Suluk Pathet Kedu
Myat langening kalangyan,
Aglar pandam muncar,
Tinom lir kekonang,
Surem soroting tan padhang,
Kasor lan pajaring,
Purnameng gegana,
Dhasare mangsa ketiga,
Ima anaweng ing ujung ancala,
Asenen karya wigena,
Miwah asining warna,
Weksa gung tinunu.
Aksara Jawanipun :
ꦱꦸꦭꦸꦏ꧀ꦥꦛꦺꦠ꧀ꦏꦼꦣꦸ
ꦩꦾꦠ꧀ꦭꦔꦺꦤꦶꦁꦏꦭꦔꦾꦤ꧀
ꦄꦒ꧀ꦭꦂꦥꦤ꧀ꦝꦩ꧀ꦩꦸꦚ꧀ꦕꦂ꧈
ꦠꦶꦤꦺꦴꦩ꧀ꦭꦶꦂꦏꦼꦏꦺꦴꦤꦁ꧈
ꦱꦸꦫꦺꦩ꧀ꦱꦺꦴꦫꦺꦴꦠꦶꦁꦠꦤ꧀ꦥꦣꦁ꧈
ꦏꦱꦺꦴꦂꦭꦤ꧀ꦥꦗꦫꦶꦁ꧈
ꦥꦸꦂꦤꦩꦺꦁꦒꦼꦒꦤ꧈
ꦣꦱꦫꦺꦩꦁꦱꦏꦼꦠꦶꦒ꧈
ꦆꦩꦄꦤꦮꦺꦁꦆꦁꦈꦗꦸꦁꦄꦚ꧀ꦕꦭ꧈
ꦄꦱꦺꦤꦺꦤ꧀ꦏꦂꦪꦮꦶꦒꦺꦤ꧈
ꦩꦶꦮꦃꦄꦱꦶꦤꦶꦁꦮꦂꦤ꧈
ꦮꦼꦏ꧀ꦱꦒꦸꦁꦠꦶꦤꦸꦤꦸ꧉
Tegesipun :
Suluk Pathet Kedu
Cintaku pada dunia, Aglar pandam Muncar, Tipis seperti sedetik, Cahayanya redup, Tempat tidur dan sarapan, Purnameng gegana, Dasar dari musim ketiga, Ima anaweng di akhir ancala, Kerja bagus, Dan warnanya garam, Saatnya untuk pergi.
Makna Penjabaran Suluk Pathet Kedhu
Penulis artikel mencoba kupas kembali “mantra” pada sebuah sulukan digali dari beberapa sumber referensi.
Kali ini penulis artikel membahas sulukan dengan Suluk Pathet Kedu.
Mantra ?
Bisa saja disebut begitu menurut saya, kerna biasanya mantra adalah kalimat sakral yang banyak orang tidak mudheng dengan arti maksudnya. Tetapi karena ia didoktrinkan bahwa kalimat itu sebagai kalimat suci, maka ucapkan saja. Maksudnya pasti diyakini baik. Begitu kebanyakan orang awam menyikapi dalam pikirannya.
Mungkin ada diantara pembaca yang bisa menerangkan, apakah kemungkinan sulukan ini berasal dari wilayah Kedu ?
Yang jelas, suluk ini dilantunkan biasanya setelah babak budhalan menuju jejer sabrang, atau adegan kedua.
Syair / Suluk Pathet Kedu dapat ditafsirkan penjabarannya disini adalah seperti halnya pola pada Syair/Suluk tlutur. Bahwa ini adalah tafsiran orang awam, yang mungkin saja ada salahnya disana-sini. Imajiner Nuswantoro mencoba menulis artikel tafsir penjabaran Suluk Pathet Kedhu ini.
Merujuk dari beberapa pendapat, mudah-mudahan memancing para “wignya” dibidang sastra bahasa, untuk mengoreksi artikel ini.
Satu lagi pertanyaan, dari mana syair ini dicuplik ? Syair / Suluk menurut sumber referensi adalah sebagai dibawah ini. Kutipan lembar secarik kertas Pedhalangan Jangkep lakon Makutha Rama anggitan dari Ki Siswoharsoyo.
// myat langên ing kalangyan / aglar pandam muncar / tinon lir kekonang / surêm sorotè tan padhang / kasor, lan pajarè / purnamèng gegånå / dhasaré mångså ketiga/ himå anaweng / ing ujung ancålå / asênên karyå wigenå / miwah isining wånå / wrekså gung tinunu //
Aksara Jawanipun :
//ꦩꦾꦠ꧀ꦭꦔꦼꦤ꧀ꦆꦁꦏꦭꦔꦾꦤ꧀/ꦄꦒ꧀ꦭꦂꦥꦤ꧀ꦝꦩ꧀ꦩꦸꦚ꧀ꦕꦂ/ꦠꦶꦤꦺꦴꦤ꧀ꦭꦶꦂꦏꦼꦏꦺꦴꦤꦁ/ꦱꦸꦉꦩ꧀ꦱꦺꦴꦫꦺꦴꦠꦺꦠꦤ꧀ꦥꦣꦁ/ꦏꦱꦺꦴꦂ꧈ꦭꦤ꧀ꦥꦗꦫꦺ/ꦥꦸꦂꦤꦩꦺꦁꦒꦺꦒ꧀åꦤ꧀å/ꦣꦱꦫꦺꦩ꧀åꦔ꧀ꦱ꧀åꦏꦼꦠꦶꦒ/ꦲꦶꦩ꧀åꦄꦤꦮꦺꦁ/ꦆꦁꦈꦗꦸꦁꦄꦚ꧀ꦕ꧀åꦭ꧀å/ꦄꦱꦼꦤꦼꦤ꧀ꦏꦂꦪ꧀åꦮꦶꦒꦺꦤ꧀å/ꦩꦶꦮꦃꦆꦱꦶꦤꦶꦁꦮ꧀åꦤ꧀å/ꦮꦿꦼꦏ꧀ꦱ꧀åꦒꦸꦁꦠꦶꦤꦸꦤꦸ//
myat langen ing kalagyan. Kalau diartikan mungkin seperti ini; memandang sesukaan dalam keriaan. Gambaran mula dari syair ini adalah sebuah tempat sesukaan dengan permaianan yang menyenangkan pada sebuah pêrtapan. Syair ini sebenarnya menambah penasaran saya, kisah apa yang menjadi latar belakangnya. Sekali lagi, anda para wignya kami harapkan untuk membagi serba sedikit, seperti apa yang sedikit juga kami paparkan.
aglar pandam muncar, tergelar pelita yang memancar; tinon lir kekonang, terlihat bagai kunang-kunang. Dalam imaginasi saya, keriaan sebuah sesukaan tersebut pastilah digelar pada suatu petang dengan temaramnya kerlipan penerangan yang terlihat bagai puluhan kunang-kunang yang berkeredep.
Lanjutkan! Surem sorote tan padhang. Sorot sinar itu suram tak begitu terang. Kasor lan pajare; kalah ketimbang pancarannya, purnameng gegana; bulan purnama yang terapung di awang-awang. Tetapi, kalimat selanjutnya adalah yang terangkai dalam tiga kalimat diatas: sinaran suram yang bagai keredep kunang itu, kalah pancarannya ketimbang sorot cahaya rembulan
dhasare mangsa ketiga; memang dasar saat itu sedang musim kemarau. Kenapa kalah dengan sinar rembulan kerlipan pancaran pelita yang berkelip bagai kunang-kunang itu ?
Rupanya keriaan itu digelar pada saat mangsa ketiga atau bisa disebut kemarau yang memungkinkan bulan tak tertutup selembar awan-pun. Mhmmm . . . Jangan-jangan bulan yang memancar itu terangnya seperti super moon seperti semalam kita lihat
hima anaweng; awan terlihat menaungi, ing ujung acala; dipuncak gunung; Rupanya suasana keriaan itu terganggu oleh saputan lukisan awan yang datang menaungi punggung gunung.
asenen karya-wigena; dan sinaran pemandangan yang ceria itu berubah menjadi rasa sedih dan duka karena adanya awan yang datang menaungi punggung gunung tadi.
miwah isining wana; sekalian isi hutan. (pun menjadi ikut bersedih)
Kalimat terakhir yang di selingi sebelumnya dan sesudahnya dengan ompak gender, yang bisa dibilang merupakan koda dari sebuah music, yaitu; wreksa gung tinunu; dan kayu besarpun terbakar.
Seperti yang lalu, kalau bisa digancarkan secara singkat, mungkin ceritanya sebagai berikut :
Memandang sesukaan dalam sebuah keriaan, tergelar pelita yang berpendar.
Terlihat bagai keredep kunang-kunang. Suram, sorotnya bernuansa temaram. Kalah dengan sinar sang rembulan yang bertahta di awang-awang.
Dan memang, saat itu adalah musim kemarau.
Selembar awan menaungi punggung gunung, membuat suasana kecerah-ceriaan itu berubah menjadi sedih dan duka.
Sekalian isi hutan, dan kayu besarpun terbakar.
Sebagai tambahan, untuk kalimat KALANGYAN kami tidak dapat mengungkapkan arti secara yakin. Tetapi karena ini sudah menjadi syair pokok dimana tempat, maka kami hanya sampaikan atas dasar konteks kalimat saja.
Kami lebih yakin bahwa kalimat yang sebenarnya adalah KALAGYAN, yang berarti pertapan. Tetapi seperti biasanya, bahwa kagunan dalang pada masa dahulu adalah menyebar atas dasar getok tular lisan, sehingga kemungkinan kalimat kalagyan itu terdistorsi menjadi kalangyan.
Imajier Nuswantoro
ꦆꦩꦗꦶꦪꦺꦂꦤꦸꦱ꧀ꦮꦤ꧀ꦠꦺꦴꦫꦺꦴ