yang harus saya jawab atau saya selesaikan.
Persoalan
itu adalah, aku mendapat tugas dari pembesar untuk mendapat keterangan tentang
babad Nagari Kadhiri.
Bagaimana
asal mulanya menjadi kerajaan, kapan berdirinya dan siapa yang menjadi raja
yang pertama? Juga siapa yang menunda-nunggu sampai saat ini? Bagaimana
ceritanya semua itu? Saya sangat kesulitan karena tidak mengerti cerita atau
sejarah nagari Kadhiri ini. kapan berdirinya dan siapa yang menjadi raja yang
pertama? Juga siapa yang menunda-nunggu sampai saat ini? Bagaimana ceritanya
semua itu? Saya sangat kesulitan karena tidak mengerti cerita atau sejarah
nagari Kadhiri ini. kapan berdirinya dan siapa yang menjadi raja yang pertama?
Juga siapa yang menunda-nunggu sampai saat ini? Bagaimana ceritanya semua itu?
Saya sangat kesulitan karena tidak mengerti cerita atau sejarah nagari Kadhiri
ini.
Selama
ini yang saya setuju hanya cerita Panji Kudarawisrengga atau Panji Inu
kartapati dan juga masa sesudahnya. Cerita sebelum masa Panji saya tidak tahu
sama sekali.
Menurut
penurutan Ki Dermakanda, saya harus bertanya kepada tuan, Ki Buto Locaya. Untuk
meminta saya mengundang tuan rumah untuk menjelaskan legenda itu jadi saya
menjadi tenang dan bisa menjalankan tugas untuk mendapatkan cerita legenda kota
Keddhiri.
Tuan
pasti maklum tentang hal ini dan tuan pasti bisa menggambarkan legenda ini
dengan benar dan baik, karena tuanlah yang menjadi raja atau pemimpin semua
yang membuat kediri di Kediri.
Ki
Sondong yang sudah kerasukan Buta ... ha ... ha ..., Mas Ngabei purbawidjaja,
jika hanya soal yang begitu, itu mudah sekali. Karena sungguh sayalah
cikal-bakal atau orang pertama yang membuka hutan dan yang pertama bertempat
tinggal di Kadhiri. Semula saya ini adalah manusia. Nama saya Kyai Daha. Saya
memiliki saudara bernama Kyai Daka. Membuat saya dan adik saya bersama-sama
menebangi hutan di dekat sungai Kadhiri (Brantas) dengan maksud untuk dijadikan
pemukiman. Tempat itu masih merupakan hutan belantara yang merupakan hutan
perawan yang belum tersentuh manusia, karena memang belum ada manusia yang
hidup di situ.
Singkatnya,
setelah kami selesai menebangi pohon-pohon yang besar-besar dan tinggi-tinggi,
kemudian kami membersihkannya. Tempat itu kemudian kami jadikan tempat tinggal
untuk kami berdua, saya dan adiksaya Kyai Daka. Ketika itu saya didatangi Syang
hyang Wisnu yang bersabda kepada saya bahwa dia menghindar untuk
mengejawantahkan atau turun dari kahyangan, menjadi manusia dan akan menjadi
raja di permukiman yang kami buat. Saya setuju dan berserah diri atas kehendak
Dewa Wisnu.
Kemudian
Batara Wisnu menjadi raja di Kadhiri dan bergelar Prabu Sri Aji Jayabaya. Saya
sendiri lalu beri nama Buta Locaya yang artinya: Orang bodoh tetapi lo kok bisa
dipercaya. Sabda menyanyikan Prabu aji Jayabaya begini, "Engkau memang
orang bodoh tapi bisa dipercaya. Tentang diriku aku hanya menjadi raja. Tapi
aku tidak punya manusia hidup. ”Nama adikku, Kyai Daka juga memakai untuk
memberi nama desa. Desa tersebut dinamakan Desa Daka.
Adik
saya juga memberikan nama baru, yaitu Kyai Tunggul Wulung dan juga menggunakan
senapati. ”(Catatan: Menurut karangan atau kitab Aji Pamasa, yang pertama
menjadi raja Memang ada Prabu Gendrayana lalu berputra Prabu aji jayabaya,
penjelmaan Batara Wisnu, jadi gunakan Wisnu Ngajawantah).
Selanjutnya
Ki Dermakanda bertanya, "Selama tahun Prabu Jayabaya menjadi raja di
Kediri dan dimanakah letak kerajaan?" Ki Sondong pun menjawab, "Letak
kerajaannya disebelah Timur Bengawan dan dipanggil Mamenang atau Daha. Memenang
adalah nama kerajaan. Sedangkan Daha adalah nama daerah (nagarai). Dinamakan
Memenang sebab pada saat itu kerajaan ini merupakan kerajaan yang utama
(pemenang) dalam hal. Nama Prabu jayabaya terkenal di seluruh Jawa dan
pengaruhnya besar.
Raja-raja
dari luar negeri yang tak bertanggung jawab di bawah duli paduka Sang Prabu Aji
Jayabaya tanpa diperangi terlebih dahulu. Kerajaan-kerajaan yang lain di pulau
Jawa menghiaskan upeti yang terdiri dari mas, intan, berlian, hasilbumi, hasil
kerajinan tangan dan segala macam harta benda yang dibutuhkan serta
puteri-puteri untuk digunakan dayang-dayang. Raja-raja di luar kekuasaan
kerajaan Kediri bersatu dan bersujud di bawah raja Kadhiri.
Mereka
melakukan ibadahnya dengan sungguh-sungguh, melakukan segala macam ilmu,
seperti ilmu duniawi dan ilmu batin. Pengetahuan itu mereka kuasai dan mereka
amalkan dengan sungguh-sungguh, sehingga mereka sangat taat dalam hal ambatar
atau melakukan ibadahnya. Semua diyu, danawa sangat kesulitan.
Raksasa
yang jahat dan penjara tak mampu menantang ketentraman di Kadiri. Karena
itulah, pada waktu itu tanah Jawa sangat tentram dan taka da yang menantang
menggangu, merusak atau membuat keonaran. Semua penghalang yang ada
dimusnahkan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Melalui
Ki Sondong, Kyai Buta Locaya melanjutkan penjelasannya,” Karena itu menyanyikan
lagu Prabu dan balatentaranya, yang berpangkat tinggi atau rendah selalu dapat
diputar sendiri dan saling bertatap muka. Jika malam hari dilantunkan, Prabu
harus pergi ke pesanggrahan Wanacatur bersama putrinya yang bernama Mas Ratu
Pangedhongan.
Dan
yang mendapat tugas untuk mengiringi dan mengawal Sang Prabu dan puterinya
adalah hamba sendiri dan adik hamba Ki Tunggulwulung. Biasa saja sampai di
pesanggrahan, Sang Prabu duduk di halaman sambil melihat orang lalu-lalang dan
berbicara membicarakan hal-hal yang penting, antara lain tentang pemerintahan
agar kerajaan tetap tentram damai dan maju serta hal-hal penting lainya.
Karenanya
pesanggrahan itu dinamakan Wanacatur yang artinya hutan tempat merembug atau
berunding. Jika ada hal yang perlu dipecahkan, saya dan Tunggulwulung
ditugaskan untuk mengiringi baginda raja pergi ke Wanacatur, diajak berbicara
dan memecahkan semua yang membahas Sang Prabu.
Menurut
pengamatan saya, Prabu Aji Jayabaya dan puterinya Mas Ratu Pagedhongan sedang
memantau Wanacatur tak pernah menerima makan. Dia hanya menyantap bubur pati
kunyit dan temulawak, meski dia dan puterinya berhari-hari, bahkan sampai tujuh
atau sepuluh hari di Wanacatur.
Pengikutnya
atau para abdi dalem makan nasi jagung atau ayam. Sang Prabu sendiri tidak
pernah makan daging hewan jenis apa pun, tidak juga daging ikan sungai juga
laut.
Karena
itu pula di sebelah tenggaranya kota Mamenang ada desa bernama Siir dan si
Lawak, sebab desa itu menghasilkan hasil bumi kunyit dan temulawak, yang
menjadi santapan menyanyikan Prabu. Hati, Pikiran dan Jiwa Sang Prabu menjadi
bersih dan mampu memahami segala sesuatu yang belum terjadi (weruh sadurunge
winarah ataua sidik ing paningal, bahasa Jawa), karena ia dikenal bertapa dan
Manahan hawa nafsu.
Apalagi
yang menyanyikan Prabu itu titisan Wisnu. "Kemudian Ki Dermakanda yang
mewakili Mas Ngabei Purbawidjaja bertanya," Apakah Prabu Jayabaya yang
membuat ramalan jaman yang tidak sesuai dengan Ketentuan tentang Jayabaya yang
kemudian disebut Serat Jayabaya? "Ki Sondong bertanya," Iya benar.
Namun
Serat Jayabaya itu ada tiga. Yang pertama karangan atau ciptaan Syeh Sebaki
(Syech Subakir), Perwakilan Sang Prabu Ngerum (Handramaut) yang memberi tumbal
tanah Jawa dan di pasang di gunung Tidar, Magelang.
Atau
dipasang di tanah Pacitan yang kelak di kemudian hari menghasilkan orang Jawa
Baru, yang membuat angka satu atau membuat angka berkepala satu, sampai
sekarang angka tahunya sudah mencapai tahun 1761.
Yang
kedua Serat Jayabaya karangan Prabu Jayabaya bernama Serat Jayabaya atau Jangka
Jaybaya. Yang ketiga Pangeran Banjarsari, ratu Jenggala yang kemudian pindah ke
Kerajaan Galuh.
Karangan
Pangeran Banjarsari disebut juga dengan Surat Jayabaya, sebab antara Prabu
Jayabaya dan Pangeran Banjarsari itu sebenarnya sama. Jelasnya Pangeran
Banjarsari titisan Prabu Jayabaya. Karena itu pula kesaktian kedua raja itu
sama. Kedua-duannya merajai semua peran halus.
Ki
Sondong yang masih kerasukan Buta locaya berhasil kisahnya, “Pada jaman
pemerintahan Prabu Jayabaya, datanglah seorang perempuan raksasa di Kadhiri,
Seluruh penduduk Kadhiri kacau-balau karena kesulitan, Mereka mengira raksasa
perempuan itu akan mengacau dan melakukan kejahatan.
Karena
itu raksasa tersebut dikroyok oleh penduduk. Saya dan adik saya di
Tunggulwulung ikut mengkroyok juga. Akhirnya raksasa perempuan itu belum roboh.
Lalu saya bertanya bertanya. 'Apa maksudmu masuk ke daerah kami?' Raksasa itu
menjawab, 'Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk aku jadikan junjunganku atau
suamiku.' Lalu saya bertanya lagi, 'Di mana tempat tinggalmu?' Dia menjawab,
'Rumahku di Lodoyong (lodaya, blitar?), Di tepi laut selatan.' pesan itu
kemudian saya sampaikan kepada sang Prabu Aji Jayabaya.
Selanjutnya
Sang Prabu mendatangi tempat raksasa perempuan dan menjumpainya, Sang Prabu
bertanya apakah benar semua berita yang di sampaikan oleh Tunggulwulung dan
saya? Sang raksasa menjawab, 'Benar.' Lalu Prabu Aji Jayabaya berkata, 'Jika
memang benar demikian kehendakmu dewata tak bisa diizinkan. Namun, saya akan
bertanya kepadamu, kelak setelah aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun
kemudian, di tanah sebelah barat kerajaan Kadhiri ada yang mengangkat diri
menjadi raja, Kerajaan itu beribukota di Prambanan Nama raja itu Prabu
Prawatasari, raja pun yang akan menjadi jodohmu.
Sebelum
Prabu Jayabaya menyelesaikan sabdanya, raksasa itu menghembuskan napasnya
penghabisan. Sang Prabu puas keheranan dalam perasaan, dia kemudian memberi dua
perintah kepada saya.
Desa
pertama di sebelah selatan Mamenang di berinama Gumurah (yang kemudian dikenal
menjadi Girah dan sekarang menjadi wilayah kecamatan Gurah). Diberi nama
Gumurah karena kompilasi kami bersama penduduk desa mengeroyok raksasa
perempuan itu, rakyat bersorak-sorak dan berteriak-teriak sehingga menimbulkan
suara hiruk pikuk, (gumurah = gumerah, bahasa Jawa).
Kedua,
raja memutuskan agar dibuat patung yang terdiri dari perempuan yang baru
diterima itu, namun diambil di pahat yang sama dengan wajah patung gupala.
Patung raksasa diberi nama patung Nyai.Desa tempat patung itu dinamakan Desa
Nyaen.
Desa
itu sampai sekarang masih ada, terletak di sebelah selatan bekas kota Mamenang.
Tinggi patung itu 14 kaki. Bola sudut sebesar alas cawan (lepek, bahasa Jawa),
bulat besar, posisinya berlutut. Tidak lama setelah memberi dua perintah itu
kemudian Sri Aji Jayabaya muksa.
Saya
dan Tunggulwulung ikut muksa ikut menyanyikan Prabu, Namun sebelum muksa Sang
Prabu Aji Jayabaya memberi perintah lagi. Saya ditugaskan untuk bertempat
tinggal di Goa Selobale yang terletak di sebelah barat Banawi atau kali
Brantas. Saya membuat pemimipin untuk membuat halusyang bermukim di situ.
Sementara
Tunggulwulung ditugaskan untuk bertempat tinggal di gunung Kelud, menjadi raja
membuat halus yang ada di situ. Tunggulwulung juga. Prabu Jayabaya juga
bersabda pada saya 'Engkau jangan salah terima. Mengapa meninggalkan orang yang
lebih tua dari pada adikmu saya tempatkan di sebelah barat sungai Brantas?
Sebabnya adalah karena tanah di sebelah barat sungai bernuansa dingin,
maksudnya taka da perkara atau hanya sedikit perdebatan yang harus dihadapai
dan dicari pemecahannya.
Engkau
hanya perlu disetujui. Tunggulwulung saya beri tugas di sebelah timur sungai
Brantas, sebab tanah disitu bernuansa panas. Banyak sekali perkara atau
kesulitan yang harus diatasi dan diatasi. Di tempat itu sering terjadi lahar
yang merusak desa-desa, juga hutan-hutan yang bisa dihabiskan di sekitar desa.
Jadi si Tunggulwulung saya tugaskan untuk memutuskan aliran lahar.
Aliran
bisa melalui aliran yang lama, tidak bisa melalui jalan baru atau membuat
aliran baru. Jika ingin menerjang desa-desa, penduduk desa meminta izin terlebih
dahulu dengan jalan orang-orang desa diberi wisik atau ilham yang jelas
sebelumnya, Jadi mereka bisa mengungsi ke tempat yang aman dan selamat. Hasil
hutan, hasil pertanian, pokoknya, semua hasil bumi, menjadi makanan penduduk,
kau jaga baik-baik, jangan sampai mencapai lahar.
Selain
itu, jika ada orang-orang yang berhasil merusak hutan atau menebangi
pohon-pohon besar yang buahnya dapat dimakan manusia datangnya si perusak itu
kau hokum, kau ganggu, agar dia tidak berhasil mengusahakannya. Gunanya dapat
menampung orang yang mengetahuinya atau berkencan dengan tempat itu dan
membutuhkan pertolongan, hasil hutan atau bumi yang dapat dimakan dapat
disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan.
Akan
tetapi cegahlah mereka yang ingin membawa barang-barang itu ke negerinya,
Pokonya orang asing tidak boleh membawa pulang barang-barang dari Kadhiri ke
negerinya. Melalui ki Sondong, Ki Buta Locaya mengambil ceritanya, Saya dan
Tunggulwulung berhasil menyanyikan lagu Prabu dengan sungguh-sungguh. Setelah
bersabda demikian Sang Prabu lalu pergi ke Kahyangan.
Sementara
saya sendiri menjadi siluman, mengatur tanah di sebelah barat sungai Brantas
dan Tunggulwulung menyetor tanah di sebelah timur sungai Brantas. Sampai
sekarang saya dan Tunggulwulung masih tetap menjalankan tugas yang di sabdakan
oleh Sang Prabu Aji Jayabaya. Karena, sampai sekarang mengundang ada penduduk
yang bertempat tinggal di sekitar gunung Kelud yang mau menebangi pohon-pohon
besar, pastilah yang dibutuhkan akan sakit atau dibasahi, mereka diganggu oleh
si Tunggulwulung.
Orang-orang
yang menghabiskan zina (mesum) di tempat yang pasti dimakan harimau. Jadi
orang-orang yang bertempat tinggal di situ harus jujur, baik budi pekertinya,
tidak boleh berhati jahat. Sampai sekarang tanah Kadhiri yang terletak di
sebelah timur Bengawan (Brantas) biasa dibuat tempat mengungsi orang-orang luar
Keraton Kadhiri yang menyebabkan kesengsaraan.
Para
pengungsi itu akhirnya menjadi bahagia dan mendapat kemuliaan. Semua itu
terjadi karena sabda Sang Prabu Aji Jayabaya. Namun, mereka sudah kaya, cukup
sudah serba cukup, kemudiaan ke tumpah darahnya, mereka akan jatuh miskin lagi.
Sampai sekarang saya masih tetap menjadi pemimpin atau raja mengumpulkan halus
di sebelah barat bengawan dan bertempat tinggal di goa Selabale. Sementara
Tunggulwulung bertempat tinggal di gunung Kelud.
Waktu
itu ada seorang biernama Ki Krama Taruna yang ikut muksa menjadi siluman, lalu
diperintahkan bertempat tinggal di Sendang (mata air) Desa Kalasan. Tempat
tersebut terletak di barat daya kota Mamenang, di sebelah barat gunung Kelud
dan menjadi dhanyang atau datu di situ.
Namanya
tetap Kyai Krama Taruna. Dia berada di bawah kekuasaan Tunggulwulung juga.
Sampai sekarang para petani yang memiliki sawah di situ, berhasil sawahnya
kekurangan air lalu diadakan upacara dengan jalan menyediakan sesaji, sendhang
udara atau mata air di situ diaduk, Taklama kemudian air yang keluar dari mata
air itu kian nampak banyak, permukaanya tampak naik lalu airnya mengalir ke
sawah ladang.
Setelah
Sang Prabu Jayabaya muksa, beberapa waktu kemudian di Kadhiri ada banjir besar.
Kraton Mamenang musnah dan pindah ke Purwacarita asal mulanya menjadi hutan
kembali.
Sedang
Kerajaan Mamenang kemudian pindah ke Medang Kamulan. Tempat tersebut terletak
di barat daya kota Mamenang, di sebelah barat gunung Kelud dan menjadi dhanyang
atau datu di situ, namanya tetap Kyai Krama Taruna.
BABAD
KADHIRI
Crita
sawijining krajan ing wewengkon fiksi lan sujarah
airlanggaNaskah
Babad Kadhiri karyane MNg Poerbawidjaja lan dirampungake dening MNg
Mangoenwidjaja ing Wonogiri lan dibabar dening Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri
taun 1932 mujudake naskah kang ngandhut sujarah lan uga ngandhut crita kang
asipat fiksi.
Taun
2008 kapungkur, naskah Babad Kadhiri dibabar maneh dening Boekhandel Tan Khoen
Swie. Ing buku weton anyar iki perangan ngarep tinulis ing aksara Latin nganggo
basa Indonesia, dene ing mburi sinartan naskah sing tinulis ing aksara Jawa.
Buku
weton taun 2008 iki tetep tinulis minangka anggitane MNg Poerbawidjaja lan MNg
Mangoenwidjaja. Ing buku iki diriwayatake, MNg Poerbawidjaja nampa prentah saka
panguwasa pamarentah kolonial Walanda supaya nglacak sujarah hadege Kutha
Kediri utawa Nagari Kadhiri.
Kanthi
pambiyantune Ki Dermakandha, sawijining dhalang wayang klithik, lan panabuh
gamelan sing jenenge Sondhong, MNg Poerbawidjaja kasil nyathet wawangunem
antarane Ki Dermakandha lan Ki Buta Locaya (Kyai Daha) sing mrasuk ing ragane
Sondhong.
Asil
wawangunem antarane Ki Dermakandha lan Ki Buta Locaya sing mujudake titah alus
kuwi mau sabanjure disampurnakake dening MNg Mangoenwidjaja lan dianggit dadi
naskah Babad Kadhiri.
Yen
njingglengi kawitan panganggite naskah Babad Kadhiri sing nggunakake sumber
andharan saka sawijining titah alus sing jenenge Ki Buta Locaya, tumrap nalar jaman
modheren pancen bakal nuwuhake pambiji yen naskah Babad Kadhiri iki kapetung
naskah sing ora tinemu nalar.
Prof
Dr Edi Sedyawati, guru besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ing
purwakaning buku Babad Kadhiri weton Boekhandel Tan Khoen Swie taun 2008
nelakake yen naskah sing dianggep minangka “sujarah” hadege Kutha Kadhiri iki
pancen ngemot bab sing wor suh, kepara cengkah karo nalar.
Naskah
iki bisa dianggep minangka karya sujarah sing kudu didunungake minangka karya
fiksi. Nanging bisa uga didunungake minangka cathetan kedadeyan lan
pangeling-eling jaman kawuri sing temen-temen kedadeyan.
Kanthi
mangkono tumrap saperangan paramaos, naskah Babad Kadhiri bisa dianggep
minangka crita fiksi, asil karangan. Ananging tumrap saperangan pamaos liyane
bisa dianggep minangka kronik sujarah. Panganggep iki bisa wae tuwuh saka
tembung “babad” ing irah-irahane naskah.
Nanging
ing kolofon teks naskah iki nyebut minangka crita pedhalangan. Iki nuduhake yen
apa sing dicritakake pancen mung wates rekan utawa karangan. Dene sumber
critane uga bisa dianggep minangka wates rekan utawa karangan.
Ngemot
crita kang wus kababar ing naskah sing luwih tuwa
Yen
ditliti kanthi permati naskah Babad Kadhiri cetha yen asumber budaya lisan.
Nanging ing isine naskah uga katon yen njupuk sumber saka naskah utawa teks
liya.
Ana
sesambungan antarane teks siji lan sijine ing Babad Kadhiri.
Ing
antarane naskah utawa teks sing sinebut minangka sumber yakuwi Serat Aji
Pamasa, Serat Jangka Jayabaya lan Babad Tanah Jawi. Uga ana liyane sing
kasebut, yakuwi Serat Jayakusuma. Serat Sastramiruda uga sinebut ing Babad
Kadhiri kanthi paraga sing duwe gelar Panji.
Ing
pungkasan karyane, Mangoenwidjaja nelakake yen Babad Kadhiri lan buku
sambungane, Kalam Wadi, minangka “cariyos pedhalangan”. Saengga ing kana kene
bisa ora cocog kalawan naskah sing wus luwih dhisik dimangerteni bebrayan
agung, yakuwi Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi lan Babad Demak.
Maca
Babad Kadhiri kudu tanpa sinartan karep kanggo ngudi bebener asal usule papan
kadidene pangerten ing ilmu sujarah. Babad Kadhiri mung bisa ditegesi minangka
perkara wewangunan budaya. Utawa bisa uga kanggo ndhudhah perkara ing wewengkon
budaya.
Ing
perangan liya ana panganggep yen Babad Kadhiri tetep bisa didunungake minangka
tilasing sujarah sing ditinggalake dening bebrayan agung Jawa kanthi basa lan
cara mikir sing mligi, kebak cangkriman lan kadhangkala cengkah kalawan nalar
wong sing urip ing jaman modheren.
Kanthi
mangkono, naskah Babad Kadhiri pancen karyane MNg Poerbawidjaja lan MNg
Mangoenwidjaja, nanging intine crita sing dibabar wus ana lan lestari ing crita
pedhalangan sing wus dudu barang aneh tumrap para “kawula”.
MNg
Poerbawidjaja bisa ditegesi mung wates ngimpun lan nulis tilasing sujarah
hadege Kadhiri sing wus direkam ing kalangan “kawula” ing wujud crita
asal-usule sawijining desa (aetiologi), dhudhahan sawijining aran utawa jeneng
(hermeneutika), legenda, mitos, crita rakyat lan crita babad sing sabanjure
diracik dadi Serat Babad Kadhiri.
Paraga
Buta Locaya sing sinebut minangka sing njaga lan ngreksa tlatah Kediri kanyata
ora mung kasebut ing Babad Kadhiri. Jeneng Buta Locaya uga sinebut ing naskah
kuna Kidung Purwajati sing ngemot jeneng-jenenge ratu jin panguwasa Pulo Jawa.
Kanthi
mangkono ana dudutan yen jeneng Buta Locaya kuwi dudu karangane MNg
Poerbawidjaja, amarga wus dikenal ing naskah sing luwih tuwa. Crita babagan
Krajan Medhangkamulan sing dikuwasani dening Prabu Sindhula kang nurunake
Dewata Cengkar uga ora mung kaemot ing Babad Kadhiri.
Lelakon
uripe Sri Jentayu memper lelakon uripe Airlangga
Crita
babagan Krajan Medhangkamulan sadurunge wus kaemot ing Serat Kandha, Babad
Tanah Jawi, Babad Sangkala lan naskah-naskah kuna Cirebonan.
Mangkono
uga babagan critane leluhuring para raja kang lair saka limang sedulur Prabu
Among Tani, Sandhang Garba, Karung Kala, Petung Malaras lan Sri Sendayu
mujudake jeneng-jeneng kuna sing cinathet ing tradhisi naskah raja-raja Jawa
lan Sunda, kayadene kang bisa diprangguli ing naskah kuna Carita Parahyangan,
Babad Tanah Jawi, Sejarah Dalem, Serat Kandha lan sapiturute.
Sing
kapetung narik kawigaten ing Serat Babad Kadhiri yakuwi gegayutan Prabu Sri
Jentayu sing duwe anak cacah lima. Yakuwi Rara Suciwanungsanya, Raden Lembu
Amiluhur, Raden Lembu Amerdadu, Raden Lembu Pangarang lan Raden Lembu Amerjaya.
Rara
Suciwaningsanya ngucap sumpah ora gelem urip bebrayan karo priya lan luwih
seneng mertapa. Raden Lembu Amiluhur jumeneng nata ing Jenggala jejuluk Prabu
Dewakusuma.Raden Lembu Amerdadu jumeneng nata ing Daha jejuluk Prabu
Pujaningrat. Raden Lembu Pangarang jumeneng nata ing Ngurawan jejuluk Prabu
Pujadewa lan Raden Lembu Amerjaya jumeneng nata ing Panaraga jejuluk Prabu
Pujakusuma.
Perangan
iki narik kawigaten jalaran Sri Jentayu kuwi jeneng enome Airlangga nalika
mundur saka dhampar keprabon lan madeg pandhita. Anak wadon pambarepe Sri
Jentayu sing jenenge Rara Suciwanungsanya, sing uga madeg pandhita lan ora urip
bebrayan kalawan priya, padha karo anak wadon pambarepe Airlangga sing dadi
Biksuni Kilisuci, yakuwi Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi.
Dene
anak nomer lorone Sri Jentayu sing jenenge Raden Lembu Amiluhur lan jumeneng
nata ing Jenggala jejuluk Prabu Dewakusuma, memper karo anak nomer lorone
Airlangga sing jumeneng nata ing Jenggala, yakuwi Sri Samarakarma Mapanji
Garasakan.
Dene
anak nomer telune Sri Jentayu sing jumeneng nata ing Daha jejuluk Prabu
Pujaningrat, memper karo anak nomer telune Airlangga sing jumeneng nata ing
Daha, yakuwi Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Tguh Uttunggadewa. Anak nomer
papate Sri Jentayu sing jumeneng nata ing Ngurawan jejuluk Prabu Pujadewa
memper anak nomer papate Airlangga sing jumeneng nata ing Gelang-gelang, yakuwi
Sri Maharaja Alanjung Ayes sing sabanjure dadi raja ing Jenggala.
Lan
anak nomer limane Sri Jentayu sing jumeneng nata ing Panaraga jejuluk Prabu
Pujakusuma, memper anak nomer limane Airlangga sing dadi raja ing Wengker,
yakuwi Sri Jayawarsa Digjayasashtraprabhu. Mempere jeneng lan kedadeyan kang
tinulis ing Babad Kadhiri ora mung wates mbeneri, ananging bisa dipindeng
minangka perangane ”tilas sujarah” sing bisa dilacak saka adate kawula sing
kerep nyampur antarane kedadeyan sujarah, legenda, dongeng asal-usule papan,
mitos, gugon tuhon sing adhakan lelandhesan othak-athik gathuk.
Ana
telung jinis Serat Jayabaya utawa Jangka Jayabaya
Ing
andharan bab legenda Kediri sing dadi perangan kawitan ing Babad Kadhiri
dicritakake menawa Buta Locaya mbabar andharan babagan dumadine tlatah Kediri.
Miturut
Bota Locaya sing micara lumantar ragane Sondhong lan banjur wawangunem kalawan
Ki Dermakandha sing memba-memba dadi MNg Poerbawidjaja, ya dheweke kuwi sing
ngawiti mbabat alas mbukak tlatah Kediri.
Sadurunge
dadi titah alus sing nguwasani tlatah Kediri nganti saiki, Buta Locaya kuwi
manungsa lumrah sing jenenge Kyai Daha. Kyai Daha duwe sedulur sing jenenge
Kyai Daka. Wong loro iki bebarengan mbabat alas ing cedhake Kali Kediri utawa
Kali Brantas kanthi tujuwan arep didadekake papan dunung.
Sabanjure
wong loro iki ditekani Sang Hyang Wisnu kang medhar sabda arep ngejawabtah dadi
manungsa lan arep jumeneng nata ing papan ding digawe dening Kyai Daha lan Kyai
Daka kuwi. Wusana Sang Hyang Wisnu ngejawantah lan jumeneng nata ing Kediri
jejuluk Prabu Sri Aji Jayabaya.
Nalika
kuwi Sang Hyang Wisnu paring jejibahan marang Kyai Daha supaya ngreksa tlatah
Kediri saklawase. Yen Kyai Daha wus tumekaning janji, dheweke bakal moksa lan
malih wujud dadi titah alus sing bakal njaga tlatah Kediri saklawase lan salin
jeneng dadi Buta Locaya. Dene sedulure, Kyai Daka, sinengkakake ngaluhur dadi
senapati kanthi jejuluk Kyai Tunggul Wulung. Jeneng Kyai Daka wusana didadekake
arane desa, yakuwi desa Daka.
Miturut
katrangan ing Kitab Ajipamasa sing sepisanan dadi raja ing Mamenang (Kediri)
yakuwi Prabu Gendrayana. Raja Kediri sepisanan iki duwe anak Prabu Aji
Jayabaya, panjilmane Bathara Wisnu, dadi dudu Wisnu sing ngejawantah.
Dununga
Krajan Kediri kuwi ing sawetane Bengawan lan sinebut Mamenang utawa Daha.
Mamemang kuwi arane sawijining krajan. Dene Daha kuwi arane sawijining tlatah,
dhaerah utawa nagari. Sinebut Mamenang jalaran nalika kuwi pancen mujudake
negara sing tansah menangan. Prabu Jayabaya kondhang ing tanah Jawa lan gedhe
perbawane tumrap raja-raja ing Jawa.
Prabu
Aji Jayabaya duwe anak wadon sing jenenge Mas Ratu Pagedhongan. Sang Prabu lan
anake wadon kerep nglelipir dhiri ing pesanggrahan Wanacatur. Saben tumeka ing
Wanacatur, Sang Prabu Jayabaya ora tau mangan sega, nanging mung wates mangan
bubur pathi kunir lan temu lawak. Dene para abdi dalem mangan sega jagung. Sang
Prabu uga ora tau mangan daging kewan lan iwak loh apadene iwak laut.
Hamula
kuwi ing kidul wetan Kutha Mamenang ana desa sing arane Desa Kunir lan Desa
Lawak jalaran desa kuwi ngasilake pametu sing dadi kekaremane Sang Prabu
Jayabaya, yakuwi kunir lan temu lawak. Miturut Ki Buta Locaya, Sang Prabu
Jayabaya iki sing nganggit Jangka Jayabaya utawa Serat Jayabaya.
Tilas
Krajan Mamenang musna jalaran kurugan lahar
Serat
Jayabaya ana telung jinis. Sepisan, anggitane Syeh Sebaki utawa Syekh Subakir,
utusane Sang Prabu Ngerum utawa Hadramaut kang menehi tumbal tanah Jawa lan
dipasang ing Gunung Tidar, Magelang.
Kaloro,
Serat Jayabaya anggitane Prabu Jayabaya sing uga kondhang kanthi sebutan Serat
Jayabaya utawa Jangka Jayabaya.
Lan
sing katelu, anggitane Pangeran Banjaransari, ratu Jenggala sing sabanjure
pindhah ing Krajan Galuh. Anggitane Pangeran Banjaransari iki sinebut Surat
Jayabaya, jalaran antarane Prabu Jayabaya lan Pangeran Banjaransari kuwi
sejatine padha. Pangeran Banjaransari kuwi titisane Prabu Jayabaya.
Sawise
ganti ratu kaping pitu, sing jumeneng nata yakuwi Raja Sindhula. Raja iku moksa
lan diganti Prabu Dewata Cengkar. Sabanjure digenteni dening Ajisaka, raja sing
ora ana sesambungan trah kalawan raja-raja sadurunge.
Ajisaka
nguwasani Krajan Mendang Kamulan sasuwene telung taun. Krajan iki banjur
dikuwasani dening Raden Daniswara, anake Dewata Cengkar, sing sabanjure jejuluk
Prabu Kaskaya utawa Prabu Maha Punggung.
Sabanjure
digenteni dening anake, Prbau Kalapa Gadhing. Sing nggenteni Prabu Kalapa
Gadhing yakuwi Prabu Mundingwangi, digenteni maneh dening paneruse, Prabu
Mundingsari. Nalika umure krajan Mendang Kamulan 120 taun, ditelukake dening
Prabu Prawatasari, raja negara Prambanan sing isih ana sesambungan trah kalawan
Prabu Mundingwangi.
Krajan
banjur dipindhah menyang Prambanan. Ing Mamenang (Kediri) mung ana adipati sing
dedunung ing Panjer. Krajan Mamenang ora ninggalake tilas jalaran, miturut Ki
Buta Lacaya, nalika wawangunem kalawan Ki Dermakandha, wus kurugan lahar sing
asale saka Gunung Kelud.
Tilas
Krajan Mamemang sing bisa kawruhan hamung candhi cacah papat asil karyane Prabu
Jayabaya. Candhi cacah papat kuwi yaiku candhi ing Desa Prundung, candhi ing
Desa Tegowangi, candhi ing Desa Surawana lan candhi Arcakuda ing Desa Bogem.
Candhi Arcakuda ing Desa Bogem iki ngemot pralambang tinamtu.
Prabu
Jayabaya nggawe candhi arupa patung jaran sing endhase loro minangka pralambang
negara Jawa. Bogem ateges papane mas-masan lan inten barlean. Patung jarane
diwenehi plangkan under kang ateges larangan, pepacuh. Jaran tanpa dlamakan
sikil ateges tanpa wewaton. Endhas loro ateges ora jumbuh, karepe ing dina
tembe wong-wong wadon ing papan kono ora setya marang priya sisihane. Mangkono
uga para priyane.
Saka
lelakone Dewi Sekartaji nganti madege krajan Islam Demak
Babagan
kadipaten Panjer dicritakake nalika adipati Panjer sepisanan mrentah ing
Panjer, duwe kekareman adu pitik. Sawijining dina nalika rame-ramene kalangan
adu pitik ing pendhapa kadipaten, ana salah sijine pasarta sing jenenge Gendam
Asmarandana, asale saka Desa Jalas.
Gendam
Asmarandana sing pancen bagus rupane kuwi wusana ndadekake para wanita
kayungyun, kalebu Nyai Adipati Panjer. Nyai Adipati sing weruh baguse Gendam
Asmarandana uga melu-melu kayungyun. Kuwi ndadekake nesunya Adipati Panjer.
Nalika Adipati Panjer sing nesu kuwi arep merjaya Gendam Asmarandana kanthi
kerise, Gendam Asmarandana kasil endha lan suwalike kasil nyabetake pedhange
ngenani bangkekane Adipati Panjer.
Adipati
Panjer sing kelaran banjur mlayu tumuju Sendhang Kalasan sing duwe kasiyat bisa
nambani kabeh lelara. Nanging durung nganti tekan sendhang kasil disusul dening
Gendam Asmarandana lan wusana mati. Gendam Asmarandana sing weruh Adipati
Panjer mati banjur mlayu tumuju omahe nanging dioyak dening wong akeh. Gendam
Asmarandana sing keweden banjur njegur ing Sendhang Kalasan.
Wong-wong
sing padha melu njegur ing sendhang, kepara ana sing nyilem barang, tetep ora
kasil nyekel Gendam Asmarandana. Wong-wong ngira yen Gendam Asmarandana wus
malih dadi danyang sing manggon ing sendhang kuwi. Sabanjure kanggo
ngeling-eling kedadeyan kuwi digawe pepethan saka watu sing ditengeri kanthi
aran Smaradana, mapan ing Desa Panjer.
Negara
Daha sing dumunung ing sisih kulone Kali Brantas, ing wetane Desa Klotok lan
Geneng banjur salin aran dadi negara Kediri. Miturut andharane Ki Buta Locaya,
nalika kuwi sing dianggep dadi sesepuhe tlatah Pulo Jawa yakuwi Pandhita Rara
Suciwanungsaya utawa Dewi Kilisuci.
Dewi
Kilisuci mujudake wanita sing ora ngalami nggarapsari utawa sinebut kedhi. Lan
Dewi Kilisuci uga mujudake wanita sing mandhireng lan kuwawa ngrampungake
jejibahan lan gaweyan apa wae tanpa pitulungane liyan. Ing budaya Jawa pawongan
sing mangkene iki sinebut dhiri.
Wanita
ing tlatah Kediri, miturut gotheking wong akeh, padha niru pribadine Dewi
Kilisuci. Akeh wanita Kediri sing rumangsa dhiri, rumangsa kuwawa ngrampungi
jejibahan lan gaweyan apa wae. Kalebu gaweyan lan jejibahane priya. Nanging
sing ditiru mung wates sikep dhiri-ne, yakuwi sikep angkuh, adigang, adigung
lan adiguna.
Sing
ditiru dudu pribadine Dewi Kilisuci sing luhur, lila legawa ngorbanake kadonyan
lan dadi pandhita kang suci lair batin. Sabanjure sing seneng niru tumindak lan
pribadine Dewi Kilisuci kuwi ora mung para wanitane, nanging ora sithik priya
Kediri sing uga tiru-tiru dadi umuk, angkuh dan dhiri, nanging dhiri-ne wanita.
Hamula,
saben ana paprangan, yen sing nantang perang kuwi wong Kediri, wong Kediri
mesthi menang. Nanging yen wong njaban Kediri sing ngrabasa utawa nantang luwih
dhisik, wong Kediri lumrahe bakal kalah.
Sabanjure
dicritakake lelakon antarane Dewi Kilisuci, Dewi Sekartaji, Raden Panji Inu
Kertapati lan kaanan Krajan Kediri lan Jenggala. Crita roman iki wus menjila
dadi crita klasik ing budaya Jawa. Kepara nganti saiki isih lestari ing wujud
wayang beber, kacihna wayang bebere dhewe prasasat wus nyedhaki musna.
Ing
perangan pungkasan Babad Kadhiri dicritakake surute Krajan Majapahit nalika
dirabasa dening Raden Patah sing sabanjure jumeneng nata ing Demak. Miturut
andharan ing Babad Kadhiri, wiwit madege Krajan Demak engga Pajang,
panguwasaning krajan ora gelem nampa wulang agama Budha. Kabeh buku kang isi
wulang agama Budha mesthi diobong nganti musna.
Nalika
madeg Krajan Mataram, wulang agama Budha bisa urip maneh ing madyaning bebrayan
agung Jawa. Lan ing jaman kuwi, ana kupiya nglumpukake naskah-naskah kuna kang
banjur dipasrahake marang para pujangga. Sabanjure para pujangga kuwi sing
nganggit naskah-naskah anyar lelandhesan naskah-naskah kuna sing banjur dadi
pakem utawa babad sing kawruhan dening generasi wong Jawa jaman saiki.
ARTI
DALAM INDONESIA :
BABAD
KADHIRI
Kisah
kerajaan di ranah fiksi dan sejarah
airlanggaNaskah
Babad Kadhiri karya MNg Poerbawidjaja dan diselesaikan oleh MNg Mangoenwidjaja
di Wonogiri dan diterbitkan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri pada tahun
1932 merupakan naskah yang berisi sujarah dan juga berisi cerita-cerita yang
bersifat fiktif.
Pada
tahun 2008, naskah Babad Kadhiri diterbitkan ulang oleh Boekhandel Tan Khoen
Swie. Pada buku edisi baru ini, bagian depan ditulis dengan aksara Latin dalam
bahasa Indonesia, sedangkan bagian belakang ditulis dengan aksara Jawa.
Buku
terbitan tahun 2008 ini masih ditulis oleh MNg Poerbawidjaja dan MNg
Mangoenwidjaja. Dalam buku ini dikisahkan, MNg Poerbawidjaja mendapat perintah
dari penguasa pemerintah kolonial Belanda untuk menelusuri sejarah para pendiri
Kota Kediri atau Negara Kadhiri.
Dengan
bantuan Ki Dermakandha, seorang dhalang wayang klitik, dan penabuh gamelan
bernama Sondhong, MNg Poerbawidjaja berhasil merekam kebangkitan antara Ki
Dermakandha dan Ki Buta Locaya (Kyai Daha) yang masuk ke dalam tubuh Sondhong.
Hasil
penyadaran antara Ki Dermakandha dan Ki Buta Locaya yang merupakan makhluk baik
itu kemudian disempurnakan oleh MNg Mangoenwidjaja dan disusun menjadi naskah
Babad Kadhiri.
Jika
melihat penulis pertama naskah Babad Kadhiri yang menggunakan sumber makna
makhluk baik bernama Ki Buta Locaya, untuk alasan modern akan sangat memberikan
penilaian bahwa naskah Babad Kadhiri dianggap sebagai naskah yang tidak
rasional.
Prof.
Dr. Edi Sedyawati, Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dalam awal
buku Babad Kadhiri yang diterbitkan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie tahun 2008
mengatakan bahwa naskah yang dianggap “sujarah” hadege kota Kadhiri benar-benar
mengandung sesuatu. wor suh, bahkan bertentangan dengan alasan.
Naskah
ini dapat dianggap sebagai karya sejarah yang harus digambarkan sebagai karya
fiksi. Tetapi juga dapat digambarkan sebagai catatan peristiwa dan pengingat
masa lalu yang benar-benar terjadi.
Dengan
demikian bagi sebagian paramaos, naskah Babad Kadhiri dapat dianggap sebagai
cerita fiksi, hasil karangan. Namun bagi sebagian pembaca lainnya bisa dianggap
sebagai kronik sejarah. Anggapan ini mungkin muncul dari kata “kronik” dalam
judul naskah.
Namun
pada kolofon teks teks ini disebut sebagai cerita pedalangan. Hal ini
menunjukkan bahwa apa yang dinarasikan sebenarnya hanyalah batas-batas sejawat
atau esai. Sedangkan sumber cerita juga dapat dianggap sebagai batas teman
sebaya atau karangan.
Berisi
cerita yang telah diceritakan dalam manuskrip yang lebih tua
Jika
dicermati dengan seksama naskah Babad Kadhiri ini jelas merupakan sumber budaya
lisan. Namun dalam isi teks itu juga tampak bahwa ia mengambil sumbernya dari
sebuah teks atau teks lain.
Ada
hubungan antara satu teks dengan teks lainnya dalam Babad Kadhiri.
Di
antara naskah atau teks yang disebutkan sebagai sumber adalah Serat Aji Pamasa,
Serat Jangka Jayabaya dan Babad Tanah Jawi. Ada juga yang disebutkan lain,
yaitu Serat Jayakusuma. Serat Sastramiruda juga disebutkan dalam Babad Kadhiri
dengan sosok yang bergelar Panji.
Di
akhir karyanya, Mangoenwidjaja menyatakan bahwa Babad Kadhiri dan bukunya,
Kalam Wadi, adalah "kisah-kisah pedalangan". Jadi disini mungkin
tidak cocok dengan naskah-naskah yang sebelumnya telah dipahami oleh para
bebrayan besar, yaitu Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi dan Babad Demak.
Membaca
Babad Kadhiri harus tanpa cahaya welas asih untuk mencari kebenaran asal usul
tempat pemahaman dalam ilmu sejarah. Babad Kadhiri hanya bisa diartikan sebagai
masalah bangunan budaya. Atau mungkin untuk mengekspos hal-hal di ranah budaya.
Di
tempat lain ada anggapan bahwa Babad Kadhiri masih bisa digambarkan sebagai
warisan sejarah yang ditinggalkan oleh para bebrayan besar Jawa dengan bahasa
dan cara berpikir yang khas, penuh misteri dan terkadang bertentangan dengan
nalar orang-orang yang hidup di zaman modern ini.
Dengan
demikian, teks Babad Kadhiri memang merupakan karya MNg Poerbawidjaja dan MNg
Mangoenwidjaja, namun esensi cerita yang dituturkan sudah ada dan terpelihara
dalam cerita pedalangan yang bukan merupakan hal asing bagi para “pelayan”.
MNg
Poerbawidjaja hanya dapat diartikan sebagai bermimpi dan menulis jejak-jejak
sejarah Kadhiri yang telah terekam di antara “saya” berupa cerita-cerita asal usul
suatu desa (etiologi), dhudhahan sebuah nama atau nama (hermeneutika), legenda,
mitos , cerita rakyat dan cerita babad selanjutnya dipadukan ke dalam Serat
Babad Kadhiri.
Paraga
Buta Locaya yang disebut-sebut sebagai penjaga dan pemelihara Kediri tidak
hanya disebutkan dalam Babad Kadhiri. Nama Buta Locaya juga disebutkan dalam
naskah kuno Kidung Purwajati yang berisi nama-nama ratu jin yang memerintah
pulau Jawa.
Dengan
demikian ada kecurigaan bahwa nama Buta Locaya bukanlah karya MNg
Poerbawidjaja, seperti yang sudah dikenal dalam naskah-naskah kuno. Kisah
Kerajaan Medhangkamulan yang diperintah oleh Raja Sindhula yang diturunkan dari
Dewi Cengkar juga tidak hanya terdapat dalam Babad Kadhiri.
Kisah
hidup Sri Jentayu mirip dengan kisah hidup Airlangga
Kisah
Kerajaan Medhangkamulan sebelumnya telah dimuat dalam Serat Kandha, Babad Tanah
Jawi, Babad Sangkala dan naskah kuno Cirebonan.
Demikian
pula kisah nenek moyang raja-raja yang lahir dari lima bersaudara Prabu Di
Antara Tani, Sandhang Garba, Karung Kala, Petung Malaras dan Sri Sendayu adalah
nama-nama kuno yang tercatat dalam naskah tradisi raja-raja Jawa dan Sunda,
sebagai dapat ditemukan dalam naskah kuno Carita Parahyangan, Babad Tanah Jawi,
Sejarah Dalem, Serat Kandha dan sebagainya.
Yang
menarik dalam Serat Babad Kadhiri adalah tentang Raja Sri Jentayu yang memiliki
lima orang anak. Mereka adalah Rara Suciwanungsanya, Raden Lembu Amiluhur,
Raden Lembu Amerdadu, Raden Lembu Pangarang dan Raden Lembu Amerjaya.
Rara
Suciwaningsanya bersumpah tidak mau hidup dengan laki-laki dan lebih memilih
berkabung. Raden Lembu Amiluhur memerintah di Jenggala dengan julukan Raja
Dewakusuma.Raden Lembu Amerdadu memerintah di Daha dengan julukan Raja
Pujaningrat. Raden Lembu Pangarang memerintah di Ngurawan dengan julukan Raja
Pujadewa dan Raden Lembu Amerjaya memerintah di Panaraga dengan julukan Raja
Pujakusuma.
Bagian
ini menarik karena Sri Jentayu adalah nama muda Airlangga ketika ia
mengundurkan diri dari tahta dan menjadi pendeta. Putri sulung Sri Jentayu yang
bernama Rara Suciwanungsanya yang juga seorang pendeta dan tidak tinggal
serumah dengan laki-laki, sama dengan putri sulung Airlangga yang menjadi
Biksuni Kilisuci, yaitu Sanggramawijaya Dharmaprasada Utunggadewi.
Sedangkan
anak kedua Sri Jentayu bernama Raden Lembu Amiluhur dan memerintah di Jenggala
dijuluki Raja Dewakusuma, mirip dengan anak kedua Airlangga yang memerintah di
Jenggala, yaitu Sri Samarakarma Mapanji Garasakan.
Sedangkan
anak ketiga Sri Jentayu yang memerintah di Daha dijuluki Prabu Pujaningrat,
mirip dengan anak ketiga Airlangga yang memerintah di Daha, yaitu Sri
Samarawijaya Dharmasuparnawahana Tguh Uttunggadewa. Anak keempat Sri Jentayu
yang memerintah di Ngurawan yang dijuluki Prabu Pujadewa ini mirip dengan anak
keempat Airlangga yang memerintah di Gelang, yaitu Sri Maharaja Alanjung Ayes
yang kemudian menjadi raja di Jenggala.
Dan
anak kelima Sri Jentayu yang memerintah di Panaraga dijuluki Raja Pujakusuma,
mirip dengan anak kelima Airlangga yang menjadi raja di Wengker, yaitu Sri
Jayawarsa Digjayasashtraprabhu. Nama-nama dan peristiwa yang tertulis dalam
Babad Kadhiri tidak hanya benar, tetapi dapat dianggap sebagai bagian dari
"masa lalu sejarah" yang dapat ditelusuri dari kebiasaan saya yang
sering mencampuradukkan peristiwa sejarah, legenda, kisah asal usul tempat,
mitos, mitos kuno. pangkal otak-athik gathuk.
Ada
tiga jenis Serat Jayabaya atau Jayabaya Term
Dalam
uraian legenda Kediri yang merupakan bagian pertama dari Babad Kadhiri,
disebutkan bahwa Buta Locaya memberikan gambaran tentang keberadaan Kediri.
Menurut
Bota Locaya yang berbicara melalui tubuh Sondhong dan kemudian terbangun dengan
Ki Dermakandha yang menjadi MNg Poerbawidjaja, dialah yang mulai membuka hutan
terbuka Kediri.
Sebelum
menjadi makhluk baik yang menguasai tanah Kediri hingga sekarang, Buta Locaya
adalah seorang manusia biasa bernama Kyai Daha. Kyai Daha memiliki saudara
laki-laki bernama Kyai Daka. Kedua pria itu bersama-sama membabat hutan di
dekat Sungai Kediri atau Sungai Brantas dengan maksud untuk dijadikan habitat.
Selanjutnya,
kedua orang ini didekati oleh Sang Hyang Wisnu yang mengatakan bahwa ia ingin
menjadi manusia dan ingin memerintah di tempat yang diciptakan oleh Kyai Daha
dan Kyai Daka. Pada kesempatan itu, Sang Hyang Wisnu muncul dan memerintah di
Kediri yang dijuluki Raja Sri Aji Jayabaya.
Saat
itu Sang Hyang Wisnu memberikan kewajiban kepada Kyai Daha untuk melindungi
tanah Kediri selamanya. Jika Kyai Daha telah memenuhi janjinya, dia akan moksa
dan berubah menjadi makhluk baik yang akan melindungi tanah Kediri selamanya
dan mengubah namanya menjadi Buta Locaya. Sedangkan kakaknya, Kyai Daka, naik
menjadi panglima dengan julukan Kyai Tunggul Wulung. Nama Kyai Daka kemudian
diubah menjadi nama desa, yaitu desa Daka.
Menurut
keterangan dalam Kitab Ajipamasa raja pertama di Mamenang (Kediri) adalah Raja
Gendrayana. Raja pertama Kediri memiliki seorang putra, Prabu Aji Jayabaya,
penerjemah Bathara Wisnu, jadi bukan Wisnu yang menjelma.
Tempat
tinggal Kerajaan Kediri terletak di sebelah timur Bengawan dan disebut Mamenang
atau Daha. Memang itu adalah nama sebuah kerajaan. Sedangkan Daha adalah nama
suatu daerah, wilayah atau negara. Disebut Mamenang karena pada waktu itu
merupakan negara yang selalu menang. Raja Jayabaya terkenal di tanah Jawa dan
berpengaruh besar terhadap raja-raja Jawa.
Raja
Aji Jayabaya memiliki seorang putri bernama Mas Ratu Pagedhongan. Raja dan
putrinya sering nongkrong di penginapan Wanacatur. Setiap kali datang ke
Wanacatur, Raja Jayabaya tidak pernah makan nasi, melainkan hanya makan bubur
nasi kunyit dan bercanda. Dan pelayanku makan jagung. Raja juga tidak makan
daging, tidak ada ikan, tidak ada ikan di laut.
Hamula
berada di sebelah tenggara kota Mamenang terdapat sebuah desa yang bernama Desa
Kunir dan Desa Lawak karena desa tersebut menghasilkan buah yang disenangi Raja
Jayabaya yaitu kunyit dan temu lawak. Menurut Ki Buta Locaya, Raja Jayabayalah
yang menulis Jangka Jayabaya atau Serat Jayabaya.
Bekas
Kerajaan Mamenang hancur karena aliran lahar
Serat
Jayabaya terdiri dari tiga jenis. Pernah Syekh Sebaki atau Syekh Subakir,
utusan Raja Ngerum atau Hadramaut yang memberikan tanah Jawa tumbal dan
memasangnya di Gunung Tidar, Magelang.
Kedua,
Serat Jayabaya milik Raja Jayabaya yang juga disebut Serat Jayabaya atau
Istilah Jayabaya.
Dan
yang ketiga, milik Pangeran Banjaransari, ratu Jenggala yang kemudian pindah ke
Kerajaan Galuh. Tulisan Pangeran Banjaransari disebut Surat Jayabaya, karena
antara Raja Jayabaya dan Pangeran Banjaransari sebenarnya sama. Pangeran
Banjaransari adalah titisan Raja Jayabaya.
Setelah
pergantian ratu ketujuh, penguasanya adalah Raja Sindhula. Raja adalah seorang
moksa dan digantikan oleh Prabu Dewata Cengkar. Ia kemudian digantikan oleh
Ajisaka, seorang raja yang tidak memiliki garis keturunan dengan raja-raja
sebelumnya.
Ajisaka
memerintah Kerajaan Mendang Kamulan selama tiga tahun. Kerajaan tersebut
kemudian diperintah oleh Raden Daniswara, putra Dewata Cengkar, yang kemudian
dijuluki Prabu Kaskaya atau Prabu Maha Punggung.
Ia
kemudian digantikan oleh putranya, Prbau Kalapa Gadhing. Raja Kalapa Gadhing
digantikan oleh Prabu Mundingwangi, digantikan oleh penggantinya, Prabu
Mundingsari. Ketika kerajaan Mendang Kamulan berusia 120 tahun, kerajaan itu
ditaklukkan oleh Prabu Prawatasari, raja Prambanan yang masih memiliki hubungan
garis keturunan dengan Prabu Mundingwangi.
Kerajaan
kemudian pindah ke Prambanan. Di Mamenang (Kediri) hanya ada seorang adipati
yang tinggal di Panjer. Kerajaan Mamenang tidak meninggalkan jejak karena
menurut Ki Buta Lacaya, saat terbangun bersama Ki Dermakandha, telah meletus
lahar yang berasal dari Gunung Kelud.
Bekas
Kerajaan Mamemang yang bisa dikenal hanya memiliki empat candi yang dibuat oleh
Raja Jayabaya. Keempat candi tersebut adalah candi di Desa Prundung, candi di
Desa Tegowangi, candi di Desa Surawana dan candi Arcakuda di Desa Bogem. Kuil
Arcakuda di Desa Bogem mengandung simbol-simbol tertentu.
Raja
Jayabaya membuat candi berupa patung kuda berkepala dua sebagai lambang negara
Jawa. Bogem berarti tempat emas dan berlian jelai. Patung kuda tersebut diberi
tanda bawah yang artinya larangan, sila. Kuda tanpa kaki berarti tanpa kaki.
Dua kepala berarti ketidakcocokan, menginginkan di masa depan para wanita di
tempat itu tidak setia kepada pria di sebelah mereka. Begitu juga anak buahnya.
Dari
tindakan Dewi Sekartaji hingga berdirinya kerajaan Islam Demak
Tentang
Kadipaten Panjer diceritakan ketika adipati Panjer pertama memerintah di
Panjer, adu ayam. Suatu hari ketika banyak adu ayam di kampung kadipaten, ada
salah satu peserta yang bernama Gendam Asmarandana, dari Desa Jalas.
Penampilan
cantik Gendam Asmarandana menjadi daya tarik tersendiri bagi para wanita,
termasuk Nyai Adipati Panjer. Nyai Adipati yang melihat bagusnya Gendam
Asmarandana juga ikut dalam kayungyun tersebut. Hal itu membuat Adipati Panjer
marah. Ketika Adipati Panjer yang marah hendak membunuh Gendam Asmarandana
dengan sebilah keris, Gendam Asmarandana berhasil dan sebaliknya berhasil
menusukkan pedangnya ke pergelangan Adipati Panjer.
Adipati
Panjer yang sakit kemudian melarikan diri ke Danau Kalasan yang memiliki
kemampuan untuk menyembuhkan segala penyakit. Namun tidak sampai dia berhasil
mencapai danau diikuti oleh Gendam Asmarandana dan kesempatan kematiannya.
Gendam Asmarandana yang melihat Adipati Panjer tewas kemudian berlari menuju
rumahnya namun dikejar massa. Gendam Asmarandana yang ketakutan kemudian
bergegas menuju Danau Kalasan.
Orang-orang
yang mengambil bagian di danau, bahkan beberapa yang menyelam, masih gagal
menangkap Gendam Asmarandana. Mereka mengira bahwa Gendam Asmarandana telah
berubah menjadi seorang danyang yang tinggal di danau tersebut. Selanjutnya
untuk memperingati kejadian tersebut dibuatlah sebuah pahatan batu yang
bertuliskan nama Smaradana yang terletak di Desa Panjer.
Negara
bagian Daha yang terletak di sebelah barat Sungai Brantas, sebelah timur desa
Klotok dan Geneng kemudian berubah menjadi seperti negara bagian Kediri.
Menurut Ki Buta Locaya, saat itu yang dianggap sesepuh pulau Jawa adalah
Pandhita Rara Suciwanungsaya atau Dewi Kilisuci.
Dewi
Kilisuci adalah seorang wanita yang tidak mengalami bekerja atau disebut kedhi.
Dan Dewi Kilisuci juga seorang wanita yang mandiri dan mampu menyelesaikan
tugas dan usaha apapun tanpa bantuan orang lain. Dalam budaya Jawa orang seperti
itu disebut dhiri.
Wanita
di daerah Kediri ini menurut gotheking banyak yang meniru kepribadian Dewi
Kilisuci. Banyak wanita Kediri yang merasa mandiri, merasa berdaya memenuhi
segala kewajiban dan usaha. Termasuk usaha dan tanggung jawab laki-laki. Namun
yang ditiru hanyalah sebatas sikapnya sendiri, yaitu sikap arogan, arogan,
arogan, dan arogan.
Yang
ditiru bukanlah kepribadian Dewi Kilisuci yang agung, rindu mengorbankan dunia
dan menjadi imam suci yang lahir batin. Selanjutnya yang suka meniru tindakan
dan kepribadian Dewi Kilisuci bukan hanya kaum wanitanya saja, namun tidak
sedikit pula kaum pria Kediri yang juga meniru sifat sombong, angkuh dan egois,
melainkan kaum wanita itu sendiri.
Hamula,
setiap ada pertempuran, jika penantangnya adalah orang Kediri, maka orang
Kediri yang menang. Namun jika orang luar Kediri yang menantang atau menantang
terlebih dahulu, maka secara alami masyarakat Kediri akan kalah.
Selanjutnya
dikisahkan kisah antara Dewi Kilisuci, Dewi Sekartaji, Raden Panji Inu Kertapati
dan keadaan Kerajaan Kediri dan Jenggala. Kisah asmara ini telah menjadi kisah
klasik dalam budaya Jawa. Meski masih dilestarikan dalam bentuk wayang beber,
jumlah wayang bebere sendiri hampir habis.
Pada
bagian terakhir Babad Kadhiri dikisahkan kemunduran Kerajaan Majapahit ketika
dibacakan oleh Raden Patah yang kemudian menjadi penguasa Demak. Menurut Babad
Kadhiri, sejak berdirinya Kerajaan Demak engga Pajang, penguasa kerajaan
menolak untuk menerima ajaran Buddha. Semua buku yang berisi ajaran Buddha akan
dibakar habis.
Dengan
berdirinya Kerajaan Mataram, ajaran agama Buddha dapat dihidupkan kembali di
tengah-tengah bebrayan besar Jawa. Dan pada masa itu, ada kumpulan manuskrip
kuno yang kemudian diserahkan kepada para penyair. Kemudian penyair-penyair
yang menulis teks-teks baru berdasarkan teks-teks kuno itulah yang kemudian
menjadi pegangan atau babad yang dikenal oleh generasi masyarakat Jawa saat
ini.