Naskah Pustaka Amanah Galunggung
Naskah Galunggung adalah naskah Sunda Kuna bernama Amanat Galunggung atau Naskah Ciburuy (Kropak 632) yang berisi nasihat etika, moral, dan kepemimpinan dari Raja Galunggung kepada putranya. Naskah ini ditulis sekitar abad ke-15, berisi nasihat tentang menjaga kesucian tanah Galunggung (kabuyutan) agar memperoleh kesaktian, kejayaan, dan kekayaan, serta moto "Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke" yang berarti "Ada dahulu, maka ada sekarang, jika tidak ada dahulu, tidak akan ada sekarang".
Detail naskah
1. Nama: Amanat Galunggung atau Naskah Ciburuy (Kropak 632).
2. Jenis: Naskah Sunda Kuna.
3. Tahun: Ditulis pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1518 M.
4. Lokasi: Ditemukan di Kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan.
5. Isi: Berisi nasihat mengenai etika, moral, kepemimpinan, dan pentingnya menjaga warisan masa lalu.
Isi penting :
- Menekankan pentingnya mempertahankan tanah suci Galunggung (kabuyutan) agar tidak dikuasai orang asing.
- Menyatakan bahwa siapa pun yang dapat mempertahankan kabuyutan akan mendapatkan kesaktian, unggul dalam perang, dan berjaya.
- Mengandung moto penting: "Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke".
- Nasihat agar tidak meniru padi yang berisi semakin merunduk dan air sungai yang terus mengalir ke tujuannya.
Raja yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan di wilayah kekuasaannya lebih hina ketimbang kulit musang yang tercampak di tempat sampah’. Demikian salah satu isi dari Amanat Galunggung.
Naskah atau koropak 632 ini sekarang disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Naskah memuat pula tentang tata politik pada jaman dahulu. Sedangkan pusat-pusat kegiatan intelektual dan keagamaan ditempatkan pada kedudukan yang sangat penting. Dari naskah ini diketahui juga peran Kabuyutan (liat fungsi Kabuyutan pada thread lainnya), bukan hanya sebagai tempat pemujaan, melainkan dijadikan sebagai salah satu cara penopang integritas terhadap negara, sehingga tempat itu dilindungi oleh raja dan disakralkan.
Amanat Galunggung bukan suatu judul naskah yang langsung ditulis demikian, namun disebutkan bagi sekumpulan naskah yang ditemukan di Kabuyutan Ciburuy Garut. Penamaan terhadap kumpulan naskah menjadi ‘Amanat Galunggung’ diberikan oleh Saleh Danasasmita, yang turut mengkaji naskah ini pada tahun 1987.
Naskah yang dikatagorikan sebagai salah satu naskah tertua di Nusantara ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda, berisi nasehat perihal budi pekerti, disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja kerajaan Sunda ke-25, Penguasa Galunggung, kepada puteranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman. Sehingga didalam nalaroza weblog menyebut pula sebagai ‘Amanat Galunggung Prabu Guru Darmasiksa’.
Siapakah Prabu Guru Darmasiksa
Didalam naskah Carita Parahyangan diceritakan, Darmasiksa, atau ada juga yang menyebut Prabu Sanghyang Wisnu memerintah selama 150 tahun. Sedangkan di dalam naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni sejak tahun 1097 – 1219 Saka atau 1175 – 1297 M. konon kabar sebagai bahan perbandingan ada 10 penguasa di Jawa Pawathan yang sejaman dengan masa pemerintahannya.
Ia naik tahta 16 tahun pasca Prabu Jayabaya (1135 – 1159) M, penguasa Kediri Jenggala Wafat, iapun memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).
Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh/ nasehat kepada cucunya, yakni Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut :
Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng hyang Tunggal mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya : mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.
Inti dari nasehatnya tersebut menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.
Jika diurut bibit buit Rakyan Darmasiksa maka ditemukan muasal leluhurnya dari Kendan. Jika kita menyoal masalah Kendan tentunya tidak dapat dilepaskan dari Galuh, sehingga tak heran jika banyak masyarakat kita yang menafsirkan Amanat Galunggung ini terkait erat dengan nilai-nilai yang berlaku umum di Galuh pada waktu itu.
Sama halnya dengan alur Carita Parahyangan yang mengisahkan Galuh, dibuat pada abad ke 16, satu abad pasca Amanat Galunggung, naskah yang diberi nama Amanat Galunggung ini memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M.
Masa tersebut tentunya terkait dengan kisah perebutan tahta Galuh oleh sesama keturunan Wretikandayun, yakni antara anak-anak mandi minyak disatu pihak dan anak dari Sempak Waja dan Jantaka. Sehingga secara politis, Sanggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan pembagian kekuasaan diantara keturunan Wretikandayun, bahkan naskah ini menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun diluar Galuh.
Didalam naskah Wangsakerta Bab Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, diketahui nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra dari Wretikandayun (pendiri Galuh). Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732M. Eksistensi dari Resi Demunawan, Sempak Waja dan Wretikandayun banyak di ceritakan didalam Carita Parahyangan, bahkan seangkatan dengan Sanjaya dan Balangantrang. Memang Demunawan, leluhur Prabuguru Darmasiksa memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh teureuh Kendan. Karena sekalipun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu memperoleh gelar Resi Guru. Suatu Gelar yang tidak sembarangan bisa didapat oleh siapapun, sekalipun oleh raja-raja terkenal, tanpa memilik sifat Satria Minandita, bahkan pasca Salakanagara dan Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa dan Resiguru Niskala Wastu Kancana, Raja di Kawali.
Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (Kuningan) kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, di daerah Tasik. Menurut kisah Bujangga Manik pad abadi ke 15, lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik selatan sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke 18 nama kerajaan tersebut masih ada, namun setingkat Kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Mungkin sebab alasan sejarah penduduk Kampung Naga Salawu Tasik enggan menyebut Singaparna, merekapun tetap menyebut Galungung untuk istilah Singaparna.
Kemudian Darmasiksa diangkat menjadi Raja di Kerajaan Sunda (Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada puteranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman.
Naskah Amanat Galunggung
Saripati dari naskah tersebut pada intinya berisi tentang tetekon hirup, yakni :
1. Keharusan untuk menjaga dan mempertahankan tanah kabuyutan dari gangguan orang asing, bahkan tanah kabuyutan sangat di sakralkan. Iapun menyebutkan, bahwa : lebih berharga kulit lasum (musang) yang berada ditempat sampah dari pada putra raja yang tidak mampu mempertahankan tanah airnya.
2. Memotifasi agar keturunannya untuk tetap mempertahan Galunggung. Dengan cara mendudukan Galunggung maka siapapun akan memperoleh kesaktian, jaya dalam berperang, dan akan mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
3. Agar berbakti kepada para pendahulu yang telah mampu mempertahan tanah air pada jamannya masing-masing.
Amanat Galunggung intinya merupakan ajaran atau visi yang harus dimilik setiap ‘Urang Sunda’, terutama dalam cara hirup kumbuhna. Sehingga dapat membentuk diri sebagai pribadi yang positif dan mencerminkan kesejatian manusia.
Berikut ringkasan Amanat Galunggung, dalam tulisan ini sengaja hanya ditampilkan terjemaahan dari koropak 632 oleh Saleh Danasamita (1987), namun tidak pada analisanya ataupun pendapatnya. Hal ini semata-mata agar diketahui keaslian dan universalitasnya ajaran Sunda Buhun.
Halaman 1
- Prabu Darmasiksa menjelaskan tentang nama-nama raja leluhurnya. Iapun memberikan amanat atau nasihat kepada: anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (ke-4), muning (ke-5), anggasantana (ke-6), kulasantana (ke-7), pretisantana (ke-8), wit wekas ( ke-9, hilang jejak), sanak saudara, dan semuanya
Halaman 2
Pegangan Hidup :
- Perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan (kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing.
- entang perilaku negatif yang dilarang : Jangan merasa diri yang paling benar, jaling jujur, paling lurus, Jangan menikah dengan saudara, Jangan membunuh, yang tidak berdosa, Jangan merampas hak orang lain. Jangan menyakiti orang yang tidak bersalah. Jangan saling mencurigai.
Halaman 3
Pegangan Hidup
- Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
- Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
- Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
- Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing.
- Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.
- Perilaku yang dilarang, yakni jangan memarahi orang yang tidak bersalah ;
- Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada jamannya.
Halaman 4
Pegangan Hidup
- Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri.
- Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang “halus”.
- Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah-bunda, tidak mengindahkan ajaran moral (patikrama). Ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegal.
Halaman 5
Pegangan Hidup
- Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya.
- Orang yang tetap hati seibarat telah sampai di puncak gunung.
- Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar, maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh.
- Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua.
- Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran keutamaan dari leluhur.
- Semua yang dinasihatkan ini adalah amanat dari Rakeyan Darmasiksa.
Halaman 6
Pegangan Hidup
Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang telah membuat ajaran/pegangan hidup yang lengkap dan sempurna. Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi :
- Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya;
- Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan.
- Ahli strategi akan unggul perangnya.
- Pertanian akan subur.
- Panjang umur.
- SANG RAMA (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup ; SANG RESI (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan ; SANG PRABU (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan.
- Perilaku yang dilarang, yakni : Jangan berebut kedudukan ; Jangan berebut penghasilan ; Jangan berebut hadiah.
- Perilaku yang dianjurkan, yakni harus bersama- sama mengerjakan kemuliaan, melalui : perbuatan, ucapan dan itikad yang bijaksana.
Halaman 7
Pegangan Hidup
- Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu menegakkan ajaran/agama ; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang/silaturahmi dengan sesama manusia. Itulah manusia yang mulia.
- Dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal/bekerja, yaitu apa yang kita kerjakan. Buruk amalnya ya buruk pula tapanya, sedang amalnya ya sedang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya ya sempurna tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil tapanya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita.
- Perilaku yang dianjurkan : Perbuatan, ucapan dan tekad harus bijaksana.
- Harus bersifat hakiki, bersungguh-sungguh, memikat hati, suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara.
- Perilaku yang dilarang : Jangan berkata berteriak, berkata menyindir-nyindir, menjelekkan sesama orang dan jangan berbicara mengada-ada.
Halaman 8
Pegangan Hidup :
- Bila orang lain menyebut kerja kita jelek (maksudnya bukan jelek fisik/tubuh), yang harus disesali adalah diri kita sendiri.
- Tidak benar, karena takut dicela orang, lalu kita tidak bekerja/bertapa.
- Tidak benar pula bila kita berkeja hanya karena ingin dipuji orang.
- Orang yang mulia itu adalah yang sempurna amalnya, dia akan kaya karena hasil tapanya itu.
- Camkan ujaran para orang tua agar masuk surga di kahiyangan.
- Kejujuran dan kebenaran itu ada pada diri sendiri.
- Itulah yang disebut dengan kita menyengaja berbuat baik.
- Perilaku yang dianjurkan :
- Harus cekatan, terampil, tulus hati, rajin dan tekun, bertawakal, tangkas, bersemangat, perwira – berjiwa pahlawan, cermat, teliti, penuh keutamaan dan berani tampil. Yang dikatakan semua ini itulah yang disebut orang yang BERHASIL TAPANYA, BENAR-BENAR KAYA, KESEMPURNAAN AMAL YANG MULIA.
Halaman 9
Pegangan Hidup :
- Perlu diketahui bahwa yang mengisi neraka itu adalah manusia yang suka mengeluh karena malas beramal ; banyak yang diinginkannya tetapi tidak tersedia di rumahnya; akhirnya meminta-minta kepada orang lain.
- Perilaku yang dilarang : Arwah yang masuk ke neraka itu dalam tiga gelombang, berupa manusia yang pemalas, keras kepala, pander bodoh, pemenung, pemalu, mudah tersinggung babarian, lamban, kurang semangat, gemar tiduran, lengah, tidak tertib, mudah lupa, tidak punya keberanian pengecut, mudah kecewa, keterlaluan/luar dari kebiasaan, selalau berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya padangan omongan orang lain, tidak teguh memegang amanat, sulit hati, rumit mengesalkan, aib dan nista
Halaman 10
Pegangan Hidup :
- Orang pemalas tetapi banyak yang diinginkannya selalu akan meminta dikasihani orang lain. Itu sangat tercela.
- Orang pemalas seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Jadilah dia manusia pengiri melihat keutamaan orang lain.
- Amal yang baik seperti ilmu padi makin lama makin merunduk karena penuhbernas.Bila setiap orang berilmu padi maka kehidupan masyarakat pun akan seperti itu.Janganlah meniru padi yang hampa, tengadah tapi tanpa isi.
- Jangan pula meniru padi rebah muda, hasilnya nihil, karena tidak dapat dipetik hasilnya.
Halaman 11
Pegangan Hidup :
- Orang yang berwatak rendah, pasti tidak akan hidup lama.
- Sayangilah orang tua, oleh karena itu hati-hatilah dalam memilih isteri, memilih hamba agar hati orang tua tidak tersakiti.
- Bertanyalah kepada orang-orang tua tentang agama hukum para leluhur, agar hirup tidak tersesat.
- Ada dahulu (masa lampau) maka ada sekarang (masa kini), tidak akan ada masa sekarang kalau tidak ada masa yang terdahulu.
- Ada pokok (pohon) ada pula batangnya, tidak akan ada batang kalau tidak ada pokoknya.
- Bila ada tunggulnya maka tentu akan ada batang (catang)-nya.
- Ada jasa tentu ada anugerahnya. Tidak ada jasa tidak akan ada anugerahnya.
- Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia-sia.
Halaman 12
Pegangan Hidup :
- Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia- sia, dan akhirnya sama saja dengan tidak beramal yang baik.
- Orang yang terlalu banyak keinginannya, ingin kaya sekaya-kayanya, tetapi tidak berkarya yang baik, maka keinginannya itu tidak akan tercapai.
- Ketidak-pastian dan kesemerawutan keadaan dunia ini disebabkan karena salah perilaku dan salah tindak dari para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai, para orang kaya; semuanya salah bertindak, termasuk para raja di seluruh dunia.
- Bila tidak mempunyai rumah/kekayaan yang banyak ya jangan beristri banyak.
- Bila tidak mampu berproses menjadi orang suci, ya jangan bertapa.
Halaman 13
Pegangan Hidup:
- Keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja.
- Tirulah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang dilaluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesempurnaan dan keindahan.
- Teguh semangat tidak memperdulikan hal-hal yang akan mempengaruhi tujuan kita.
- Perilaku yang dianjurkan:
- Perhatian harus selalu tertuju/terfokus pada alur yang dituju.
- Senang akan keelokan/keindahan.
- Kuat pendirian tidak mudah terpengaruh.
- Jangan mendengarkan ucapan-ucapan yang buruk.
- Konsentrasikan perhatian pada cita-cita yang ingin dicapai.
Naskah Amanat Galunggung
Lembar Jilid verso
Awignam astu. Nihan tembey sakakala1 Rahyang Ba/n/nga, masa sya nyusuk2 na Pakwan makangaran Rahyangta Wuwus,3 maka manak Maharaja Déwata, Maharaja Déwata maka manak Baduga Sanghyang,
Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan Rahiyang Banga, ketika ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, bernama Rahingta Wuwus, maka (ia) berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang,
1. Sakakala oleh Pleyte diterjemahkan dengan “overlivering omtrent de afstameling” (ceritera turun-temurun tentang silsilah). Dalam prasasti-prasasti Sunda, kata sakakala selalu dimaksudkan sebagai: tanda peringatan bagi yang sudah wafat.
2. Nyusuk berarti: membuat susukan atau parit (biasanya untuk pertahanan kota). Pengertiannya sama dengan kata marigi dalam prasasti Kawali.
3. Gelar Rahyangta digunakan dalam Carita Parahyangan, sedangkan tokoh yang bersangkutan dalam naskah Cirebon disebut Rakryan Wuwus. Dengan demikian namanya bukan Rahyang Tawuwus, melainkan Rahyangta Wuwus.
Baduga Sanghyang maka manak Prébu Sanghyang maka manak Sa(ng) Lumahing rana,4 Sa(ng) Lumahing rana maka manak Sa(ng) Lumahing Winduraja, Sa(ng) Lumahing Tasikpa(n)jang (maka manak) Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang, Sa(ng) Lumahing Hujung Kembang maka manak Rekéyan Darmasiksa.
Baduga Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing rana, Sang Lumahingrana berputera Sang Lumahing Winduraja, Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang, Sang Lumahing Tasikpanjang berputera Sang Lumahing Ujung Kembang, Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa.
4. Kata sang lumahing umumnya berarti “yang dipusarakan di”. Sang Lumahing rana berarti yang gugur di medan perang. Pleyte menduga, tokoh ini adalah raja Sunda yang gugur di Bubat tahun 1357 yang disebutnya Prabu wangi.
Darmasiksa siya ngawarah anak euncu umpi cicip muning anggasa(nta)na (kulasantana) pretisantana wit wekas5 kulakadang…… )
Darmasiksa, ia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6), kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas (turunan ke-9), sanak-saudara….
5. Dalam kropak 630 disebut “putuh wekas” (= putus jejak/turunan).
I rekto
sakabéh, nguniwéh sapilanceukan,
semuanya, demikian pula saudara-saudara kandung,
mulah pabwang6 pasalahan paksa, mulah pakeudeukeudeu, asing ra(m)pés, cara purih, turutan mulah keudeu di tineung di manéh, isos-iseukeun carékna patikrama,
Jangan bentrok (karena) berselisih maksud, jangan saling berkeras: hendaknya rukun (dalam) tingkah laku (dan) tujuan. Ikuti, jangan (hanya) berkeras pada keinginan diri sendiri (saja),
6. Kata ini dalam Sunda modern menjadi: pam(b)eng=berhalangan, dengan pergeseran arti. Kata pabwang berarti saling merintangi.
isos-iseukeun carékna patikrama,7 jaga kita dék jaya prang ta(n)jor juritan tan alah kuréya, musuh ti dara(t) ti laut, ti barat ti timur sakuriling désa, musuh alit, musuh ganal
Camkanlah ujar patikrama, bila kita ingin menang perang, selalu unggul berperang, tidak (akan) kalah oleh (musuh) yang banyak: musuh dari darat dari laut, dari barat dari timur di sekitar negeri; musuh halus, musuh kasar,
7. Kata Patikrama lebih baik tidak diterjemahkan, karena kata itu dapat berarti: adat, kebiasaan, tradisi, tata-tertib, sopan-santun, peraturan, undang-undang atau hukum keagamaan.
mu(ng)ku kahaja urang miprangkeun si tepet, si bener, si duga, si twarasi, mulah sida deung kulakadang, mulah munuh tanpa dwasa, mulah ngarampas tanpa dwasa, mulah midukaan tanpa dwasa, mulah nenget a(s)tri sama astri, mulah nenget hulun sama hulun,
Jangan dengan sengaja kita memperebutkan: yang lurus. Yang benar, yang jujur, yang lurus hati. Jangan berjodoh dengan saudara, jangan membunuh yang tak berdosa, jangan merampas (milik) yang tak bersalah, jangan menyakiti yang tak bersalah; jangan saling curiga/sesali antara wanita/isteri, jangan saling curiga antara hamba dengan hamba,
jaga dapetna pretapa8 dapetna pegengeun sakti, beunangna (ku) Sunda, Jawa, La(m)pung, Ba-
Waspadalah. kemungkinan direbutnya kemuliaan (kewibawaan, kekuasaan) dan pegangan kesaktian (kejayaan) oleh Sunda, Jawa, Lampung, Ba-
8Pretapa dapat berarti: sinar (kekuatan), cahaya, pancaran, perbawa, kemuliaan, kewibawaan, pengaruh, kuasa.
I verso
luk, banyaga nu dék ngarebutna kabuyutan9 na Galunggung,
luk, para pedagang (orang asing) yang akan merebut kabuyutan di Galunggung.
9. Kata Kabuyutan pun lebih baik tidak diterjemahkan, sebab kata itu dapat berarti “tempat keramat”, “tempat suci” dengan fungsi yang berbeda-beda (kuburan leluhur, tempat pemujaan dan lain-lain).
asing iya nu meunangkeun kabuyutan na Galunggung, iya sakti tapa, iya jaya prang, iya heubeul nyéwana, iya bagya na drabya sakatiwatiwana, iya ta supagi katinggalan rama-resi,10
Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung, ia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya, ia akan unggul perang, ia akan lama berjaya, ia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun, yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama dan para resi,
10. Istilah rama di sini berarti “tetua desa” (bukan ayah). Jadi, bukan sebutan ber-ayah kepada resi, melainkan rama (tetua desa) dan resi (pendeta). Karena itu lebih baik tidak diterjemahkan.
lamun miprangkeuna kabuyutan na Galunggung, a(n)tuk na kabuyutan, awak11 urang na kabuyutan, nu leuwih diparaspadé, pahi deung na Galunggung, jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku Lampung, ku sakalian, muliyana kulit di jaryan, madan na rajaputra,12 antukna boning ku sakalaih,
Bila terjadi perang (memperebutkan) kabuyutan di Galunggung, pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan. Apa-apa yang lebih (sulit dipertahankan?) dirapikan, semua dengan yang di Galunggung. Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya. Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah dari pada rajaputra (bila kabuyutan) akhirnya jatuh ke tangan orang lain.
11. Kata awak dapat berarti: badan atau kuasa.
12. Tepatnya: nilai kulit lasun di tempat sampah menyamai rajaputra. Rajaputra dalam hal ini ialah Rakeyan Saunggalah yang kemudian disebut Prabu Ragasuci dan setelah wafat disebut Sang Lumahing Taman, putera Prabu Darmasiksa.
jaga rang a(ng)gos dihélwan, munuh tanpa dwasa, ngajwal13 tanpa dwasa, nguniwéh tan bakti di sang pandita di puhun14 di manéh, na carita boning ku sa-
Ikutilah terus (pantangan-pantangan) yang telah ditaati, (yaitu) membunuh (yang) tak berdosa, memarahi (yang) tak bersalah, demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur kita sendiri dalam peristiwa dapat
13. Kata ngajwal berasal dari kata jwal (Sangsekerta: jval) yang berarti: menyala, bersinar, merah-padam atau naik pitam.
14. Kata puhun sebenarnya berarti pohon, yang dalam hal ini berarti: cakal-bagal atau leluhur. Sinonimnya ialah wiwitan (witwitan) yang sebenarnya juga berarti tumbuh-tumbuhan (wit = pohon).
II rekto
kalih15 ngaranya, na kabuyutan,
direbutnya kabuyutan oleh orang lain,
15Kata sakalih dalam bahasa Sunda dapat berarti: yang lain atau sekalian (semuanya).
jaga hamo iseus di mulah di pamali di manéh, mulah kapuhan dina musuh ganal bala (boning) dila(n)can, musuh alit mwa boning ditambaan, jampé mwa matih, mangmang sasra tanpa guna, patula tawur tan mretyaksa ku padan ngalalwan sipat galeng mgalalwan siksa nu kwalwat, kwaywa nguha di carék aki lawan buyut,
Hindarkan sikap tidak mengindahkan cegahan dan pantangan diri sendiri, jangan bingung menghadapi musuh kasar; laskar (musuh) dapat dilawan, sebaliknya musuh halus tidak dapat diobati. Jampi tidak akan mempan, sumpah (kutukan) seribu (kali) tak akan berguna, ibarat tawur (kurban) yang tidak terlaksana oleh perbuatan melampau batas (garis) pematang (aturan), mengabaikan aturan dari leluhur (orang tua), luput menyadari ucapan kakek dan buyut,
upadina pa(n)day beusi panday omas, memen paraguna, hamba lawak, tani gusti, lanang wadon, nguniwéh na raja puta – keudeu
Bandingannya: pandai besi dengan pandai emas, dalang dengan penabuh gamelan, hamba dengan majikan, petani dengan pemilik tanah, laki-laki dengan perempuan, demikian pula raja dengan upeti (persembahan)
di tineung di manéh hamo ngadéngé carék i(n)dung lawan bapa, hamo ngadéngé carék na patikrama wwang keudeuanakéh, upadina kadi tungtung halalang sategal kadi a(ng)gerna puncak ing gunung, sa-
Berkeras kepada keinginan sendiri tidak mendengar nasihat ibu dan bapak, tidak mengindahkan ajaran patikrama, itulah contoh orang yang keras kepala; ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegalan, ibarat tetapnya puncak gunung. Si-
II verso
pa ta wruh ri puncaknya, apa yang mengetahui puncaknya?
asing wruh iya ta wruh inya patingtiman, wruh di carék aki lawan buyut, marapan kita jaya prang heubeul nyéwana,
Siapa pun yang mengetahuinya, ya tahulah akan ketentraman, tahu akan nasihat kakek dan buyut, agar kita unggul perang dan lama berjaya,
jaga kita miprangkeun si tepet si bener, si duga si twarasi, iya tuhu sirena janma (d)ina bwana iya kahidupanana urang sakabéh, iya pawindwan ngaranya kangken gunung panghiyangana urang, pi(n)dah ka cibuntu ngaranya, pindah ka l(e)mah pamasarran, geusana wwang ngéyuhan kapanasan,
Janganlah kita memperebutkan (bertengkar) tentang: yang tepat (lurus), yang benar, yang jujur, yang lurus hati; ya sungguh-sungguh tenteram manusia di dunia, ya kehidupan kita semua, ya ketenteraman namanya ibarat gunung kahiyangan (bagi) kita, beralih ke telaga (bening) namanya, beralih ke tanah pusara, tempat orang berteduh dari kepanasan,
jaga rampésna agama, hana kahuripana urang sakabéh, mulah kwaywa moha di carékna kwalwat pun.
Pelihara kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua, jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur (orang tua).
Ujar Rekéyan Darmasiksa, ngawarah urang sakabéh, nyaraman Sa(ng) Lumahing Taman, sya Rekéyan Darmasiksa, maka manak Sa(ng) Lumahing Taman, patemwan deung ti Darma-agung, aya mangsesya pa-
(Itulah) ujar Rakeyan Darmasiksa, menasihati kita semua, mengajari Sang Lumahing Taman. Ia, Rakean Darmasiksa berputera Sang Lumahing Taman dan perkawinannya dengan wanita dari Darma Agung pernah ia pun me-
III rekto
temwan deung ti sisima pun. nikah dengan orang desa.
Makangaran San Raja Purana, carék Sang Raja Purana, ah ra(m)pés carék déwata16 kami, sya Rekéyan Darmasiksa pun.
(Putranya) bernama Sang Raja Purana. Kata Sang Raja Purana, ah sempurna, sempurna ajaran ayahku suwargi, dia Rakeyan Darmasiksa.
16. Kata déwata dapat pula berarti: suwargi atau almarhum.
Jaga diturutan ku na urang réya, marapan atis ikang désa, sang prabu énak alungguh, sang rama énak emangan, sang disi jaya prang,
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak, agar aman tenteram seluruh negeri, raja tenteram bertahta, sang rama tenteram menghimpun bahan makanan, sang disi unggul perangnya,
jaga isos di carék nu kwalyat, ngalalwakon agama nu nyusuk na Galunggung, marapan jaya pran jadyan tahun,17 heubeul nyéwana, jaga makéyana patikrama, paninggalna sya séda,
Tetaplah mengikuti ucap orang tua, melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung, agar unggul perang, serta tumbuh tanam-tanaman, lama berjaya panjang umur, sungguh-sungguhlah mengikuti patikrama warisan dari para suwargi,
17. Kata tahun di sini berarti: tumbuh-tumbuhan, tanaman, pohon.
jagat daranan18 di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di sang prabu,19
Dunia kemakmuran, tanggung jawab sang rama, dunia kesejahteraan hidup, tanggung jawab sang resi, dunia pemerintahan, tanggung jawab sang prabu,
18. Kata daranan (sansekerta: dhara) menurut konteks kalimat harus diartikan: bantuan bahan makanan. Kata kemakmuran lebih memadai.
19. Rama, resi, dan prabu disebut tritangtu dibuana yang sama kedudukannya tetapi berbeda tugas. Ketiga-tiganya dianggap penjelmaan Mahapurusa.
haywa paalaala palungguhan, haywa paalaala pameunang, haywa paalaala demakan, apan pada pawitanya, pada mulianya, maka pada mulianya, ku ulah ku sabda, (ku) ambek,
Jangan berebut kedudukan, jangan berebut penghasilan, jangan berebut hadiah, karena sama asal-usulnya, sama mulianya. Oleh karena itu bersama-samalahlah berbuat kemuliaan dengan perbuatan, dengan ucapan, dengan itikad:
III verso
si niti si nityagata, si aum,20 si heueuh21 si karungrungan,22 ngalap kaswar semu guyu/ng/ téjah ambek guru23 basa,
yang bijaksana yang selalu berdasarkan kebenaran, yang bersifat hakiki, yang sungguh-sungguh, yang memikat hati, suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara,
20. Kata aum dapat diterjemahkan dengan: Ya (untuk menyeru Tuhan). Si aum adalah mereka yang senantiasa menyeru (mengingat) Tuhan. Aum juga berarti: kebenaran atau kenyataan tertinggi (hakiki).
21. Kata heueuh berarti: ya, benar, sungguh-sungguh.
22. Karungrungan = kaseundeuhan , selalu dikerumuni orang karena sifatnya yang menyenangkan.
23. Kata guru di sini berarti: berat, seperti pada istilah guru-lagu (berat-ringan). Padanan yang tepat dalam Bahasa Sunda modern ialah: anteb (mantap).
dina uran sakabéh, tuha kalawan anwam, mulah majar kwanta, mulah majar lak(s)ana, mulah madahkeun24 pada janma, mulah sabda ngapus,25 iya pang jaya prang heubeul nyéwana ngaranya,
Bagi kita semua, tua dan muda, jangan berkata berteriak, jangan berkata menyindir-nyindir, jangan menjelekkan sesama orang, jangan berbicara mengada-ada, agar unggul perang dan lama berjaya namanya,
24. Kata madahkeun berasal dari kata: adah (= adas) yang berarti: buruk atau jelek; madahkeun = memburukkan atau menjelekkan.
25. Kata ngapus berasal dari kata: apus = tali atau ikat. Angapus atau ngapus berarti mengikat atau membuat sajak.
urang ménak26 maka rampés agama, haat héman dina janma, mana urang ka(n)del kulina,27 mana urang dipajarkeun ména(k)28 ku na rama,
Kita merasa senang, maka sempurnalah agama, kasih-sayang kepada sesama manusia, maka kita dianggap bangsawan, maka kita dikatakan orang mulia oleh sang rama,
26. Kata ménak adalah kontradiksi dari ma + inak yang berarti: merasa enak atau senang. Kemudian digunakan pula untuk menyebut golongan masyarakat yang terhormat (dianggap enak hidupnya).
27. Kata kandel dalam hal ini tidak berarti tebal, melainkan kaandel (dipercaya, dianggap, diandalkan). Rupa-rupanya, karena Pleyte dan Holle mengartikan kata kandel itu dengan tebal, maka kata kulit muncul sebagai asosiasinya. Dilihat dari hubungan kalimat dan maknanya, perkataan kandel kulit (= tebal kulit) di sini tidaklah tepat, bahkan janggal. Sangat mungkin dalam naskah tertulis kulina (orang keturunan, bangsawan). Hal ini sejalan dengan kata ménak pada frase berikutnya.
28. Di sini kata ménak berarti: orang mulia, bangsawan.
carék na patikrama, na urang lanang wadwan, iya tuwah iya tapa, iya tuwah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah maja tapa, rampés twah waya tapa,
Menurut ajaran dalam patikrama, bagi kita, laki-laki dan perempuan, ya beramal ya bertapa; itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya, sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya,
apana urang ku twah na mana beu(ng)har ku twah na mana waya tapa, na maka muji sakalih ja ku tapa, 29 na muji manéh kéh ona-
Ada pun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula dapat berhasil tapa kita. Maka orang lain akan memuji tapa kita, maka puji sajalah diri sendiri,
29. Dalam kropak 630, lembar X, dikatakan, bahwa memiliki keahlian dan mengerjakan profesi dengan sepenuh hati disebut tapa di nagara.
IV rekto
m sugan ku ra(m)pés na twah mana beunghar,
(katakan:) barangkali karena sempurna amal maka menjadi kaya,
na maka nyesel sakalih ja urang hanteu tapa, nyesel manéh kéh onam, sugan tu gwaréng na twah mana burungna na tapa,
Bila disesali oleh orang lain karena kita tidak melakukan tapa, sesali sajalah diri sendiri, (katakan:) barangkali karena beramal buruk maka tapa kita menjadi batal,
hamwa karampés lamu(n) dipindaha(n) na twah, jaga dipéda ku sakalih, hamwa karampés na(m)bahan30 twah ja rang dipuji ku /suku/ sakalih, si cangcingan si langsitan si paka, si rajeun-leukeun, si mwa-surahan si prenya, si paka maragwalragwal, purusa emét imeut rajeun-leukeun pakapradana,31 iya bisa ngaranya, titis32 beu(ng)har waya tapa kitu tu rampés twah na ménak,
Percuma (tidak akan diterima) jika amal itu dihilangkan (tidak dilakukan) karena takut dicela oleh yang lain; percuma kita menambah amal bila mengharapkan dipuji oleh orang lain. Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun, si tawakal, si bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh keutamaan, ya berkemampuan namanya, benar-benar kaya dan berhasil tapanya. Begitulah kesempurnaan amal orang mulia,
30. Karena kata pindah di sini berarti hilang, maka “ na bah” seharusnya ditulis nambah (=menambah).
31. Kata pakaprada berasal dari kata paka = (perlu, muda, matang, lengkap, tulus hati, penuh, cukup) dan pradana = (utama, pertama, terkemuka.)
32. Menurut Coolsma, kata titis di antaranya berarti: meneran (tepat) dan keuna (kena).
jaga iseus di carék nu kwalwat, di puhun di manéh, maluy swarga tka/t/ing kahyangan Batara Guru, lamun tepet bener di awak di manéh tu (u)cap na urang kahaja bwa-
Terus camkanlah ujar orang-orang tua, ujar leluhur kita sendiri (agar) masuk surga tiba di kahiyangan Batara Guru, bila kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita sendiri. Itu dikatakan kita menyengaja (berbuat baik).
IV verso
Un-t si mumulan, si ngeudeuhan, si banteuleu, dungkuk peruk, supenan, jangkelék,33 rahéké, mémélé, bra/h/hélé,34 sélér twalér,35 hantiwalér, tan bria,36 kuciwa, rwahaka, jangjangka, juhara, hanteu di kabisa, luhya mumulan, mo teu(ng)teuing, manggahang, bara/ng/-hual,37 nica mreswala, kumutuk pregutu, surahana, sewekeng, pwapwarosé,38 téréh kasimwatan, téréh kapidéngé, mwa teteg di carék wahidan,39 sulit rusit,40 rawa-ja papa,
tuk si pemalas, si keras-kepala, si pandir, perenung, pemalu, mudah tersinggung, lamban, kurang semangat, gemar tiduran, lengah, tidak tertib, mudah lupa, tak punya keberanian, kecewa, luar biasa, sok jago, juara (jagoan), (tetapi) tak berkepandaian, selalu mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh, pembantah, penempelak, selalu berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya kepada omongan orang (tanpa disaring dahulu), tidak teguh memegang amanat, sulit rumit (mengesalkan), aib, nista,
33. Dalam bahasa Sunda: delit atau pundungan.
34. Maksudnya berbaring bermalas-malasan (bahasa Sunda: gégéléhéan).
35. Dalam bahasa Sunda sekarang: toleran atau oleran = tak pernah menyimpan atau meletakkan sesuatu pada tempatnya dan kemudian melupakannya.
36. Kata bria ubahan dari wirya = keberanian, keperwiraan.
37. Kata bara(ng)hual berasal dari kata: hual= suka mengungkit-ungkit kesalahan atau keburukan orang lain atau membalikkan perkataan seseorang.
38. Kata pwapwarosé (sekarang: poporosé) berarti: berusaha keras memperoleh sesuatu dengan memaksakan diri.
39. Kata wahidan berasal dari kata Sangsekerta: vahita=amanat.
40. Kata rusit dalam bahasa Sunda sekarang menjadi: rujit=menjijikkan, mengesalkan karena banyak tingkah atau karena terlalu memilih-milih.
katang-katang di kalésa di kawah ma ku Sang Yamadipati, atma cumunduka ring ywaga tiga, mangrupa janma, maka jadi neluh,
Mayat-mayat pada lubang kawah (neraka), (dikuasai) oleh Sang Yamadipati. Arwah berdatangan dalam tiga periode, berupa manusia, maka jadi mengeluh,
mulana mumulan sangkana réya kahayang, hanteu di imah di manéh, ménta twah ka sakalih, ménta
asal-mula jadi mengeluh (karena) malas pada hal banyak keinginan, tidak tersedia di rumahnya, meminta belas-kasihan kepada orang lain, meminta
V rekto
guna ka sakalih, kebajikan kepada orang lain,
hanteu dibéré ksel hatinya, jadi nelu(h), pamalina iya dwakan iya jangjitan ngaranya, kajajadiyana na urang hiri paywagya di nu bener,
(Bila) tidak dikasih kesal hatinya, jadi mengeluh. Tercela, (karena yang demikian itu) ya seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Akibatnya kita mengiri akan keutamaan orang yang benar,
na twah ra(m)pés dina urang, agamani(ng) paré, ma(ng)sana jumarun, telu daun, ma(ng)sana dioywas, gedé paré, ma(ng)sana bulu irung, beukah, ta karah nunjuk lang/ng/it, tanggah ta karah, kasép nangwa41 tu iya ngaranya, umeusi ta karah lagu42 tu(ng)kul, harayhay asak, tak karah ca(n)dukur, ngarasa manéh kaeusi,
Ada pun amal yang sempurna pada diri kita (adalah) ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar daun (tiga daun), saat disiangi, tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya menunjuk langit, ya menengadah; indah tampang namanya. Setelah berisi tiba saat mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena merasa diri telah berisi,
41. Kata nangwa dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi: nangeu(h)=menjulurkan muka dengan dagu ditopang sambil tidak berbuat atau memperhatikan sesuatu.
42. Kata lagu di sini berarti: waktu, (lagu indit)=(waktu berangkat).
aya si nu hayang, daék tu maké hurip na urang réya, agamaning paré pun. Lamun umisi tanggah, harayhay tanggah, asak tanggah, hapa ngarana,
Bila ada yang mau dan bersedia (berbuat) demikian, maka kehidupan orang banyak akan seperti perilaku padi. Bila saatnya berisi (tetap) tengadah, saat menguning (tetap) tengadah, saat masak (tetap) tengadah, hampa namanya,
pahi deung ayeuh43 ngarana, hanteu alaeunana,
Lain dengan yang disebut (padi) rebah-muda, sebab nihil hasilnya,
43. Padi yang ayeuh (rebah) pada usia muda, masih dapat dipanen, sedangkan padi hampa (kalimat sebelumnya) nihil hasilnya.
kitu tu agama dina urang réya; ngarasa manéh imah kaeusi, leuit kaeu-
Demikianlah perilaku orang banyak; karena merasa rumah telah lengkap (terisi), lumbung telah teri-
V verso
si (da)yeuh44 kaeusi dipaké sikara45 dipaké simangké,46 dipaké hulangga,47 mwa kabita na paré téya kéna hanteu alaeunana, hanteu turutaneunana, na urang r(é)ya sarwa deung ayeuh ngawara ngarana,
si, negeri telah ramai isinya, dijadikan kekayaan, dijadikan persediaan, dijadikan perhiasan. Tidak akan ada yang mengingini padi itu, karena tak dapat dipetik hasilnya, tak ada yang patut ditiru. Maka orang banyak sama dengan rebah-muda namanya,
44. Kata dayeuh diartikan: negeri, berdasarkan penjelasan dalam kropak 630 lembar XV mengenai isi yang dimaksud:”Desa ma ngaranya dayeuh, na dayeuh lamun kosong hanteu turutaneunana”.
45. Kata sikara berasal dari kata Sangsekerta: svkara=kekayaan.
46. Kata simangké berdasarkan konteks kalimat diartikan “untuk nanti”.
47. Mungkin sama dengan kata: wulangga (gunung perhiasan). Perubahan wulangga menjadi hulangga dapat dibandingkan dengan perubahan kata Kawi: wulanjar yang dalam Bahasa Sunda menjadi: hulanjar.
mwa karampés, jaga rang téoh48 twah, bwa tu heubeul nyéwana pun. Lamun héman dinu karwalwat, jaga rang éwéan, jaga ngara(m)pas,49 jaga ngasupkeun hulun, ja rang midukaan,
Janganlah kita berwatak rendah, pasti tak akan lama hidup. Bila kita menyayangi orang-orang tua, hati-hatilah memilih istri, hati-hatilah memilih jodoh, hati-hatilah memilih hamba, agar jangan menyakiti hatinya,
48. Kata téoh sinonim dengan kata landeuh: arti umumnya ialah tempat atau tanah yang rendah. Dalam kamus Coolsma diartikan “onder, beneden” (bawah).
49. Kata rampas di sini berarti: jodoh atau pasang, seperti dalam kata: sarampasan=sepasang, sejodoh atau satu setel.
nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab na agama pun, na sasana bwat kwalwat pun,
Bertanyalah kepada orang-orang tua, (niscaya) tidak akan hina tersesat dari agama, yaitu hukum buatan leluhur,
Hana nguni hana mangké,50 tan hana nguni tan hana mangké, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna51 aya tu catangna, (hana guna) hana ring demakan, tan hana
Ada dahulu ada sekarang, Tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada catangnya, ada jasa ada anugerah, tidak ada
50. Kata mangké dapat berarti: nanti atau sekarang.
51. Tunggul=sisa pohon kayu, bekas tebangan; catang=batang kayu yang sudah roboh.
VI rekto
guna tan hana ring demakan, galah dawa sinambung/ng/an tuna,52 galah ceundeuk tinug(e)lan tka,53
jasa tidak akan ada anugerah. Galah panjang disambung batang, galah tusuk dipotong runcing,
52. Kata tuna di sini ambilan dari kata Sangsekerta: tunda=batang atau belalai.
53. Kata teka juga ambilan dari kata Sangsekerta: titka=runcing, meruncingkan. Kata ceundeuk dalam kropak 630: cedek (=sedek) yang berarti: tusuk atau sodok. Dalam kropak 630 (XII) terdapat ungkapan :
Lamun urang daék dipuji maka dyangganing galah dawa sinambungan tuna, rasa atoh ku pamuji; anggeus ma dipaké,….éta kangken galah dawa ta, éta kangken paré hapa ta ngarana”. Maksudnya ialah perbuatan yang berlebihan sehingga menjadi sia-sia. Lawannya ialah “galah cedek tinugelan teka”.
a(n)tukna karah na urang ngarasa manéh hanteu tapa lalo tandang marat nimur, ngalwa(r) ngidul réya kahayang, réya geusan mangkuk, bogoh pi(n)dah, réya agama,54 réya patingtiman, pipirakan,55 ider-ideran, bwaga di kuras56 hayang r(é)ya hulun mu(ng)ku kasorang ja urang hanteu tapa, salah paké urang ménak,
Akhirnya malah, kita merasa tidak melakukan amal baik. Lalu berkelana, ke barat ke timur, ke utara ke selatan, banyak tempat tinggal (rumah), senang berpindah-pindah, banyak tanam-tanaman, banyak tempat peristirahatan, perhiasan perak, bertualang, senang (memelihara) ternak, ingin banyak hamba. Tidak akan terlaksana, karena kita tidak beramal (berkarya) baik, Salah tindak para orang terkemuka,
54. Kata agama (a=tidak+gama=pergi, bergerak) sebenarnya berarti: sesuatu yang tidak bergerak atau tidak berubah. Menurut Macdonell, arti kata agama (a suku pertama pendek) adalah: “immovable, tree”.
55. Kata pipirakan adalah jamak dari: pirak=perak (bukan cerai).
56. Kata kuras sebenarnya dikhususkan kepada hewan kaki empat yang berkuku (hoofed four-footed animal). Ungkapan: lésang kuras (tak pandai menyimpan rezeki) mula-mula dimaksudkan: seseorang yang ternaknya selalu lepas (kabur) seolah-olah licin kulitnya.
na gusti, na panghulu, na wiku sakabéh salah paké,57 na raja sabwana salah paké, beuki awor-awur tanpa wastu ikang bwana,
ya pemilik tanah, ya penguasa, ya pendeta, semuanya salah tindak, ya bahkan raja seluruh dunia salah tindak. Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini,
57. Kata paké di sini sejalan penggunaannya dengan prasasti Kawali baris 8 dan 9 “pakena gawe rahayu”. Dalam Bahasa Sunda sekarang kira-kira sama dengan ungkapan pamake dalam arti: adat dan perilaku. Untuk pemerintahan dapat diartikan: kebijakan atau tindakan pemerintah.
carék Rekéyan Darmasiksa surung réya geusan mangkuk heuweung58 kénéh mo réya éwé, surung pritapa soné, heuweung kénéh hanteu tapa,
Kata Rakeyan Darmasiksa: urung memperoleh rumah banyak, lebih baik jangan beristri banyak; urung bertapa mencapai kesucian diri, lebih baik jangan bertapa,
58. Kata heuweung dalam Bahasa Sunda sekarang menjadi: leuheung=mendingan, lebih baik.
mu(ng)ku kasorang ja urang hanteu tapa, kéna hanteu dika-
Tak akan terlaksana, karena kita tidak berkarya, karena tidak memiliki
VI verso
bisa hanteu dikarajeuna, ja ku ngarasa manéh gwaréng twah karah dipi(n)dah/h/an59 ku na urang hamo tu galah dawa sina(m)bungan tuna ngarana,
keterampilan, tidak rajin, karena merasa diri berbakat buruk, malah lalu kita jauhi, percuma saja, (ibarat) galah panjang disambung batang namanya,
59. Kata pindah di sini berarti: menjauhkan diri.
nu pridana, nu takut sapa, nurut dina ménak, di gusti panghulu, réya kabisa, prijnya, cangcingan, gapitan, iya galah ceundeuk tinugelan t(é)ka ngarana, hatina teu burung/ng/eun tapa60 kitu ma na urang pun.
(Mereka) yang utama, yang takut akan kutukan, taat kepada orang-orang mulia, kepada pemilik tanah dan penguasa, banyak memiliki keterampilan, cerdas, cekatan, terampil, ya (ibarat) galah tusuk dipotong runcing namanya. Tidaklah mengurungkan (menyia-nyiakan) amal-baik kita bila demikian halnya.
60. Bagian ini lebih baik dibaca : “hanteu piburungeun tapa”.
Ku na urang ala lwirna patanjala, pata ngarana cai, jala ngarana (a)pya, hanteu ti burung/ng/eun tapa61 kita lamuna bitan apwa téya, ongkoh-ongkwah62 dipilalwaeun di manéh, gena(h) dina kageulisan, mulah kasimwatan, mulah kasiweuran63 ka nu miburung/ng/an tapa, mulah kapidéngé ku na carék gwaréng, ongkwah-ongkoh di pitineung/ng/eun di manéh, iya ra(m)pés, iya geulis……..
Kita tiru wujud patanjala; pata berarti air, jala berarti sungai. Tidak akan sia-sia amal baik kita, bila (kita) meniru sungai itu. Terus tertuju kepada (alur) yang akan dilaluinya, senang akan keelokan, jangan mudah terpengaruh, jangan mempedulikan (hal-hal) yang akan menggagalkan amal-baik kita; jangan mendengarkan (memperhatikan) ucapan yang buruk, pusatkan perhatian kepada cita-cita (keinginan) sendiri. Ya sempurna, ya indah…
61. Harus dibaca “hanteu piburungeun tapa”, pada baris berikutnya kita temukan kata miburungan tapa yang erat pertaliannya dengan piburungeun tapa.
62. Ongkoh-ongkwah (sekarang: ongkoh-ongkoh)=jongjon, tonggoy: berarti tidak mempedulikan hal-hal lain karena tenggelam dalam hal yang sedang dihadapinya.
63. Dalam Bahasa Sunda dialek Bogor ada ungkapan: kasiwer=terperhatikan atau sempat diperhatikan; siweur atau siwer berarti: memperhatikan atau menyempatkan diri.
Sumber Referensi :
Amanat Dari Galunggung (Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy, Bayongbong-Garut) Oleh : Drs. Atja & Drs. Saleh Danasasmita, Proyek Pengembangan Permusieuman Jawa Barat, 1981.
Imajiner Nuswantoro




