Ageman Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X
Ageman Jumenengan adalah busana yang dikenakan oleh calon raja Kraton Surakarta dan Yogyakarta dalam prosesi penobatan.
Busana jumenengan setiap Susuhunan atau Sultan memiliki pakem tertentu, namun pemilihannya disesuaikan dengan kehendak calon raja yang akan bertahta. Demikian juga Ageman Jumenengan Sri Sultan Hamengkubuwono X disiapkan dan disesuaikan dengan pilihan beliau.
Sri Sultan Hamengkubuwono X dinobatkan pada Selasa Wage 29 Rejeb Wawu 1921 atau 7 Maret 1989 Masehi. Pada hari itu, sekitar pukul 06.00 WIB, enam Abdi Dalem dari Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhomardowo telah siap di Kraton Kilen.
Enam Abdi Dalem tersebut mendapat dhawuh menyiapkan serta membantu calon Sultan mengenakan ageman untuk upacara penobatan.
Berikut ini adalah ageman yg dikenakan Sri Sultan Hamengkubuwono X di saat prosesi penobatan :
1. Bagian kepala/rambut.
Sultan mengenakan kuluk bareci atau wangkidan (di Kraton Surakarta dinamakan kuluk panunggul sekar gundho berwarna biru berhiasan lis warna emas).
Kuluk merupakan penutup kepala yang berbentuk kerucut terpancung.
Pada ukelan atau gelungan rambut yang berada di belakang kuluk, disematkan pethat (alias cunduk jungkat, hiasan rambut berwujud sisir) dan lancur, hiasan untuk rambut yang berasal dari bulu burung kuntul.
2. Busana atasan.
Sultan mengenakan rasukan pethak asto panjang alias kemeja putih lengan panjang yg diberi sematan bros di sisi atas lajur kancing.
Pada bagian luar busana ini, Sultan mengenakan rasukan Sikepan ageng lambe gajah bludiran berwarna hitam dengan bordiran benang emas yang disulam di sepanjang tepi kain dan punggung bagian atas.
Bludiran tersebut membentuk pola sekar (bunga), ron (daun), dan lung-lungan (sulur-sulur). Rasukan Sikepan ageng lambe gajah bludiran yang dikenakan Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah busana baru, namun dibuat menyerupai Ageman Jumenengan sang ayahanda : Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Sangsangan karset berhiaskan berlian renteng, atau perhiasan menyerupai rantai pengikat jam saku dikalungkan di leher dan disematkan di sisi sebelah kanan dekat pinggang.
3. Busana bawahan.
Sultan mengenakan lancingan cindhe atau celana panjang terbuat dari kain cindhe Patola dengan lis bordiran emas di bagian tepi bawah.
Cindhe Patola merupakan kain tenun bermotif khas yang berasal dari Gujarat India.
Di atas lancingan cindhe, Sultan mengenakan dodot kampuh ageng blumbangan, kain bermotif yang memiliki ukuran lebih besar dari kain pada umumnya.
Kampuh yang dipilih Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk penobatan bermotif batik Parang Rusak Barong, sementara pada blumbangan bagian tengah terbuat dari kain sutra motif jumputan hijau kebiruan (turqoise).
Motif Parang Rusak Barong merupakan induk dari semua motif batik Parang.
Motif Parang dalam kampuh yang dikenakan Sultan berukuran lebih dari 15 cm.
Sesuai pranatan di Kraton Yogyakarta, motif Parang Rusak Barong berukuran lebih dari 10 cm hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Panjang kampuh-nya kurang lebih 4,675 m dan lebar 3,175 m.
Sementara blumbangannya berukuran 3,69 m kali 2,215 m.
Kampuh tersebut merupakan warisan turun-temurun dari sultan sebelumnya.
Kain kampuh dipakai sedemikian rupa sehingga membentuk kunca serta kepuh.
Kunca merupakan ujung/pangkal kampuh yang menjuntai ke bawah, sedangkan kepuh adalah ujung satunya yang dipegang oleh Sultan dengan tangan kiri saat berjalan.
Di atas kampuh, setagen dililitkan untuk menguatkan kain, lalu ditambahkan ikat pinggang kain berupa lonthong dari cindhe dan kamus bludiran, sabuk bagian luar berkepala pengait yang disebut timang.
4. Alas kaki.
Cenelo atau selop adalah alas kaki yang bagian depannya tertutup seperti sepatu, sementara bagian belakangnya terbuka seperti sandal.
Cenelo yang dikenakan Sultan berwarna dasar hitam. Bagian depan cenelo yang menutupi jari kaki dipenuhi bordiran benang emas dan disulam mengelilingi ornamen ceplok batu berlian di sisi tengahnya.
5. Atribut.
Sebagai tanda legitimasi kedudukan Sultan adalah disematkannya bintang pusaka dan diselipkannya keris pusaka Kangjeng Kyai Ageng Kopek pada busana Sri Sultan Hamengkubuwono X pada saat kenaikan tahta menjadi Sultan Kasultanan Yogyakarta.
Yang diperkenankan menyelipkan K.K. Ageng Kopek saat itu adalah K.P.H. Wasesonegoro, leluhurnya mbak Inong Puteri Wasesonegoro dan yang diperkenankan menyematkan bintang adalah Panembahan Purboyo.
Keris Kangjeng Kyai Ageng Kopek.
Sesuai paugeran Kraton, Yogyakarta, begitu Sultan baru bertakhta, pusaka keris yang dikenakannya adalah Kangjeng Kyai Ageng Kopek.
Kangjeng Kyai Ageng Kopek adalah keris peninggalan Sunan Kalijaga.
Keris itu diberikan oleh Pakubuwono III pada 15 Februari 1755 di Lebak, Jatisari, dua hari setelah perjanjian Giyanti.
Di Lebak itu, Pakubuwono III dan HB I untuk pertama kalinya bertemu.
Karena saat penandatanganan perjanjian Giyanti, hanya dihadiri oleh perwakilan HB I dan pihak VOC, Nicolaas Hartingh, W van Ossenberch dan JJ Steenmulder.
Pemberian keris Kopek menjadi simbol pengakuan bahwa HB I mendapatkan separuh Mataram, dan pengakuan HB I sebagai Raja.
Kangjeng Kyai Ageng Kopek merupakan atribut atau simbol atas peran Sultan sebagai pemimpin spiritual dan kerajaan atau negara.
Keris dengan gelar Kangjeng Kyai adalah pusaka-pusaka yang memiliki kedudukan tertinggi karena jasa-jasanya sebagai senjata utama Sultan. Kangjeng Kyai Kopek itu dipakai sejak HB I hingga HB X.
Pusaka ini selalu menyertai Raja, semenjak keberadaan Belanda hingga Mataram bersatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia mengusir pemerintah kolonial Belanda.
Usia Kangjeng Kyai Kopek sudah ratusan tahun.
Sunan Kalijaga mendapatkannya dari Syeh Jumadil Kubro, Sultan HB I dinilai memiliki kemampuan ngudari Kalimasada.
Kalimasada berasal kata Kalimahosaddha (serat jamus), sebuah pusaka utama dalam dunia pewayangan yang dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa.
Dengan ngudari kalimasada, Sunan Kalijaga menjadikannya sebagai sarana untuk berdakwah.
Bintang pusaka.
Pada setiap kenaikan tahta Sultan disematkan bintang pusaka di dada sebagai bukti pewaris Kerajaan Mataram.
Bintang pusaka ini pertama kali dipakai Sultan HB IV.
Bintang bersudut delapan Terbuat dari intan berlian berlatarbelakang logo Kraton Yogyakarta dlm huruf Jawa yg berbunyo Ho Bo (Hamengku Buwono). Hanya Raja yang boleh mengenakan bintang pusaka tersebut.
Ageman Jumenengan merupakan salah satu busana upacara adat yang istimewa.
Selain menjadi identitas penguasa saat perhelatan besar kerajaan, busana ini dikenakan sebagai penanda perubahan status dari seorang calon raja menjadi raja yang sah di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Foto-foto dokumentasi acara jumenengan waktu itu :
Imajiner Nuswantoro