Sunan Bungkul / Ki Ageng Mahmuddin
(Ki Ageng Supo atau Mpu Supo)
Foto dokumentasi area masuk gapura dan makam Sunan Bungkul / Ki Ageng Mahmuddin (Ki Ageng Supo atau Mpu Supo) |
Sunan Bungkul atau yang memiliki nama asli Ki Ageng Supo atau Mpu Supo seorang bangsawan dari zaman Kerajaan Majapahit yang setelah memeluk Islam lalu ia menggunakan nama Ki Ageng Mahmuddin. Ia adalah salah satu penyebar agama Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.
Ia adalah mertua Sunan Ampel namun ada versi lain yang mengatakan bahwa beliau adalah mertua Raden Paku atau yang lebih dikenal dengan Sunan Giri. Beliau diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481 M.
Ki Ageng Supa mempunyai puteri bernama Dewi Wardah. Makam beliau berada tepat di belakang Taman Bungkul Surabaya.
Makam sunan bungkul waktu itu, sejarah akan terus berproses seiring waktu dan adanya bukti terbaru.
Sunan Bungkul (Ki Ageng Supo atau Mpu Supo)
Sunan Bungkul atau yang memiliki nama asli Ki Ageng Supo atau Mpu Supo seorang bangsawan dari zaman Kerajaan Majapahit yang setelah memeluk Islam lalu ia menggunakan nama Ki Ageng Mahmuddin. Ia adalah salah satu penyebar agama Islam di akhir kejayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Ia adalah mertua Sunan Ampel namun ada versi lain yang mengatakan bahwa beliau adalah mertua Raden Paku atau yang lebih dikenal dengan Sunan Giri. Beliau diperkirakan hidup di masa Sunan Ampel pada 1400-1481 M. Ki Ageng Supa mempunyai puteri bernama Dewi Wardah. Makam beliau berada tepat di belakang Taman Bungkul Surabaya.
Legenda Cerita Masyarakat
Ada suatu cerita masyarakat yang beredar tentang Ki Ageng Supa. Beliau ingin menikahkan puterii semata wayangnya. Namun ia belum mendapatkan sosok lelaki yang sesuai. Lalu beliau membuat sayembara, barangsiapa laki-laki yang dapat memetik delima yang tumbuh di kebunnya akan dijodohkan dengan putri Ki Ageng Supa yang bernama Dewi Wardah.Sudah banyak orang laki-laki yang mencoba mengikuti sayembara itu, namun belum ada yang berhasil memetik buah delima yang dimaksud. Bahkan sebagian dari mereka ketika memanjat berusaha untuk mengambil buah delima mereka jatuh dan berakhir dengan kematian.Pada suatu hari Raden Paku atau yang dikenal dengan Sunan Giri berjalan melewati pekarangan Ki Ageng Supo di mana terdapat pohon delima yang dimaksud itu, sesampai di bawah pohon delima tiba-tiba sebuah buah pohon delima itu jatuh di depan Raden Paku. Kemudian Raden Paku menyerahkan buah Delima tersebut kepada Sunan Ampel, gurunya di pesantren
Sunan Ampel berkata kepad Raden Paku “Berbahagialah engkau, karena sebentar lagi engkau akan diambil menantu oleh Ki Ageng Supo. Engkau akan dijodohkan dengan putri beliau yang bernama Dewi Wardah”“Kanjeng Sunan, saya tidak mengerti apa maksud Kanjeng Sunan, bukankah sebentar lagi saya akan menikah dengan putri kanjeng Sunan”
Agaknya ini sudah menjadi suratan takdir bahwa engkau akan mempunyai dua orang istri, putriku Dewi Murtosiah dan putri Ki Ageng Supo, Dewi Wardah”. Kemudian Sunan Ampel menceritakan perihal sayembara yang telah dibuat Ki Ageng Supo. Raden Paku mengangguk-angguk mendengar cerita Sunan Ampel.
Ada cerita dengan versi lain. Bahwa Ki Ageng Supo sengaja memetik buah Delima dan menghanyutkan ke sungai. Buah delima itu dihanyutkan ke Sungai Kalimas yang mengalir ke utara. Alur air sungai ini bercabang di Ngemplak menjadi dua. Percabangan sebelah kiri menuju Ujung dan sebelah kanan menuju kali Pegirikan. Buah delima itu terapung dan hanyut ke kanan. Suatu pagi seorang santri Sunan Ampel yang mandi di Pegirikan Desa Ngampeldenta, menemukan delima itu.Sang santri (Raden Paku) pun menyerahkannya ke Sunan Ampel. Oleh Sunan Ampel delima itu disimpan. Besoknya, Supa menelusuri bantaran Kalimas. Sesampainya di pinggiran, ia melihat banyak santri mandi di sungai. Ki Ageng Supa, yakin di sinilah buah delima itu ditemukan oleh salah satu diantara para santri tersebut. Apakah ada yang menemukan delima, tanya Supa setelah bertemu Sunan Ampel. Raden Paku, murid Sunan Ampel dipanggil dan mengaku. Singkat cerita Raden Paku dinikahkan dengan anak Ki Ageng Supa, Dewi Wardah.
Ki Ageng Supo akhirnya memperoleh mantu seorang santri dari Ampeldenta yakni Raden Paku. Sedangkan Raden Paku pada akhirnya menikahi dua orang putri Dewi Murtosiah, putri Sunan Ampel dan Dewi Wardah putri Ki Ageng Supo.
Menurut legenda Ki Ageng Mahmuddin atau yang umumnya dikenal sebagai Mbah Bungkul merupakan penguasa muslim salah satu daerah di Surabaya pada abad ke-14 Masehi.
Dalam legenda tidak diketahui dengan jelas bagaimana kisah Mbah Bungkul memeluk islam dan bagaimana ia menyebarkan ajaran islam di Surabaya. Namun diketahui bahwa Mbah Bungkul mengadakan sebuah sayembara untuk mencari menantu dengan melarung buah delima.
Saat sayembara, akhirnya larung delima itu didapatkan oleh Raden Paku atau Sunan Giri, yang merupakan tokoh Wali Songo paling terkenal. Legenda lain juga menyebutkan bahwa Mbah Bungkul berkaitan dengan tokoh Empu Supo yang dalam tradisi legenda dikenal sebagai pembuat pusaka.
Jika melihat para komunitas Empu pembuat keris dan pusaka yang masih ada saat ini, mereka banyak mengisbatkan ajarannya berasal dari Empu Supo.
Namun hampir seluruh daerah pesisir utara Jawa Timur menyebutkan adanya makam Empu Supo di daerahnya, seperti Lamongan dan Tuban. Sehingga belum jelas kebenaran terkait Mbah Bungkul dan Empu Supo sebagai orang yang sama.
Dalam Prasasti Trowulan atau Canggu yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk meriwayatkan beberapa desa yang mendapat keistimewaan bebas pajak, mendapat akses ke kerajaan, serta bebas melaksanakan ibadah. Desa-desa itu terletak di daerah aliran sungai besar Jawa Timur, seperti Brantas dan Bengawan Solo.
Diketahui pula desa-desa tersebut melaksanakan ibadah 5 waktu. Hal itu mengindikasikan bahwa islam sudah ada di daerah Bungkul sejak masa kejayaan Majapahit pada kekuasaan Hayam Wuruk.
Ki Ageng Bungkul sebagai penguasa punya peran istimewa sehingga bisa mendapatkan privilege pada masa kejayaan majapahit.
Pada masa itu, letak geografis Bungkul yang strategis dan dekat dengan aliran sungai memicu berbagai keuntungan. Dari sisi ekonomi, sebelum dibangunnya jalur darat oleh Daendels, sungai merupakan kawasan strategis ekonomi karena menjadi jalur utama aktivitas perdagangan.
Secara religi, daerah Bungkul sangat strategis dalam persebaran ajaran islam, hal itu bisa dilihat dari keberadaan legenda yang menyebutnya sebagai mertua Sunan Giri, serta adanya makam Adipati dan Demang dalam kompleks makam Mbah Bungkul tersebut.
Bahwa mempelajari sejarah merupakan hal yang penting. Dengan mempelajari islamisasi yang terjadi di masa lalu, insyaallah kita bisa mengambil hikmah agar terhindar dari anakronisme sejarah.
Islam tidak datang begitu saja secara masif dan mengganti seluruh agama di Indonesia, tetapi melalui proses panjang yang dilakukan sejak zaman kerajaan Majapahit.
Betapa sentral Walisongo dan ajarannya menyebarkan islam sehingga bisa menjadi agama yang dominan hingga hari ini.
Imajiner Nuswantoro