Babad
Cirebon merupakan karya satra sejarah yang disusun pada pertengahan abad ke-19
di Cirebon. Babad ini menceritakan perkembangan Kesultanan Cirebon sejak awal
hingga masa penjajahan Inggris di Pulau Jawa. Sebagian besar ceritanya
mengisahkan tokoh Sunan Gunung Jati sebagai penyebar agama Islam di Jawa Barat
dan pendiri Kesultanan Cirebon. Ditulis
dalam huruf Arab menggunakan bahasa Jawa-Cirebon serta disajikan dalam bentuk
wawacan.
Babad
Cirebon disalin berulang kali di berbagai tempat dan tersebar ke berbagai
wilayah Cirebon dan Priangan. Dalam proses penyalinan tersebut terjadi perubahan teks akibat kesalahan tulis
dan atau sengaja diubah sehingga terjadi variasi di dalam teks dan atau isinya.
Bahkan, di Priangan diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Sunda kadang-kadang
dengan judul berlainan, seperti Sajarah Lampahing para Wali Kabeh ‘Riwayat
Perilaku dan Perbuatan Segala Nabi’. Naskah-naskahnya sekarang berada di
Perpustakaan Nasional Jakarta, Universiteits Bibliotheek Leiden, British
Museum, Museum Sri Baduga, Bandung, dan juga perseorangan di wilayah Jawa
Barat.
Penelitian
atas Babad Cirebon telah dilakukan Oleh
J.L.A. Brandes dan R.A. Kern, tetapi terbatas pada alih aksara dari huruh Arab
ke huruf Latin dan edisi teks berdasarkan dua naskah Br. 36 dan Br. 107 yang
kini disimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta dengan pengantar studi serta
ringkasan isi dalam bahasa Belanda.
Berdasarkan penelitian salah satu versi Babad Cirebon itu diketahui
bahwa versi itu disusun oleh Muhamad Nur di Cirebon dan ditulis sebagai salinan
(entah keberapa kali) oleh Murtasiah di Bandung. Naskah aslinya milik Atmaja,
seorang penduduk Astana Anyar, Bandung. Penyalinannya selesai pada hari Kamis,
pukul 24.00 malam tanggal 30 Sapar 1293 H atau 16 Maret 1877.
Keseluruhan
isi Babad Cirebon disebut sebagai edisi Brandes dapat dibagi menjadi 4 bagian,
yaitu sebai berikut :
1. Cerita tentang tokoh Sunan Gunung Jati secara panjang
lebar, sejak kehidupan orang tuanya hingga keturunannya serta sejak awal hingga
akhir Babad Cirebon.
2. Cerita tentang Walisanga yang cukup panjang
mengungkapkan asal-usul mereka, peranan mereka sebagai penyebar agama dan
penegak kekuasaan Islam di Pulau Jawa. Mereka adalah Sunan Ampel sebagai
pemimpinnya, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Syekh Lemah
Abang, Syekh Majagung, Syeh Bentong, Maulana Magribi, dan Sunan Gunung Jati.
Dari nama-nama tersebut jelas terlihat bahwa mereka jumlah mereka sepuluh orang
walaupun disebut Walisanga ‘wali sembilan’.
3. Cerita tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hubungan antarkesultanan Demak, Cirebon, Banten, Pajang, dan Mataram serta
Kompeni- Belanda.
4. Silsilah Sultan Kanoman, Kasepuhan, Panembahan,
Kacirebonan di Cirebon serta Sultan Banten, Demak, Pajang, Mataram, dan
Kartasura. Dalam bagian ini juga
terdapat pembuka dan penutut cerita.
Babad
Cirebon edisi Brandes menggunakan 10 macam jenis pupuh, yaitu :
1.
dangdanggula,
2.
kamal,
3.
sinom,
4.
asmarandana,
5.
pangkur,
6.
mijil,
7.
durma,
8.
pucung,
9.
magatru, dan
10. ladrang.
Babad
Cirebon edisi Brandes menggunakan 3 macam bentuk penuturan, yaitu kisahan,
monolog, dan dialog. Jalan ceritanya berpola selang-seling, dalam arti satu
pokok cerita diselingi oleh pokok-pokok cerita lain, dan semua pokok cerita
diakhiri pada bagian akhir. Kemudian, hasil edisi teks itu dianalisis dengan
menggunakan pendekatan ilmu sastra dan isinya ditinjau secara historis oleh Edi
S. Ekajati pada tahun 1977-1978.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Babad Cirebon edisi Brandes dimaksudkan pengarangnya bukan untuk mengungkapkan kenyataan historis atau kejadian sebenarnya, melainkan untuk mengesahkan :
- Sunan Gunung Jati sebagai penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda,
- Walisanga sebagai penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di Pulau Jawa, dan
- Orang Belanda sebagai penguasa di Pilau Jawa dan Batavia sebagai tempat kedudukannya. Secara tradisional Babad Cirebon oleh orang-orang Cirebon dianggap sebagai sejarah resmi mereka.
Berikut
penulis sajikan Babad Cirebon Seri 1, Seri 2, Seri 3 :