Gajah Mada
(Sang
Patih Amangkubhumi Majapahit / Sang Bêkêl Bhayangkâri)
ꦒꦗꦃꦩꦣ
꧋(ꦱꦁꦥꦠꦶꦃꦄꦩꦁꦏꦸꦧ꧀ꦲꦸꦩꦶꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀/ꦱꦁꦧꦼꦏꦼꦭ꧀ꦧ꧀ꦲꦪꦁꦏ꧀âꦫꦶ)
Gajah
Mada adalah figur sentral dalam sejarah Majapahit dan Nusantara. Dengan visi
besarnya untuk menyatukan kepulauan di bawah satu kekuasaan, ia memainkan peran
penting dalam memperluas wilayah dan pengaruh Majapahit. Meskipun tidak lepas
dari kontroversi, warisan Gajah Mada tetap hidup sebagai simbol kekuatan,
kecerdikan, dan persatuan bangsa.
Dalam
mengkaji kisah Gajah Mada, kita belajar tentang komitmen terhadap visi besar
dan kemampuan untuk menghadapi tantangan yang ada. Sejarahnya bukan hanya
tentang penaklukan, tetapi juga tentang strategi, diplomasi, dan semangat
persatuan yang bisa menjadi inspirasi bagi generasi sekarang dan mendatang.
Gajah Mada tidak hanya menjadi legenda, tetapi juga teladan dalam sejarah
Indonesia.
Gajah
Mada adalah salah satu tokoh paling legendaris dalam sejarah Indonesia, dikenal
sebagai patih atau perdana menteri dari Kerajaan Majapahit yang memainkan peran
penting dalam ekspansi dan kejayaan kerajaan tersebut. Artikel ini akan
mengulas secara mendalam tentang latar belakang, peran, pencapaian, tantangan,
serta warisan Gajah Mada yang menjadikannya sebagai figur sentral dalam sejarah
Nusantara.
Latar Belakang Gajah Mada
Gajah
Mada lahir pada akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14, di sebuah tempat yang
belum dapat dipastikan lokasinya. Berdasarkan beberapa sumber sejarah,
termasuk Pararaton dan Negarakertagama, Gajah Mada berasal dari keluarga
biasa, namun ia menunjukkan bakat luar biasa dalam hal militer dan administrasi
sejak usia muda.
Awal Karir dan Sumpah Palapa
Gajah
Mada mulai dikenal pada masa pemerintahan Raja Jayanegara. Ia memulai karirnya
sebagai kepala pasukan Bhayangkara, pengawal pribadi raja. Salah satu peristiwa
penting yang menandai karir awalnya adalah pemberontakan Ra Kuti pada tahun
1319, di mana Gajah Mada memainkan peran krusial dalam melindungi Raja
Jayanegara dan memadamkan pemberontakan tersebut.
Setelah
kematian Jayanegara pada tahun 1328, Tribhuwana Tunggadewi naik takhta. Pada
masa inilah Gajah Mada diangkat sebagai Patih Amangkubhumi (Perdana Menteri)
pada tahun 1331. Pada saat pelantikannya, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa,
sebuah sumpah yang menyatakan bahwa ia tidak akan menikmati “palapa”
(kenikmatan dunia) sebelum berhasil menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan
Majapahit.
Pencapaian dan Ekspansi Wilayah
Gajah
Mada terkenal dengan ambisi dan visinya untuk menyatukan kepulauan Nusantara di
bawah kekuasaan Majapahit. Di bawah kepemimpinannya, Majapahit mencapai puncak
kejayaannya. Berikut beberapa pencapaian penting selama masa jabatannya:
1. Penaklukan Bali (1343)
Ekspedisi
militer ke Bali pada tahun 1343 berhasil menaklukkan pulau tersebut. Bali yang
sebelumnya merdeka kemudian menjadi bagian dari wilayah Majapahit. Penaklukan
ini bukan hanya memperluas wilayah, tetapi juga memperkuat posisi Majapahit
sebagai pusat kebudayaan dan agama Hindu-Buddha di Nusantara.
2. Ekspedisi Pamalayu (1344-1348)
Ekspedisi
Pamalayu dikirim untuk menaklukkan Sumatra. Kerajaan-kerajaan di Sumatra,
termasuk Kerajaan Melayu, berhasil dibawa ke dalam kekuasaan Majapahit.
Ekspedisi ini juga memperkuat hubungan diplomatik dan perdagangan antara
Majapahit dan berbagai kerajaan di Sumatra.
3. Penaklukan Tumasik (Singapura)
Gajah
Mada mengirim pasukan untuk menaklukkan Tumasik (Singapura) yang kala itu
merupakan pusat perdagangan penting. Penaklukan ini menunjukkan kemampuan Gajah
Mada dalam menguasai jalur perdagangan maritim yang strategis.
4.
Pengaruh di Kalimantan dan Maluku
Pengaruh
Majapahit di bawah komando Gajah Mada juga meluas hingga ke Kalimantan dan
Maluku. Melalui serangkaian ekspedisi militer dan diplomasi, Gajah Mada
berhasil membawa wilayah-wilayah ini di bawah pengaruh Majapahit, menjadikannya
kekuatan maritim yang dominan.
Tantangan dan Kontroversi
Meskipun
berhasil dalam banyak ekspansi, Gajah Mada juga menghadapi banyak tantangan dan
kontroversi. Salah satu peristiwa yang mencolok adalah Perang Bubat. Pada tahun
1357, terjadi insiden diplomatik yang berujung pada pertempuran antara
Majapahit dan Sunda di lapangan Bubat, yang mengakibatkan kematian rombongan
kerajaan Sunda dan putri Dyah Pitaloka. Peristiwa ini meninggalkan luka
mendalam dalam hubungan antara Majapahit dan Sunda.
ANAK GAJAH MADA
Gajah Mada, tokoh yang pernah menjadi Mahapatih Majapahit pada era Ratu Tribwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk menurut kabar turun temurun masyarakat Bali mempunyai seorang anak, namanya Aria Bebed. Anak Gajah Mada yang satu ini lahir dari seorang wanita bernama Ni Luh Ayu.
Kisah mengenai anak Gajah Mada yang bernama Aria Bebed sumbernya dari cerita turun-temurun yang ada pada masyarakat Bali, khususnya masyarakat Desa Pagustulan Singaraja Bali. Selain itu mereka juga membuat suatu Prasati untuk meneguhkan jika kisah mengenai Aria Bebed anak Gajah Mada adalah kisah nyata, Prasasti yang dibuat oleh masyarakat Desa Pagustulan Singaraja Bali itu dikenal dengan nama "Prasasti Gajah Mada".
Menurut Prasasti Gajah Mada, disebutkan bahwa ; pada mulanya Gajah Mada tidak mengetahui jika ia punya anak, mengingat Ni Luh Ayu sudah ditinggalkan Gajah Mada, lagipula Gajah Mada waktu itu tinggal di Majapahit. Sementara Ni Luh Ayu Tinggal di Bali.
Saat di tinggalkan Gajah Mada, Ni Luh Ayu dalam kondisi mengandung muda, sehingga Gajah Mada tidak tahu jika Ni Luh Ayu mengandung. Anak yang lahir dari Rahim Ni Luh Ayu kelak dinamai Aria Bebed.
Setelah memasuki usia Remaja, Aria Bebed dikabarkan oleh Ibunya, bahwa ayah Biologisnya adalah Gajah Mada. Mendengar pengakuan dari ibunya, Aria Bebed kemudian menju Majapahit untuk menjumpai ayahnya.
Sesampainya di Majapahit, Aria Bebed duduk di atas batu yang terletak tepat di depan rumah Gajah Mada. Karena disoraki oleh orang-orang dan diusir oleh para pengawal Gajah Mada, Aria Bebed menangis. Mendengar sorak orang banyak dan tangisan seorang ramaja, Patih Gajah Mada keluar.
Sesudah ditanya, siapa nama, asal dan tujuannya datang ke Majapahit, Aria Bebed menjawab dengan jujur " Ia ingin menjumpai Gajah Mada, karena menurut keterangan Ibunya Gajah Mada adalah ayahnya".
Mendengar jawaban Aria Bebed, Gajah Mada membawa anak itu ke dalam rumahnya dan mempertemukanya dengan istrinya Ken Bebed. Kepada Ken Bebed, Gajah Mada mengaku bahwa Aria Bebed adalah putranya. Mendengar pengakuan Gajah Mada, Ken Bebed yang tidak punya anak sangat senang. Oleh Ken Bebed, Aria Bebed dianggap sebagai putra kandungnya sendiri.
Setelah sekian lama tinggal di Majapahit, Aria Bebed meminta diri untuk pulang ke Bali. Gajah Mada dan Ken Bebed meningizinkan. Sebelum Aria Bebed pulang, Gajah Mada memberikan hadiah berupa Pangastulan (Tempat Menyimpan Abu Leluhur Gajah Mada).
Kepada Aria Bebed, Gajah Mada berpesan agar abu yang di Pagastulan di taburkan di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tempat yang ditaburi Abu Pagastulan akan menjadi wilayah kekuasaan Aria Bebed. Hendaklah pula Aria Bebed berhenti dan menetap di tempat terakhir yang ditaburi abu Pagastulan. Disitu Aria Bebed akan menjadi penguasa tertinggi.
Aria Bebed kemudian menuju Bali dan menetap di desa Bwahan. Disana Aria Bebed menikah dengan Nyi Ayu Rangga, Putri Pangeran Pasek Wanagiri. Dari perkawinan itu lahir dua orang Putra yakni Aria Twas dan Nyi Gusti Ayu Wanagiri.
Begitulah kisah mengenai Aria Bebad yang tertulis dalam Prasasti Gajah Mada. Prasasti tersebut ditulis pada Tahun Saka 1881 (1959 M). Ditinjau dari tahun pembuatannya jelas Prasasti Aria Bebed umurnya amat muda sehingga dalam menanggapi isi kisah yang terkandung didalamnya perlu telaah kritis.
Berikut penulis sajikan GAJAH MADA (Sang Bêkêl Bhayangkâri). Karya,
S.H. Mintardja dalam tulisan PDF FREE DOWNLOAD :