FILOSOFI & MAKNA APEM
Istilah apem sebenarnya berasal dari bahasa Arab, afuan/ afuwwun, yang berarti ampunan. Jadi, dalam filosofi Jawa, kue ini merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Namun, karena orang Jawa menyederhanakan bahasa Arab tersebut, maka disebutlah apem.
Berkaitan dengan penggunaan makna tersebut, masyarakat Jawa biasanya membuat apem saat menjelang bulan puasa atau Ramadan. Inilah yang disebut tradisi megengan. Megengan berasal dari bahasa Jawa 'megeng' yang berarti menahan diri, bisa diartikan sebagai puasa itu sendiri.
Kue apem dibuat untuk dibawa ke surau, musala, atau masjid. Setelah berdoa bersama, kue apem dibagi kepada para tetangga atau mereka yang kurang beruntung. Sehingga bisa dikatakan, kue ini juga sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap rezeki yang sudah kita dapatkan.
Kata Apem ternyata berasal dari bahasa arab yaitu afuan atau afuwwun yang memiliki arti ampunan. Secara tidak langsung, apem adalah sebuah simbol bagi masyarakat Jawa untuk meminta ampunan. Harapan-harapan agar diampuni dari segala kesalahan dan dosa.
Tradisi yang Menggunakan Apem.
Dari filosofi kue apem maka muncullah di masyarakat Jawa sebuah tradisi yang bernama megengan. Tradisi ini hampir dilakukan oleh seluruh masyarakat Jawa menjelang bulan Ramadhan. Atau dalam kalender Jawa bernama rumah. Dalam bahasa Jawa, megengan diartikan sebagai menahan diri atau lebih tepatnya mempunyai makna puasa.
Di beberapa daerah di Jawa, apem yang dibuat untuk acara megengan akan dibawa ke masjid. Kemudian, beberapa warga berkumpul dan melakukan doa bersama. Lalu, kue tersebut dibagikan untuk dimakan dan dibagikan kepada warga yang tidak mampu. Sebagai wujud rasa syukur atas nikmat Tuhan.
APEM / APAM
Jenis kue panekuk dari beras terfermentasi dan santan
Apam atau apem (dikenal juga dengan appam di negeri asalnya India adalah makanan yang terbuat dari tepung beras yang didiamkan semalam dengan mencampurkan telur, santan, gula dan tape serta sedikit garam kemudian dibakar atau dikukus. Bentuknya mirip serabi, tetapi lebih tebal.
Kue apam barabai, salah satu jenis apam yang populer di Kalimantan Selatan
Menurut legenda, kue ini dibawa Ki Ageng Gribig yang merupakan keturunan Prabu Brawijaya kembali dari perjalanannya dari tanah suci. Beliau membawa oleh-oleh 3 buah makanan dari sana. Namun karena terlalu sedikit, kue apem ini dibuat ulang oleh istrinya. Setelah jadi, kue-kue ini kemudian disebarkan kepada penduduk setempat. Pada penduduk yang berebutan mendapatkannya Ki Ageng Gribig meneriakkan kata yaqowiyu yang artinya Tuhan berilah kekuatan.
Makanan ini kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai kue apem, yakni berasal dari saduran bahasa arab affan yang bermakna ampunan. Tujuannya adalah agar masyarakat juga terdorong selalu memohon ampunan kepada Sang Pencipta. Lambat laun kebiasaan membagi-bagikan kue apem ini berlanjut pada acara-acara selamatan menjelang Ramadhan
Masyarakat Jawa biasanya menyajikan kue apem untuk merayakan Tahun Baru Islam.
Kue apem biasa ditemukan dalam gunungan yang akan diarak untuk merayakan Tahun Baru Islam di daerah Jawa Tengah. Nantinya, gunungan apem tersebut akan diperebutkan oleh masyarakat karena dipercaya dapat menjadi berkah.
Sementara masyarakat Karanganyar, Jawa Tengah juga punya tradisi yang melibatkan apem yakni tradisi Wahyu Kliyu, melempar apem ke tikar yang telah dilapisi daun pisang. Tradisi ini untuk memohon anugerah kepada Tuhan.
Apem ada sejak pra-Islam.
Namun ternyata, apem tidak hanya bisa ditemukan dalam perayaan Tahun Baru Islam saja tapi juga banyak perayaan dan selamatan lain. Salah satunya adalah ritual Ruah atau bersih desa sebelum Ramadan.
Sejarawan Heri Priyatmoko menjelaskan bahwa apem bahkan sudah ada sejak masa Pra-Islam dan jadi salah satu elemen dalam berbagai ritual masyarakat Jawa. Salah satu alasannya adalah karena bahan pembuatan apem yang mudah didapatkan.
Artinya enggak perlu ribet. Enggak perlu cari kemana-mana. Makanan tradisional yang bahannya ada di sekitar meraka, makanya itu mudah sekali hadir enggak hanya saat Suro (Tahun Baru Islam) tapi juga perayaan lain.
Apem adalah simbol kesederhanaan pada Tahun Baru Islam.
Apem kemudian bisa identik dengan perayaan Tahun Baru Islam karena apem adalah sebuah sesaji yang selalu lekat dengan segala macam perayaan yang dilakukan masyarakat Jawa.
Sejak masa pra-Islam, sesaji berupa apem telah ada dalam berbagai bentuk ritual masyarakat. Kemudian Islam masuk ke Jawa, dan muncul perayaan Tahun Baru Islam, kebiasaan menyajian sesaji berupa apem tersebut tidak hilang dan tetap dilakukan.
Hanya saja yang disembah bukan lagi roh, pepunden, penunggu tapi adalah Tuhan dengan sarana apem tadi.
Orang Jawa selalu mempunyai filosofi atau pengharapan. Apem ini adalah bentuk pengharapan. Tafsirnya beraneka ragam. Boleh dikatakan apem ini bagian dari simbol kebersamaan dan kesederhanaan.
SIMBOL
Disebut sebagai simbol kesederhanaan karena apem dibuat dari bahan yang sederhana, serta pengolahannya pun sederhana. Kue apem sendiri dibuat tepung beras, gula, santan, dan tape singkong.
Apem juga disebut dengan simbol kebersamaan karena bisa mengumpulkan banyak orang dalam perayaan tersebut.
Penamaan apem dipengaruhi budaya India dan Arab
Penamaan kue apem di Nusantara konon dipengaruhi oleh dua kebudayaan besar yakni India dan Arab. Istilah ini merujuk pada kata ‘afuan, afwan, affan, atau afuwwun’ dalam bahasa Arab yang berarti maaf atau pengampunan.
Dalam konteks ini, apem dipandang sebagai simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Orang Jawa menyederhanakan kata Arab ini dengan apem.
Tujuan penggunaannnya adalah agar masyarakat terdorong untuk selalu memohon ampun kepada Sang Pencipta.
Kue apem diyakini merupakan variasi dari kue Khamir di Arab yang biasa disantap untuk sarapan dan samilan sore hari.
Khamir berbentuk bundar, pipih, berwarna coklat, dan hampir menyerupai kue apem atau serabi tapi lebih besar dan bantet. Namun cara pembuatannya berbeda dari kue apem di Indonesia.
Kue apem yang jadi elemen penting dalam perayaan Tahun Baru Islam dijadikan simbol permohonan ampun kepada Tuhan atas perbuatan dosa setahun lalu.
Sebelum kue Apem dibagi-bagikan selepas sholat jama’ah Maghrib ataupun Isya’, para jama’ah lantunkan kalimat-kalimat tayyibah dalam hal ini adalah tahlil dan istighosah.
Dengan harapan supaya dalam menjalankan kedepanya merasa tenang dan berlapang dada, sebab Allah memaafkan segala dosa yang telah mereka perbuat.
APEM SUATU WARISAN TRADISI MEGENGAN
1 Kurang dua bulan lagi umat Islam akan memasuki bulan suci Ramadhan. Sebelum memasuki bulan penuh berkah dan ampunan itu, masyarakat Indonesia, khususnya Budaya Jawa, memiliki tradisi khusus menyambut datangnya puasa.
Di minggu terakhir Bulan Sya’ban atau sehari menjelang puasa Ramadhan, masyarakat di Jawa umumnya membagi-bagikan kue dan makanan lainnya ke sesama tetangga di lingkungan tempat tinggal. Ada juga yang dipusatkan di musholla dan masjid. Usai melakukan doa bersama, kue Apem akan dibagikan kepada para jamaah secara gratis. Tradisi inilah yang dinamakan megengan.
Apem menjadi sajian simbol dari budaya megengan. Megengan berasal dari bahasa Jawa ‘megeng’ yang berarti menahan diri, identik dengan makna puasa. Makanan berbahan dasar tepung beras ini boleh dikatakan bagian dari tradisi kejawen. Maka, tak heran jika kue Apem selalu dipergunakan pada beberapa acara penting dan sakral. Seperti acara tasyakuran atau dalam bahasa Jawa disebut selametan.
Pada dasarnya istilah Apem diambil dari bahasa Arab, ‘afuan’ atau ‘afuwwun’, artinya ampunan. Namun oleh masyarakat Jawa kemudian disederhanakan menjadi ‘Apem’. Menurut filosofi Jawa, Apem merupakan simbol tolak bala dan permohonan ampun atas berbagai kesalahan.
Ada juga yang memaknai apem sebagai simbol rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas limpahan rezeki. Ini seperti yang pernah dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam prosesi Tingalan Dalem Jumenengan ke-24. Yaitu sebuah peringatan atas kenaikan tahta Sultan Hamengku Buwono X sebagai pemimpin Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 2012.
Lain halnya di kota Cirebon. Masyarakat Cirebon memaknai apem sebagai kue kebersamaan atau silaturahmi. Dalam budaya masyarakat yang terkenal dengan sebutan kota udang itu, apem dibagikan secara gratis ke sesama tetangga saat memasuki bulan Safar (bulan ke-2 perhitungan kalender Hijriyah). Selain merepresentasikan makna kebersamaan, kue bertekstur agak kenyal itu juga menjadi simbol tolak bala.
BUDAYA MEGENGAN
Budaya megengan ini bermula dari kisah Sunan Kalijaga, salah satu ulama wali songo (baca; wali sembilan). Ceritanya, salah satu murid Kanjeng Sunan Kalijaga, Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, pulang dari ibadah haji. Dia melihat kondisi penduduk Desa Jatinom, daerah Klaten, mengalami kelaparan.
Lalu sang sunan membuat kue Apem dan dibagikan kepada warga yang kelaparan itu sambil mengajak mereka mengucapkan kalimat dzikir Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Singkat cerita, penduduk yang kelaparan menjadi kenyang usai menyantap Apem sambil berdzikir. Sehingga akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan penduduk setempat untuk terus menghidupkan tradisi upacara Ya Qowiyyu setiap bulan Safar.
Seperti kita ketahui bahwa kesuksesan para wali songo dalam penyebaran agama Islam di seluruh penjuru negeri ini karena strategi dakwahnya bisa diterima masyarakat, meskipun mayoritas penduduk saat itu mememeluk agama Hindu-Budha. Sunan Kalijogo merupakan salah satu wali yang melakukan dakwah pada masyarakat Jawa pedalaman (khusunya Jawa Timur dan Jawa Tengah) dengan metode akulturasi budaya.
Kanjeng sunan menggunakan pendekatan psikologi budaya, sehingga menghapus sekat-sekat/pembatas yang dapat menganggu syiar islam. Dalam praktek akulturasi budaya, Kanjeng Sunan mengubah kebiasaan jahilliyah yang dilakukan masyarakat Jawa dan memasukkan muatan nilai-nilai keislaman. Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. pernah bersabda, bahwa agama itu mudah, maka mudahkanlah, jangan dipersulit dalam pelaksanaannya.
Kue Apem dan tradisi megengan hanyalah sebentuk kue dan warisan tradisi kejawen yang telah diakulturasikan dengan nilai-nilai Islam. Namun substansi maknawi dari afwan dan megeng-nyalah yang hendak kita raih dalam mengahadapi bulan suci Ramadhan. Yaitu upaya permohonan ampun yang disertai dengan perbaikan diri dengan cara mengendalikan hawa nafsu.
HISTORIS APEM
1. Kue apem ini sudah hadir di zaman Sunan Kalijaga. Setelah pulang dari ibadah haji, sunan melihat penduduk desa Jati Anom mengalami pace klik dan kelaparan. Kemudian, Sunan membuat apem dan mengajak mereka mengucap dzikir bersama.
Dalam sejarah ada legenda yang menuturkan bahwa kue apem ini bermula pada zaman Sunan Kalijaga, salah seorang wali sanga. Adalah Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga, yang waktu itu baru pulang ibadah haji dan melihat penduduk Desa Jatinom, daerah Klaten, kelaparan.
Beliau membuat kue apem lalu dibagikan kepada penduduk yang kelaparan sambil mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Para penduduk itu pun menjadi kenyang. Hal inilah yang memotivasi penduduk setempat untuk terus menghidupkan tradisi upacara Ya Qowiyyu setiap bulan Safar.
2. Tradisi Apeman di Berbagai Kota. Di setiap kota punya tradisi sendiri. Seperti di Jogja, kue ini digunakan saat prosesi Tingalan Dalem Jumenengan atau peringatan kenaikan tahta.
3. Di Cirebon, apem ditandai sebagai makna kebersamaan.
Di Cirebon, kue apem dimaknai sebagai kue kebersamaan. Pasalnya, dalam masyarakat Cirebon, kue ini dibuat ketika bulan Safar (bulan ke-2 dalam kalender Hijriyah) untuk dibagikan kepada para tetangga secara gratis. Menunjukkan bahwa masyarakat saling membantu dengan sarana kue apem tersebut. Selain itu, kue putih agak kecokelakatan dan cukup kenyal ini dimaknai sebagai penolak bala oleh masyarakat Kota Udang ini.
Kue tersebut dibuat pada bulan Safar dan dibagikan secara gratis kepada tetangga.
3. Apem sebagai simbol rasa bersyukur juga dibuat ketika prosesi Tingalan Dalem Jumenengan ke-24 Sri Sultan Hamengku Buwono X (Peringatan Kenaikan Takhta Sultan HB X) dalam memimpin Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 2012.
4. Secara garis besar, makna filosofi kue apem di kalangan masyarakat Jawa itu sama. Termasuk orang-orang Madura, khususnya Sumenep, yang memiliki tradisi apeman.
Cara pembuatannya pun sama. Maknanya juga hampir sama, menunjukkan adanya tali silaturahmi karena nantinya juga dibagikan kepada tetangga atau santri (bila di lingkungan pesantren). Waktu pelaksanaan pembuatannya pun juga pada saat menjelang bulan puasa.
KEUNIKAN APEM
Kue tradisional banyak terdapat di berbagai daerah di indonesia. Kue-kue ini disajikan untuk santapan biasa maupun untuk upacara upacara adat.
Kraton Jogja juga memiliki kue yang biasa digunakan untuk upacara upacara adat, salah satunya adalah apem. Kue ini sebagai simbol tolak bala dan sebagai ungkapan wujud syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas limpahan rejeki yang telah didapat.
Kue apem, kue ini terbuat dari tepung beras yang didiamkan beberapa lama di dalam air kemudian digiling.
Tepung beras yang telah siap diolah kemudian dicampur dengan telur, tape, dan kelapa parut.
Kue ini sebelum disajikan dipanggang menggunakan cetakan bulat terlebih dahulu hampir mirip dengan serabi namun kue apem ini lebih tebal.
Untuk rasanya sendiri cenderung gurih manis dengan banyak campuran kelapa parut didalamnya.
Kue ini banyak di temui di berbagai pasar tradisional yang berada di jogja.
Jika beli harga rata-rata di pasaran sangat murah dan terjangkau.
Kue ini biasa di sajikan saat menjelang puasa untuk suguhan atau upacara tradisional Apeman yang dilakukan oleh kraton jogja yang dibentuk gunung dan di arak untuk kemudian dibagikan kepada warga.
Apem ini juga merupakan simbol untuk permintaan maaf.
Upacara tradisional selanjutnya di jawa yang biasa menggunakan kue apem adalah nyadran. Dalam upacara nyadran sebelum darangnya bulan ramadhan ini apem juga turut serta memeriahkan acara untuk sajian atau untuk sesaji juga. Dalam upacara ini kue apem biasa dilapisi daun dadap dan di beri uang logam ditengahnya. Tentu kue apem yang spesial ini hanya untuk sesaji saat upacara adat saja, bukan untuk santapan sehari hari.
Kue apem yang gurih manis ini juga bisa disajikan saat ada acara acara keluarga seperti upacara pernikahan atau hanya sekedar temu keluarga. Kue yang mengandung banyak filosofi kebaikan ini sangat diminati dipasar pasar tradisional. Dimasa ini kue apem juga telah berkembang menjadi jajanan yang memiliki banyak rasa rasa tentu dengan campuran modernisasi agar terkesan lebih menggoda untuk dimakan.
Kue ini juga merupakan jajanan tradisional yang banyak dicari oleh turis turis asing untuk dicoba. Kuliner khas tradisi dengan citarasa yang mantap ini sanggup menarik hati para penikmatnya dengan rasa gurih manis dan tekstur yang lembut dan rasa kres kres dari parutan kelapa yang ada didalamnya menambah nikmat cita rasa kue apem.
Hidangan lezat murah dan nikmat yang tentuemiliki kandungan vitamin dari kelapa dan karbohidrat yang cukup untuk pengganti nasi, kue ini juga bisa sebagai sarapan pagi yang mengenyangkan namun ringan diperut.
Saking spesialnya kue apem di kraton jogja ini ada tradisi yang mewajibkan para putri kraton untuk turun langsung membuat apem bersama seluruh keluarga besar kraton yang dibantu para abdidalemnya. Kue apem yang dibuat langsung oleh para putri kraton ini selanjutnya akan digunakan untuk acara adat kraton bersama masyarakat.