AKSARA JAWA MANGGATRA
Prasasti aksara Jawa tinggalan leluhur, adalah aksara jawa kuna permulaan (tahun 911 SM atau 988 sebelum tahun saka), ditemukan pada abad 13-14 M, kala kerajaan Majapahit (Brawijaya II), terukir pada permukaan batu besar di celah-celah pegunungan Lawu Jawa Timur.
CARAKAN PRA JAWA KUNO
Serangkaian aksara tersusun menjadi suku kata sarimbagan hingga menjadi perkataan, urutan 5 aksara permulaan dari 20 aksara pada baris pertamanya berbunyi HÅ NÅ CÅ RÅ KÅ yang sering diartikan ADA DUTA/UTUSAN, maka dahulu kala aksaranya dijuluki sebagai CARAKAN terletak di bumi yang Jawa/Dåwå (panjang), diringkas menjadi CARAKAN JAWA.
CARAKA merupakan duta permulaan, utusan HYANG BAGAS PURUWA (Sang Maha Permulaan Hidup). Utusan pertama itu adalah pandhita muda ahli atau empu berjuluk UBAYUN (artinya: Yang Permulaan Sanggup) membuat CARAKAN JÅWÅ pada tahun 911 Sebelum Masehi.
Di kala itu gatranya masih sederhana, kemudian HYANG BAGAS PURUWA mengutus lagi seorang empu berjuluk GALIHAN (artinya : Penalaran Yêkti) pada tahun 911 M menghaluskan gatra aksara sebagaimana sekarang ini.
Sebagai duta penerang hidup yang tertutup kegelapan ketidak mengertian, karenanya CARAKAN JAWA memberi pengertian tentang tujuan hidup :
1. Mengerti Sangkan Hidup Manusia.
2. Mengerti Perilaku Hidup Tepat.
3. Mengerti Tujuan Hidup Langgêng.
Ketiga perkara itu menjadi penyadaran SANGKAN PARANING DUMADI.
Sang MPU UBAYUN.
Pada waktu itu Empu Ubayun menerima Wangsit atau Pralampita dari Gusti sang Maha Hidup, untuk memberikan ajaran kepada banyak orang luas di tanah Jawa degan Sastra Carakan Jawa, yang memiliki arti :
Sastra = Tulisan
Carakan = Aksara
Jawa = Mengerti
Jadi, tujuan dari wangsit yang diterima oleh Empu Ubayun adalah beliau diperintahkan untuk memberikan ajaran yang berupa tulisan atau aksara yang dapat dimengerti.
Pada dasarnya Carakan Jawa itu adalah ilmu Sangkan Paraning Dumadi, yang berarti mula-mulanya hidup dan tujuan pungkasan hidup.
Wangsit yang diterima Empu Ubayun merupakan insipirasi sebagai dasar dalam merancang pembuatan bentuk – bentuk tulisan dan satuan Aksara jawa dari sudut pandang jagat raya atau alam semesta.
Menurut Pendapat Empu Ubayun, bahwa Jagad Raya ini sebenarnya berbentuk persegi empat, atau berbentuk kotak, yang amat besar tanpa batas ukuranya, sehingga ada arah atau ênêr papat yang terdiri dari arah Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Yang mengusai kotak tersebut adalah Sang Maha Hidup. Kotak itu tertutup dan terkunci, artinya didalam kotak itu ada sebuah ajaran yang sangat rahasia.
Siapapun tidak akan bisa membuka kotak itu kecuali orang-orang yang sudah mengerti benar budi pekerti dan tentang dirinya yang bisa membedakan prilaku tepat dan prilaku menyimpang. Kita menerima dengan pengertian yang disampaikan oleh Empu Ubayun bahwa Dunia atau jagad ini adalah berbentuk empat persegi, menandakan manusia mempunyai empat arah sebagaimana sekarang ini, yang biasa dijuluki Ênêr Papat Kalimå Têngah, begitu juga dengan Aksara Jawa yang berlarik empat kebawah dan lima kekanan, juga gatra aksara Jawa itu sendiri berbentuk empat persegi, ini menandakan Aksara Jawa mempunyai pengertian yang mendasar tentang hidup manusia. Gatra Kotak empat persegi sebagai gambaran Ênêr Papat Kalimå Têngah, sedang Aksaranya menggambarkan Sêdulur Papat Kalimå Pancêr.
Digambarkan bahwa Kotak itu sebagai bumi, sedangkan tutupnya adalah langit dengan isinya, yaitu Matahari, Bulan, dan Bintang.
Sehubungan dengan isi langit tadi, dapat menimbulkan daya cahaya yang sangat kuat dan tersebar merata di permukaan kotak/bumi, yang berunsur angin, air, api, dan intisarinya bumi. Kesemuanya itu sudah menyatu, dan membentuk suatu keberadaan yang dijuluki hidup.
Sedangkan Aksara Jawa yang terdapat didalam Kotak digambarkan Hidupnya manusia, yaitu sedulur Papat Kelima Pancer, yang terdapat dijagad cilik yaitu raga kita.
Jika dicermati dengan teliti, ternyata Ajaran Aksara Jawa memuat Filosofi yang sangat tinggi.
Semua ini menumbuhkan penalaran dan pengertian bahwa pada dasarnya permulaan Aksara Jawa, ternyata menggambarkan Penguasaan Gusti Sang Maha Hidup. Bagi semua yang ditetapkan oleh Tuhan untuk hidup. Artinya Aksara jawa ini keberadaanya semenjak adanya Kehidupan di Jagad Raya ini, Sudah semestinya kalau kita sebagai titah dan mahluk hidup yang lain harus mengerti kepada yang telah menciptakan.
Semua tumitah dan kita sebagai orang berusaha melakukan perbuatan yang bisa menyenangkan orang lain. Pengertian atau ajaran ini untuk pegangan hidup bagi siapapun, utamanya pengertian mengenai hubungan dengan Perkara Sangkan Paraning Dumadi.
Dengan Pasemon atau sindiran ini sebagai gambaran dalam pemaparan arti dan bentuk satuan Aksara Jawa.
AKSARANYA
HÅ = HINGSUN/mula sabda HYANG BAGAS PURUWA (Dewanya Permulaan Hidup) lantas benar-benar HANA /ada permulaan hidup yang dijuluki EKAJATI (kemanunggalan sejati).
NÅ = NITAHAKÉ
CÅ =CAHYÅ
RÅ =RÅSÅ
KÅ =KARSÅ
DÅ =DUMADI
TÅ =TITISING
SÅ =SARI RÅSÅ
WÅ =WANDIYÅ/WAHÅNÅ/KENDARAAN
LÅ =LUMAKSÅNÅ/berjalan tiada hentinya/makarti/berbuat
PÅ =PANTYÅ/Papan/tempat/wadhah
DHÅ = DHAWUH/sabda
JÅ = JAGAD
YÅ = YÊKTI/sejati/benar/sesungguhnya
NYÅ = NYAWIJI/manunggal/menyatu
MÅ = MARMÅ/akibatnya
GÅ = GANTYÅ/bergantilah
BÅ = BINUKÅ/dibuka/digelar/tampak jelas dimengerti
THÅ = THUKUL/tumbuh
NGÅ = NGAKÅSÅ/mengangkasa/mengawang-awang.
Catatan peristiwa Aksara dan Penanggalan Jawa selalu terkait. Kalau Penanggalan Jawa berdasarkan 'Sangkan Dumadining Bawana' atau permulaan terbentuknya semesta raya (makrokosmos dan mikrokosmos), sedangkan Aksara Jawa berdasarkan 'Sangkan Paraning Dumadi' atau permulaan terjadinya hidup dan kehidupan. Aksara Jawa pertama kali dibentuk atau diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun ± 911 SM. Dalam perjalanan waktu pada tahun 50 SM (Sebelum Masehi) Prabu Sri Maha Punggung I atau Ki Ajar Padang I mengadakan perubahan pada aksara dan sastra Jawa.
Bertepatan tanggal 21 Juni 77 M oleh Prabu Ajisaka atau Prabu Sri Maha Punggung III melakukan kembali perubahan aksara dan Penanggalan Jawa, dalam budaya Jawa ketika menghitung selalu dimulai dari angka nol (Das), sehingga Penanggalan Jawa kembali bermula pada tanggal 1 Badrawarna (Surå) tahun Sri Harsa, Windu Kuntara adalah tanggal 1, Bulan 1, Tahun 1, Windu 1 tepat pada hari Radite Kasih (Minggu Kliwon) ditetapkan permulaan perhitungan Penanggalan Jawa, bertepatan tanggal 21 Juni 78 Masehi. Penanggalan Jawa memakai pedoman peredaran Matahari (Solar).
Sedangkan kalender Caka Hindhu diciptakan oleh Maharaj Kaneshaka dari suku Avicaka di India Utara pada 23 Maret 78, sekarang tahun barunya disebut tahun baru Nyepi.
Prabu Ajisaka adalah tus/asli/tulen orang Jawa bukan dari India, serta memiliki banyak julukan atau gelar, yaitu :
1. Prabu Jaka Sangkala.
2. Prabu Widayaka.
3. Prabu Sindula.
4. Prabu Sri Maha Punggung III.
5. Ki Ajar Padang III.
Salah satu petilasannya ada di Mrapen (Api Abadi) daerah Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.
Beberapa bukti kalau Ajisaka tus Jawa :
1. Pusaka yang dijaga oleh PÅNÅ KAWAN nya adalah Keris, dan telah diakui oleh seluruh dunia bahwa Keris adalah budaya Jawa.
2. Para PÅNÅ KAWAN Ajisaka sebenarnya ada empat (4) orang, bukan dua (2) orang seperti yang selama ini dikenal orang.
Julukan para PÅNÅ KAWAN Ajisaka ditilik dari bahasa menandakan bahasa Jawa Kuna atau Kawi.
Julukan Panakawan itu adalah :
a. Prayuga (angin).
Dalam bahasa Jawa Kuna adalah menunjuk pada elemen angin, sebagai pembangun daya hidup orang.
Kosa kata itu juga berarti berada pada kondisi yang tepat.
b. Sembada (api).
Dalam pengertian bahasa Jawa Kuna adalah menunjuk pada elemen api, daya pembakar, atau penyemangat.
Tapi juga berpengertian kemampuan memenuhi atau menggatrakan.
c. Dura (air).
Dalam pengertian bahasa Jawa Kuna adalah menunjuk pada elemen air. Kosa kata itu juga berarti kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan, bukan DORÅ yang berarti bohong.
d. DUGÅ (tanah).
Dalam bahasa Jawa Kuna menunjuk elemen tanah, sebagai pembangun ragawi orang.
Pun juga berpengertian sebagai suatu kemampuan mendeteksi situasi.
3. Semua elemen itu ada pada Jagad Gedhe atau Bhawana Ageng atau Makrokosmos, serta terdapat juga pada tubuh manusia atau Jagad Cilik atau Bhawana Alit atau Mikrokosmos.
4. Sedang julukan Ajisaka juga dari bahasa Jawa Kuna (Aji/Haji/Utama/Luhur-Saka/Tiang/Pedoman) yang berarti seorang Luhur yang mengerti dan mempunyai kemampuan atau mumpuni dalam hidup dan kehidupan.
Adalah Orang yang telah berkesadaran paripurna.
Berkaitan dengan Aksara Jawa, empat elemen pembangun hidup ditempatkan pada lambang bunyi sebagai pasangan (sandangan) seperti berikut :
1. Elemen angin dilambangkan 'sandhangan CÊCÊG', gambar lobang hidung berbunyi 'NG'.
2. Elemen api dilambangkan 'sandhangan TALING dan TARUNG', gambar telinga kiri dan kanan berbunyi 'É atau È' dan 'O'.
3. Elemen air dilambangkan 'sandhangan LAYAR atau SOCÅ', merupakan gambar mata berbunyi ujung 'R'.
4. Elemen tanah dilambangkan 'sandhangan PÊPÊT untuk bunyi Ê gambarnya ubun ubun, lalu HULU/WULU untuk bunyi I gambarnya kepala, kemudian WIGNYAN untuk bunyi ujung H gambarnya mulut'.
Di prasasti Candi Borobudhur atau SWAMBHARA-BUDHURA, kira-kira pada abad 7-8 Masehi. Perkiraan penelitian arkeolog dengan meneliti lapisan batu bawah dan atas, diperkirakan Candi Borobudhur dibangun selama 104 tahun, pada kala itu Mpu Galihan dan Mpu Gunadharma melakukan perubahan atau pengembangan bentuk aksara Jawa.
Aksara dalam Bausastra Jawa artinya 'tulisan gambaring swårå utåwå wåndå' kalau dialihkan dalam bahasa Indonesia berarti tulisan adalah gambar dari suara atau penampilan ataupun lambang bunyi.
Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuna aksara dari kata haku & sårå yang berarti ketajamanku.
Jika dipelajari sungguh, budaya Jawa yang benar, ada kata kunci yaitu 'kasunyatan lan tinêmu ing nalar' atau dengan kata lain ilmiah dan rasional.
Contoh 1 :
HÅ ~ HÅnå Hyang Suksma Jati nrangi.
Ada Tuhan Roh-Jati yang menerangi.
NÅ ~ NAndho dåyå prånå gung amêtå.
Menampung dan mengelola daya kehidupan agung.
CÅ ~ CAhya cipta-budi kabeh.
Cahya cipta-budi menyeluruh.
RÅ ~ RAsa jajag tyas anggung.
Rasa mendasar dalam hati selalu.
KÅ ~ KArså lancar manrus ngugêmi.
Berkehendak lancar terus menerus dan berpegang teguh.
DÅ ~ DAdèn tuhu ucapnya.
Menyalakan api setia pada ucapannya.
TÅ ~ TAnsah hamêmayu.
Selalu menjaga dan berbuat indah.
SÅ ~ SArwindrå muji Hyang Suksmå.
Serba perasa, bernalar dan berbakti kepada Tuhan.
WÅ ~ WAntu dahat mangunah Gusti kapundhi.
Tak hentinya untuk selalu menggapai perkenan Tuhan dan memujaNya.
LÅ ~ LAntip ruming nêståpå.
Dengan bijaksana dan semerbak harumnya rasa keprihatinan.
PÅ ~ PAndomirå condhong anggung éling.
Pedomannya cenderung senantiasa waspada dan sadar diri.
DHÅ ~ DHAmang catur sangkan paran kuwåwå.
Mengerti arti dan mampu menyatai dari mana dan hendak kemana hidup ini.
JÅ ~ JÅ lirwå ing saancasé.
Jangan lengah akan semua tujuan dasar semula.
YÅ ~ YÅ ngayogya tinuntun.
Yaitu patut dilakukan dengan bimbingan.
NYÅ ~ NYAng karyå tamaning dumadi.
Kearah kebajikan hidup dan rasa kemanusiaan.
MÅ ~ MArmå tinatå mbakå.
Maka diatur dengan sistematis.
GÅ ~ GAyuh hanyadarum.
Cita-cita yang menyeluruh.
BÅ ~ BAkal adi tyas sakécå.
Akan membuat indah dan senang hati.
THÅ ~ THArik ing whong éling jati urip.
Tata kecerahan nalar manusia akan hidup sejati atau sejatinya hidup.
NGÅ ~ NGAngkah ningrat nunggal Hyang.
Menggapai keheningan tingkat atas alam menyatu dengan TUHAN.
Contoh 2 :
HÅ ~ HAng, Hing, Hung, Hèng, Hong. Sabdaning Angin (Howo kang obah).
Sesuatu yang mula. Sebab-akibat dari sabda kehidupan.
NÅ ~ Nitahaké: nganakaké, ngayomi, lan nyirnakaké.
Menciptakan, memelihara, dan Menghancurkan.
CÅ ~ Cahyå, nanging cahyaning Téjå.
Cahaya dari intisari Cahaya (Cahaya Tuhan).
RÅ ~ RAså, nanging rasaning Urip.
Rasa sejati sang hidup.
KÅ ~ Karså, nanging karsaning Urip.
Kehendak sejati sang hidup.
DÅ ~ DAtan sirnå sejatining Urip.
Sejatinya Hidup tidak akan pernah sirna (Hidup itu langgêng).
TÅ ~ Tumitis awit titis.
Terlahir karena kehendak yang benar dan dikehendaki.
SÅ ~ SAri rasaning sagung gumêlar.
Sari kehidupan semesta raya.
WÅ ~ Wandita, wahånå kang winadi lan wola-wali.
Sesuatu yang unggul, penuh misteri dan sistematis serta dinamis.
LÅ ~ Lumaris, lumaksånå datan kêndhat awit jantraning jagad.
Segalanya berjalan dinamis sesuai dinamika atau ketentuan semesta.
PÅ ~ PAntiyå, papan, sasana.
Alam tempat Hidup dan kehidupan.
DHÅ ~ DHAwuh, sabda, pangandika.
Perintah dan Sabda Tuhan
JÅ ~ JAgad cilik lan jagad gêdhé.
Semesta meliputi mikrokosmos, dan makrokosmos.
YÅ ~ Yekti, sejati.
Sesungguhnya hidup dan kehidupan.
NYÅ ~ NYAwiji, manunggal.
Menjadi satu kesatuan.
MÅ ~ MArmo.
Menjadikan sebab dan akibat.
GÅ ~ GAntiyå, owah, obah.
Perubahan yang dinamis.
BÅ ~ Binuka, kagelar.
Terbuka dan tergambar dengan adanya alam semesta.
THÅ ~ THukul, semi.
Selalu tumbuh dan bersemi.
NGÅ ~ NGAkasa, Awang-uwung.
Menuju alam awang-uwung (back hold life) menyatunya Sang Hidup dan Sang Maha Hidup.
Pengertian dan filosofi aksara Jawa seperti dua contoh terurai di atas sangat banyak dan beragam.
Beda orang/daerah/paham/keyakinan akan beda pula pengertian ataupun penjabaran mereka dengan sistem akronim (singkatan), sehingga cenderung terkesan gathuk-mathuk.
Sedangkan prinsip dasar dalam budaya Jawa adalah kasunyatan dan tinemu ing nalar (ilmiah dan rasional), bukan sekedar gathuk-mathuk.
Sekarang mari meluaskan nalar untuk mengerti arti dan filosofi aksara Jawa dengan metode atau paradigma lain.
HÅ, NÅ, CÅ, RÅ, KÅ
Ånå utusan (ada utusan).
Apapun dan siapapun yang di semesta ini (makrokosmos dan mikrokosmos), semua adalah utusan Tuhan.
DÅ, TÅ, SÅ, WÅ, LÅ
Datan bisa swala
(tidak bisa menolak ketentuan Tuhan).
Semua utusan tidak mampu menolak kehendak Tuhan, maka sebagai utusan Nya harus menjalankan ketentuanNya sebagai ejawantah kekuasaan Tuhan.
Contoh : manusia harus menjalankan kodrat dan takdirnya sebagai manusia, ikan harus menjalankan kodrat dan takdirnya sebagai ikan, burung harus menjalankan kodrat dan takdirnya sebagai burung, dll.
PÅ, DHÅ, JÅ, YÅ, NYÅ
Semua diperlengkapi kekuatan dan bekal sesuai dengan cetak biru nya atau rancangan sebagai utusan Tuhan.
MÅ, GÅ, BÅ, THÅ, NGÅ
Urip iki bathangan
(hidup ini adalah misteri dan teka-teki).
Hidup ini merupakan misteri dan teka-teki dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga sebagai utusan Tuhan harus mampu menemukan Jatidiri dan menjadi diri sendiri sesuai rancangan. Mampu mengerti Hidup Sejati yang tentunya akan terjadi komunikasi yang intens antara Sang Hidup (utusan/caraka) dengan Sang Maha Hidup (Tuhan).
Selain pengertian yang telah diuraikan di atas, ada pengertian lain yang sangat tinggi nilai filosofinya, yaitu : 18 aksara Jawa jika 'dipangku' menjadi 'mapan' dan berubah atau berganti arti, kecuali 2 aksara JA dan WA.
Artinya :
Siapapun dan apapun seseorang yang belum 'JÅWÅ' (mudhêng ~ mengerti hidup dan kehidupan) akan berganti perilaku ketika diberi fasilitas.
Dengan kata lain bisa diartikan 'JÅWÅ' adalah 'sesuatu yang tidak terlenakan', atau Jiwa yang selalu Waspada.
Atau 'JÅWÅ' itu orang yang 'mudhêng' atau telah mengerti sungguh tentang hidup dan kehidupan menyeluruh.
Berikut ini adalah uraian mengenai Aksara Jawa yang sesuai dengan kanyatan tinêmu nalar atau realitas yang logis terkait terjadinya aksara sebagai lambang bunyi yang merupakan ungkapan untuk menyatakan tentang kehendak hati dari seseorang kepada orang lain dalam bentuk tu lisan yang bisa dimengerti.
Yang terbentuk dari corèkan atau ca ra kan, atau goresan atau guratan, maka jadilah tu lis an, atau guratan kehendak hidup. CaRaKa = Tu Lis an.
Gatranya :
HÅ ~ Harså ~ Kehendak
NÅ ~ Nålå ~ Hati
CÅ ~ Catur ~ Berkata
RÅ ~ Råså ~ Rasa
KÅ ~ Katur ~ Diungkapkan
Kehendak dari Hati ingin Mengatakan mengenai Rasa dengan Ungkapan.
DÅ ~ Dadyå ~ Menjadi
TÅ ~ Tåtå ~ Tatanan
SÅ ~ Saur ~ Percakapan
WÅ ~ Walåkå ~ Terus terang
LÅ ~ Låså ~ Jelas
Menjadi Tatanan Percakapan Terus terang dan Jelas.
PÅ ~ Papan ~ Tempat
DHÅ ~ Dhawuh ~ Perintah/Sabda
JÅ ~ Jåwå ~ Kemengertian
YÅ ~ Yakti ~ Esensial
NYÅ ~ Nyawiji ~ Menyatu
Sebagai Tempat Perintah/Sabda Kemengertian Esensial Menyatu.
MÅ ~ Maran ~ Hingga
GÅ ~ Gånthå ~ Kemauan
BÅ ~ Babar ~ Teruraikan
THÅ ~ Thatharik ~ Rapih
NGÅ ~ Ngarågå ~ Menggatra
Hingga Kemauan Teruraikan Rapih Menggatra.
Dan ketika ditangkap dalam bentuk pesan menjadi sebagai berikut :
HÅ NÅ CÅ RÅ KÅ
(Ada Tulisan)
DÅ TÅ SÅ WÅ LÅ
(Menjadi Rangkaian)
PÅ DHÅ JÅ YÅ NYÅ
(Berisi Pesan Hati)
MÅ GÅ BÅ THÅ NGÅ
(Inilah Bentuknya).
Jadi sesungguhnya 'Aksårå Jåwå' adalah merupakan Tulisan yang Di rangkai dan berisi Pesan Hati dalam bentuk goresan lambang atau seratan.
Sumber :
Buku Andharan dan Tafsir FILSAFAT HA NA CA RA KA, karangan SOEPRAPTO NITIHARJO, ketua Yayasan Pembinaan Pendidikan Budi Luhur Gema SOSROKARTONO Yogyakarta). Dan berbagai sumber lain.