BABAGAN EMPU KERIS
MPU
atau Empu diidentikkan dengan pembuat keris atau benda pusaka semasa zaman
kerajaan-kerajaan. Namun, kata mpu sebenarnya merupakan gelar yang diberikan
kepada seseorang.
Di
masa Kerajaan Kediri, nama Mpu Bharada menjadi yang dikenal. Di masa Kerajaan Singasari,
nama Mpu Gandring menjadi yang paling dikenal.
Sebuah
keris bagi orang Jawa memiliki makna yang begitu dalam, terlebih dalam proses
pembuatannya memakan waktu yang cukup lama, yang membutuhkan tata cara dan
upacara istimewa, bahkan disertai do’a-do’a khusus. Maka ada budayawan yang
sampai menyebut, bahwa keris merupakan perwujudan do’a dari Sang Empu (pembuat
keris).
Dua
arti dalam istilah empu, pertama dapat berarti sebutan kehormatan misalnya Empu
Sedah atau Empu Panuluh. Arti yang kedua adalah ‘Ahli’ dalam pembuatan ‘Keris’.
Dalam kesempatan ini, Empu yang kami bicarakan adalah seseorang yang ahli dalam
pembuatan keris. Dengan tercatatatnya berbagai nama ‘keris’ pastilah ada yang
membuat.
Pertama-tama
yang harus kita ketahui adalah tahapan zaman terlahirnya ‘keris’ itu, kemudian
meneliti bahan keris, dan ciri khas sistem pembuatan keris. Ilmu untuk
kepentingan itu dinamakan ‘Tangguh’. Dengan ilmu tangguh itu, kita dapat
mengenali nama-nama para Empu dan hasil karyanya yang berupa bilahan-bilahan
keris, pedang, tombak, dan lain-lainnya.
Adapun
pembagian tahapan-tahapan zaman itu adalah sebagai berikut :
1. Kuno
(Budho)
tahun 125 M – 1125 M,Meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita, Medang Siwanda,
medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Penggiling Wiraradya, Kahuripan
dan Kediri.
2. Madyo Kuno
(Kuno
Pertengahan) tahun 1126 M – 1250 M, Meliputi kerajaan-kerajaan : Jenggala,
Kediri, Pajajaran dan Cirebon.
3. Sepuh Tengah
(Tua
Pertengahan) tahun 1251 M – 1459 M,Meliputi Kerajaan-kerajaan : Jenggala,
Kediri, Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.
4. Tengahan
(Pertengahan)
tahun 1460 M – 1613 M, Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak, Pajang, Madiun, dan
Mataram.
5. Nom
(Muda)
tahun 1614 M. Sampai sekarang, Meliputi Kerajaan-kerajaan : Kartasura dan
Surakarta.
Telah
kami ketengahkan tahapan-tahapan zaman Kerajaan yang mempunyai hubungan
langsung dengan tahapan zaman Perkerisan, dengan demikian pada setiap zaman
kerajaan itu terdapat beberapa orang Eyang yang bertugas untuk menciptakan
keris. Keris-keris ciptaan Empu itu setiap zaman mempunyai ciri-ciri khas
tersendiri. Sehingga para Pendata benda pusaka itu tidak kebingungan.
Ciri
khas terletak pada segi garap dan kwalitas besinya. Kwalitas besi merupakan
ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan tingkat sistem pengolahan besi
pada zaman itu, juga penggunaan bahan ‘Pamor’ yang mempunyai tahapan-tahapan
pula. Bahan pamor yang mula-mula dipergunakan batu ‘meteor atau batu bintang’
yang dihancurkan dengan menumbuknya hingga seperti tepung kemudian kita
mengenali titanium semacam besi warnanya keputihan seperti perak, besi titanium
dipergunakan pula sebagai bahan pamor.
Titanium
mempunyai sifat keras dan tidak dapat berkarat, sehingga baik sekali untuk
bahan pamor. Sesuai dengan asalnya di Prambanan maka pamor tersebut dinamakan
pamor Prambanan. Keris dengan pamor Prambanan dapat dipastikan bahwa keris
tersebut termasuk bertangguh Nom. Karena diketemukannya bahan pamor Prambanan
itu pada jaman Kerajaan Mataram Kartasura (1680-1744).
Bila
kita telah mengetahui tangguhnya suatu keris maka kita lanjutkan dengan
menelusuri Empu-Empu penciptanya.
I. Zaman Tangguh Budho (Kuno) :
1.
Zaman Kerajaan Purwacarita, Empunya adalah: Mpu Hyang
Ramadi, Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, dan Mpu Sarpadewa.
2.
Zaman Kerajaan Tulis, Empunya adalah: Mpu Sukmahadi.
3.
Zaman Kerajaan Medang Kamulan, Empunya adalah: Mpu
Bramakedali.
4.
Zaman Kerajaan Giling Wesi, Empunya adalah:
MpuSaptagati dan Mpu Janggita.
5.
Zaman Kerajaan Wirotho, Empunya adalah Mpu Dewayasa I.
6.
Zaman Kerajaan Mamenang, Empunya adalah: Mpu Ramayadi.
7.
Zaman Kerajaan Pengging Wiraradya, Empunya adalah Mpu
Gandawisesa, Mpu wareng dan Mpu Gandawijaya.
8.
Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah: Mpu Widusarpa
dan Mpu Windudibya.
II. Tangguh Madya Kuno (Kuno Pertengahan)
Zaman
Kerajaan Pajajaran Makukuhan, Empunya adalah: Mpu Srikanekaputra, Mpu Welang,
Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala, Mpu Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu kunda,
Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan Mpu
Anjani.
III. Tangguh Sepuh Tengahan (Tua Pertengahan)
1.
Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah Mpu
Sutapasana.
2.
Zaman Kerajaan Kediri, Empunya adalah :
3.
Zaman Kerajaan Majapahit, Empunya adalah:
4.
Zaman Tuban/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu
Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu
Bekeljati.
5.
Zaman Madura/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu
Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu Lunglungan dan Mpu Kebolungan.
6.
Zaman Blambangan/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah:
Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu Pitrang.
IV. Tangguh Tengahan (Pertengahan)
1.
Zaman Kerajaan Demak, Empunya adalah: Mpu Joko Supo.
2.
Zaman Kerajaan Pajang, Empunya adalah Mpu Omyang, Mpu
Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
3.
Zaman Kerajaan Mataram, Empunya adalah: Mpu Tundung,
Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono, Mpu Kithing, Mpu
Warih Anom dan Mpu Madrim.
V. Tangguh Nom (Muda)
1.
Zaman Kerajaan Kartasura, Empunya adalah: Mpu Luyung
I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso,
Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
2.
Zaman Kerajaan/Kasunanan Surakarta, Empunya : Mpu
Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu
Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu
Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu
Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.
Demikian
sekilas uraian tentang Mpu-Mpu dan zaman ke zaman. Keberadaannya sudah tentu
menyemarakkan dunia perkerisan selalu sarat dengan karya-karya baru yang terus
berkembang dari zaman ke zaman.
Dari
keris-keris lurus hingga keris-keris yang ber luk. Ditambah dengan beraneka
macam ragam hias pada bilahannya. Semua menuju ke arah maju, tetapi tidak
meninggalkan pakem (standar)
Ragam
hias itu berupa kepala hewan yang diletakkan pada gadik misalnya kepala naga,
anjing, singabarong, garuda, bahkan puthut. Dengan ditambahkannya bentuk-bentuk
itu, sekaligus nama keris itupun berubah, naga siluman, naga kembar, naga
sosro, naga temanten, manglar monga, naga tampar, singa barong, nogo kikik,
puthut dan lain-lainnya. Bahkan zaman Kasultanan Mataram sejak masa
Pemerintahan Sultan Panembahan Senopati, dunia Perkerisan tampak makmur lagi,
lesan mewah tampak pada bilahan keris yang diserasah emas.
Sultan
yang arif dan bijaksana itu membagi-bagikan keris sebagai tanda jasa kepada
mereka yang berjasa kepada pribadi Sultan maupun kepada Negara dan Bangsa.
Tentu saja ragam hiasannya satu dengan lain berbeda walaupun demikian tidak
meninggalkan motif aslinya. Hiasan yang terasah emas itu terletak pada gonjo
atau wadhidhang dengan bentuk bunga anggrek atau lung-lungan dari emas. Atau
sebantang lidi yang ditempelkan pada gonjo atau dibawah gonjo terdapat Gajah
dan Singa terbuat dari emas juga. Tentu saja penciptanya adalah para pakar
perkerisan ialah Empu tersebut.
Keris Dalam Budaya Jawa
Keris
ialah sejenis senjata pendek kebangsaan Melayu yang digunakan sejak melebihi
600 tahun dahulu. Senjata ini memang unik di dunia Melayu dan boleh didapati di
kawasan berpenduduk Melayu seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand
Selatan, Filipina Selatan(Mindanao), dan Brunei.
Keris
digunakan untuk mempertahankan diri (misalnya sewaktu bersilat) dan sebagai
alat kebesaran diraja. Senjata ini juga merupakan lambang kedaulatan orang
Melayu. Keris yang paling masyhur ialah keris Taming Sari yang merupakan
senjata Hang Tuah, seorang pahlawan Melayu yang terkenal.
Keris
berasal dari Kepulauan Jawa dan keris purba telah digunakan antara abad ke-9
dan abad ke-14. Senjata ini terbahagi kepada tiga bahagian, yaitu mata, hulu
dan sarung. Keris sering dikaitkan dengan kuasa mistik oleh orang Melayu pada
zaman dahulu. Antara lain, terdapat kepercayaan bahawa keris mempunyai
semangatnya yang tersendiri.
Keris
menurut amalan Melayu tradisional perlu dijaga dengan cara diperasapkan pada
masa-masa tertentu, malam Jumat misalnya. Ada juga amalan mengasamlimaukan
keris sebagai cara untuk menjaga logam keris dan juga untuk menambah bisanya.
Ada pepatah yang menyatakan : "Penghargaan pada seseorang tergantung
karena busananya." Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang
mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu
menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu.Di kalangan
masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya
pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep
(busana Jawa lengkap).
Dan
kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus
menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik, baju
pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang.
Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa
dilambangkan sebagai symbol "kejantanan." Dan terkadang apabila
karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu
pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.
Pandangan
ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula
eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu
dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah Swt,
menciptakan makhluk dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan, baik
manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Kepercayaan pada filsafat agraris ini
sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton
Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu
mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul
pula kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi. Yang juga dekat
dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk
upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan
mengkirabkan pusaka unggulan Karaton yang terdiri dari senjata tajam: tombak
pusaka, pisau besar (bendho). Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan
Karaton berjalan mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran,
perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk
beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
Fungsi
utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari
serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi
dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa
damai, kadang orang
menggunakan
keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin.
Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan
sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas
berkilauan sebagaikebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi
komoditi bisnis yang tinggi nilainya.
Tosan
Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa
saja,melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka
andalan,seperti rencong di Aceh, badik di Makasar, pedang, tombak berujung tig
(trisula), keris bali, dan lain-lain.
Ketika
Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha Nglayang,
Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit yang mendampingi
menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra. Keris pusaka
atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya bukan saja
karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsure
batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara
pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah
SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu. Sehingga kekuatan spiritual
Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau
mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan
kepada pemakai senjata pusaka itu. Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan
pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu
mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak dengan mata
biasa). Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana
pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati
yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar
hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan
memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna,
sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri seperti watak Harya Penangsang.
Kaitannya
dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang berperang melawan
Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional, tidak bisa menahan diri,
perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh Sutawijaya. Usus
keluar dari perutnya yang robek. Dalam keadaan ingin balas dendam dengan penuh
kemarahan Penangsang yang sudah kesakitan itu mengalungkan ususnya ke hulu
keris di pinggangnya. Ia terus menyerang musuhnya. Pada suatu saat Penangsang
akan menusuk lawannya dengan keris Kyai Setan Kober di bagian pinggang, begitu
keris dihunus, ususnya terputus oleh mata keris pusakanya. Penangsang mati
dalam perang dahsyat yang menelan banyak korban. Dari peristiwa itulah muncul
ide keris pengantin dengan hiasan untaian bunga mawar dan melati.
Tosan
aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain itu bisa menimbulkan
rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut
itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri, bahkan keris pusaka atau
tombak pusaka yang diberikan oleh Sang Raja terhadap bangsawan Karaton itu
mengandung kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun
manakala kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati
yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan
ditarik/diminta kembali oleh sang raja.
Hubungan
keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara
filosofi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di
dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula – Gusti",
bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya,
bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai,
tentram, bahagia, sehat sejahtera. Selain saling menghormati satu dengan yang
lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan
fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam dari
tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung pelbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya,kini terancam perkembangannya
karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya kurang diminati ketimbang
aspek legenda dan magisnya.
Empu Keris yang Namanya Legendaris
Keris
merupakan salah satu senjata tradisional di Indonesia. Menurut Musadad (2008),
di Jawa keris telah dikenal sejak zaman kerajaan Mataram Hindu.
Akan tetapi, setelah dirujuk melalui prasasti dan gambar pada relief pada candi-candi di Jawa, dapat diduga bahwa keris sudah dikenal pada orang Jawa sejak abad ke-5 M.
Hingga
saat ini, keris masih eksis dan terus dibuat oleh para perajin keris yang sering
disebut Empu. Ada keris yang benar-benar merupakan pusaka, namun ada pula keris
yang sebatas sebagai aksesoris.
Khusus
untuk keris pusaka, biasanya dibuat oleh para empu yang memiliki “kesaktian”
tertentu. Di bawah ini beberapa Empu legendaris yang telah menciptakan
berkharisma tinggi.
Beberapa di ataranya adalah :
Empu Gandring
Empu
Gandring merupakan pembuat keris terkenal pada zaman kerajaan dahulu, yang
namanya disebut dalam Kitab Pararaton.
Ia berasal dari desa Lulumbang atau Palumbangan, Kecamatan Doko, Blitar, merupakan sahabat Bango Samparan, ayah angkat Ken Arok.
Dalam Kitab Pararaton disebutkan, suatu ketika Ken Arok memesan keris dengan jangka waktu dua belas bulan. Namun keris itu berhasil diselesaikan Empu Gandring sebelum tenggat berakhir. Ken Arok justru menikam Empu Gandring dengan keris tersebut.
Sebelum meninggal, Empu Gandring mengeluarkan kutukan bahwa tujuh keturunan Ken Arok akan tewas di ujung keris buatannya tersebut. Dan kutukan itu benar terjadi.
Keris
buatan Empu Gandring tersebut, konon memiliki kemampuan supranatural dan daya
magis yang tinggi.
Empu Supodriyo
Empu Supodriyo merupakan ahli keris pada masa Kerajaan Majapahit yang hidup sekitar abad ke-15. Empu Supodriyo adalah suami Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga. Sebelum menikah dengan Dewi Rasawulan, ia menganut agama Hindu dan berpindah ke agama Islam setelah pertemuannya dengan Sunan Kalijaga.
Sebuah legenda mengisahkan Sunan Kalijaga meminta tolong untuk dibuatkan keris conten sembelih (pegangan lebai untuk menyembelih kambing). Lalu ia diberikan calon besi dengan ukuran sebesar biji asam jawa.
Saat diberikan besi tersebut, Empu Supo kaget karena ternyata sangat berat dan tak seimbang dengan besar wujudnya. Sunan Kalijaga pun mengatakan bahwa besar besi tersebut seperti gunung. Besi itu pun langsung dikerjakan oleh Empu Supo sehingga jadilah keris.
Sunan Kalijaga sangat kagum dan perasaannya tersentuh saat melihat keris itu selesai dibuat. Awalnya besi tersebut ingin dibuat pegangan lebai namun malah menghasilkan keris Jawa asli Majapahit dengan luk tiga belas. Keris itu kemudian dinamai Kyai Sengkelat karena kerisnya berwarna merah.
Empu
Supo pun diberikan lagi besi sebesar kemiri dan olehnya dibuat sebilah keris
yang mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Sunan Kalijaga menamai
keris itu Kyai Carubuk.
Empu Sungkowo Harumbrojo
Empu Sungkowo merupakan generasi ke-17 dari Empu Supodriyo, perajin keris dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Empu Sungkowo merupakan perajin keris terkenal di Yogyakarta. Keris buatan putra Empu Djeno Harumbrojo ini pun dimiliki oleh Sultan Hamengkubuwono IX.
Untuk menjadi seorang empu, tidak bisa jika hanya mengandalkan garis keturunan. Sungkowo pun menekuni profesi sebagai perajin keris agar memperoleh gelar empu sejak 1995. Sebelum menekuni pekerjaan sebagai perajin keris, ia sempat bekerja di balai batik. Bengkel kerisnya terletak di Dusun Gatak, Sleman.
Dulu, ia juga sering membantu Empu Djeno, ayahnya, saat membuat keris. Saat itu ia bertugas sebagai panjak atau asisten pembantu empu. Tugasnya ialah menempa besi panas, mengatur bara api dan membantu proses pengikiran keris. Ia mendapatkan banyak bimbingan selama menjadi panjak. Setelah Empu Djeno meninggal, ia meneruskan warisan ayahnya untuk membuat sejumlah keris.
Empu Sungkowo membuat keris secara tradisional, melalui 53 tahapan dan butuh waktu 30 sampai 40 hari bagi Empu Sungkowo, hanya untuk menghasilkan sebilah keris.
Tentu
saja, sebelum proses membuat keris, Empu Sungkowo menjalani sejumlah pantangan,
berpuasa serta menjalankan ritual-ritual tertentu.
Empu Djeno Harumbrodjo
Empu Djeno Harumbrodjo lahir pada sekitar tahun 1929 di Desa Ngento-ento, Sumberagung, Moyudan Sleman. Ayahnya, Ki Supowinangun, adalah empu keris abdi dalem Kepatihan Yogyakarta.
Melihat silsilahnya, Empu Djeno termasuk pewaris keluarga empu secara turun-temurun dari mulai empu Ki Supodriyo zaman Majapahit. Keempuannya adalah proses panjang yang ditempuhnya sejak masa kecilnya. Sehabis pulang sekolah, Djeno biasanya membantu ayahnya membuat keris.
Di situlah Djeno mendapatkan pelajaran tentang keris dan proses pembuatannya. Kebiasaan itu menumbuhkan minat dan kecintaan dalam dirinya pada keris.
Pada tahun 1963, ayahnya meninggal dunia. Saat itu ia mendapat firasat serta bermimpi membuat keris tiga kali bersama ayahnya.
Namun, baru pada tahun 1970, bersama kakaknya, Ki Empu Yoso Pangarso, ia akhirnya memutuskan kiprahnya sebagai pembuat keris di desa Jitar Sumberagung Moyudan Sleman, tahun 1990 kakaknya meninggal dunia.
Karya-karya Empu Djeno Harumbrodjo di antaranya keris jenis jalak, jangkung, pendhawa luk gangsal, sempana lukpitu, penimbal luk sanga, sabuk inten luk sewelas, parung sari luk telulas.
Menurutnya masyarakat lebih banyak menyenangi baik untuk pusaka maupun koleksi adalah luk ganjil, itupun umumnya hanya sampai luk tiga belas.
Karya-karyanya
tersebut pernah diikutkan dalam event-event pameran di Keraton Yogyakarta dalam
pamrean tahunan dari tahun 1984-1988, Museum Sonobudoyo 1987, ISI tahun 1990
dan Pekan Raya Jakarta pada tahun 1990 Bersamaan dengan pameran kerisnya tahun
1983 dan 1987, ia pun menjadi nara sumber dalam sesi ceramah.
Imajiner
Nuswantoro