Situasi Kerajaan Blambangan Abad 16
Kerajaan Blambangan : Jadi Bawahan Majapahit, Dikuasai Kerajaan Bali, Diserang Mataram, Dikuasai VOC
Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan bercorak Hindu terakhir di ujung paling timur Pulau Jawa. Kerajaan Blambangan diperkirakan telah ada pada akhir era Kerajaan Majapahit, yang berdiri hingga abad ke-18. Blambangan berdiri sendiri sebagai satu-satunya kerajaan Hindu di Jawa, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Blambangan menjadi kerajaan bawahan (vasal) Majapahit, tetapi juga pernah berada di bawah kekuasaan kerajaan di Bali, maka tak mengherankan kebudayaan di kerajaan ini mirip dengan kebudayaan Bali. Kerajaan Blambangan pernah menjadi tempat pelarian bagi Bhre Wirabhumi yang tersingkir saat perebutan takhta Majapahit.
Bahkan, pada tahun 1478, keluarga Kertabhumi melarikan diri ke Blambangan, yang dipimpin oleh Lembu Miruda, Lembu Miruda kemudian mendirikan pertapaan Watuputih di hutan Blambangan dan berdoa agar putranya menjadi raja di ujung timur Pulau Jawa.
Menjelang awal abad ke-16, cucu Lembu Miruda yang bernama Bima Koncar meneguhkan dirinya sebagai raja Blambangan. Bima Koncar memiliki putra bernama Menak Pentor (Pati Pentor) yang berhasil memperluas wilayah Blambangan.
Wilayahnya itu meliputi penghujung timur Jawa Timur hingga Lumajang di bagian selatan dan Panarukan di utara. Letaknya cukup strategis, karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak pelabuhan.
Panarukan, menjadi pelabutan di pesisir utara Blambangan yang paling terkenal, dan menjadi salah satu persinggahan terpenting kapal-kapal yang hendak melanjutkan pelayaran ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah.
Blambangan menjadi kerajaan yang kuat di bawah kekuasaan Menak Pentor, menjadi kaya dan makmur, jumlah penduduknya hidup makmur karena panen yang dihasilkan sangat melimpah.
Dan selama hampir tiga abad, Kerajaan Blambangan berada di antara dua faksi politik yang berbeda, yakni Kerajaan Mataram Islam di barat dan Kerajaan Hindu di Bali (Gelgel, Buleleng dan Mengwi) di timur.
Sekitar tahun 1550-1570, Kerajaan Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel. Pada tahun 1572, Raja Blambangan, Santa Guna, merebut Panarukan dan memperkuat kembali kerajaannya. Sayangnya, pengganti Santa Guna, dikenal sebagai penguasa yang lemah sehingga mengakibatkan kemunduran kerajaan Blambangan.
Serangan Pasuruan menghancurkan kerajaan sekitar tahun 1597 dan membunuh semua keluarga kerajaan, meski Bali turun tangan membantu Blambangan.
Terjadilan kekosongan takhta yang kemudian dimanfaatkan oleh Bali dengan menempatkan wakilnya bernama Singasari, yang bergelar Tawang Alun I, sebagai penguasa Blambangan.
Tahun 1638, Kesultanan Mataram berhasil menduduki Blambangan yang membuat Tawang Alun I melarikan diri, dan putra mahkotanya, Mas Kembar, menjadi tawanan. Mas Kembar kembali ke Blambangan dan naik takhta pada 1645 dengan gelar Tawang Alun II, namun Bali langsung melancarkan serangan, terjadilah pertempuran antara Bali dan Mataram di Blambangan, dan dimenangkan oleh Mataram.
Selanjutnya, Blambangan berhasil melepaskan diri dari Mataram, namun konflik tetap berlangsung selama beberapa dekade berikutnya hingga melibatkan VOC dan Bali.
Pada akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-18, Blambangan kembali diperebutkan oleh Bali (Buleleng dan Mengwi), Mataram, dan VOC. VOC muncul sebagai pihak yang mendapatkan kemenangan dan menanamkan kekuasaannya di Blambangan.
Calon anggota keluarga raja Blambangan bernama Mas Alit, kemudian diangkat oleh Belanda menjadi bupati dengan gelar Tumenggung Banyuwangi I (1773-1782). Pusat pemerintahan Kerajaan Blambangan pun dipindahkan ke Banyuwangi setelah sebelumnya berada di Pampang.
Imajiner Nuswantoro

