KISAH PAYASA JAMUR DIPA
Kisah ini
menceritakan usaha yang dilakukan Prabu Basurata untuk mendapatkan putra. Ia
berlayar ke Tanah Hindustan atas petunjuk Begawan Rukmawati untuk membantu
upacara Prabu Dasarata yang juga ingin memiliki putra. Upacara tersebut adalah
meletakkan kue payasa di atas tanaman ajaib Jamur Dipa. Kelak Prabu Dasarata
akan mendapatkan empat orang anak, yaitu Raden Rama, Raden Barata, Raden
Lesmana, dan Raden Satrugena, sedangkan Prabu Basurata mendapatkan dua orang
anak, yaitu Raden Brahmaneka dan Dewi Brahmaneki yang usianya terpaut lumayan
jauh.
PRABU BASURATA
Prabu Basurata
adalah tokoh dalam lakon pewayangan Jawa. Tokoh ini merupakan ciptaan pujangga
Jawa yang disisipkan ke dalam adaptasi Mahabharata versi pewayangan. Nama dan
kisah tentang Basurata tidak ditemukan dalam naskah kitab Mahabharata berbahasa
Sanskerta karya Kresna Dwaipayana Byasa dari India.
Dalam pewayangan,
tokoh ini merupakan raja negara Wirata yang pertama. Pada waktu mudanya ia bernama
Raden Srinada. Ia adalah putra Batara Wisnu yang lahir dari istri manusia
biasa, yaitu Dewi Sriyuwati.
Mendirikan Kerajaan Wirata
Menurut Serat
Pustakaraja Purwa karya Ranggawarsita, Raden Srinada adalah putra dewa, yaitu
Batara Wisnu yang lahir dari Dewi Sriyuwati, seorang manusia biasa, bukan
bidadari. Kelahiran Raden Srinada adalah sesudah Batara Wisnu menumpas Prabu
Watugunung yang berani menyerang Kahyangan Suralaya pada tahun Suryasangkala
408. Sebagai hadiah, Batara Wisnu pun berhak menduduki Kerajaan Medang Kamulan,
dan ia mengganti namanya menjadi Prabu Wisnupati.
Setelah tiga puluh
tahun menjadi raja Medang Kamulan yang kemudian diganti nama menjadi Kerajaan
Purwacarita, Prabu Wisnupati pun kembali ke kahyangan sebagai Batara Wisnu. Ia
mewariskan Kerajaan Purwacarita kepada putranya yang bernama Raden Srigati,
sedangkan adiknya, yaitu Raden Srinada mendapatkan bekas Kerajaan Medang Pura
yang dulu juga dibangun oleh Batara Wisnu.
Pada tahun
Suryasangkala 438, Raden Srinada mulai menduduki takhta Kerajaan Medang Pura,
dengan didampingi Batara Ranggita sebagai patih, bergelar Patih Sunggata.
Kerajaan Wirata kemudian diganti nama menjadi Kerajaan Wirata, sedangkan Raden
Srinada memakai gelar Prabu Basurata.
Mendapatkan Dua Anak
Sebelum menjadi
raja, Prabu Basurata sudah menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Dewi
Brahmaniyuta, putri Prabu Brahmaraja (penjelamaan Batara Brahma) di Kerajaan
Gilingwesi pada tahun Suryasangkala 436. Namun, selama bertahun-tahun mereka
belum juga mendapatkan keturunan.
Pada tahun
Suryasangkala 453, Prabu Basurata meminta petunjuk petapa bidadari yang bernama
Dewi Rukmawati yang bersemayam di Gunung Mahendra tentang bagaimana caranya
mendapatkan anak. Dewi Rukmawati menyarankan agar Prabu Basurata pergi ke
Kerajaan Ayodya membantu raja di sana, yaitu Prabu Dasarata yang sedang
melakukan upacara meminta anak pula. Cara itulah yang akan membantu Prabu
Basurata mendapatkan keturunan.
Setelah menempuh
perjalanan jauh, Prabu Basurata akhirnya sampai juga di tempat Prabu Dasarata
mengadakan upacara. Upacara tersebut ialah memetik Jamur Dipa, tetapi harus
ditunggui putra Batara Wisnu. Kebetulan Prabu Basurata adalah putra Batara
Wisnu, sehingga persyaratan bisa terpenuhi. Demikianlah, Prabu Dasarata dan Prabu
Basurata berhasil memetik Jamur Dipa dan menjadikannya kue payasa. Kue tersebut
diserahkan kepada istri-istri Prabu Dasarata sehingga mereka pun mengandung.
Prabu Basurata
sendiri juga membawa pulang kue payasa dan memberikannya kepada Dewi
Brahmaniyuta. Dewi Brahmaniyuta lalu mengandung dan melahirkan anak laki-laki
yang diberi nama Raden Brahmaneka pada tahun Suryasangkala 454. Kemudian pada
tahun Suryasangkala 467, Dewi Brahmaniyuta melahirkan anak perempuan, yang
diberi nama Dewi Brahmaneki.
Akhir Kehidupan
Pada tahun
Suryasangkala 473, Prabu Basurata hendak menikahkan Raden Brahmaneka. Namun,
putranya itu menolak karena ia bercita-cita hanya mau menikah dengan bidadari.
Raden Brahmaneka lalu pergi berkelana dan berhasil membawa pulang seorang
bidadari bernama Dewi Indradi sebagai calon istrinya.
Prabu Basurata
sangat senang dan merestui Raden Brahmaneka menikah dengan Dewi Indradi. Pada
tahun Suryasangkala 474 Prabu Basurata turun takhta menjadi pendeta yang
bernama Bagawan Wasubrata. Adapun Kerajaan Wirata kemudian dipimpin oleh Raden
Brahmaneka yang bergelar Prabu Basupati.
Bagawan Wasubrata
kemudian meninggal dunia pada tahun Suryasangkala 484.
JAMURDIPA
Prabu Basumurti
dari Wirata pada suatu hari menjelaskan kepada Patih Jatikanda, Arya Kandaka
dan Resi Wikiswara bahwa sang Raja akan berburu ke hutan. Jatikanda bersama
Basukesti, Basunanda dan Brahmana Kestu mengadakan persiapan di hutan. Sebelum
berburu Prabu Basumurti mengadakan pesta di Hutan Mandeki, serta memberikan
hadiah kepada rakyat di sekitar hutan tersebut. Namun diantara penduduk itu ada
salah seorang yang bernama Janaloka tidak mau menerima hadiah dari rajanya oleh
karena ia sebagai penjaga pohon sriputa. Adik raja yang bernama Basukesti
menebang pohon keramat tersebut dan keluarlah cahaya sinar yang merasuk ke
badan Basukesti. Selanjutnya Janaloka menghormat dengan Basukesti serta
mengatakan bahwa kelak sang Pangeran akan menjadi raja.
Tak lama kemudian
Basukesti menerima berita dari Dewi Jatiswari istri Prabu Basumurti bahwa sang
Raja sakit keras. Segera sang Pangeran menjenguk kakaknya, tetapi ketika ia
tiba di istana kakaknya telah wafat. Selanjutnya Basukesti dinobatkan menjadi
raja dan ramalan Janaloka menjadi kenyataan.
Setelah naik
takhta, sang Raja memerintahkan untuk membuat instrumen gamelan yang digunakan
dalam peperangan antara lain: gurnang, thang-thong grit, paksur, teteg,
kendang, bendhe, gong dan beri. Pada suatu hari Patih Jatikanda melaporkan
bahwa Brahmana Deta dan Brahmana Kestu menghilang dan di rumahnya tumbuh
Jamurdipa yang memancarkan sinar. Prabu Basukesti melihat hal yang aneh,
setelah sampai di rumah itu maka sinar terang yang ada pada Jamurdipa merasuk
di kepalanya Basukesti.
PRABU BASUPATI
Arya Basupati
adalah putra bungsu Prabu Basupati/Basuparicara, raja negara Wirata dengan
permaisuri Dewi Anganti/Dewi Girika, putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi
Suktimati. Ia mempunyai dua orang saudara kandung bernama; Arya Basunanda dan
Arya Basukesti.
Prabu Basupati
adalah nama tokoh dalam lakon pewayangan Jawa. Menurut kisah pewayangan, ia
adalah putra Bathara Srinada atau Prabu Basurata, raja negara Wirata yang
pertama dengan permaisuri Dewi Bramaniyuta, Putri Batara Brahma. Prabu Basupati
mempunyai adik kandung bernama Bramananeki yang menikah dengan Bambang
Parikenan, putra Bathara Bremani atau Brahmanaresi dengan Dewi Srihuna alias
Srihunon.
Karena
ketekunannya bertapa, Prabu Basupati menjadi sangat sakti, juga tahu segala
bahasa binatang. Ia mendapat anugerah Batara Indra berwujud sebuah kereta sakti
bernama "Amarajaya" lengkap dengan bendera perangnya yang membuatnya
kebal terhadap segala macam senjata. Dengan kereta sakti Amarajaya, Prabu
Basupati menaklukkan tujuh negara, masuk ke dalam wilayah kekuasaan negara
Wirata.
Prabu Basupati
menikah dengan Dewi Angati atau Dewi Girika, putri Bagawan Kolagiri dengan Dewi
Suktimati. Dari perkawinan tersebut, ia memperoleh tiga orang putra
masing-masing bernama Arya Basunada, Arya Basukesti dan Arya Bamurti.
Prabu Basupati
memerintah negara Wirata sampai berusia lanjut. Ia menyerahkan tahta Kerajaan
Wirata kepada Arya Basunada, kemudian hidup sebagai brahmana sampai meninggal
dalam keadaan bermudra.
Identifikasi dengan Basuparicara
Dalam naskah
Mahabharata yang berbahasa Sanskerta, tokoh Durgandini, yaitu nenek buyut para
Pandawa dikenal dengan sebutan Satyawati. Wanita ini merupakan putri seorang
raja bernama Basu. Dalam naskah Mahabharata yang telah disadur ke dalam bahasa
Jawa Kuno, tokoh Basu disebut juga dengan nama Basuparicara. Basuparicara ini
terkenal sakti dan mampu berbicara dengan segala jenis makhluk lain.
Dikisahkan
Basuparicara suatu hari menyaksikan sungai Suktimati diperkosa oleh Gunung
Kolagiri. Ia pun menendang Kolagiri sampai terpental jauh. Namun, Suktimati
telah telanjur mengandung anak Kolagiri. Sungai tersebut akhirnya melahirkan
putri bernama Girika.
Girika kemudian
menjadi istri Basuparicara. Pada suatu hari Basuparicara pergi bertamasya
sendirian. Tiba-tiba ia teringat kecantikan Girika dan seketika itu juga
mengeluarkan air mani. Air mani tersebut dibungkusnya dengan daun dan
diserahkan kepada seekor burung bernama Syena untuk dibawa pulang.
Dalam perjalanan
menuju istana, Syena diserang burung lain yang mengira ia membawa bungkusan
makanan. Air mani itu pun jatuh ke dalam laut tepat di bawah mereka. Seekor
ikan betina langsung melahapnya dan seketika itu juga langsung hamil.
Ikan betina
tersebut kemudian ditangkap seorang nelayan bernama Dasabala. Dasabala tidak
membunuhnya tetapi memeliharanya sampai melahirkan, tetapi bukan bayi ikan
tetapi sepasang bayi manusia. Setelah melahirkan, ikan betina kembali ke wujud
asal yaitu seorang bidadari yang telah mengalami kutukan, bernama Adrika.
Adrika kembali ke
kahyangan meninggalkan anak-anaknya. Yang perempuan diberi nama Durgandini,
sedangkan yang laki-laki diberi nama Matsyapati.
PRABU BASUKESTI
Prabu Basukesthi
adalah raja Wiratha. Adik dari raja terdahulu Prabu Basumurti. Ayahnya juga
raja Wiratha, Prabu Basupati. Ibunya adalah Dèwi Wakiswara, istri kedua Prabu
Basupati. Dengan raja terdahulu Prabu Basukesthi adalah saudara lain ibu.
Sejak muda
Basukesthi sudah menunjukkan tabiat yanga baik. Ketika muda Basukesti
ditugaskan sang kakak Prabu Basumurti untuk menyerang Saptaarga karena adanya
berita bahwa pertapaan itu akan memberontak. Di tengah jalan Basukesthi bertemu
dengan raksasa Darwaka yang mengejar-ngejar orang. Raksasa Darwaka itu kemudian dipanah dan berubah menjadi
dewa Sang Hyang Mahadewa. Karena sangat berterima kasih telah dikeluarkan dari
kutukan sebagai raksasa Basukesthi kemudian diberi hadiah berupa mustika
maniara. Juga diramalka kelak bisa memangku negara. Asalkan dalam bertindak
bijaksana dan mendahulukan periksa. Atas dasar nasihat itu kemudian Basukesthi
tidak menyerang Saptaarga tetapi meneliti kebenaran berita terlebih dahulu.
Ternyata tidak ditemukan adanya niat untuk memberontak. Sebagai bukti bahwa
tidak adanya niat itu kemudian Basukesthi membawa Resi Manumanasa dan dua
karibnya, Puthut Supalawa dan Janggan Smara untuk menghadap ke Wiratha. Mereka
kemudian diterima oleh Prabu Basumurti dan diberikan banyak hadiah.
Suatu ketika Di
Wiratha kedatangan tamu dari negara manca, yakni Raden Surata, putra dari Gajah
Oya dan Dewi Oyi. Raden Surata tergeser dari kedudukan raja di tanah seberang
karena tidak disukai oleh kerabat dari negara tersebut ketika hendak
menggantikan ayahnya sebagai raja di Malawa. Penyebabnya karena Prabu Gajah Oya
hanyalah menantu raja terdahulu sehingga keturunannya tidak diutamakan sebagai
raja. Raden Surara kemudian mengungsi ke Wiratha.
Nasib Raden
Wiratha ikut membuat Raden Basukesthi prihatin. Timbul niatnya untuk mengembara
mencari ketenangan dhiri. Bersama dua pengikutnya Indu dan Sindu, kemudian
bertapa dan terus berjalan. Dalam perjalanan setiap melihat apapun yang tidak
beres kemudian membantu. Jika melihat pertapaan rusak segera diperbaiki. Jika
melihat mayat segera dikuburkan. Bahkan jika melihat bangkai hewan pun
dikuburkan. Tindakannya itu ternyata menjadi sarana baginya untuk mencapai
kemuliaan kelak. Para arwah yang bangkainya dikuburkan itu sangat berrerima
kasih dan mendoakan agar Basukesthi menjadi raja kelak.
Pada suatu ketika
raja Prabu Basumurti mengadakan acara perburuan di hutan Pandeki. Dia kemudian
membagikan sesawur, yakni menyebarkan uang dengan maksud agar diperebutkan oleh
para kawula. Ketika itu ada seorang yang bergeming, tanpa peduli ada sesawur.
Prabu Basumurti heran mengapa otang itu tidak ikut memperebutkan sesawur, malah
terus menghadap ke kayu Siputa. Prabu Basumurti menyuruh Raden Basukesthi
menelisik. Diperoleh jawaban bahwa dia memilih terus beribadah dengan sarana
memandang kayu sriputa. Basumurti marah dan menghunus candrasa ditujukan pada
kayu sriputa. Orang itu kemudian mengatakan bahwa keagungan Prabu Basumurti
telah lenyap karena tindakannya yang gegabah itu. setelah kejadian itu Prabu
Basumurti menderita sakit yang menjadi penyebab kematiannya. Raden Basukesthi
naik tahta menggantikan sang kakak menjadi Prabu Basukesthi.
Walau dikenal
sangat teliti Prabu Basukesthi pernah juga bertindak salah. Suatu ketika
Wiratha kedatangan pasukan dari seberang. Prabu Basukesthi menyuruh
balatentaranya menghadapi pasukan yang datang. Kedua pihak lalu bertempur
hebat. Pemimpin pasukan seberang berhasil dikalahkan dan lagi. Namun ternyata
pasukan itu bukan musuh, melainkan salah seorang kerabat Wiratha uang ingin
berkunjung. Pemimpin pasukan adalah Prabu Dwapara, anak dari Prabu Durapati
raja dari Durhayaputra. Ibu Prabu Dwapara adalah putri dari Dewi Brahmaneki
yang bernama Dewi Kaniraras. Dewi Brahmaneki adalah saudara dari Prabu
Basukesthi sendiri. Prabu Dwapara yang telah kalah dan terpisah dari pasukannya
kemudian menetap di Saptaarga sebagai cantrik. Berganti nama menjadi Wasi
Dwapara.
Basukesthi
beristrikan Dewi Pancawati putri dari Arya Awangga. Namun sampai lama tidak
mempunyai putra. Dia kemudian mengambil istri lagi anak Resi Suganda yang
bernama Dewi Sugandi. Dari pernikahan kedua itu lahirlan Dewi Suwati. Kemudian
lahir pula Raden Basurata.
Di bawah
pemerintahan Prabu Basukesthi Wiratha mengalami puncak kejayaan dan menjadi
negara besar. Ada banyak kejadian yang menjadi bukti bahwa Wiratha adalah
negara besar dengan punggawa yang cakap dan raja yang berwibawa.
Setelah memerintah
cukup lama Prabu Basukesthi meninggal oleh kemayan seorang Gandarwa. Suatu
ketika di negeri Wiratha kedatangan seorang danawa atau raksasa hijau. Raksasa
itu menantang adu kekuatan kepada Prabu Basukesthi. Prabu Basukesthi lalu
menyuruh seorang punggawa raksasa bernama Baradhana untuk menandingi. Baradhana
tewas oleh raksasa hijau. Lalu Prabu Basukesthi menyuruh balatentara raksasa
lainnya untuk mengeroyok. Namun mereka semua dapat dikalahkan oleh rakasasa
hijau itu.
Mau tidak mau
Prabu Basukesthi sendiri yang melayani. Namun dia memanggil menantunya, suami
dari Dewi Basutari yang bernama bernama Manungkara untuk bergantian melawan
kalau lelah. Raksasa hijau setuju. Manungkara ini punya mustika yang kalau
diusapkan kepada seseorang akan membuatnya menjadi batu. Ketika raksasa hijau
lengah Manungkara mengusapnya sehingga menjadi arca. Arca kemudian ditempatkan
di pintu gerbang kota.
Ayah raksasa
hijau, Bagawan Daksotama marah ketika mengetahui anaknya tewas di Wiratha. Lalu
dia mengerahkan kemayan agar Wiratha terserang bencana. Prabu Basukesthi dapat
mengusir bencana itu dengan meminta pertolongan dewata. Bencana sirna.
Bagawan Daksotama
tidak puas. Kembali dia memasang kemayan ditujukan untuk Prabu Basukesthi.
Prabu Basukesthi kemudian menderita sakit yang menjadi sebab kematiannya. Tahta
Wiratha jatuh ke putranya, Raden Basurata yang kemudian bergelar Prabu
Basukeswara.
PRABU BASURATA INGIN MEMILIKI PUTRA
Prabu Basurata di
Kerajaan Wirata dihadap Patih Sunggata dan Resi Wisama, serta para punggawa
yaitu Arya Sakuta, Arya Sakrita, dan Arya Sarisungga. Saat itu Prabu Basurata
sedang bersedih karena usianya telah lebih dari empat puluh tahun tetapi belum
juga memiliki anak. Padahal, kakaknya, yaitu Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan
Purwacarita telah memiliki tiga orang anak, sedangkan iparnya, yaitu Prabu
Brahmanaraja di Kerajaan Gilingwesi telah memiliki lima orang anak.
Prabu Basurata
merasa prihatin karena sebagai raja sangat tidak baik jika ia tidak memiliki
putra yang bisa dijadikan ahli waris takhta. Resi Wisama pun menyarankan supaya
Sang Prabu meminta petunjuk kepada sepupunya yang bernama Resi Paninda di
Gunung Candramuka. Mungkin dengan saran yang diberikan Resi Paninda, akan lahir
seorang putra di Kerajaan Wirata.
Prabu Basurata
tertarik pada usulan Resi Wisama dan ia pun berpamitan kepada sang permaisuri,
yaitu Dewi Brahmaniyuta untuk kemudian berangkat menuju ke Gunung Candramuka
dengan didampingi Patih Sunggata dan Resi Wisama.
RESI PANINDA MENGANTAR PRABU BASURATA MENEMUI BEGAWAN
RUKMAWATI
Rombongan Prabu
Basurata telah sampai di padepokan Gunung Candramuka dan disambut dengan ramah
oleh Resi Paninda. Namun, ketika Prabu Basurata menyampaikan keinginannya untuk
bisa berputra, Resi Paninda memohon maaf karena tidak bisa membantu, tetapi ia
sanggup mengantarkan Sang Prabu pergi ke Gunung Mahendra menemui seorang pertapa
wanita bernama Begawan Rukmawati. Konon, pertapa wanita ini seorang bidadari
berkepandaian tinggi yang sepertinya bisa membantu Prabu Basurata memiliki
keturunan.
Prabu Basurata,
Resi Paninda, Patih Sunggata, dan Resi Wisama akhirnya sampai di Gunung Mahendra
dan disambut Begawan Rukmawati beserta muridnya yang berwujud seekor gajah
putih. Ternyata Begawan Rukmawati memang sangat sakti dan bisa menebak apa yang
menjadi keinginan Prabu Basurata. Karena Begawan Rukmawati adalah anak Batara
Anantaboga, sedangkan Prabu Basurata adalah anak Batara Wisnu, maka ia pun
memanggil “kakak” kepada raja Wirata tersebut.
Begawan Rukmawati
meramalkan bahwa Prabu Basurata kelak akan memiliki dua orang anak, yaitu satu
laki-laki dan satu perempuan. Meskipun hanya dua, namun mereka kelak akan
menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Akan tetapi, putra dan putri itu bisa lahir
apabila Prabu Basurata pergi ke Tanah Hindustan untuk menjadi sarana lahirnya
titisan Batara Wisnu di sana. Menurut ramalan Begawan Rukmawati, Batara Wisnu akan
terlahir sebagai manusia, yaitu dengan menitis kepada putra Prabu Dasarata raja
Ayodya demi untuk menumpas angkara murka Prabu Rahwana di Kerajaan Alengka.
RIWAYAT GAJAH PUTIH MURID BEGAWAN RUKMAWATI
Prabu Basurata
sangat senang dan bersedia melaksanakan saran tersebut. Akan tetapi, lebih dulu
ia ingin mendapatkan keterangan mengenai gajah putih murid Begawan Rukmawati
yang ikut menyambut kedatangannya tadi. Ia sangat heran mengapa ada seekor
gajah putih yang bisa berbicara seperti manusia. Sungguh mengejutkan, ternyata
Begawan Rukmawati memperkenalkan gajah putih itu sebagai keponakan Prabu
Basurata sendiri, karena si gajah tidak lain adalah anak keempat Prabu Sri
Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita.
Begawan Rukmawati
lalu menceritakan asal-usul gajah putih tersebut. Prabu Sri Mahapunggung telah
memiliki tiga orang anak dari istri pertama (Dewi Brahmaniyati), yaitu Dewi
Sri, Raden Sadana, dan Raden Wandu. Kemudian Prabu Sri Mahapunggung menikah
lagi dengan Dewi Rukmini yang ditemukannya di Hutan Pancala. Akan tetapi, Dewi
Rukmini meninggal dunia setelah melahirkan seekor bayi gajah putih. Hal itu
terjadi karena Dewi Rukmini tidak lain adalah penjelmaan Gajah Erawati, milik
Batara Indra.
Karena merasa
sedih bercampur malu, Prabu Sri Mahapunggung lalu membuang bayi gajah putih itu
ke Hutan Pancala. Pada suatu hari, Begawan Rukmawati menemukan bayi gajah putih
tersebut dan membawanya pergi ke Gunung Mahendra untuk dirawat dan dijadikan
murid.
Prabu Basurata
sangat terkesan melihatnya. Meskipun baru berusia tiga tahun, namun gajah putih
ini sudah lancar berbicara seperti manusia dewasa. Setelah mendapat penjelasan
demikian, Sang Prabu pun mohon pamit berangkat menuju Tanah Hindustan dengan
didampingi Resi Paninda dan Resi Wisama, sedangkan Patih Sunggata kembali ke
istana Wirata untuk melapor kepada Dewi Brahmaniyuta.
Sepeninggal
orang-orang Wirata tersebut, Begawan Rukmawati memerintahkan si gajah putih
pergi ke Bukit Oya untuk bertapa di sana. Kelak jika si gajah putih bertemu
kepala Desa Wahita bernama Buyut Lagra, maka ia harus menurut kepadanya, karena
Buyut Lagra itulah yang akan menjadi jalan baginya untuk memperoleh kemuliaan.
Si gajah putih mematuhi perintah tersebut dan segera mohon pamit berangkat
menuju ke Bukit Oya. Kelak ia akan dikenal dengan sebutan Gajah Oya karena
menjalani tapa brata tersebut.
PRABU BASURATA TIBA DI TANAH HINDUSTAN
Sementara itu,
rombongan Prabu Basurata telah mendarat di Tanah Hindustan. Mereka dihadang
pasukan penjaga pelabuhan Kerajaan Ayodya yang dipimpin Danghyang Wulambi,
karena dicurigai sebagai musuh yang datang untuk menyerang. Akibatnya,
terjadilah pertempuran karena kesalahpahaman tersebut.
Pertempuran itu
akhirnya berhenti setelah kedatangan Resi Supanu, guru Danghyang Wulambi yang
juga suami Dewi Nariti, keponakan Resi Paninda. Resi Paninda pun menjelaskan
kepada Resi Supanu bahwa kedatangan Prabu Basurata dari Kerajaan Wirata ini
adalah untuk membantu Prabu Dasarata dalam usaha mendapatkan putra.
Resi Supanu sangat
gembira dan segera mengantarkan Prabu Basurata untuk menemui Prabu Dasarata
yang saat ini sedang berkemah di tepi Hutan Dandaka. Sesampainya di sana, Prabu
Basurata pun disambut ramah oleh Prabu Dasarata yang saat itu juga ditemani
para sahabatnya, bernama Prabu Janaka raja Mantili, Prabu Aywana raja Malawa,
dan Prabu Suwira raja Duhyapura.
PRABU BASURATA MEMBANTU PRABU DASARATA MENDAPATKAN PUTRA
Prabu Basurata dan
Prabu Dasarata saling memperkenalkan diri. Prabu Basurata menjelaskan
kedatangannya ke Tanah Hindustan adalah sebagai sarana untuk mendapatkan putra.
Sebaliknya, Prabu Dasarata juga bercerita bahwa sudah lama ia menikah tetapi
belum mendapatkan keturunan, padahal istrinya berjumlah tiga orang, yaitu Dewi
Kusalya, Dewi Kekayi, dan Dewi Sumitra. Pemimpin para pandita Kerajaan Ayodya
yang bernama Resi Wasista menyarankan supaya Prabu Dasarata meminta bantuan
Resi Reksasrengga di Pertapaan Lomasana untuk memimpin upacara mendapatkan
putra.
Prabu Dasarata
berangkat menuju Pertapaan Lomasana. Resi Reksasrengga pun menyatakan sanggup
untuk memimpin upacara mendapatkan putra bagi raja Ayodya tersebut. Upacara itu
akan diselenggarakan di Hutan Dandaka karena di sana telah tumbuh jamur ajaib
bernama Jamur Dipa yang akan menjadi sarana bagi Prabu Dasarata untuk
mendapatkan keturunan. Konon jamur ini tumbuh di atas abu jenazah seorang
pendeta bernama Resi Paspa.
Resi Paspa semasa
hidupnya pernah bertapa di Hutan Dandaka untuk mendapatkan kesaktian, yaitu
jika ia memegang kepala seseorang, maka seluruh tubuh orang itu akan terbakar
menjadi abu. Batara Guru terkesan melihat ketekunan Resi Paspa, dan ia pun
turun dari kahyangan untuk mengabulkan permintaannya. Setelah mendapatkan
kesaktian tersebut, Resi Paspa menjadi lupa diri dan ingin membunuh Batara Guru
untuk merebut takhta Kahyangan Jonggringsalaka. Ia pun berusaha memegang kepala
Batara Guru supaya tubuh raja dewa itu terbakar menjadi abu. Pada saat itulah
Batara Wisnu datang membantu ayahnya, dengan cara menyamar menjadi seorang
wanita cantik bernama Dewi Malini. Resi Paspa seketika jatuh cinta melihat Dewi
Malini dan membiarkan Batara Guru meloloskan diri. Resi Paspa pun merayu ingin
menikahi Dewi Malini, namun wanita itu bersedia asalkan Resi Paspa mandi dan
keramas terlebih dulu. Resi Paspa yang sudah tergila-gila pun menuruti
permintaan Dewi Malini itu dan ia segera mandi di sungai. Ketika tangannya
memegang kepala untuk keramas, seketika tubuh Resi Paspa pun terbakar menjadi
abu dan tertiup angin hingga jatuh di tepi Hutan Dandaka.
Kini di tempat
jatuhnya abu Resi Paspa itu telah tumbuh tanaman ajaib Jamur Dipa. Resi
Reksasrengga meramalkan jika ketiga istri Prabu Dasarata memakan kue payasa
yang diletakkan di atas jamur tersebut, maka mereka pasti akan segera
mengandung. Akan tetapi, barangsiapa menyentuh Jamur Dipa ini maka tubuhnya
akan terbakar menjadi abu, kecuali putra Batara Wisnu saja yang dapat menyentuhnya.
Resi Reksasrengga pun memberikan nasihat supaya Prabu Dasarata banyak
bersedekah karena dengan demikian, putra Batara Wisnu akan datang sendiri ke
Hutan Dandaka.
Prabu Dasarata
melaksanakan nasihat tersebut, hingga akhirnya Prabu Basurata putra Batara
Wisnu kini telah datang di hadapannya. Setelah dirasa lengkap, Resi
Reksasrengga pun memulai upacara dengan membaca berbagai japa mantra, kemudian
Prabu Basurata dipersilakan meletakkan tiga buah kue payasa yang telah
dipersiapkan Prabu Dasarata di atas Jamur Dipa tersebut.
Setelah menunggu
beberapa lama, tiga buah kue payasa itu tampak menyala, sedangkan Jamur Dipa
menjadi layu dan akhirnya mati. Resi Reksasrengga menjelaskan bahwa kekuatan
gaib Jamur Dipa telah berpindah ke dalam tiga kue tersebut dan hendaknya Prabu
Dasarata menyerahkannya kepada Dewi Kusalya, Dewi Kekayi, dan Dewi Sumitra.
KETIGA ISTRI PRABU DASARATA BERBAGI KUE PAYASA
Prabu Dasarata
lalu menemui ketiga istrinya di perkemahan. Akan tetapi, ia hanya mengambil dua
kue payasa saja untuk diberikan kepada Dewi Kusalya dan Dewi Kekayi, sedangkan
kue payasa yang ketiga diberikan kepada Prabu Basurata. Rupanya Prabu Dasarata
merasa prihatin mengetahui Prabu Basurata juga belum memiliki anak, dan kue
yang ketiga itu diberikannya sebagai ungkapan terima kasih. Prabu Dasarata
memiliki tiga orang istri dan ia merasa sudah cukup senang apabila dua di
antara mereka bisa mengandung. Di sisi lain, Prabu Basurata hanya memiliki satu
orang istri, sehingga kue payasa itu harus diberikan kepadanya sebagai sarana
memiliki putra untuk menjadi ahli waris Kerajaan Wirata. Prabu Basurata sangat
terharu namun juga tidak enak hati menerima kue payasa tersebut yang seharusnya
menjadi jatah Dewi Sumitra.
Sementara itu,
Dewi Kusalya membelah kue payasa miliknya menjadi dua dan memberikan yang
setengah kepada Dewi Sumitra. Dewi Kekayi juga membelah kue miliknya, dan
memberikan yang setengah kepada Dewi Sumitra pula. Dewi Sumitra sangat terharu
melihat kebaikan kedua madunya itu, dan ia pun berjanji jika memiliki anak,
maka anaknya itu akan selalu melayani anak-anak yang dilahirkan Dewi Kusalya
dan Dewi Kekayi. Ketiga istri Prabu Dasarata itu lalu memakan bagian kue payasa
masing-masing secara bersamaan.
Pada saat itulah
Batara Wisnu (ayah Prabu Basurata) didampingi Batara Laksmanasadu (ayah Resi
Wisama) turun dari kahyangan. Batara Wisnu menjelaskan bahwa meskipun hanya
memakan setengah kue payasa, namun Dewi Kusalya dan Dewi Kekayi masing-masing
tetap akan melahirkan seorang putra. Prabu Dasarata diperintahkan pula untuk
memberikan nama kepada keempat anaknya yang akan lahir kelak, yaitu putra Dewi
Kusalya hendaknya diberi nama Raden Rama, sedangkan putra Dewi Kekayi hendaknya
diberi nama Raden Barata. Sementara itu, Dewi Sumitra yang memakan dua kali
setengah kue, maka ia akan melahirkan dua orang putra, yang hendaknya diberi
nama Raden Lesmana dan Raden Satrugena.
Batara Wisnu juga
menjelaskan kepada Prabu Basurata mengenai kue payasa utuh yang diterimanya.
Kelak jika kue itu dimakan Dewi Brahmaniyuta, maka ia akan mengandung sebanyak
dua kali. Akan tetapi, kedua anak itu tidak lahir bersamaan, melainkan selisih
usia mereka terpaut lumayan lama.
Batara Wisnu
kemudian mengatakan bahwa kedatangannya adalah untuk menitis kepada putra Prabu
Dasarata yang lahir dari Dewi Kusalya, yaitu Raden Rama, yang mana kelak akan
menjadi kesatria dalam menumpas angkara murka Prabu Rahwana raja Alengka,
keturunan Prabu Hiranyakasipu. Sementara itu, Batara Laksmanasadu juga datang
untuk menitis kepada salah satu putra yang lahir dari Dewi Sumitra, yaitu Raden
Lesmana, karena kelak ia akan menjadi pendamping Raden Rama dalam menumpas
kejahatan.
Setelah berkata
demikian, Batara Wisnu lalu masuk ke dalam rahim Dewi Kusalya, sedangkan Batara
Laksmanasadu masuk ke dalam rahim Dewi Sumitra. Prabu Dasarata, Prabu Basurata,
dan para raja lainnya serta para resi yang hadir di situ mengiringi peristiwa
tersebut dengan penuh penghormatan.
PRABU BASURATA KEMBALI KE PULAU JAWA
Setelah beberapa
hari tinggal di Kerajaan Ayodya, Prabu Basurata pun mohon pamit kembali ke
Pulau Jawa untuk menyerahkan kue payasa kepada istrinya. Prabu Dasarata sangat
berterima kasih atas segala bantuan raja Wirata tersebut, dan ia pun
menyerahkan sebuah kereta kencana bernama Kereta Garudayaksa sebagai hadiah
kenang-kenangan. Prabu Janaka dan Prabu Aywana juga ikut mendampingi Prabu
Dasarata mengantarkan rombongan Prabu Basurata sampai ke pelabuhan.
Setelah berlayar
beberapa lama, rombongan Prabu Basurata akhirnya tiba di Pulau Jawa dan
langsung melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Wirata. Sesampainya di istana, Sang
Prabu segera menyerahkan kue payasa tersebut kepada Dewi Brahmaniyuta.
Setelah memakan
kue itu, Dewi Brahmaniyuta pun mengandung. Setelah melewati sembilan bulan,
Dewi Brahmaniyuta akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama
Raden Brahmaneka.
Kisah ini disusun
berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dan
Ramayana karya Resi Walmiki, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 06 Januari
2015, Heri Purwanto
Ditulis ulang oleh
: Imajiner Nuswantoro