Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah
Om Swastiastu artinya semoga dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi. Om Awighnamastu Namo Siddham berarti semoga tiada rintangan dan tercapai keberhasilan.
Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah adalah doa untuk memuja Siwa yang dianggap sebagai sumber segala kekuatan, yang diungkapkan melalui permohonan untuk kedamaian dan kesempurnaan.
Makna per kalimat
1. Om Swastiastu: Salam pembuka yang bermakna "semoga dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi" atau "semoga harmoni selalu menyertai".
2. Om Awighnamastu Namo Siddham: Mantra permohonan yang umum diucapkan sebelum memulai suatu pekerjaan atau kegiatan penting.
3. Awighnam: Semoga tiada rintangan.
4. Astu: Semoga.
5. Namo Siddham: Semoga tercapai keberhasilan atau kesempurnaan.
6. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah: Doa pemujaan kepada Siwa.
7. Om: Simbol suci.
8. Hrang Hring Sah : Aspek dari energi Siwa.
9. Parama Siwaditya ya Namah: Pemujaan kepada Siwa sebagai "Siwa yang Agung" atau "Matahari Agung" (Aditya) yang merupakan sumber segala sesuatu. Kata "namah" berarti sujud bakti.
10. Awighnam : Semoga Tiada Rintangan
Om Awighnamastu Namo Siddham merupakan kalimat yang sangat umum diucapkan saat akan memulai suatu pekerjaan apakah itu terkait aktifitas berfikir, berkata, maupun dalam tindakan fisik. Seperti para kawi yang menempatkan awighnamastu pada baris awal dalam berbagai lontar; Wrhaspati tattwa, Jnana tattwa, Buwana Kosa, kakawin Arjuna Wiwaha dan sebagainya. Awighnamastu menjadi doa singkat yang sangat penting bagi para kawi yang memerlukan bukan hanya konsentrasi namun juga karunia agar apa yang ditulis mendapat tuntunan, perlindungan dari segala halangan dan rintangan, dan memperoleh taksu siddhi yaitu daya kekuatan yang tersimpan dalam karyanya sehingga menjadi bertuah dan mampu mebius pembaca dari waktu kewaktu. Bahkan Mahabharata yang abadi telah ditulis langsung oleh ganesha sang pemberi anugrah sarwa siddha.
A=tidak, wighna=rintangan, astu=semoga. Huruf a dalam awighnamastu mengandung arti sebagai ketiadaan atau pertentangan dari kata berikutnya, dan astu berarti semoga demikian. Ajaibnya huruf a didepan kata wighna menyebabkan wighna (rintangan) menjadi sirna. Disini huruf “A” dipandang mengandung kekuatan yang meniadakan atau membakar wighna sehingga penempatan A diawal kata negatif hampir sama fungsinya dengan nir yang berarti nol, misalnya nirwighna berarti tanpa rintangan.
Rintangan (wighna) hidup memang tak dapat dihindari selama manusia hidup didunia, bahkan setelah meninggalpun (geguritan atma prasangsa) sang roh konon melewati berbagai rintangan yang mengerikan sebagai cermin prilaku yang bersangkutan selama hidup di dunia. Penderitaan manusia yang seolah tanpa akhir bersumber dari panca klesa, seperti yang disebutkan dalam Yoga sutra Patanjali 11.3: “Avidyasmita raga dvesaa bhinivesah klesah”, bahwa ada 5 penyebab penderitaan yang terdiri dari :
1. Awidya: Kebodohan.
2. Asmita: Keakuan.
3. Raga: Keterikatan.
4. Dwesa: Kebencian.
5. Abhiniwesa: Ketakutan akan kematian.
Wighna dan klesa sebenarnya bersumber pada diri sendiri akibat kebodohan, keakuan, keterikatan, rasa benci, dan ketakuatan akan kematian yang berlebihan. Kebodohan menyebabkan kebingungan, keakuan menimbulkan kesombongan, keterikatan menyebabkan keserakahan dan kesedihan, dan ketakutan menyebabkan hilangnya kesadaran. Setiap sikap dan tindakan dalam penyelesaian suatu persoalan akan berpengaruh pada persoalan berikutnya yang akan dihadapi. Pertimbangan yang tepat memerlukan kebijaksanaan pikiran yang disebut wiweka. Wiweka tidak sekedar melibatkan pengetahuan, pengalaman, kesabaran, tetapi yang lebih diperlukan adalan sinar suci Tuhan sehingga jalan terbaik akan diperoleh.
Salah satu kelemahan manusia adalah bahwa ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya, sehingga hidup manusia bagaikan teka-teki yang tak berujung. Rintangan bak sebuah pertanyaan hidup yang harus dijawab dengan sebuah atau beberapa tindakan yang hasilnya serba ketidakpastian. Karena itu perjalanan hidup setiap orang memiliki variasi tersendiri tergantung apa tantangan yang dihadapi dan bagaimana ia menyikapinya dalam tindakan sehingga hasil akhir akan diperoleh.
Pandawa dan Korawa ketika diuji ole Gurunya Drona, untuk membidik sasaran seekor burung, mereka memberikan tangapan yang berbeda sesuai dengan fokus masing-masing. Yudistira melihat batang pohon secara utuh tempat burung itu bertengger, sedangkan Arjuna hanya melihat satu titik pada tubuh burung tersebut. Guru Drona kemudian memahami bahwa Arjunalah satu-satunya yang memiliki bakat memanah terbaik.
Seseorang sering gagal fokus tehadap apa yang dihadapi oleh karena begitu banyak pertimbangan yang mungkin bahkan tidak terlalu penting. Sehingga banyak waktu terbuang hanya untuk persoalan-persoalan kecil. Kita lupa apa yang menjadi fokus tujuan hidup yang sebenarnya yaitu moksartham jagadhita, seperti banyak dijelaskan dalam sastra kuno bahwa diri kita yang sejati yang merupakan perwujudan kesadaran (tutur) sedang dalam kondisi tidur (turu). Maka alpa dari yang sejati adalah penyebab dari persoalan hidup yang sebenarnya. Oleh sebab itu, Wighna terbesar manusia adalah ketika ia lupa dengan tujuan yang sejati sehingga menempuh jalan yang tak jelas ujung pangkalnya.
Dalam kenyataan hidup memiliki wiweka sangat diperlukan, untuk itu pengetahuan yang meningkatkan wiweka amat sangat diperlukan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui Tri Premana (Pratyaksa, anumana, agama) yang melibatkan pengalaman langsung, melakukan analisa atas gejala yang ada dan meminta bantuan dari sumber yang terpercaya. Pengalaman dipandang sebagai guru yang paling utama, karena darinya pengetahuan utuh akan diperoleh. Pengetahuan inilah yang kemudian merupakan tongkat penuntun menuju pembebasan dari ikatan yang melekat pada manusia. Kesucian diri dan pengetahuan suci akan menuntun pada kesucian, oleh karena kesucian itulah menyebabkan tumbuhnya wiweka. Hal ini telah menjelaskan mengapa banyak para pertapa memilih hidup dalam pengasingan duniawi demi memperoleh pengetahuan pembebasan (moksa).
Bagi yang giat bekerja, Bhagawad Gita 11.47 menganjurkan bekerja tanpa ikatan akan hasil sebagai sarana pembebasan dipandang sebagai dharma yang tertinggi. Ketika kerja sebagai persembahan dari rasa bhakti yang mendalam, maka Tuhan akan memberikan karunia yang sama dengan para yogi yang jiwanya tidak terikat lagi oleh ikatan duniawi. Bagi seorang pekerja menjadikan Kerja, bhakti dan cinta kasih sangat diperlukan sebagai penghancur rintangan.
Bhakti perlu diwujudkan dengan suatu Sadhana yaitu praktek spiritual dari seorang bhakta. Sadhana mendekatkan manusia dengan Tuhan, seperti besi yang mendekat pada sebuah magnet, sehingga seolah besi itu adalah magnetnya. Seorang Bhakta yang tulus dan penuh pelayanan akan memperoleh karunia, kemampuan yang baik dalam menghadapi setiap persoalan hidup karena senantiasa dalam perlindungan dan tuntunan Tuhan. Sri Krishna dalam Gita IX. 22 menyatakan:
“Ananyas cintayanto mam
ye janah paryupasate
tesham nityabhiyuktanam
yoga-ksemam vahamyaham“
Terjemahan:
Tetapi, mereka yang memuja-Ku dan hanya bermeditasi kepada-Ku saja, kepada mereka yang senantiasa gigih demikian itu, akanAku bawakan segala apa yang belum dimilikinya dan akan menjaga apa yang sudah dimilikinya.
Namun kenyataanya manusia lebih sering lupa mendekatkan diri dengan Tuhan saat dalam kondisi nyaman. Namun sebaliknya akan begitu dekat ketika persoalan berat sedang ia hadapi. Tuhan menjadi tempat terakhir untuk mengadu, dan memohon solusi atas hambatan yang dihadapi. Seorang bhakta yang baik akan melaksanakan sadhana dalam kondisi apapun. la selalu waspada dan percaya sepenuhnya bahwa Tuhan mengendalikan hidupnya. Pada umumnya Tuhan di puja dalam berbagai perwujudan atau manifestasi Dewa-Dewi sesuai dengan karma si penyembah.
Dalam berbagai pustaka Hindu, Ganesha adalah dewa ilmu pengetahuan, penghancuran segala awidya, kegelapan pikiran, dan segala rintangan. Pemujaan Ganesa bertujuan untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan, sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini. Dalam Ganashtakam disebutkan :
Sarva vighna haram devam sarva vighna vivarjitham,
Sarva sidha pradatharam, Vandeham Gana Nayakam.
Terjemahan :
Penghormatan Ganesha yang merupakan pemimpin ganas yang menghilangkan segala rintangan, Dia yang meniadakan semua jenis hambatan, dan Dia yang memberkati seseorang dengan segala prestasi.
Dengan memuja Ganesha diharapkan segala rintangan dan hambatan (wighna) ditiadakan sehingga segala keberhasilan dan kesuksesan diperoleh (sarwa sidha). Permohonan ini menunjukkan bahwa penting bagi seorang bhakta memberikan pujian pada Tuhan seta mengungkapkan rasa takutnya akan hambatan hidup dan mengakui bahwa ia memerlukan bantuan Tuhan (Ganesha) untuk menghalau segala rintangan serta berkat kesuksesan didalam kehidupanya. Wighna yang ingin dijauhkan, siddha yang ingin diperolah (Awighnam astu namo siddham).
Awighnamastu adalah sebuah doa dengan harapan agar segala rintangan yang dhadapi ditiadakan demi lancamya suatu aktifitas yang meliputi pikiran, perkataan dan tindakan sehingga memperoleh sarwa Siddha yaitu segala macam keberhasilan.
Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah
Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama Siwaditya ya Namah.
Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka karena diambil dari berbagai sumber informasi, yang mungkin kurang tepat.
Om Tat Pramadat Kesama Swamam. Om Santih
Permohonan maaf dan penghormatan Anda kepada Ida Hyang Parama Kawi, Batara-Batari, serta para leluhur sepenuhnya dapat dimengerti dan dihargai. Tindakan Anda untuk memohon pangaksama (ampunan/maaf) menunjukkan sikap hormat dan kehati-hatian yang mendalam dalam upaya melestarikan serta membagikan kisah leluhur, terutama ketika sumber informasinya beragam dan mungkin ada ketidakakuratan.
Dalam tradisi spiritual dan budaya, sangatlah bijak untuk :
- Menjunjung Tinggi Etika.
Meminta maaf terlebih dahulu adalah bentuk pengakuan akan keterbatasan pengetahuan manusia dan penghormatan terhadap alam gaib serta para pendahulu.
- Menghindari Kesalahan.
Dengan mengakui potensi kesalahan informasi yang berasal dari berbagai sumber, Anda menunjukkan niat baik dan terlepas dari tuduhan sengaja menyebarkan informasi yang salah atau tidak menghormati.
- Memohon Restu.
Secara implisit, permohonan ini juga merupakan cara untuk memohon restu agar proses penceritaan berjalan lancar dan diterima dengan baik oleh semua pihak, baik di dunia nyata maupun di alam spiritual.
Silakan lanjutkan dengan cerita atau informasi yang ingin Anda bagikan. Niat baik dan permohonan maaf yang tulus ini diharapkan dapat menjadi landasan yang baik dalam menghimpun dan membagikan sejarah atau kisah para leluhur tersebut.
Bonus artikel Babad Pasek
BABAD PASEK
Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM, Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.
LAHIRNYA PANCA TIRTHA
Mari kita kembali kepada hal-hal yang terjadi di Puncak Tohlangkir. Pada tahun Çaka 27 (th 105 M) Gunung Agung meletus lagi dengan sangat hebatnya, entah hal-hal apa yang terjadi pada waktu itu. Beberapa tahun kemudian, tahun Çaka 31 (th 109 M), Betara Tiga beryoga di Puncak Tohlangkir (Gunung Agung), untuk membersihkan Nusa Bali tepatnya pada hari Anggara (Selasa) Kliwon, wara Kulantir, dikala bulan Purnama raya, Sasih Kelima, atas kekuatan yoga Betara Tiga, Gunung Agungpun meletus lagi dengan sangat hebatnya.
Memang Dewata telah mengatur sedemikian rupa, setiap upacara besar keagamaan di Baliyang besifat umum, Gunung Agung tetap meletus atau paling tidak akan terjadi gempa bumi. Setelah upacara pembersihan Nusa Bali, pada tahun Çaka 31 itu juga Gunung Agung masih meletus, pada hari yang sangat baik, Betara Tiga di Puncak Tohlangkir, sama bertujuan agar mempunyai putra, maka Betara Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya beryoga dengan sangat hebatnya, menghadapi api pedipaan, betapa alunan suaranya bunyi genta, hujan kembang dari angkasa.
Akibat dari kekuatan/kesucian yoganya Betara kalih, Gunung Agung menambah hebat letusannya lagi, keluar banjir api dari lubang kepundannya, kilat, gempa berkesinambungan, hujan sangat lebatnya, dentuman-dentuman suara letusan tiada hentinya. Maka dari kekuatan yoga Hyang Agni Jaya, keluar dari Panca Bhayunya seorang laki-laki bernama Mpu Withadharma. Alkisah Mpu Withadharma alias Çri Mahadewa melakukan yoga semadi dengan teguh dan disiplin. Dari kekuatan Panca Bhayunya lahirlah dua orang anak laki-laki dan diberi nama Mpu Bhajrasattwa alias Mpu Wiradharma dan adiknya diberi nama Mpu Dwijendra alias Mpu Rajakertha.
Mpu Dwijendra kemudian melakukan yoga semadhi. Berkat yoga semadhinya itu, lahirlah dua orang anak laki-laki, yang sulung bernama Gagakaking alias Bukbuksah dan adiknya bernama Brahmawisesa. Selanjutnya, Brahmawisesa melakukan yoga semadhi, dari kekuatan Panca Bhayunya, lahirlah dua anak laki-laki, masing-masing bernama Mpu Saguna dan Mpu Gandring. Mpu Gandring wafat ditikam oleh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring sendiri. Sedang Mpu Saguna, dari yoga semadhinya melahirkan seorang putra laki-laki bernama Ki Lurah Kepandean, yang selanjutnya menurunkan Wang Bang yaitu Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande).
Adapun Mpu Bhajrasattwa, berkat yoga semadhinya, menurunkan seorang putra bernama Mpu Tanuhun alias Mpu Lampitha. Kemudian Mpu Tanuhun juga melakukan yoga semadhi, kemudian dari kekuatan bhatin dan Panca Bhayunya, beliau menurunkan lima orang putra yang juga dikenal dengan sebutan Panca Tirtha (Panca Sanak). Kelima putranya tersebut antara lain :
1. Sang Brahmana Panditha (Mpu Gni Jaya).
2. Mpu Mahameru (Mpu Semeru)
3. Mpu Ghana
4. Mpu Kuturan
5. Mpu Beradah (Peradah)
Semua telah menjadi wiku. Semenjak beliau masih kecil-kecil, semuanya tekun menjalankan swadharmanya masing-masing.
Selanjutnya dari yoga Hyang Putra Jaya, lahir dua orang putra putri masing-masing bernama, yang laki bernama Betara Ghana dan yang perempuan bernama Betari Manik Gni. Ketujuh putra-putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya, pergi ke Gunung Semeru, menghadap Hyang Pasupati, untuk memperdalam ajaran agama dan kependetaan. Setelah sama dewasa dan telah sama tamat dalam hal menuntut ilmu, maka Betari Manik Gni dikawini oleh Sang Brahmana Panditha, sejak perkawinannya itu Sang Brahmana Panditha, berganti nama Mpu Gni Jaya. Setelah sekian lama putra putri Hyang Agni Jaya dan Hyang Putra Jaya berada di Gunung Semeru, pada suatu hari yang baik, Hyang Pasupati bersabda kepada cucu-cucunya, sabda Betara Kasuhun: “Wahai cucu-cucuku semua, kamu telah sama dewasa dan telah tamat dari menuntut ilmu, demikian juga telah sama menjadi Pendeta, aku memberi ijin kepadamu untuk kamu kembali ke Nusa Bali menghadap orang tuamu, turut menjaga Nusa Bali”. Demikian sabda Hyang Pasupati.
Imajiner Nuswantoro








