NIAT INGSUN (NIAT)
Tergantung niatnya adalah ungkapan populer ketika menilai sebuah perbuatan (amal).
Niat adalah amalan hati (amaliyah qolbiyah) sehingga hanya Allah SWT dan pribadi masing-masing yang tahu soal niat atau motif seseorang dalam berbuat, beramal, atau beribadah.
Niat (Arab: نية Niyyat) adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu tindakan yang ditujukan hanya kepada Allah.
Secara bahasa, orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti ‘sengaja’. Terkadang niat juga digunakan dalam pengertian sesuatu yang dimaksudkan atau disengajakan. Sedangkan secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat. Maka dari itu, barangsiapa yang menetapkan suatu definisi khusus yang berbeda dengan makna niat secara bahasa, maka orang tersebut sebenarnya tidak memiliki alasan kuat yang bisa dipertanggungjawabkan.
Karena itu banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Nawawi, ia mengatakan niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya. Pendapat lain mengatakan “Niat adalah maksud yang terdapat dalam hati seseorang untuk melakukan sesuatu yang ingin dilakukan.
al-Khathabi mengatakan, “Niat adalah bermaksud untuk mengerjakan sesuatu dengan hati dan menjatuhkan pilihan untuk melakukan hal tersebut. Namun ada juga yang berpendapat bahwa niat adalah tekad bulat hati.
Dr. Umar al-Asyqar mengatakan, Mendefinisikan dengan niat dan maksud yang tekad bulat adalah pendapat yang kuat. Definisi tersebut mengacu kepada makna kata niat dalam bahasa Arab.
Ada juga ulama yang mendefinisikan niat dengan ikhlash. Hal ini bisa diterima karena terkadang makna niat adalah bermaksud untuk melakukan suatu ibadah, dan terkadang pula maknanya adalah ikhlash dalam menjalankan suatu ibadah.
PENDAPAT NIAT
Al-Qurafi, mengatakan bahwa niat adalah tujuan seseorang dengan hatinya terhadap sesuatu yang dia kehendaki untuk dikerjakannya. Sementara al-Khithabi mengatakan bahwa niat adalah tujuan anda terhadap sesuatu, menurut hatinya dan menuntut anda untuk ditindaklanjuti. Ada yang mengatakan bahwa niat adalah keinginan hati.
Niat dan Kedudukannya dalam Islam.
Niat yang tertinggi kualitasnya disebut sebagai ikhlas.
Niat terletak di dalam hati. Niat seringkali tidak terdeteksi melalui rupa atau lisan. Yang pasti, Allah SWT Mahamengetahui apa-apa yang terbersit dalam hati dan pikiran manusia.
Di antara banyak hadis, terdapat satu yang menyinggung soal keutamaan niat. Dari Umar bin Khaththab RA, Rasulullah SAW bersabda, "Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu. (HR. Bukhari)
Penjelasannya, Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau Madinah. Saat itu, tersiar informasi bahwa ada seseorang yang ikut berhijrah karena mengejar wanita tunangannya. Nama wanita itu Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul Qais atau yang berhijrah karena Ummul Qais. Niat biasanya diartikan sebagai getaran batin untuk menentukan jenis ibadah yang kita lakukan.
Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian serius dalam kajian Islam.
Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.
Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.
Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah, yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya. Beliau bersabda, "Sesungguhnya ada sesuatu yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil.
Para sahabat bertanya, 'Apakah syirik kecil itu?' Beliau menjawab, riya. Dalam sebuah hadis diceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok orang yang mengeluh, merangkak, dan menangis. Mereka berkata, "Ya Allah di dunia kami rajin melakukan shalat, tapi kami dicatat sebagai orang yang tidak mau melakukan shalat".
Para malaikat menjawab, Tidakkah kalian ingat pada waktu kalian melakukan shalat kalian bukan mengharap ridha Allah, tapi kalian mengharap pujian dari manusia, kalau itu yang kalian cari, maka carilah manusia yang kau harapkan pujiannya itu." Jelaslah, bahwa kualitas sebuah amal berbanding lurus dengan kualitas niat yang melatar belakanginya.
Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam.
Menurut Ibnu Rajab pada Komentar hadits ke-40 Imam Nawawi: Hadits 1, tindakan dinilai menurut niat, Umar bin Khattab meriwayatkan bahwa nabi berkata, Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya.
Sejalan dengan itu, niat atau maksud seseorang adalah sangat penting di antara sebuah tindakan dalam beribadah. Ada perdebatan mengenai perlu atau tidaknya sebuah niat diucapkan. Kebanyakan ulama setuju bahwa niat hanya dilakukan dalam hati atau membatinkan, dan tidak perlu diucapkan, termasuk para ulama bermahzab Syafi'iyyah. Selain itu tidak ada bukti bahwa Nabi Muhammad atau para sahabat pernah mengucapkan niat ketika hendak salat atau ibadah lainnya.
1. Pendapat pertama.
Di antara sekelompok muslim ada yang melafalkan niat adapula yang tidak, dan menurut pendapat mayoritas ulama adalah tidak melafalkan. Kemudian pendapat pertama ini diperkuat dengan hadits dari ‘Aisyah yang dinukilkan oleh Imam Syafi'i dan dicatat oleh Imam Muslim, bahwa Nabi Muhammad memulai salat dengan takbir. Abdullah bin Umar pun mengatakan hal yang sama.
Qadhi Abu Rabi’ As Syafi'i seorang pembesar ulama bermahzab Syafi'i mengatakan, Mengeraskan niat dan bacaan di belakang imam bukanlah bagian dari sunnah. Bahkan ini adalah sesuatu yang dibenci, jika ini mengganggu jamaah salat yang lain maka hukumnya haram.
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah di dalam hati, bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara otomatis tertanam di dalam hatinya.
Menurut pendapat pertama ini adalah setiap ibadah seharusnya mengikuti tuntunan dari Nabi Muhammad (اَلْاِتِّبَاعُ al-ittiba’).
Maka setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan (bid'ah) oleh Nabi Muhammad maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah (mukhlis).
2. Pendapat kedua.
Pendapat kedua membolehkan adanya pelafalan niat dalam melaksanakan salat baik wajib ataupun sunnah. Pendapat ini dari ulama mazhab Syafi'i yang lainnya. Mereka menyatakan perlunya menyertakan pengucapan dalam niat salat. Ulama itu adalah Syaikh Salim bin Samir Al-Hadlrami dan Syaikh Abu Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi Al-Jawi, mereka berpendapat "...dan tempatnya niat adalah hati dan pengucapan niat hukumnya sunah..." Sementara alasannya hanya dengan penjelasan bahwa "Pengucapan niat dengan lisan untuk membantu kemantapan hati".
Pendapat kedua memakai hadits dalil analogi (qiyas) ketika Nabi Muhammad sedang melakukan ibadah haji.
Menurut pendapat kedua niat memiliki aspek niat, di antaranya itu ada 3 hal :
Diyakini dalam hati. Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu orang lain atau bahkan menjadi ijma);Dilakukan dengan amal perbuatan.
Jadi niat akan lebih kuat bila ke tiga aspek diatas dilakukan semuanya, sebagai contoh saya berniat untuk salat, hatinya berniat untuk salat, lisannya mengucapkan niat untuk salat dan tubuhnya melakukan amal salat. Demiikian pula apabila kita mengimani segala sesuatu itu haruslah dengan hati yang yakin, ucapan dan tindakan yang selaras.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau Muslim itu tidak hanya 'semantik' saja karena dengan berniat berati bersatu padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu dan tawadhu, ucapan yang baik dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-gesa serta cerdas. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang munafik.
PENGERTIAN NIAT
Secara bahasa (Arab), niat (نية) adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu tindakan. Orang Arab menggunakan kata-kata niat dalam arti sengaja.
Terkadang niat juga digunakan dalam pengertian sesuatu yang dimaksudkan atau disengajakan.
Secara istilah, tidak terdapat definisi khusus untuk niat. Karena itu, banyak ulama yang memberikan makna niat secara bahasa, semisal Imam Nawawi yang mengatakan niat adalah bermaksud untuk melakukan sesuatu dan bertekad bulat untuk mengerjakannya.
Mengacu kepada hadits shahih, niat adalah motivasi, maksud, atau tujuan di balik sebuah perbuatan. Rasulullah Saw menyatakan, niat menjadi penentu pahala sebuah perbuatan. Jika niatnya karena Allah, maka pahalanya dari Allah. Jika niatnya bukan karena Allah, atau disertai motif lain, maka Allah tidak akan menerima amalan itu sebagai ibadah.
إنما الأ عمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan" (HR Bukhari & Muslim).
Hadits selengkapnya mengisahkan tentang niat seseorang dalam berhijrah. Hijrah termasuk ibadah karena ia perintah Allah SWT. Namun, jika dalam berhijrah ada niat lain, maka hijrah tidak menjadi sebuah ibadah.
إنماالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Keutamaan Bulan Muharam dan Puasa AsyuraCara Menyambut Bulan Ramadhan sesuai Sunah Rasulullah SawVirus Corona Ubah Cara Ibadah Muslim Dunia
Sesungguhnya amal-amal itu bergantung kepada niatnya. Dan setiap orang memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nnya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nnya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang hendak ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia (niatkan) hijrah kepada nya. (HR. Bukhari-Muslim).
Imam Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab shahihnya (Shahih Bukhari) sebagai mukaddimah kitabnya. Di sana tersirat bahwa setiap amalan yang tidak diniatkan karena mengharap Allah SWT adalah sia-sia.
FUNGSI NIAT
Dalam Islam, niat berfungsi sebagai pembeda amalan. Niat membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Niat juga membedakan tujuan seseorang dalam beribadah.
Itulah sebabnya, niat menjadi rukun dan/atau syarat sah semua amal ibadah. Niat menempati posisi pertama dalam setiap rukun atau syarat sah ibadah.
Allah SWT memerintahkan kita, umat Islam, agar senantiasa meluruskan niat beribadah hanya karena Allah SWT saja (ikhlas):
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al Bayyinah/98:5).
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada dua orang melakukan shalat, orang yang pertama meraih keridhaan Allah SWT sehingga dosa-dosanya gugur, sedangkan orang yang kedua mendapatkan kecelakaan dan kemurkaan Allah Azza wa Jalla karena nifak dan riyâ’nya.
Rasulullah Saw bersabda :
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ
كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
Tidak ada seorang muslim yang kedatangan (waktu) shalat wajib, lalu dia melakukan shalat wajib itu dengan menyempurnakan wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalat itu merupakan penghapus dosa-dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu untuk seluruh waktu. (HR. Muslim).
PENTINGNYA NIAT
Niat berfungsi menjadikan suatu perbuatan menjadi wajib dan sunah. Niat juga bisa menjadikan suatu perbuatan dinilai biasa atau berpahala. Seperti orang yang berniat untuk iktikaf di masjid dengan orang yang hanya menumpang istirahat.
Dalam Islam, setiap orang yang hendak melakukan ibadah harus mempunyai maksud sebelum melakukannya. Inilah syarat agar perbuatan tersebut dianggap sah. Secara bahasa, arti niat sama dengan al qasdu (bermaksud), al-azimah (tekad), al-iradah (keinginan), dan al-himmah (menyengaja).
Menurut al-Muhasibi, niat berarti keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu atau pekerjaan tertentu, baik karena perintah Allah SWT atau hal lainnya. Sedangkan, menurut Ibnu Abidin, niat berarti kehendak untuk taat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam melakukan suatu pekerjaan.
Para ulama Mazhab Syafi'i mendefinisikan niat dengan adanya maksud terhadap sesuatu yang diikuti dengan mengerjakannya. Atau, kehendak hati untuk mengerjakan suatu pekerjaan, baik yang wajib maupun yang sunah. Ada pula yang mendefinisikan dengan kehendak hati terhadap suatu pekerjaan untuk mencari ridha Allah SWT dengan mengikuti aturannya.
Niat selalu disyariatkan sebagaimana diungkapkan dalam Alquran dan hadits. Dalam Alquran, diungkapkan dengan kata-kata ikhlas dan mukhlis yang berkaitan erat dengan niat. Seperti dalam surah al-Baqarah ayat 139, al-A'raf ayat 29, Yunus ayat 22, al-Ankabut ayat 65, az-Zumar ayat 2, 11, dan 14, Luqman ayat 32, serta al-Bayyinah ayat 5.
Dalam hadits didapati beberapa sabda Rasulullah SAW yang berbicara tentang niat. Seperti hadis dari Umar bin Khattab:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Setiap perbuatan (hanya sah) dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan imbalan sesuai dengan niatnya. (HR Bukhari Muslim).
Hadits lain dari Abu Hurairah menyebutkan :
إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
Allah tidak memandang seseorang berdasarkan kondisi fisik dan rupanya. Melainkan kepada hatinya. (HR Muslim).
Antara niat dan ibadah erat sekali kaitannya. Berdasarkan hadits-hadits ini, ternyata sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah sangat bergantung pada niat. Kedudukan niat sangat menentukan kualitas perbuatan ibadah dan hasil yang diperolehnya karena niat itu jiwa perbuatan, pedoman, dan kemudinya.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, niat itu wajib dalam ibadah. Niat merupakan syarat sah suatu ibadah. Sedangkan, dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, jika bermaksud untuk mendapatkan keridhaan dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, diharuskan memakai niat. Untuk meninggalkan perbuatan maksiat tidak dituntut adanya niat.
Hikmah dan kegunaan disyariatkannya niat, antara lain untuk membedakan antara ibadah dalam arti khusus (mahdah) dan perbuatan lainnya atau antara perbuatan yang disyariatkan dan perbuatan lainnya yang berupa kebolehan saja. Seperti menahan diri dari makan dan minum dengan niat melaksanakan puasa berbeda dengan sekadar untuk menjaga kesehatan tubuh (yang tidak perlu memakai niat).
Niat juga berfungsi membedakan antara satu ibadah mahdah dengan ibadah mahdah lainnya. Niat untuk shalat wajib dibedakan dengan niat untuk shalat sunah, begitu juga niat untuk shalat wajib yang satu dibedakan dengan shalat wajib lainnya. Niat juga berfungsi membedakan apakah perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu tujuannya kepada Allah SWT.
FALSAFAH NIAT
NIAT INGSUN (NIAT)
Asal usul kata Niat Ingsun dalam Islam Nusantara.
Anda tentu hafal dengan kata, Niat Ingsun, Ini biasa dilakukan orang orang islam sekarang ini.
Berabad-abad lamanya masyarakat tabu untuk menyebut dirinya saja dengan sebutan ingsun, sebab kata ingsun hanya untuk para Kesatria, Bangsawan, dan Para Pemuka Agama.
Tiba-tiba hadir para pendakwah Islam yang dimotori oleh para wali songo menghadirkan kata ingsun di setiap niat peribadatan muslim :
1. Ketika berwudlu niat wudhu Sopo ingsun.....
2. Ketika Shalat niat ingsun shalat......
3. Ketika puasa niat ingsun puasa... dan sebagainya.
Sehingga dengan kata Niat Ingsun, masyarakat kaget, mereka kagum, mereka tertarik, akhirnya mereka berbondong-bondong menerima Ajaran para pendakwah tersebut dengan damai, tanpa ada pertumpahan darah. Menyisakan para pemimpin mereka yang masih angkuh dengan Derajat dan kekuasaan .
Karena didalam islam kekuasaan yang haqiqi hanyalah milik Allah SWT, dalam firmanya :
قُلِ اللهم مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَآءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَآءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Ali Imran : 26).
Para ulama Nusantara memahami ayat ini, jika kekuasaah hanya milik Allah, maka yang boleh mengatakan "Ingsun" bukan hanya para raja, bangsawan atau kesatria pada waktu ini, berarati termasuk orang biasa boleh menggunakan kata Ingsun.
Sehingga para ulama mengajarkan kata Ingsun disetiap niat mau ibadah. disamping untuk memberikan pelajaran kepahaman makna niat didalam beribadah.
AMAL ITU TERGANTUNG NIATNYA
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه “- متفق عليه –
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.
[Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]l
Itulah Islam NUSANTARA, Islam yang dibawa dan diajarkan oleh para WALI NUSANTARA, Sejak awal masuknya Islam ke Nusantara hingga menunai keemasan di zaman WALI SONGO .
Jika sekarang banyak yang menghujat ISLAM NUSANTARA, bahkan mengkafirkan, menganggap sesat, menganggap Syirik ajaran ISLAM NUSANTARA para leluluhur; mereka tidak sadar keislaman yang mereka kini peluk adalah atas jasa para WALI NUSANTARA; bukan para PEMUKA AGAMA BARU YANG BARU TAMAT SARJANA .
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa "Kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin".
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat.
Kekuasaan hanyalah milik Allah SWT.
قُلِ اللهم مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَآءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَآءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Q.S. Ali Imran : 26).
Dalam Tafsir al-Maraghiy dijelaskan bahwa dalam ayat ini Allah jalla jalaluhu menjelaskan tentang keadaan Nabi SAW serta umat musyrik dan para ahli kitab sebagai obyek dakwahnya. Orang-orang musyrik mengingkari kenabian seseorang yang makan dan berjalan di pasar-pasar, sedangkan para ahli kitab mengingkari nabi yang tidak berasal dari keluarga Israel. Ayat ini menjadi penghibur bagi Nabi atas penentangan serta kesombongan orang-orang yang munkar sekaligus peringatan bagi beliau tentang kekuasaan Allah untuk menolong dan meninggikan agama-Nya. Seakan-akan Allah berfirman kepada Nabi: “Bila para penentang itu berpaling darimu dan bukti-bukti nyata tidak memuaskan orang-orang musyrik dan para ahli kitab sehingga mereka tenggelam dalam kebodohan dan keyakinan yang salah, maka hendaknya engkau datang dan kembali kepada Allah ta’ala melalui doa dan pujian serta menyadari bahwa Dia-lah yang mengatur segala perkara.
Dalam Tafsir Al-Baghawi disebutkan bahwa Qotadah menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan saat Nabi SAW berdoa kepada Allah agar menjadikan kerajaan Persia dan Romawi menjadi bagian dari Islam. Sementara Ibnu Abbas dan Anas bin Malik mengatakan saat Mekah dibebaskan dari kekuasaan kaum kafir Quraisy, Nabi SAW berjanji kepada umatnya untuk menguasai Persia dan Romawi. Orang-orang munafik dan Yahudi berkata: Bagaimana mungkin Muhammad menguasai Persia dan Romawi, padahal mereka lebih kuat dan lebih memiliki perlindungan? Apakah Mekah dan Madinah tidak cukup bagi Muhammad sehingga dia dengan tamak ingin pula menguasai Persia dan Romawi?” Maka Allah kemudian menurunkan ayat ini.
Ayat ini adalah salah satu yang berbicara tentang qudratullah wa ‘adzomatuhu, kekuasaan Allah dan keagungannya. Allah amat berkuasa dalam mencipta dan mengatur segala urusan mahkluknya. Segala urusan diserahkan sepenuhnya pada-Nya karena pada-Nyalah kuasa untuk menentukan sesuatu itu baik atau sebaliknya.
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa ayat ini mengandung isyarat dan bimbingan yang menganjurkan untuk mensyukuri nikmat Allah Swt., yang ditujukan kepada Rasul-Nya dan umatnya. Karena Allah Swt. mengalihkan kenabian dari kaum Bani Israil kepada nabi dari kalangan bangsa Arab, yaitu dari keturunan kabilah Quraisy yang ummi dari Mekah sebagai penutup semua nabi, serta sebagai utusan Allah kepada segenap manusia dan jin. Allah menganugerahkan kenabian kepada siapa yang dikehendakinya, seperti firman-Nya:
اللهُ اَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ
Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (QS. Al-An’am: 124)
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an menyebutkan bahwa tidak ada seorang pun yg memiliki kekuatan mutlak yang membuatnya dapat berbuat sekehendak nafsunya. Kekuasaan itu hanyalah pinjaman dengan syarat-syarat tertentu sesuai dengan ketentuan Pemilik kekuasaan yang mutlak dan harus memenuhi ajaran-ajaran-Nya. Bila si peminjam dalam menggunakan kekuasaan menyalahi syarat yang telah ditetapkan Pemiliknya, maka yang dilakukannya itu adalah batil.
Imam Al-Baghawi menambahkan bahwa Allah memuliakan seseorang dengan iman, hidayah, taat, pertolongan, kekayaan, qanaah dan keridhaan serta menghinakan seseorang melalui kekufuran, kesesatan, maksiat, kekalahan, kefakiran, kekikiran, dan ketamakan.
Sebuah pelajaran besar yang dapat diambil dari ayat ini adalah hidup ini dalam segala bidangnya senantiasa terdiri dari pihak yang pro dan kontra. Peran apapun yang kita mainkan harus didasarkan pada keyakinan bahwa keberadaan kedua kelompok ini merupakan sunnatullah yang berada di bawah kuasa-Nya.
Keyakinan ini membuat kita bersabar dalam bertawakal dan berserah diri kepada-Nya dalam melaksanakan setiap tugas yang kita emban sebagai khalifahtullah fil ardh. Selain itu, dengan berbekal keyakinan ini, kita pun akan terhindar dari sifat putus asa terhadap rahmat Allah. Allah akan menggantikan generasi yang ingkar dengan orang-orang yang tidak takut dengan celaan orang-orang yang suka mencela. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat 54 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
Dalam ayat ini Allah menerangkan pula bahwa segala kebajikan terletak di tangan(kekuasaan)-Nya baik kenabian, kekuasaan ataupun kekayaan. Ini menunjukkan bahwa Allah SWT sendirilah yang memberikan kebaikan itu menurut kemauan-Nya. Tidak ada seorangpun yang memiliki kebajikan itu selain Allah SWT. Meskipun dalam ayat ini hanya disebutkan kebajikan saja sebenarnya segala yang buruk dan jahat juga ada di bawah kekuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat menghalangi-Nya apabila Dia memberikan kemuliaan maupun kehinaan kepada semua orang yang dikehendaki Nya. Sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam firman Nya:
وَنُرِيْدُ اَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِيْنَ
Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) (QS. Al-Qashash: 5).
Tidak ada siapa pun yang dapat beranggapan bahwa mereka akan tetap berkuasa walaupun telah memerintah negara setengah abad, walaupun mereka menggunakan berbagai cara untuk menghalalkan tindakkannya. Sejarah dunia telah membuktikan bahwa setiap pemerintah zalim yang merampas hak rakyat, mengutamakan kroni atau ahli keluarga daripada rakyat jelata, hidup bermewah-mewah, pilih kasih dan mealkukan korupsi, maka golongan ini tidak mustahil akan digantikan dengan golongan yang lebih baik, tulus dan amanah.
Allah SWT Maha Berkuasa dan Maha Bijaksana dan Dia mampu merubah sistem kehidupan di muka bumi. Oleh itu kita perlu menyadari bahwa hidup kita di dunia ini hanya sementara dan kehidupan yang sebenarnya adalah di kampung akhirat, sehingga kita waspada, tidak tertipu dengan bujuk rayu dunia dan berhati-hati ketika memilih pemimpin karena kita semua akan diminta pertanggungjawaban atas pilihan yang kita tetapkan di dunia ini.
Dalam kehidupan kita kerap sekali melakukan sebuah perbuatan, baik perbuatan yang menimbulkan manfaat maupun yang menimbulkan keburukan. Perbuatan yang menimbulkan manfaat dinamakan “ 'Amal Sholih” dan perbuatan ini muncul dari sebuah akhlak, yaitu Akhlak Mahmudah (Akhlak Terpuji). Dan adapun perbuatan buruk itu muncul karna adanya Akhlak Mazmumah(Akhlak Tercela) dalam diri seseorang.
Bahkan jika kita tilik, Akhlak Mazmumah bukan hanya menimbulkan perbuatan buruk tetapi juga menimbulkan sebuah perbuatan yang tampaknya juga baik, namun perbuatan itupun jadi buruk karna adanya Akhlak Mazmumah berupa “Riya' “. Riya sendiri mempunyai lawan yaitu Ikhlas, riya' dan ikhlas ini terdapat didalam hati kita yaitu berupa Niat.
Niat menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di, ialah maksud dalam beramal untuk mendekatkan diri pada Allah, mencari ridha dan pahalaNya. Atau dapat pula kita simpulkan dengan singkat, bahwa Niat adalah maksud dalam melakukan sesuatu. Sesuatu yang kita kerjakan pasti memiliki maksud, baik buruknya suatu perbuatan itu, maka maksud inilah yang bernama Niat.
Niat merupakan perkara yang penting dalam kehidupan terutama dalam bersosial terhadap masyarakat. Karna pentingnya niat itu Rasulullah Saw. Bersabda.
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
Sesungguhnya setiap amalan perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.
Dengan adanya hadits tersebut semakin insaflah kita akan perlunya niat dalam segala hal. Sebagaimana dalam hadits itu disebutkan, yaitu bahwa setiap amalan perbuatan itu tergantung kepada niatnya jika kita tilik sabda Nabi ini, maka perbuatan yang kita lakukan sebaik apapun itu tetapi jika diawali niat yang tidak baik, maka tidak menjadi baik pula perbuatan kita, melainkan menjadi perbuatan yang rusak karna sebelum pelaksanaannya saja sudah diawali dengan maksud yang tidak baik.
Cobalah kita menilik kepada kejadian yang terjadi saat ini, betapa banyak orang mulai dari para pejabat dan orang kaya raya yang berlomba lomba berbuat kebajikan namun sayang perbuatan mereka tersebut tidak diiringi dengan niat yang tulus. Betapa banyak orang orang kaya dan pejabat yang dimana mereka berbuat baik lantaran ingin namanya dikenal dan mereka melakukan hal tersebut hanya pada momen yang menguntungkan baginya, jika tidak menguntungkan maka mereka tidak akan dan bahkan enggan untuk melakukan hal kebaikan tersebut.
Rasulullah Saw. Juga menambahkan bahwa setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Cobalah kita tilik kembali dengan kisah diatas, banyak orang yang berbuat kebajikan namun niatnya hanya mencari nama baik dan juga pangkat saja. Lalu sebenarnya untuk apa mereka melakukan hal demikian, tidak lain tidak bukan hanya untuk menutupi keburukan yang ada pada dirinya. Laksana ia memakai pakaian kebaikan ditempat yang menguntungkan dirinya dan juga namanya, dan betul saja ia mendapat sorak gembira dan menjadi terkenal dikalangan itu saja dan tidak akan lebih. Dan bahkan akan membuat orang yang mengenalnya menjadi jijik atas dirinya.
Lantas jika seseorang itu sudah pulang dari tempat yang menguntungkan dirinya itu, akankah ia tetap memakai pakaian kebaikan itu? Tentulah tidak, karna ia akan malu kepada masyarakat yang kenal akan dirinya. Sekalipun jika ia berani pulang dengan pakaian seperti itu, maka dimata masyarakat tidak ubahlah pandangannya tentang dirinya dan bahkan masyarakat akan tertawa karna sejatinya pakaian yang ia pakai hanyalah untuk menipu masyarakat yang berada jauh darinya dan tidak begitu kenal akan dirinya, namun sejatinya masyarakat yang kenal akan dirinya tidaklah akan tertipu karna mereka tau sejatinya pakaian kebaikan tadi digunakan hanya untuk menutupi buruknya perbuatannya.
Itulah sedikit contoh jika seseorang berbuat kebaikan namun niatnya tidak tulus dari hati dan ia melakukan itu hanyalah untuk mencari nama saja, sehingga rusaklah perbuatan tadi karna niat buruknya sang pelaku tersebut.
Dan perbuatan demikian hendaklah kita hindari, supaya kita tidak bermuka dua dihadapan orang lain ataupun kita hanya pandai cari muka saja dihadapan orang atas dasar menutupi keburukannya. Jika sifat mencari muka dihadapan orang terus digencarkan maka ia akan terus menerus mencari cara agar dikenal orang dan terlihat baik, sampai sampai ia lupa menilik dirinya sendiri. Sehingga jika ada yang memberikan kritik atasnya, ia tidak akan menyadari kesalahannya dan bahkan ia merasa tidak bersalah karna sibuk mencari muka.
Sekian pemikiran saya yang dapat saya tuangkan dalam tulisan yang singkat ini, semoga Allah SWT. Menjauhkan kita semua dari pada sifat tersebut dan selalu menjaga niat kita dalam beramal.
NIAT INGSUN PATRAP JAWA
Niat Ingsun, bait mantera ini akan sangat terbiasa untuk Kejawen, hampir kebanyakan mengunakan tulisan ini walaupun kebanyakan hanya membacanya saja tanpa memahami kalimat dan yang bukan orang asli Jawa cenderung tidak mengetahui arti dan maknanya.
Dalam Rapalan Jawa, Ajian apa saja biasanya mengandung kalimat Niat Ingsun Ametak Matek Ajiku, kata ini bukan hanya di baca akan tetapi harus masuk langsung ke hati setiap pengamalnya.
Selain itu, harus di pahami pula makna yang terkandung di dalamnya untuk mengetahui tingkat Bersihnya hati dalam mengamalkan suatu Ajian atau ilmu Jawa.
Sepintas dalam artian, Niat Ingsun (Aku Berniat atau Niat Ku) dalam bahasa Jawa ini mengandung beberapa misteri dalam ilmu. Tidak cukup hanya di baca saja, ini lebih mengarah ke kehidupan selanjutnya dalam membawa ilmu yang di pelajari selain itu niat yang sebelumnya akan tetap ikut terbawa dengan membaca bait ini.
Niat Buruk Mempelajari Ilmu
Ini akan benar-benar berpengaruh, sebuah ilmu akan tetap berkaitan dengan niat sebelumnya, bisa di contohkan angan-angan kamu dalam memulai belajar ilmu. Niat yang kurang baik, bisa menjadi halangan dalam mempelajari sebuah ilmu.
Contoh :
Jika Saya Telah Berhasil Menguasai Ajian Jaran Goyang, Pasti Orang Banyak Akan di Buat Tergila-gila.
Hal di atas akan ikut tanpa kamu sadari, karena di dalam makna Niat Ingsun akan tetap membawa niatmu mempelajari sebuah ilmu. Ini akan menjadi sebuah tolak ukur keberhasilanmu.
Niatan, akan tetap menjadi sebuah patokan ilmu yang kamu pelajari, dalam nasehat sang guru ini biasanya akan seperti ini :
Ilmu Itu Ujian Bagimu.
Jika kamu gagal, ingatlah itu akan membuat kamu lebih intropeksi diri lagi akan kegagalanmu. Jika kamu berhasil, yang harus benar-benar di ingat adalah akan sangat berat membawanya bahkan itu akan menjadi sebuah ujian yang Allah berikan pada mu, ilmu akan membawamu ke arah kebaikan juga keburukan semua tetap akan kembali kepada Niat Ingsun kamu mempelajarinya serta mengunakannya.
Jadi, dalam istilah makna yang terkandung dalam Niat Ingsun lebih mengarahkan hatimu dalam mengamalkan atau juga mempelajari sebuah ilmu. Jangan pernah memandang sepeleh kalimat ini dalam java mantera.
Niat Ingsun, bait mantera ini akan sangat terbiasa untuk Kejawen, hampir kebanyakan mengunakan tulisan ini walaupun kebanyakan hanya membacanya saja tanpa memahami kalimat dan yang bukan orang asli Jawa cenderung tidak mengetahui arti dan maknanya.
Dalam Rapalan Jawa, Ajian apa saja biasanya mengandung kalimat Niat Ingsun Ametak Matek Ajiku, kata ini bukan hanya di baca akan tetapi harus masuk langsung ke hati setiap pengamalnya.
Selain itu, harus di pahami pula makna yang terkandung di dalamnya untuk mengetahui tingkat Bersihnya hati dalam mengamalkan suatu Ajian atau ilmu Jawa.
Sepintas dalam artian, Niat Ingsun (Aku Berniat atau Niat Ku) dalam bahasa Jawa ini mengandung beberapa misteri dalam ilmu. Tidak cukup hanya di baca saja, ini lebih mengarah ke kehidupan selanjutnya dalam membawa ilmu yang di pelajari selain itu niat yang sebelumnya akan tetap ikut terbawa dengan membaca bait ini.
Niat Buruk Mempelajari Ilmu
Ini akan benar-benar berpengaruh, sebuah ilmu akan tetap berkaitan dengan niat sebelumnya, bisa di contohkan angan-angan kamu dalam memulai belajar ilmu. Niat yang kurang baik, bisa menjadi halangan dalam mempelajari sebuah ilmu.
Contoh :
Jika Saya Telah Berhasil Menguasai Ajian Jaran Goyang, Pasti Orang Banyak Akan di Buat Tergila-gila.
Hal di atas akan ikut tanpa kamu sadari, karena di dalam makna Niat Ingsun akan tetap membawa niatmu mempelajari sebuah ilmu. Ini akan menjadi sebuah tolak ukur keberhasilanmu.
Niatan, akan tetap menjadi sebuah patokan ilmu yang kamu pelajari, dalam nasehat sang guru ini biasanya akan seperti ini :
Ilmu Itu Ujian Bagimu
Jika kamu gagal, ingatlah itu akan membuat kamu lebih intropeksi diri lagi akan kegagalanmu. Jika kamu berhasil, yang harus benar-benar di ingat adalah akan sangat berat membawanya bahkan itu akan menjadi sebuah ujian yang Allah berikan pada mu, ilmu akan membawamu ke arah kebaikan juga keburukan semua tetap akan kembali kepada Niat Ingsun kamu mempelajarinya serta mengunakannya.
Jadi, dalam istilah makna yang terkandung dalam Niat Ingsun lebih mengarahkan hatimu dalam mengamalkan atau juga mempelajari sebuah ilmu. Jangan pernah memandang sepeleh kalimat ini dalam java mantera.
NIAT INGSUN DALAM RAPALAN JAWA
Niat Ingsun, bait mantera ini akan sangat terbiasa untuk Kejawen, hampir kebanyakan mengunakan tulisan ini walaupun kebanyakan hanya membacanya saja tanpa memahami kalimat dan yang bukan orang asli Jawa cenderung tidak mengetahui arti dan maknanya.
Dalam Rapalan Jawa, Ajian apa saja biasanya mengandung kalimat Niat Ingsung Ametak Matek Ajiku, kata ini bukan hanya di baca akan tetapi harus masuk langsung ke hati setiap pengamalnya. Selain itu, harus di pahami pula makna yang terkandung di dalamnya untuk mengetahui tingkat Bersihnya hati dalam mengamalkan suatu Ajian atau ilmu Jawa.
Sepintas dalam artian, Niat Ingsun (Aku Berniat atau Niat Ku) dalam bahasa Jawa ini mengandung beberapa misteri dalam ilmu. Tidak cukup hanya di baca saja, ini lebih mengarah ke kehidupan selanjutnya dalam membawa ilmu yang di pelajari selain itu niat yang sebelumnya akan tetap ikut terbawa dengan membaca bait ini.
Niat Buruk Mempelajari Ilmu.
Ini akan benar-benar berpengaruh, sebuah ilmu akan tetap berkaitan dengan niat sebelumnya, bisa di contohkan angan-angan kamu dalam memulai belajar ilmu. Niat yang kurang baik, bisa menjadi halangan dalam mempelajari sebuah ilmu, contoh:
Jika Saya Telah Berhasil Menguasai Ajian Jaran Goyang, Pasti Orang Banyak Akan di Buat Tergila-gila.
Hal di atas akan ikut tanpa kamu sadari, karena di dalam makna Niat Ingsun akan tetap membawa niatmu mempelajari sebuah ilmu. Ini akan menjadi sebuah tolak ukur keberhasilanmu.
Niatan, akan tetap menjadi sebuah patokan ilmu yang kamu pelajari, dalam nasehat sang guru ini biasanya akan seperti ini:
Ilmu Itu Ujian Bagimu.
Jika kamu gagal, ingatlah itu akan membuat kamu lebih intropeksi diri lagi akan kegagalanmu. Jika kamu berhasil, yang harus benar-benar di ingat adalah akan sangat berat membawanya bahkan itu akan menjadi sebuah ujian yang Allah berikan pada mu, ilmu akan membawamu ke arah kebaikan juga keburukan semua tetap akan kembali kepada Niat Ingsun kamu mempelajarinya serta mengunakannya.
Jadi, dalam istilah makna yang terkandung dalam Niat Ingsun lebih mengarahkan hatimu dalam mengamalkan atau juga mempelajari sebuah ilmu. Jangan pernah memandang sepeleh kalimat ini dalam java mantera.