MEMAYU HAYUNING BAWONO
Kata Bawono terdiri dari tiga makna, yaitu :
1. Bawono
Alit/Jagad Gumulung yang bermakna pribadi dan keluarga.
2. Bawono
Agung/Jagad Gumelar yang bermakna masyarakat, Bangsa, Negara/alam semesta
secara globalnya.
3. Bawono
Langgeng/Abadi yang maknanya adalah alam akhirat.
Sehingga
terjemahan bebasnya dari kalimat Memayu Hayuning Bawono adalah mengusahakan
keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Menurut interpretasi dari memayu hayuning bawana, Suryo S. Negoro adalah melakukan hal yang benar demi keselamatan dan kesejahteraan dunia beserta seluruh isinya. Suryo mengatakan bahwa persepsi orang Jawa (uwong Jawa) memandang dunia ini cantik, indah. Dunia sebagai alam adalah ciptaan yang bagus yang berguna bagi manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya. Oleh karenanya alam harus diperlakukan, dijaga, dan dilindungi dengan cara sebaik-baiknya.
1. Keluarga adalah
individu yang berasal.
Semua manusia
terlahir pastilah memiliki keluarga. Secara sederhana keluarga terdiri dari
Ayah, Ibu dan Anak. Kumpulan keluarga yang merupakan kelompok yang dinamakan
masyarakat. Perkembangan dari keluarga, masyarakat, berkembang lagi menjadi
bangsa dan negara. Dalam skala besar berkembang menjadi bangsa-bangsa atau
negara-negara Dunia.
2. Keluarga adalah
cerminan kehidupan manusia.
Semakin tinggi
kemampuan seseorang dibidangnya, semakin baik pula dia mengatur kehidupan rumah
tangganya. Seseorang yang mengaku memiliki ilmu setinggi gunung tetapi jika
kehidupan rumah tangganya digunakan untuk mempergunakan ilmunya untuk memayu
hayuning bawono.
3. Keluarga adalah
bukti ketinggian atau ilmu yang dilakukan seseorang.
Orang yang
memiliki pengetahuan atau ilmu; adalah ibarat tanaman padi yang semakin tua
semakin tebal, yang semakin tua semakin merunduk, yang semakin tua semakin
terlihat mata. Hal ini karena padi tersebut selalu dijaga, diakui dan diberi
pupuk, udara dan radiasi dari hal hal yang bisa mengganggunya. Demikian juga
dengan pengetahuan atau ilmu, Jika selalu dijaga, diasah dan diamalkan akan
menghasilkan kemaslahatan bagi para tamu manusia. Apalah artinya pengetahuan
atau ketinggian yang tinggi jika kehidupan keluarga rusak, porak-poranda, penuh
dengan keributan, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Oleh karena itu,
kehidupan rumah tangga adalah cerminan ketinggian pengetahuan atau ilmu
seseorang. Semakin tinggi atau semakin tinggi juga kemampuan untuk membuat,
menciptakan dan lebih harmonis. Orang Jawa memiliki pandangan adiluhung dalam
falsafah memayu hayuning bawana. Itu merupakan sebuah falsafah kuno yang
mengajarkan budi luhur bagi masyarakat Jawa. Dalam kepercayaannya, sebagai
bentuk harapan akan harmoni kehidupan yang dapat memberikan kedamaian kepada
seluruh alam. Wujud memayu hayuning bawana adalah manusia harus sudah mengerti
akan kebaikan yang terdapat pada dirinya, dan juga kebaikan jagat raya. Inilah
telos masyarakat Jawa yang menciptakan makna bersosial, dan memberikan
keselarasan bagi seluruh kehidupan.
B. MAKNA Memayu
hanuning bawana (VERSI 2)
Masyarakat Jawa
sering mengunakannya untuk nasihat sosial: “memayu hayuning bawana, ambrasta
dur hangkara”. Artinya, kebajikan manusia atas bantuan-Nya untuk menumpas
segala malapetaka dan keburukan.
Biasanya falsafah tersebut terus ditularkan dari generasi ke generasi
berikutnya.
Falsafah inilah
yang diwariskan orang tua kepada anak-anaknya, supaya mereka bisa menghargai
sesama mahluk hidup. Budaya pitutur memang masih kental dilakukan oleh
masyarakat Jawa. Kepercayaan bahwa dengan memahami falsafah kehidupan akan
membawa hidupan yang lebih indah. Tak usang oleh zaman kalimat Memayu Hayuning
Bawana berarti tiga hal.
1. Pertama, memayu
berasal dari kata ‘mayu’ (cantik, indah, atau selamat) mendapat imbuhan ‘ma’
menjadi mamayu (mempercantik, memperindah, atau meningkatkan keselamatan)
karena tradisi getok tular masyarakat Jawa kata mamayu menjadi memayu. Di sini
mencerminkan perilaku positif dari manusia sosial dengan semangat kerekatan
emosional sehingga melahirkan keharmonisan.
2. Kedua hayuning
berasal dari kata ‘hayu atau ha’ dengan mendapatkan kata imbuhan ‘ning atau
Ing’ (Allah atau Gusti Pangeran Maha Agung). Dalam falsafah tersebut memiliki
arti cantik-Nya, indah-Nya atau keselamatan-Nya. Sehingga masyarakat Jawa dalam
memaknai kata hayuning adalah mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan
kesejahteraan tertuju kepada Sang Maha Kuasa.
3. Ketiga bawana
memiliki dua ruang lingkup arti pada wujudnya. Pertama ruang bawah atau dunia
dalam yang melingkupi batin, jiwa atau rohani. Sedangkan wujud kedua untuk
ruang ragawi atau jasmaniahnya, karena mengunakan kata ‘buwono’ yang berati
dunia fisik. Buwono dalam aksioma masyarakat Jawa memiliki tiga makna. Pertama
buwono alit (kecil) yang bermakna pribadi dan keluarga, kedua buwono agung
(besar) yang berati masyarakat, bangsa, negara dan internasional (global), dan
ketiga buwono langgeng (abadi) adalah alam akhirat atau Illah.
Dengan demikian
falsafah tersebut memiliki hubungan kerekatan antara sosial budaya dan Tuhan.
Bersama-sama masyarakat Jawa mayakini manusia mampu mengilhamkan keselarasan
kepada seluruh alam semesta beserta isinya. Karakter masyarakat Jawa bisa
terlihat jelas, mereka mengunakan sistem pikiran sebagai fungsi ideologi.
Seperti teorinya Baudrillard, suatu ideologi dipahami sebagai representasi
pikiran. Orang bisa memiliki keyakinan sosial yang kuat berkat agama, mitos,
prinsip moral, atau kebiasaan (Baudrillard, 1970: 135).
Menurut penulis
teori ini menjadi titik awal sebuah reproduksi tatanan sosial, “setiap sistem
disposisi individu adalah variabel struktural sistem disposisi yang lain, di
mana terungkap kekhasan posisinya di dalam kelas dan arah yang dituju. Gaya
pribadi, praktik-praktik kehidupan atau hasil karya, tidak lain kecuali suatu
jarak terhadap gaya khas suatu zaman atau suatu kelas, sehingga gaya itu
mengacu pada gaya umum, tidak hanya melalui keseragaman, tetapi juga melalui
perbedaan yang menghasilkan pembawaan tertentu” (Bourdieu, 1980: 101).
Meskipun sudah
diterima secara luas manusia memiliki kemampuan dan kesempatan unik dalam
merawat alam, mereka juga dipandang sebagai mahluk yang bodoh dan bisa merusak.
Manusia adalah mahluk mortal, dan serta perasaan mereka berubah-ubah
sebagaimana angin. Sehingga, setiap makna yang bergantung pada opini manusia
dengan sendirinya rapuh dan sesaat.
Contohnya dalam
(Madan Sarup, 2008: 92), Foucault memaparkan di dalam bukunya Madness and
Civilization, bagaimana kegilaan, bersama dengan kemiskinan, pengagguran dan
ketidakmapanan kerja, pada abad ke-17 dipandang sebagai “masalah sosial”
menjadi tanggungjawab negara.
Bila menghadapi
persoalan terssebut, masyarakat Jawa sudah memiliki memayu hayuning bawana.
Falsafat tersebut mengajarkan tentang kebenaran absolut, dan makna kehidupan
atas alam semesta. Perilaku mereka didasarkan pada suatu hukum abadi yang
keluar dari suatu sumber memayu hayuning bawana. Berperilaku dengan cantik,
selalu menjaga keharmoisan sesama mahluk hidup dan menyatukan diri kepada
Hayuning agar mendapat petunjuk kebenaran.
Hayuning meminta
petunjuk kepada Sang Maha Kuasa untuk dibukakannya petunjuk. Melalui falsafah
ini, masyarakat Jawa sebelum bertindak memikirkannya dengan perasaan yang bersih.
Menanggalkan godaan-godaan dunia sejenak, masuk dalam relung hati paling dalam
dan memusatkan daya pikiran (spiritual).
harfiah
pengertian memayu hayuning bawono memiliki arti “membuat dunia menjadi indah
atau ayu”. Dapat pula diartikan sebagai suatu bentuk atau upaya membangun
dengan ramah lingkungan. Pembangunan yang dimaksud ini tentunya sangat
memperhatikan pencagaran (conservation) dalam berbagai aset kebudayaan. Karena
itu pembangunan ramah lingkungan hidup juga bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan
hidup dari kerusakan yang sedang melanda.
4. Hamemayu dapat
diartikan sebagai memayungi yang berarti melindungi dari segala hal yang dapat
mengganggu keamanan atau dari ketidaknyamanan akibat sesuatu.Sedangkan yang
dipayungi adalah “hayuning bawono”, rahayuning jagad atau keselamatan dan
kelestarian dunia seisinya.
Memayu hayuning
bawana adalah filosofi atau nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa.
Memayu hanuning bawana jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi
memperindah keindahan dunia. Orang Jawa memandang konsep ini tidak hanya
sebagai falsafah hidup namun juga sebagai pekerti yang harus dimiliki setiap
orang. Filosofi memayu hayuning bawana juga kental terasa dalam ajaran kejawen.
5. Memayu hayuning
bawana adalah filosofi atau nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa.
Memayu hanuning bawana jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi
memperindah keindahan dunia. Orang Jawa memandang konsep ini tidak hanya
sebagai falsafah hidup namun juga sebagai pekerti yang harus dimiliki setiap
orang. Filosofi memayu hayuning bawana juga kental terasa dalam ajaran kejawen.
C. MAKNA Memayu
hanuning bawana (VERSI 3)
1.
Memayu
Hayuning Bawana memiliki relevansi dengan wawasan kosmologi Jawa atau kosmologi
kejawen. Kejawen memiliki wawasan kosmos yang tidak lain sebagai perwujudan konsep
memayu hayuning bawana. Memayu hayunig bawana adalah ihwal space culture atau
ruang budaya dan sekaligus spiritual culture atau spiritualitas budaya.
2.
Dipandang
dari sisi space culture, ungkapan ini memuat serentetan ruang atau bawana.
Bawana adalah dunia dengan isinya. Bawana adalah kawasan kosmologi Jawa.
Sebagai wilayah kosmos, bawana justru dipandang sebagai jagad rame. Jagad rame
adalah tempat manusia hidup dalam realitas. Bawana merupakan tanaman, ladang
dan sekaligus taman hidup setelah mati. Orang yang hidupnya di jagad rame
menanamkan kebaikan kelak akan menuai hasilnya.
3.
Selain
itu, memayu hayuning bawana juga menjadi spiritualitas budaya. Spiritualitas
budaya adalah ekspresi budaya yang dilakukan oleh orang Jawa di tengah-tengah
jagad rame (space culture). Pada tataran ini, orang Jawa menghayati laku
kebatinan yang senantiasa menghiasi kesejahteraan dunia. Realitas hidup di
jagad rame perlu mengendapkan nafsu agar lebih terkendali dan dunia semakin
terarah. Realitas hidup tentu ada tawar-menawar, bias dan untung rugi. Hanya
orang yang luhur budinya yang dapat memetik keuntungan dalam realitas hidup.
Dalam proses semacam itu, orang Jawa sering melakukan ngelmu titen dan petung
demi tercepainya bawana tentrem atau kedamaian dunia. Keadaan inilah yang
dimaksudkan sebagai hayu atau selamat tanpa ada gangguan apapun.Suasana
demikian oleh orang Jawa disandikan ke dalam ungkapan memayu hayuning bawana.
4.
Memayu
hayuning bawana memang upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun
batin. Orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu hayuning bawana atau
memperindah keindahan dunia, hanya inilah yang memberi arti dari hidup. Di satu
fisik secara harafiah, manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan
fisiknya. Sedangkan di pihak lain secara abstrak, manusia juga harus memelihara
dan memperbaiki lingkungan spritualnya. Pandangan tersebut memberikan dorongan
bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan. Orang Jawa menyebutkan
bahwa manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak dan berbuat semena-mena.
D. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro
(Manusia hidup
di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta
memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
Bagian untuk
menjadikan “urip iku urup“, hidup didunia harus senantiasa mengusahakan
keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, serta memberantas angkara murka,
serakah dan tamak. Sifat angkara murka, serakah dan tamak siapa yang harus kita
berantas.
Tentunya mulai
dari yang paling dekat, yaitu sifat yang ada dalam diri kita. Sudah menjadi
kodrat manusia untuk menjalani kelangsungan hidup dengan bertahan hidup.
Apabila kita terbebas dari rasa tamak, maka kebahagiaan hidup itu akan menjadi
bonus. Muncul dengan sendirinya, mengalir dalam setiap kehidupan kita. Rasa
tamak inilah yang dapat menimbulkan dengki, dengki yang disempurnakan dengan
sifat angkara murka adalah malapetaka. Bagi diri sendiri dan bagi orang lain,
“uripmu rak bakal iso ngurupi“. Sifat iri itu wajar, ini adalah booster yang
dianugerahkan Tuhan agar kita bisa terus bertahan hidup dan meningkatkan
kualitas hidup. Iri akan melahirkan motivasi untuk menjadi lebih baik. Yang
berbahaya adalah ketika iri dipadukan dengan sifat dengki, malapetaka.
Lalu apabila
angkara murka itu muncul dari orang lain, apakah kita diam saja? bukanya harus
dibrantas juga. Tetapi tidak dengan
angkara murka, melainkan dengan kesabaran dan kehalusan hati. Seperti halnya
air yang mengikis batu setetes demi setetes kalau perlu. Menantang sekali tentunya
memang untuk menjadi seperti itu, karena kita harus terlebih dahulu ambrasto
dur hangkoro yang ada dalam diri kita. Bukanya dalam rasa tenang itu akan
muncul pemikiran yang jernih dan solutif, dan ketenangan itu hanya akan bisa
kalau kita jauh dari sifat angkara murka, serakah dan tamak.
E.
Amar makruf nahi mungkar
Amar makruf nahi
mungkar dalam istilah fiqh disebut dengan al Hisbah. Perintah yang ditujukan
kepada semua masyarakat untuk mengajak atau menganjurkan perilaku kebaikan dan
mencegah perilaku buruk.
Bagi umat Islam,
amar makruf nahi mungkar adalah wajib, sebab syariat Islam memang
menempatkannya pada hukum dengan level wajib. Dan siapa pun dari kita yang
meninggalkannya, maka kita akan berdosa dan mendapatkan hukuman berupa siksa
yang sangat pedih dan menyakitkan.
1. Sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits berikut :
"Hendaklah
kamu beramar makruf (menyuruh berbuat baik) dan benahi mungkar (melarang
berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang
yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara
kamu berdoa dan tidak dikabulkan (doa mereka)." (HR. Abu Dzar).
2. Selain itu, amar
makruf nahi mungkar merupakan prinsip dasar agama Islam yang harus dilakukan
oleh setiap muslim.
3. Hal tersebut
sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur'an:
Artinya:
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran: 104)
4. Dalam ayat lain,
Allah SWT juga memerintahkan amar makruf nahi mungkar, karena perilaku ini
merupakan perbuatan yang dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya. Allah SWT
berfirman :
ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ
ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِىَّ ٱلْأُمِّىَّ ٱلَّذِى يَجِدُونَهُۥ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِى
ٱلتَّوْرَىٰةِ وَٱلْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَىٰهُمْ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ٱلْخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ
إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِهِۦ
وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلنُّورَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ
هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Artinya:
"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(QS al-A'raaf: 157).
5. Perintah amar
makruf nahi mungkar juga banyak dijelaskan dalam hadits. Salah satunya adalah
hadits dari Abi Said al-Khudri :
"Siapa yang
melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka
ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan
hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim).
6. Dalam hadits
lain, dalam Shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud Ra, Rasulullah SAW bersabda :
"Tidaklah
seorang Nabi pun yang Allah Ta'ala utus di suatu umat sebelumku, kecuali
memiliki pengikut-pengikut setia dan sahabat-sahabat. Mereka mengambil
sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian, datang generasi-generasi
setelahnya yang mengatakan hal yang tidak mereka ketahui dan tidak
diperintahkan. Maka, barang siapa memerangi mereka dengan tangannya maka ia
adalah mukmin. Dan, barang siapa memerangi mereka dengan lisannya maka ia
adalah mukmin. Dan, barang siapa memerangi mereka dengan hatinya maka ia adalah
mukmin. Dan, tidak pernah ada di belakang itu semua keimanan sebesar biji
atom."
7. Amar makruf nahi
mungkar(bahasa Arab :
الأمر بالمعروف والنهي
عن المنكر,
al-amr bi-l-maʿrūf
wa-n-nahy ʿani-l-munkar adalah sebuah frasa dalam bahasa Arab yang berisi
perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah. Dalam ilmu fikih
klasik, perintah ini dianggap wajib bagi kaum Muslim. "Amar makruf nahi
mungkar" telah dilembagakan di beberapa negara, contohnya adalah di Arab
Saudi yang memiliki Komite Amar Makruf Nahi Mungkar (Haiʾat al-amr bi-l-maʿrūf
wa-n-nahy ʿani-l-munkar). Di kekhalifahan-kekhalifahan sebelumnya, orang yang
ditugaskan menjalankan perintah ini disebut muhtasib. Sementara itu, di Barat,
orang-orang yang mencoba melakukan amar makruf nahi mungkar disebut polisi
syariah.
Dalil amar
ma'ruf nahi munkar adalah pada surah Luqman, yang berbunyi sebagai berikut:
“Hai anakku,
dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan laranglah
mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah).” (Luqman 17) ”
Amar ma'ruf nahi
munkar dilakukan sesuai kemampuan, yaitu dengan tangan (kekuasaan) jika dia
adalah penguasa/punya jabatan, dengan lisan atau minimal membencinya dalam hati
atas kemungkaran yang ada, dikatakan bahwa ini adalah selemah-lemahnya iman
seorang mukmin.