TEPO SELIRO
Era globalisasi dan kecanggihan serta keajaiban teknologi yang serba super cepat kilat perubahannya mengakibatkan dampak etika sosial interaksi dan toleransi masyarakat mulai dirasakan terkikis kepunahan.
Tepo seliro dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai tenggang rasa. Namun, tenggang rasa dalam masyarakat Jawa ini lebih halus dan memuat nilai-nilai keluhuran lain.
Tepo seliro perlu diinternalisasikan dalam diri setiap individu sebagai bentuk penghormatan terhadap orang lain khususnya generasi muda untuk menyaring pengaruh-pengaruh negatif dari adaya modernisasi di tengah arus digital.
Penginternalisasian dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler di lingkungan sekolah dan pembiasaan norma-norma di lingkungan sosial.
Menenggang perasaan orang lain penting dalam pergaulan.
Sebuah sikap yang datang dari hati yang lembut. Dikenal sebagai bentuk kearifan lokal orang Jawa.
Tepo seliro membuat kita berpikir sebelum berkata, agar kata-kata yang disampaikan punya efek positif.
Konsekuensi selanjutnya, ada pada tindakan yang tertata.
Kearifan lokal yang merupakan tata cara dalam berinteraksi yang dapat menjadi pedoman untuk masyarakat dalam mewujudkan sikap masyarakat agar sesuai nilai mulai dipertanyakan keberadaannya.
Tepo seliro merupakan salah satu kearifan lokal yang menjadi pedoman dalam sikap toleransi. Namun sepertinya, saat ini sebagian besar masyarakat khususnya di Jawa tidak mengenal atau tidak belajar dan memahami atau tidak mengimplementasikan kearifan lokal tepo seliro dalam berinteraksi maupun dalam kehidupan sehari-hari di era sekarang karena ada salah satu sebab orang tuanya sendiri juga sama akibatnya anak hingga turunnya gagal paham adap tepat sliro.
Salah satu sikap dan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah sikap dan budaya Tepo Seliro. Tepo Seliro merupakan sebuah falsafah yang berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti tenggang rasa, saling menghargai dan saling hormat menghormati terhadap setiap perbedaan yang ada di dalam masyarakat.
Tepo Seliro mengedepankan sikap keramah tamahan dalam bersosialisasi dengan masyarakat.
Sepintas lalu tampaknya sikap tenggang rasa adalah hal yang sangat simple dan mudah untuk di laksanakan, namun pada kenyataannya ternyata tidaklah semudah itu.
Untuk dapat bersikap tenggang rasa kita perlu untuk memikirkan juga perasaan orang lain dan tidak hanya memikirkan perasaan diri kita sendiri :
1. Jika saya bertindak begini, kira- kira tanggapan orang lain bagaimana ?
2. Jika saya begitu, bagaimana dengan orang lain ?
3. Begitulah seterusnya, sebelum bertindak kita juga harus memikirkan bagaimana kira-kira reaksi orang lain yang akan muncul, apakah bisa membuat orang lain merasa tersinggung atau tidak, apakah membuat orang lain merasa kecewa atau tidak dan sebagainya.
Egoistic hanya memikirkan kepentingan diri kita sendiri dalam bertindak, maka yang terjadi kemudian adalah percekcokan dengan tetangga, dengan orang lain dan juga masyarakat. Tentu saja hal tersebut sangat tidak baik dalam rangka membina ketentraman dan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Mengedepankan budaya dan sikap tepo seliro atau tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis, akan tetapi juga menjadikan setiap individu untuk mencapai martabat yang baik dihadapan orang lain dan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Sebuah pepatah bijak dalam bahasa Jawa mengatakan, Ajining diri dumunung soko lathi yang artinya adalah tingginya martabat seseorang tergantung dari tingkah laku kesehariannya.
Begitu pentingnya sikap tepo seliro perlu kita pelihara dalam kehidupan kita sehari-hari.
Jika Anda berasal dari suku Jawa tentu pernah mendengar sebuah petuah bijak ini nek ora gelem di jiwet ojo jiwet. Arti dari petuah bijak tersebut adalah bila tidak mau di cubit jangan nyubit.
Sebuah gambaran tentang bagaimana kita harus menjaga hubungan antar sesama anggota masyarakat agar rukun dan damai dengan berlandaskan sikap tepo seliro atau tenggang rasa.
Dalam kegiatan kemasyarakatan, para sesepuh Jawa selalu menasehatkan pentingnya sikap tepo seliro yang berarti tenggang rasa atau menenggang perasaan orang lain.
Toleransi adalah sebutan yang populer di masa kini. Petuah itu bukan spesifik suku Jawa, tentunya. Sebab semua suku bangsa mengajarkannya dalam berbagai bentuk dan petunjuk, yang utamanya sikap toleransai, tenggangrasa, dan tepo seliro kepada orang dan pihak lain.
Orang Jawa menempatkan budi pekerti sebagai laku hidup. Dan tepo seliro atau tenggang rasa, merupakan salah satu ajaran laku hidup yang penting. Sebagai salah satu modal dasar berhubungan dengan orang lain, bersosialisasi.
Tidak peduli sebanyak apa pun titel yang disandang atau sehebat apa pun jabatan kita dalam komunitas yang berada di bawah tanggung jawab kita, penting dari masing- masing untuk menjaga perasaan orang lain, tidak menyinggung dan melukai hati orang, baik dalam ucapan, gerak tubuh, (body language), maupun perilaku yang ditunjukkan di depan umum. Dengan sikap tepo seliro hadirlah suasana rukun, bersahabat, harmonis dan serasi dalam hubungan antar-sesama manusia. Sering orang menganggap, tenggang rasa ini mudah dan sederhana.
Namun dalam penerapannya, tepo seliro ini sering diabaikan. Tepo seliro tak hanya diperlukan dalam hubungan keluarga, sesama saudara kerabat yang berbeda-beda wataknya, melainkan diperlukan juga dalam bertetangga sekitar rumah.
Bahkan dalam skala yang luas, juga dalam bersosial, berpolitik, beragama dan lainnya, tepo seliro dibutuhkan perannya.
Kumpulan kekeluargaan yang memiliki tenggang rasa tinggi akan menghasilkan sebuah harmoni kehidupan bernegara, yang kelak pada akhirnya tercipta rasa nyaman dan kedamaian yang lebih luas.
Sikap tenggang rasa alias tepo seliro harus diajarkan kepada anak didik, terutama harus dijadikan bekal yang dibawa dari rumah, dan terutama dari lubuk hati yang dalam.
Pergaulan adalah kumpulan pribadi-pribadi yang berbeda, dari keluarga yang beda, suku beda, agama beda, akan tetapi bergabung bersama untuk satu tujuan. Sama-sama menimba ilmu, berlatih untuk ketrampilan dan kegiatan. Pendidikan dan ajaran di rumah, di dalam keluarga, menentukan tumbuhnya sikap tepo seliro atau tenggang rasa itu, menyusul bekal tambahan dari guru di sekolah.
Pendidikan formal yang tinggi tidak menjamin seseorang bisa menenggang rasa kepada orang lain. Karena tidak adanya ajaran serta contoh dari, dan di rumah. Watak egois dan nafsi-nafsi adalah penyebab utama absennya pengajaran tepo seliro di dalam keluarga, di rumah dan lembaga pendidikan, yaitu sekolah.
Di atas kertas, seharusnya ketinggian tingkat pendidikan sejalan dengan tingginya toleransi dan budi pekerti.
Akan tetapi tidak demikian dalam kenyatannya. Sepertinya, materi pendidian budi pekerti sebagai karakter bangsa merupakan tenggang rasa perlu dihadirkan lagi di sekolah-sekolah dasar, menengah dan sampai pendidikan tinggi hingga di lingkungan keluarga masing-masing.
Tokoh-tokoh masyarakat memegang peranan penting. Juga tokoh berpengaruh di panggung politik.
Sikap intoleransi kini merebak karena, sadar atau tidak, disebarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan politisi berpengaruh.
Menjunjung tinggi tenggang rasa atau tepo seliro bukan saja menjadi hal penting di dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga akan menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya. Sebagaimana pepatah Jawa lain mengajarkan, ajining diri dumunung soko lathi, ajining rogo soko busono–tingginya martabat seseorang tergantung (berasal) dari perkataannya dan penampilanya ( tingkah laku) kesehariannya sendiri.
Sebelum pemerintah menghadirkan kembalI pendidikan budi pekerti di bangku pendidikan, kita sebagai orang tua harus benar-benar memberi perhatian khusus dalam rangka mengajarkan tepo seliro atau tenggang rasa ini dalam bentuk pemahaman maupun keteladanan bagi anak-anaknya sedari dini.
Dalam bahasa Indonesia, tepo seliro diartikan sebagai tenggang rasa. Tenggang rasa dalam masyarakat Jawa ini lebih halus dan memuat nilai-nilai keluhuran lain. Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya.
Untuk itu kami membuat penelitian ini untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan tepo seliro pada masyarakarat.
Budaya dan keberadaan tepo seliro sampai saat ini masih ada, sebagai budaya asli suku Jawa namun tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan budaya tepo seliro sudah mulai terjadi pergesaran dan pudar.
Hal tersebut disebabkan arus perubahan zaman yang terjadi katanya. Tepo seliro sebagai bentuk budaya asli Indonesia dan khususnya suku Jawa bisa dijadikan filter mempertahankan budaya-budaya di Indonesia. Karena budaya tepo seliro mampu mewujudkan kerukunan, kedamaian dan sikap toleran antar masyarakat. Dian menyayangkan keberadaan tepo seliro hanya banyak dikenal atau diimplementasikan oleh masyarakat-masyarakat pedesaan oleh kalangan orang tua.
Hal tersebut karena masyarakat yang banyak mengetahui budaya tepo seliro hanyalah kalangan masyarakat tua.
Oleh karena itu, orang tua sebagai orang yang melahirkan, membesarkan dan selalu berada di samping anak-anak sudah seharusnya mengajarkan dan menanamkan budaya tepo seliro dalam kehidupan anak-anak. Sehingga kelak bila tumbuh menjadi orang dewasa tidak hanya cerdas ilmu pengetahuannya tetapi juga sikapnya dan mampu menghargai setiap perbedaan yang ada. Namun secara umum masyarakat masih menganggap tepo seliro bernilai positif sehingga mereka memiliki kemauan yang kuat mempertahankan tepo seliro dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
MAKNA TEPO SLIRO
Tepo Seliro merupakan sebuah istilah kata berbahasa Jawa yang kini sangat dibutuhkan dalam urusan individu atau kelompok, bermasyarakat dan bernegara. Kalau melihat kondisi sekarang ini dimana mana orang banyak menyebar hujatan, cacian, hingga menimbulkan kebencian satu sama lain sampai beradu fisik seperti tidak ada lagi tenggang rasa.
Terus Tepo Seliro tegese opo merupakan sebuah ungkapan nasehat Jawa yang berarti menenggang perasaan orang lain. Kelihatannya ini merupakan sebuah urusan yang mudah dilakukan oleh setiap orang, namun ternyata pada kenyataannya mengenai Tepo Seliro sering diabaikan karna mungkin lupa.Selama kita tidak mencampuri urusan orang lain, kemudian kembali ke kamar masing masing maka tidak akan terjadi sebuah masalah.
Berikut ini adalah contoh Tenggang Rasa (tepo seliro) yang sering diabaikan oleh masyarakat :
1. Parkir kendaraan tepat di depan pintu rumah tetangga.
2. Membuang sampah di bak sampah milik tetangga.
3. Memelihara binatang dilepas seperti Ayam, namun kotorannya hingga ke lantai dan halaman rumah tetangga.
4. Mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi (ngebut) melintas di lingkungannya
5. Memutar musik dengan suara keras padahal tahu kalau salah satu tetangga ada yang sedang sakit.
6. Mengabaikan talang air atau adanya saluran air buangan yang rusak, padahal airnya meluap ke jalanan.
7. Seumpama di pekarangan rumah atau di halaman rumah kita sebuah pohon Jambu yang besar dimana dahan dan ranting pohon tersebut ada yang menyeberang ke halaman tetangga kita. Kebetulan pula pohon Jambu tersebut memiliki daun-daun yang sangat lebat. Ketika musim kemarau datang, daun - daun kering tersebut kemudian banyak yang jatuh berguguran ke halaman tetangga kita. Maka sikap kita sebagai seorang tetangga yang baik maka kita hendaknya memangkas atau memotong dahan dan ranting pohon tersebut agar tidak mengotori halaman tetangga kita.
Dan ketika pohon Jambu tersebut berbuah maka kita seharusnya juga membagi buah Jambu kita ke pada tetangga kita tersebut. Tindakan tersebut tentu akan menjaga hubungan baik dengan tetangga kita, sekaligus sebagai perwujudan dari sikap tepo sliro atau tenggang rasa dengan tetangga kita.
8. Jika memelihara binatang peliharaan, dan kotorannya mencemari udara / tanah / rumput tetangga akan segera dibersihkan. Membuang sampah tidak di bak sampah tetangga, agar tidak menggangu hak tetangga.Tidak ngebut saat melintas di lingkungan sekitar. Mengklakson mobil hanya jika perlu saja. Bahkan klakson jarang digunakan. Lebih baik berhenti dan menunggu saat ada warga yang melintas. Berusaha untuk bertegur sapa, salam dan senyum saat berpapasan dengan tetangga. Atau minimal memberi anggukan pada tetangga di lingkungan sebagai bentuk respek. Ketika membangun atau merenovasi rumah, datang silaturahim dan permisi ke tetangga terdekat. Konstruksi talang air / aliran kran air yang keliru hingga mengakibatkan kebocoran pada dinding tetangga segera diperbaiki. Sebaiknya diperhitungkan saat membangunnya.Tidak parkir kendaraan sembarangan di depan rumah tetangga tanpa ijinnya. Menghormati hak jalan dan hak ruang terbuka untuk tetangga itu sangat penting. Menyantuni anak anak yatim di lingkungan dan memberdayakan tetangga yang tidak punya pekerjaan.Berusaha menolong semampunya saat tetangga minta tolong.
Dari contoh tersebut ternyata tingginya tingkat pendidikan juga tidak bisa menjadi patokan seseorang bisa menerapkan yang namanya Tepo Seliro.
Bahwa pendidikan juga tidak menihilkan potensi seseorang untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Memang seharusnya ibarat padi semakin berisi kian menunduk, tapi kadang tingginya pendidikan seseorang belum tentu sejalan dengan budi pekerti mereka.
1. Apakah karena sistem pendidikan kita yang salah ?
2. Apa perlu materi pendidian budi pekerti dan tenggang rasa dijadikan satu mata pelajaran utama di bangku-bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi ?
Akan tetapi pemeraintah pemerintah semakin kesini kurang membarikan contoh yang seharusnya, dimana pemerintah sendiri sudah banyak meninggalkan nilai-nilai budaya Indonesia. Seperti dalam membuat kebijakan dari berbagai hal baik itu ekonomi maupun politik.
Jadi apalah artinya membangun sumber daya manusia apabila tidak disertai dengan pendidikan dan etika moral. Sekarang ini hampir semua instansi telah banyak kehilangan nilai tenggang rasa, membuat kebijakan tanpa adanya rasa belas kasihan, semua hanya semata mata mencari kekuasaan dan keuntungan.
Maka dari itu sebagi tempat pendidikan pertama yakni keluarga, orang tua sudah seharusnya bahkan wajib menjadi tauladan bagi anak-anaknya untuk selalu menerapan memberi contoh tepo seliro/tenggang rasa sejak dini. Supaya nantinya tercipta generasi bangsa yang selalu menjunjung tinggi gotong royong dan kerukunan berumah tangga.
MAKNA TEPO SLIRO
(Dalam Kehidupan Sehari-hari).
Bangsa Indonesia memiliki banyak kearifan lokal yang bila digali lebih mendalam, bakal menjadi fondasi kuat untuk kehidupan bermasyarakat. Sayangnya, di tengah arus modernisasi (globalisasi) yang semakin deras, kearifan lokal yang tertanam dalam budaya lokal semakin tergerus kemajuan teknologi dan informasi.
Dari sekian banyak kearifan lokal yang kini semakin dilupakan, khususnya oleh anak muda generasi Z, salah satunya adalah budaya tepo seliro. Tepo seliro merupakan nasihat dari petuah Jawa yang mengajak masyarakat untuk selalu menenggang perasaan orang lain ketika bersosialisasi. Dalam bahasa Indonesia, nasihat ini bisa disamakan dengan tenggang rasa yang dimaknai sebagai ikut menghargai atau menghormati perasan orang lain.
Jika diamati secara sekilas, urusan tepo seliro atau tenggang rasa memang tampak mudah dan sederhana. Apa susahnya menghargai perasaan orang lain sebagaimana kita juga ingin diperlakukan demikian? Namun, jika diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata, urusan tepo seliro ini ternyata tidak semudah membalik telapak tangan dan cenderung sering diabaikan oleh seseorang.
Misalnya, di dalam kehidupan bertetangga. Meski hubungan antar-tetangga sering dianggap sepele, namun ada banyak hal yang bila tidak dilandasi sikap tepo seliro atau tenggang rasa, bakal merugikan orang lain. Contoh paling mudah adalah membuang sampah di bak sampah milik tetangga, memelihara binatang yang kotorannya mencemari lingkungan sekitar, hingga membunyikan klakson setiap kali masuk garasi.
Di samping itu, hal remeh lainnya yang sering dilakukan dalam lingkup kampung adalah tidak menegur atau sekadar memberi senyuman kepada tetangga di lingkungan, memarkir kendaraan sembarangan di depan rumah tetangga tanpa izin terlebih dahulu, atau tempat penampungan air bermasalah yang meluap hingga rumah tetangga. Jika hal-hal tersebut dibiarkan, bukan mustahil akan menimbulkan percekcokan antar-tetangga yang bisa mengganggu ketenteraman lingkungan sekitar.
Menjunjung tinggi sikap tepo seliro atau tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, tetapi juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia lain dan Tuhan. Hal ini seperti dituturkan pepatah Jawa yang lain, ajining diri dumunung soko lathi, atau tingginya martabat seseorang tergantung dari tingkah lakunya sehari-hari.