KISAH TOGOG / BATARA ANTAGA / SANG HYANG ANTAGA / TEJAMANTRI / LURAH WIJAYAMANTRI
Togog adalah putra Hyang Tunggal, saudara Semar dan Batara Guru, penasihat Kurawa.
Dalam pewayangan Jawa, Togog anak dari pasangan Sang Hyang Tunggal dan Rekathawati. Togog memiliki dua adik bernama Bathara Guru dan Semar. Togog juga disebut cucu dari Sanghyang Wenang yang merupakan penguasa kahyangan.
Togog adalah nama tokoh pewayangan Jawa. Ia dikisahkan sebagai putra dewa yang lahir sebelum Semar, tetapi karena tidak mampu mengayomi Bumi, maka Togog kembali ke asalnya; pada waktu bersamaan, lahirlah Semar.
KISAH TOGOG (1)
Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga anaknya yang lahir dari sebutir telur. Lapisan-lapisan telur yakni kulit paling luar diberi nama Batara Antaga (Togog), putih telur diberi nama Batara Ismaya (Semar) dan kuning telur diberi nama Batara Manikmaya (Batara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga anaknya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa Kahyangan.
Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, tetapi yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog memaksakan dirinya untuk menelan, padahal mulutnya tidak muat. Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, anak bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Adapun Batara Antaga (Togog), dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia. Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa). Sedangkan Togog dan Bilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk.Dalam perannya menjadi pamong untuk menasihati kesatria angkara murka ,Togog didampingi Bilung (Sarawita) yang tercipta dari Hawa Nafsu Togog melalui sabda sakti dari Sanghyang Podo Wenang
KISAH TOGOG (2)
Pada suatu hari, Rekathawati bertelur dan seketika itu telur tersebut terbang ke hadapan Sang Hyang Wenang. Setiba di hadapan Sang Hyang Wenang, telur tersebut menetas sendiri dan terwujudlah tiga makhluk antropomorfis. Yang muncul dari kulit telur dinamai Tejamantri (Togog), putih telur menjadi Ismaya (Semar), dan kuning telur menjadi Manikmaya (Batara Guru).
Pada suatu hari, Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk menjadi penguasa kahyangan. Sayembara ini pun diikuti ketiga cucunya yaitu Togog, Semar, dan Batara Guru. Sayembara itu syaratnya adalah menelang Gunung Jamurdipa dan memuntahkan kembali secara utuh.
Karena anak pertama, Togog menjadi peserta urutan pertama, namun ternyata Togog gagal melakukannya, malah akibatnya ia mengalami robek pada mulutnya.
Selanjutnya Semar melakukannya. Ia berhasil menelan gunung tersebut secara utuh, namun Semar gagal memuntahkannya, hingga perutnya membuncit.
Karena Gunung tersebut musnah ditelan Semar, akhirnya yang memenangkan sayembara tersebut adalah Batara Guru yang merupakan cucu paling bungsu.
Karena gagalnya Semar dan Togog, akhirnya mereka ditugaskan turun ke bumi untuk menjadi pamong dan penasihat alias pembisik arti kehidupan kepada manusia agar manusia berbuat kebajikan.
Naas, Semar yang berhasil menelan gunung mendapatkan hadiah berupa menjadi penasihat para ksatria berwatak baik. Sedangkan Togog yang gagal menelannya mendapat hukuman menjadi pamong para ksatria yang berwatak buruk.
Ia pun harus menemani kaum aristokrat yang berhati busuk dari masa ke masa. Namun kehadiran Togog dalam pewayangan ini hanya sebagai pelengkap penderita saja.
Di dalam pementasan wayang, ia selalu gagal membisikan kebaijkan ke orang-orang yang diikutinya. Angkara murka pun terus mengalis, watak budi terapung. Togog pun dianggap gagal sebagai dewa.
SIFAT DAN WUJUD TOGOG
Dalam pewayangan, Togog memiliki sifat cukup jelek. Pasalnya, dirinya tidak memiliki kesetiaan. Hal ini dikerenakan Togog suka berganti-ganti majikan di setiap tempat dan setiap waktu. Tidak hanya itu, Togog juga disebut bermental penjilat, oportunis, dan menafikan kebenaran demi meraih nafsu duniawi.
Togog memiliki wujud mulut lebar, mata juling, hidung pesek, tak bergigi, kepala botak, bahkan rambutnya hanya di tengkuk saja, bergelang, dan memiliki suara nge-bass atau rendah besar.
KISAH TOGOG (3)
Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga cucunya yaitu Bathara Antaga (Togog), Bathara Ismaya (Semar) dan Bathara Manikmaya (Bathara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga cucunya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan.
Pada giliran pertama Bathara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya,namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus ketika gunung tersebut berada di dalam rongga mulut Togog. Giliran berikutnya adalah Bathara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Bathara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Adapun Bathara Antaga (Togog) dan Bathara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para ksatria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk para ksatria dengan watak buruk.
Wayang kulit Togog dan Belung |
TOGOG (4)
Togog alias Tejamantri adalah punakwan yang ditugasi untuk mengawasi, membimbing dann menjadi pamong bagi para raksasa serta mereka yang bersifat jahat. Togog sebenarnya adalah seorang dewa. Sebagai seorang dewa ia bernama Sang Hyang Antaga.
Togog bersaudara dengan Sang Hyang Ismaya dan Sang Hyang Manikmaya. Menurut serat paramayoga, ibunya bernama Dewi Rakti. Namun dalam pewayangan, ibu ketiga dewa itu adalah Dewi Rekatawati.
Sewaktu lahir, sebenarnya ketiga dewa itu lahir dalam bentuk satu telur. Telur itu kemudian oleh Sang Hyang Tunggal dicipta menjadi tida orang putera. Sang Hyang Antaga terjadi dari kulit telurnya dan dianggap sebagai anak sulung. Sang Hyang Ismaya tercipta dari putih telurnya dan Sang Hyang Manikmaya dari kuning telurnya.
Setelah dewasa. Ketiga putera Sang Hyang Tunggal itu memperebutkan hak penguasa alam kahyangan. Karena tidak ada yang mau mengalah, akhirnya Sang Hyang Tunggal menentukan, siapa diantara ketiganya yang sanggup menelan Gunung Mahameru dab kemudian memuntahkan kembali, ialah yang berhak atas kekuasan alam kahyangan.
Sebagai anak sulung, Sang Hyang Antaga berhak yang pertama membuktian kesaktiannya. Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, ia mencoba menelan gunung itu. Namun celaka, gunung nya tidak bisa ditelan dan justru mulutnya robek.
Giliran kedua, sang Hyang Ismaya berhasil menelan Gunung Mahameru, namun ternyata tidak sanggup memuntahkannya kembali. Usaha untuk mengeluarkan gunung itu dari duburnya pun sia-saia.
Akhirnya, Sang Hyang Tunggal memutuskan sang Hyang Manikmaya menjadi penguasa para dewa kahyangan. Sedangkan Sang Hyang Antaga dan Sang Hyang Ismaya harus turun ke dunia dan hidup sebagai manusia. Sang Hyang Antaga lebih memakai nama Togog, sedangkan Sang Hyang Ismaya memakai nama Semar.
Dalam melaksanakan tugasnya, Togog selalu berusaha menyadarkan majikannya agar jangan tergelincir dalam dosa dan perbuatan buruk. Namun jika nasihatnya tidak didengar, ia akan menjerumuskan majikannya dengan berbagai pujian dan sanjungan.
TOGOG (5)
Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga cucunya yaitu Bathara Antaga (Togog), Bathara Ismaya (Semar) dan Bathara Manikmaya (Bathara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari ketiga cucunya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan.
Pada giliran pertama Bathara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya,namun yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus ketika gunung tersebut berada di dalam rongga mulut Togog. Giliran berikutnya adalah Bathara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Bathara Guru, cucu bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Adapun Bathara Antaga (Togog) dan Bathara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, yang pada akhirnya Semar dipilih sebagai pamong untuk para ksatria berwatak baik (Pandawa) dan Togog diutus sebagai pamong untuk para ksatria dengan watak buruk.
Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakan dirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan.
Ia bersahabat dengan Semar dan terhitung lebih tua Togog daripada Semar, maka Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togok.
Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintah bala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintah untuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak untuk bersiap akan berjalan ke negeri Anu, tetapi perintah itu tak didengar, maka naiklah ia ke panggung, memukul barang sebagai pertanda.
Adapun benda yang digunakan ialah genta, keleleng, gubar, beri dan lonceng agung sebesar lumbung. Setelah dipalu dan para raksasa segera bersiap senjata dan kendaraan yang berbentuk senuk, memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang mengaum dan meraung mendatangkan ketakutan pada banyak orang.
Ucapan Engklek-engklek Balung atandak: Marilah teman berdandanlah, akan pergi ke negeri Anu. Dan kemudian disahuti oleh temannya: Ikut-ikutlah,, yangan ketinggalan perabot kita, tekor tempat darah, pisau pemotong hati.
Sangat riuh suara raksasa itu, setelah berkumpul, suara binatang, kendaraan meraung-sung berbareng dengan suara yang mengendarai meraung juga, terdengar seperti guruh musim ke empat.
Lurah Wijayamantri turun dari panggung, lalu menghadap kepada majikannya. Bragalba bertanya: Sudahkah lurah Wijayamantri mengundang bersiap sejawat raksasa semuanya?.
Wijamantri: Sudah Kyai, sewaktu-waktu berangkat telah bersiap.
Bragalba : Marilah sekalian berangkat pada waktu pagi.
Dijawab : Marilah, marilah. Diiring dengan gamelan, ketika gamelan berhenti, Togog, berkata kepada Bilung: Bilung, bagaimanakah ini?.
Tadi kata pemimpin saya diangkat sebagai pemimpin, tetapi yangan pula saya dapat memimpin hingga sampai ke negeri yang dituju, sekarang saja selalu terbelakang. Tetapi keduanya lalu menyusul juga.
Rombongan raksasa ini berjumpa dengan duta seorang raja, terjadilah tanya jawab maksud masing-masing dan karena bertentangan maka terjadi peperangan. Hal ini yang disebut perang gagal, yaitu perang yang tak ada hasilnya apa-apa, tidak ada yang mati, keduanya hanya bersimpang jalan.
BENTUK WAYANG
Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang), tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang. Kain slobog, (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan.
Dalam kultur Jawa, utamanya wayang purwa, ada tokoh ponokawan yang bernama Togog. Tokoh Togog ini mudah dikenali karena ada ciri khusus yang melekat pada organ biologisnya yaitu dengan mulut besar (melewati batas kewajaran mulut yang normal). Sebenarnya, nenek moyang dahulu telah memberi peringatan kepada anak cucu (generasi penerus) dengan simbol seperti Togog. Karena itu, Togog dapat dijadikan cermin kehidupan manusia zaman dahulu, sekarang, dan masa depan.
Tokoh ini sebagai pengasuh atau pengawal kesatria yang berkarakter jahat. Oleh karena itu, Togog selalu memberikan kritik dan saran kepada tuannnya untuk meniti jalan yang benar.
Pada umumnya, tokoh yang berkarakter jahat tidak punya hati (perasaan), tidak punya nurani, karena nurani telah mati, penglihatan telah buta, dan pendengaran menjadi tuli. Sementara yang ada dalam hati kesatria yang jahat adalah nafsu untuk berkuasa (politik) dan nafsu menguasai harta kekayaan (ekonomi-kapitalis). Untuk meraih kekuasaan dan sumber ekonomi ditempuh dengan berbagai jalan yang licik dan mengabaikan faktor moral etik. Akibatnya, dalam masyarakat akan terjadi chaos (kacau) banyak perbuatan makar, kenakalan, korupsi, narkotika, kekrasan, penipuan, pembalakan hutan, dan sebagainya. Hal itu disebabkan oleh watak (karakter) tamak, rakus terhadap kekuasaan dan materi, seolah-olah jagat mau diemperi (dunia akan diberi teras).
Karakter yang tidak puas secara politik dan secara ekonomi itulah yang digambarkan seperti Togog yang mempunyai mulut besar untuk menelan jagat (bumi) ini. Ketika Togog terlalu bernafsu menelan jagat seisinya, dia tidak sadar bahwa perilakunya itu adalah perilaku yang tidak wajar dan merugikan banyak orang.
Dengan mengingat tokoh pewayangan yang bernama Togog, ada kemiripan dengan istilah “Thugocracy” yang dipakai oleh Emmanual Subangun (Kompas, 27 Februari, 2010) untuk mendeskripsikan sebuah demokarasi yang bergerak menjadi premanisme, karena di dalam praktik demokrasi meng abaikan moral, etika, dan kesantunan.
Nama tokoh Togog dalam pewayangan Jawa yang sudah berabad-abad lamanya, ada paralenyal dengan kosa kata thogho dalam bahasa Arab. Hal ini terekam dalam azhab ila fir ‘auna innahu thogho; faammaa man thogho (QS, 79: 17, 37). Arti kata thogho adalah melampaui batas.
Dalam kitab suci tersebut untuk mendeskripsikan Raja Firaun dan pengikutnya yang memiliki watak jahat suka melampaui batas (thogho).
Dengan demikian, tokoh Togog dalam seni tradsi pewayangan Jawa terdapat cermin atau sebagai kaca brenggala setiap manusia agar perilakunya senantiasa berhati-hati tidak tamak, tidak rakus terhadap kekuasaan dan materi yang dapat berdampak negatif kepada bangsa dan negara. Jika sedang berkuasa jangan sampai berpaling ke arah thugocracy dan thogho (melampaui batas). Jangan sampai di antara kita ada yang menjadi Togog. (Tubiyono)
Sumber referensi :
- Wikipedia
- Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.
- Googling
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro