Sultan Agung Raja Mataram yang Berjasa Besar dalam Sejarah Jawa Dan Perlawanannya Melawan JP Coen
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja terbesar Kesultanan Mataram yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645. Selama masa pemerintahannya, Sultan Agung berhasil membawa Mataram menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan berjasa besar dalam pengembangan budaya Jawa.
Sultan Agung lahir pada tahun 1593 dengan nama Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Panembahan Senopati, raja pertama Kesultanan Mataram. Sedangkan ibunya adalah Ratu Mas Adi Dyah Handayani, putri dari Ki Gede Pemanahan, pendiri Kesultanan Mataram. Sultan Agung memiliki dua orang istri, yaitu Ratu Wetan dan Ratu Kidul.
Dalam memimpin Kesultanan Mataram, Sultan Agung menunjukkan kecakapannya sebagai seorang pemimpin militer dan politik. Ia berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Pajang, Surabaya, dan Kediri. Sultan Agung juga melakukan ekspansi wilayah ke Kalimantan dan Sulawesi. Selain itu, ia juga berhasil mengusir penjajah Belanda dari Batavia.
Sultan Agung
Raja besar Kesultanan Mataram.
Nama lengkap: Sultan Agung Hanyokrokusumo
Masa pemerintahan: 1613-1645
Ibu kota: Kerta
Agama: Islam
Istri: Ratu Wetan dan Ratu Kidul
Anak: Amangkurat I
Meninggal: 1645
Sultan Agung dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan berjasa besar dalam pengembangan budaya Jawa.
Nama lengkap: Sultan Agung Hanyokrokusumo
Nama lengkap Sultan Agung adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo. Nama “Agung” diberikan kepadanya karena ia dianggap sebagai raja yang agung dan berjasa besar bagi Kesultanan Mataram. Gelar “Hanyokrokusumo” diberikan kepadanya setelah ia berhasil menaklukkan Kerajaan Pajang.
Sultan
Gelar yang diberikan kepada raja-raja Kesultanan Mataram.
Agung
Berarti “besar” atau “agung”. Gelar ini diberikan kepada Sultan Agung karena ia dianggap sebagai raja yang agung dan berjasa besar bagi Kesultanan Mataram.
Hanyokrokusumo
Gelar yang diberikan kepada Sultan Agung setelah ia berhasil menaklukkan Kerajaan Pajang. Gelar ini berasal dari kata “hanyokro” yang berarti “emas” dan “kusumo” yang berarti “bunga”. Gelar ini melambangkan kejayaan dan keagungan Sultan Agung.
Nama kecil: Raden Mas Rangsang
Nama kecil Sultan Agung adalah Raden Mas Rangsang. Nama ini diberikan kepadanya karena ia lahir pada saat terjadi gempa bumi.
Nama lengkap Sultan Agung mencerminkan kebesaran dan kejayaan Kesultanan Mataram pada masa pemerintahannya.
Masa pemerintahan: 1613-1645
Sultan Agung memerintah Kesultanan Mataram selama 32 tahun, dari tahun 1613 hingga 1645. Masa pemerintahannya ditandai dengan berbagai pencapaian besar, baik di bidang militer, politik, maupun budaya.
Di bidang militer, Sultan Agung berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Pajang, Surabaya, dan Kediri. Ia juga melakukan ekspansi wilayah ke Kalimantan dan Sulawesi. Selain itu, ia juga berhasil mengusir penjajah Belanda dari Batavia.
Di bidang politik, Sultan Agung menjalankan pemerintahan yang kuat dan terpusat. Ia juga melakukan reformasi pemerintahan dengan membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi beberapa kadipaten dan kabupaten. Sultan Agung juga menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.
Di bidang budaya, Sultan Agung memberikan perhatian besar terhadap pengembangan budaya Jawa. Ia memerintahkan penyusunan berbagai karya sastra, seperti Serat Centhini dan Babad Tanah Jawi. Ia juga membangun keraton baru di Kerta, yang menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan Kesultanan Mataram.
Masa pemerintahan Sultan Agung merupakan masa keemasan Kesultanan Mataram. Ia berhasil membawa Mataram menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara. Ia juga dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan berjasa besar dalam pengembangan budaya Jawa.
Ibu kota: Kerta
Ibu kota Kesultanan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung adalah Kerta. Kerta terletak di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kota ini dibangun oleh Sultan Agung pada tahun 1625 sebagai pengganti ibu kota lama, Pajang.
Kerta merupakan kota yang besar dan megah. Kota ini dikelilingi oleh tembok tinggi dan memiliki beberapa pintu gerbang. Di dalam kota, terdapat keraton, masjid, alun-alun, dan pasar. Keraton Kerta merupakan istana Sultan Agung dan keluarganya. Masjid Kerta merupakan masjid terbesar di Kesultanan Mataram. Alun-alun Kerta merupakan tempat upacara dan kegiatan publik. Pasar Kerta merupakan pusat perdagangan di Kesultanan Mataram.
Kerta menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan Kesultanan Mataram. Kota ini juga menjadi pusat perdagangan dan ekonomi. Kerta merupakan kota yang ramai dan kosmopolitan. Di kota ini, berbagai suku bangsa dan agama hidup berdampingan secara damai.
Pada tahun 1645, Sultan Agung meninggal dunia. Setelah kematiannya, Kesultanan Mataram mengalami kemunduran. Kerta pun ditinggalkan dan ibu kota Kesultanan Mataram dipindahkan ke Plered.
Agama: Islam
Sultan Agung adalah seorang Muslim yang taat. Ia menjalankan syariat Islam dengan baik dan memerintahkan rakyatnya untuk melakukan hal yang sama. Sultan Agung juga membangun banyak masjid dan pesantren di seluruh wilayah Kesultanan Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kesultanan Mataram menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa. Banyak ulama dan kyai terkenal yang tinggal di Kesultanan Mataram, seperti Syeikh Siti Jenar, Syeikh Lemah Abang, dan Sunan Giri. Mereka mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Mataram dan sekitarnya.
Sultan Agung juga dikenal sebagai pelindung para ulama dan kyai. Ia memberikan mereka tanah dan uang untuk membangun masjid dan pesantren. Sultan Agung juga sering berdiskusi dengan para ulama dan kyai tentang masalah-masalah agama dan pemerintahan.
Sultan Agung wafat pada tahun 1645. Setelah kematiannya, Kesultanan Mataram mengalami kemunduran. Namun, agama Islam tetap menjadi agama mayoritas di Kesultanan Mataram dan sekitarnya.
Istri: Ratu Wetan dan Ratu Kidul
Sultan Agung memiliki dua orang istri, yaitu Ratu Wetan dan Ratu Kidul.
Ratu Wetan
Ratu Wetan adalah istri pertama Sultan Agung. Ia merupakan putri dari Panembahan Rama, raja Pajang. Ratu Wetan menikah dengan Sultan Agung pada tahun 1613. Ia melahirkan seorang putra bernama Amangkurat I, yang kelak menjadi raja Kesultanan Mataram setelah Sultan Agung meninggal dunia.
Ratu Kidul
Ratu Kidul adalah istri kedua Sultan Agung. Ia merupakan seorang putri dari kerajaan jin yang berkuasa di Laut Selatan. Ratu Kidul menikah dengan Sultan Agung pada tahun 1625. Ia tidak memiliki anak dari pernikahannya dengan Sultan Agung.
Ratu Wetan dan Ratu Kidul hidup rukun dalam satu istana. Mereka saling menghormati dan mendukung Sultan Agung dalam menjalankan pemerintahan.
Anak: Amangkurat I
Sultan Agung memiliki seorang putra bernama Amangkurat I. Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dari istri pertama Sultan Agung, Ratu Wetan. Amangkurat I diangkat menjadi raja Kesultanan Mataram setelah Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645.
Amangkurat I memerintah Kesultanan Mataram selama 15 tahun, dari tahun 1645 hingga 1660. Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I menghadapi berbagai pemberontakan dari para bupati dan bangsawan Mataram. Pemberontakan-pemberontakan ini berhasil dipadamkan oleh Amangkurat I dengan bantuan para panglima perangnya.
Amangkurat I juga dikenal sebagai raja yang kejam dan bengis. Ia sering menghukum mati para pengkhianat dan pemberontak dengan cara yang sadis. Amangkurat I juga memindahkan ibu kota Kesultanan Mataram dari Kerta ke Plered.
Pada tahun 1660, Amangkurat I meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Amangkurat II.
Meninggal: 1645
Sultan Agung meninggal dunia pada tanggal 16 Februari 1645 di Kerta, ibu kota Kesultanan Mataram. Ia meninggal dunia pada usia 52 tahun.
Sakit
Sultan Agung meninggal dunia karena sakit. Ia menderita sakit selama beberapa bulan sebelum meninggal dunia.
Di makamkan di Imogiri
Sultan Agung dimakamkan di Imogiri, sebuah kompleks pemakaman raja-raja Mataram. Makam Sultan Agung terletak di puncak bukit, dengan pemandangan yang indah ke arah Gunung Merapi dan Gunung Lawu.
Digantikan oleh Amangkurat I
Setelah Sultan Agung meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya, Amangkurat I.
Masa berkabung
Setelah Sultan Agung meninggal dunia, seluruh Kesultanan Mataram berkabung. Rakyat Mataram sangat sedih atas meninggalnya raja mereka yang agung.
Sultan Agung adalah raja terbesar Kesultanan Mataram. Ia memerintah Mataram selama 32 tahun dan membawa Mataram menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara. Sultan Agung juga dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan berjasa besar dalam pengembangan budaya Jawa.
Sultan Agung Versus J.P. Coen.
Sultan Agung dan J.P. Coen adalah dua tokoh penting dalam sejarah Indonesia pada abad ke-17. Mereka adalah pemimpin dari dua kekuatan besar yang bersaing memperebutkan pengaruh dan kekayaan di Nusantara, yaitu Kesultanan Mataram dan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Hindia Belanda. Artikel ini akan membahas latar belakang, jalannya, dan dampak dari konflik antara Sultan Agung dan J.P. Coen.
Latar Belakang Konflik
Sultan Agung adalah raja ketiga Mataram yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645. Ia adalah seorang raja yang berwawasan luas, berani, dan religius. Ia bercita-cita untuk menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir kekuasaan asing dari Nusantara, khususnya VOC yang mendominasi perdagangan rempah-rempah. Ia juga berusaha mengembangkan agama Islam di Jawa dengan mendirikan masjid-masjid, pesantren-pesantren, dan mengirim utusan ke Mekkah.
J.P. Coen adalah Gubernur Jenderal VOC yang kedua (1619-1623) dan keempat (1627-1629). Ia adalah seorang administrator yang ambisius, handal, dan kejam. Ia bertekad untuk memperluas jaringan monopoli dagang VOC di Nusantara dengan mengalahkan pesaing-pesaingnya, baik dari Eropa maupun dari pribumi. Ia juga berencana untuk menjadikan VOC sebagai kekuatan politik dan militer yang dapat mengintervensi urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Konflik antara Mataram dan VOC dimulai pada tahun 1618, ketika VOC menyerang Jepara, salah satu pelabuhan penting Mataram yang menjadi pusat perdagangan internasional. Serangan ini membuat Sultan Agung marah dan membalas dengan menyerang pelabuhan-pelabuhan VOC di Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, dan Batavia.
Jalannya Konflik
Konflik antara Mataram dan VOC mencapai puncaknya pada tahun 1628 dan 1629, ketika Sultan Agung melakukan penyerbuan besar-besaran ke Batavia, pusat VOC di Jawa. Penyerbuan ini bertujuan untuk menghancurkan VOC secara total dan menjadikan Batavia sebagai pangkalan militer Mataram sebelum menyerang Banten, kerajaan saingan Mataram di Jawa Barat.
Penyerbuan pertama dilakukan pada bulan Juni 1628 dengan pasukan sekitar 10.000 orang yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso. Pasukan Mataram berhasil mendekati Batavia dan mengepung benteng VOC dari darat. Namun, pasukan Mataram tidak dapat menembus pertahanan VOC yang kuat dan modern. Selain itu, pasukan Mataram juga mengalami kesulitan logistik karena lumbung-lumbung beras mereka dibakar oleh kapal-kapal VOC. Akibatnya, pasukan Mataram terpaksa mundur pada bulan Agustus 1628.
Penyerbuan kedua dilakukan pada bulan Januari 1629 dengan pasukan sekitar 20.000 orang yang dipimpin oleh Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Pasukan Mataram kembali mengepung Batavia dari darat dengan lebih teratur dan disiplin. Mereka juga dibantu oleh pasukan Banten yang dipimpin oleh Dipati Ukur dan pasukan Cirebon yang dipimpin oleh Pangeran Martawijaya. Namun, penyerbuan ini juga gagal karena VOC berhasil mempertahankan bentengnya dengan gigih dan mendapat bantuan dari kapal-kapal perang Belanda. Selain itu, pasukan Mataram juga menderita akibat wabah penyakit yang menyebar di perkemahan mereka. Akhirnya, pasukan Mataram mundur pada bulan Oktober 1629.
Dampak Konflik
Konflik antara Sultan Agung dan J.P. Coen memiliki dampak yang besar bagi sejarah Indonesia. Dari segi politik, konflik ini menunjukkan bahwa Mataram adalah kerajaan pribumi terkuat yang mampu menantang VOC, meskipun tidak berhasil mengalahkannya. Konflik ini juga menandai awal dari perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan VOC dan Belanda yang berlangsung hingga abad ke-20.
Dari segi ekonomi, konflik ini mengakibatkan kerugian besar bagi kedua belah pihak. Mataram kehilangan banyak sumber daya manusia dan material dalam penyerbuan ke Batavia. VOC juga mengalami kerugian akibat terganggunya perdagangan dan produksi rempah-rempah di Jawa. Konflik ini juga mempengaruhi hubungan dagang antara VOC dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Banten, Cirebon, Makassar, dan Maluku.
Dari segi budaya, konflik ini menimbulkan perbedaan pandangan antara Sultan Agung dan J.P. Coen tentang Nusantara. Sultan Agung melihat Nusantara sebagai tanah air yang harus dipersatukan dan dibebaskan dari campur tangan asing. J.P. Coen melihat Nusantara sebagai sumber kekayaan yang harus dikuasai dan dieksploitasi oleh VOC. Pandangan-pandangan ini terus berpengaruh hingga masa kemerdekaan Indonesia.
Sumber Referensi :
Bing.com – Sultan Agung.
Informa – Sultan Agung Lampung.
Wikipedia bahasa Indonesia – Sultan Agung dari Mataram.
Kompas.com – “Biografi Sultan Agung, Penguasa Mataram yang Tangkas dan Cerdas.” https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/26/142305969/biografi-sultan-agung-penguasa-mataram-yang-tangkas-dan-cerdas.
detikcom – “Biografi Sultan Agung, Penguasa Mataram dan Masa Pemerintahannya.” https://www.detik.com/jateng/berita/d-6739987/biografi-sultan-agung-penguasa-mataram-dan-masa-pemerintahannya.
Wikipedia bahasa Indonesia – Jan Pieterszoon Coen.
Kompas.com – “Mengapa JP Coen Dianggap Peletak Dasar Penjajahan VOC di Indonesia?” https://www.kompas.com/stori/read/2021/08/20/150000479/mengapa-jp-coen-dianggap-peletak-dasar-penjajahan-voc-di-indonesia.
Wikipedia – Jan Pieterszoon Coen.
KASKUS – J.P Coen.
Donisaurus – VOC pada masa J.P Coen.
Wikipedia bahasa Indonesia – Penyerbuan ke Batavia.
Bing.com – Perang antara Mataram dan VOC.
Imajiner Nuswantoro