KISAH Pandawa Dadu
(KISAH PANDAWA BUANG)
Kisah
ini menceritakan tentang permainan dadu antara para Kurawa yang diwakili Patih
Sangkuni melawan para Pandawa, sehingga Pandawa harus menjalani hukuman buang
selama tiga belas tahun. Kisah ini merupakan cikal-bakal Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang
dipadukan dengan rekaman lakon Pandawa Dadu yang dimainkan Ki Manteb
Soedharsono, dengan perubahan seperlunya.
SEKILAS KISAH Pandawa Dadu
Setelah
Pandawa membangun istana, banyak orang-orang Astina yang pindah kenegeri baru
yang bernama Amarta atau Indraprasta. Rakyat makmur, pertanian maju perdagangan
lancar, murah sandang murah pangan.
Prabu
Suyudana dan saudara saudaranya yang seratus itupun telah datang ke
Indraprasta.Dengan diantar Prabu Pundewa dan Prabu Kresna, mereka
berputar-putar melihat keindahan dan keajaiban Istana Indraprasta.
Setelah
melihat Istana Indraprasta Para Kurawa menjadi iri hati dan menjadikan mereka
ingin memiliki Istana Indraprasta. Kurawa bermaksud mencelakai Pandawa untuk
yang kesekian kalinya. Iri dengan keindahan Indraprasta, dengki andaikata Para
Pandawa mendapatkan sebagian Astinapura, dan dengki andaikata Pandawa menguasai
Astinapura, maka Kurawa ingin membuang Pandawa untuk selama-lamanya. Salah satu cara dengan mengajak Pan dawa main
dadu. Perlu kita ketahui, Prabu Puntadewa sejak kecil suka main dadu.
Pada
suatu hari yang naas bagi Pandawa, lewat kurir Kerajaan Astina, Patih Sengkuni mengundang Para Pandawa, ke Astina.
Dengan alasan untuk memperat tali persa udaraan antara Keluarga Pandawa dan
keluarga Kurawa.
Pandawapun
hadir di Istana Astinapura. Pandawa lima dan Dewi Drupadi. Para Pandawa
disuguhkan berbagai hidangan bermacam
macam makanan dan minuman, yang semuanya teramat lezat dengan memper gunakan
resep resep baru, yang belum pernah tersentuh oleh juru masak manapun.
Selesai
acara bersantap dan melihat tari tarian yang memukau dan memikat, Patih
Sengkuni mengajak Prabu Punta Dewa main dadu. Prabu Punta Dewa menerima tawaran
Patih Sengkuni. Pada mulanya Patih Sengkuni menawarkan taruhan sekedarnya saja.
Untuk menyenangkan hati Pandawa, Patih Sengkuni yang memimpin permainan,
beberapa kali memberikan kemenangan kepada para Pandawa.Pandawa merasa senang
dengan permainan dadu, mereka sangat menikmati.
Akhirnya
Patih Sengkuni meminta agar taruhan ditingkatkan jumlahnya.
Mula-mula
Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan
harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis
dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira
mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia
mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap
ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan,
Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya
senang. Berturut-turut Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun
mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu
Harta,
istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik
Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan
dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik
Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan
Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya,
yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka
semua membisu karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana
mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan
Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para
pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di
tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi.
Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi.
Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki
rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik
sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
Dengan
menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau
di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian
banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang
asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti
Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para
orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena
tersinggung dan malu.
Wikarna,
salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata,
"Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak
ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi
hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena
terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan
Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan
Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!"
Para
hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna
tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh
keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada
kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak
sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau
semua?
Mendengar
perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan
seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun
hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai
Dropadi. Dropadi berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna
mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna
mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak
mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan
usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna
disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat
upacara Rajasuya di Indraprastha.
Melihat
perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia
akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah,
terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi.
Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia
segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra
berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu
yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah
saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke
Indraprastha".
Setelah
mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri.
Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta
Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena
Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali
lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar
memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya
adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan
setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus
menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke
istana.
Sebagai
kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya
tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka
Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa
pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah
masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh
kerajaannya.
PRABU DURYUDANA SAKIT HATI SETELAH PULANG DARI INDRAPRASTA
Di
Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dihadap Danghyang Druna,
Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma. Hari itu Prabu Duryudana
tampak sangat marah. Ia masih sakit hati karena dua hal. Yang pertama, ia
sangat iri melihat keindahan istana Indraprasta milik para Pandawa yang konon
dibangun dengan bantuan Batara Wiswakarma dan Asura Maya. Yang kedua, ia sakit
hati karena dihina dan dipermalukan Dewi Drupadi, istri Maharaja Yudistira.
Saat
itu sesudah upacara Sesaji Rajasuya berakhir, Prabu Duryudana berjalan-jalan
untuk mengamati keindahan istana Indraprasta. Muncul panakawan Petruk yang
mengingatkan bahwa di depan ada kolam air. Namun, yang dilihat Prabu Duryudana
di depan adalah hamparan permadani. Ia menuduh Petruk sengaja mempermainkannya.
Prabu Duryudana terus saja melangkah dan dirinya pun tercebur ke dalam kolam
yang dilihatnya sebagai permadani itu. Tiba-tiba Dewi Drupadi muncul dan
menghina Prabu Duryudana tidak bisa melihat seperti ayahnya.
Prabu
Duryudana sangat marah atas penghinaan ini. Ia pulang ke Kerajaan Hastina,
tidak enak makan, tidak enak tidur. Sejak kecil ia selalu merasa sial karena
memiliki orang tua yang tunanetra, dan kini kesialannya itu diungkit-ungkit
oleh seorang wanita. Andai saja yang menghinanya seorang laki-laki, pasti sudah
ia labrak saat itu juga.
Adipati
Karna menanggapi cerita tersebut dengan penuh kemarahan. Sebagai senapati
Kerajaan Hastina, ia merasa berdosa jika tidak bisa menghukum penghina rajanya.
Maka, Adipati Karna pun mohon izin untuk menggempur Kerajaan Amarta saat ini
juga. Ia tidak akan kembali jika belum memenggal kepala Dewi Drupadi dan
Pandawa Lima, meskipun mereka adalah adik-adiknya sendiri. Patih Sangkuni tidak
setuju. Ia punya usulan lain, yaitu penghinaan harus dibalas dengan penghinaan,
bukan dengan jalan peperangan.
Prabu
Duryudana tertarik pada usulan Patih Sangkuni. Ia ingin melihat para Pandawa
dan Dewi Drupadi dihina habis-habisan untuk melampiaskan sakit hatinya. Patih
Sangkuni berkata bahwa, ia pernah mengajak Maharaja Yudistira semasa muda
bermain dadu. Saat itu terlihat bahwa Maharaja Yudistira sangat menyukai
permainan ini. Maka, Patih Sangkuni pun mengusulkan agar Prabu Duryudana
mengundang Maharaja Yudistira untuk bermain dadu lagi, pasti tidak akan
ditolak. Melalui permainan dadu nanti, Prabu Duryudana bisa merebut Kerajaan
Amarta beserta istana Indraprasta dan mempermalukan para Pandawa beserta Dewi
Drupadi.
Prabu
Duryudana tidak yakin apa benar cara tersebut bisa digunakan untuk mengalahkan
para Pandawa. Patih Sangkuni bercerita bahwa dirinya pernah belajar ilmu sihir.
Memenangkan permainan dadu adalah perkara mudah baginya. Apalagi dadu yang ia
pakai berasal dari tulang ayahnya sendiri, yaitu mendiang Prabu Suwala. Patih
Sangkuni juga telah mengadakan upacara memanggil roh ayahnya agar masuk bersatu
di dalam dadu tersebut.
Danghyang
Druna ngeri mendengar rencana Patih Sangkuni. Ia menyarankan Patih Sangkuni
agar membatalkan rencana tersebut, karena mempermalukan para Pandawa melalui
perjuadian adalah tindakan licik dan tidak kesatria. Patih Sangkuni balas
mengatakan bahwa ini lebih baik daripada menempuh jalur peperangan. Jika
menggunakan permainan dadu, maka tidak perlu sampai jatuh korban jiwa. Lagipula
jika sampai terjadi perang seperti yang diusulkan Adipati Karna, maka Danghyang
Druna akan kehilangan murid, entah itu yang mati para Pandawa ataukah para
Kurawa.
Prabu
Duryudana berkata bahwa dirinya sudah memutuskan untuk menyetujui usulan Patih
Sangkuni, yaitu mengajak para Pandawa bermain dadu. Danghyang Druna dan Adipati
Karna boleh tidak setuju, tetapi mereka harus tetap mematuhi karena raja sudah
memutuskan demikian. Prabu Duryudana juga meminta agar permainan dadu nanti
disaksikan para sesepuh Kerajaan Hastina, yaitu Resiwara Bisma, Prabusepuh
Dretarastra, Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa. Pokoknya para Pandawa dan Dewi
Drupadi harus dipermalukan di hadapan mereka semua.
Danghyang
Druna mengingatkan bahwa para Pandawa memiliki penasihat agung, yaitu Prabu
Batara Kresna. Bagaimana jika sampai ia menghalangi permainan dadu nanti? Patih
Sangkuni menjawab, mengenai Prabu Kresna adalah urusan Danghyang Druna. Prabu
Duryudana membenarkan ucapan Patih Sangkuni. Ia meminta Danghyang Druna agar
mengerahkan murid-muridnya untuk mengalihkan perhatian Batara Kresna agar tidak
mengganggu permainan dadu nanti. Danghyang Druna yang dalam hati tidak setuju
terpaksa mematuhi perintah ini.
Setelah
dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan. Patih Sangkuni dan
Danghyang Druna lalu berbagi tugas untuk keberalangsungan acara permainan dadu
nanti.
DANGHYANG DRUNA MENGERAHKAN MURID-MURIDNYA
Di
paseban luar, Danghyang Druna memanggil murid-muridnya agar maju mendekat.
Mereka adalah para raja bekas pengikut Prabu Jarasanda yang bernama Prabu
Wiruka, Prabu Wisaka, Prabu Reksaka, Prabu Jayakurda, dan Prabu Surakesti.
Setelah Prabu Jarasanda gugur, kelima raja itu menjadi sekutu Prabu Duryudana
di Kerajaan Hastina, serta berguru kepada Danghyang Druna. Kali ini Danghyang
Druna meminta bayaran atas pelajaran yang ia berikan, di mana mereka harus
berangkat menyerang Kerajaan Dwarawati.
Prabu
Wiruka dan kawan-kawan bersenang hati karena ini adalah peluang bagi mereka
untuk membalaskan kematian Prabu Jarasanda, Prabu Sisupala, Prabu Hamsa, dan
Prabu Dimbaka. Mereka lalu mohon pamit dan mohon restu kepada Danghyang Druna,
kemudian berangkat menuju Kerajaan Dwarawati.
KERAJAAN DWARAWATI DIKEPUNG MUSUH
Di
Kerajaan Dwarawati, Prabu Batara Kresna dihadap Raden Setyaka, Arya Setyaki,
dan Patih Udawa. Hadir pula dua putra lainnya yang telah memiliki negeri
sendiri, yaitu Adipati Partajumena dan Patih Saranadewa. Setelah meninggalnya
Raden Samba, seharusnya yang menjadi pangeran mahkota adalah Raden Partajumena.
Namun, Raden Partajumena menolak karena ingin hidup mandiri membangun negeri
sendiri. Ia pun berhasil mendirikan sebuah kerajaan kecil yang diberi nama
Dadapaksi. Adik kandungnya yang berparas raksasa, yaitu Raden Saranadewa
dijadikan sebagai patih, sedangkan dirinya memakai gelar adipati, dan tetap
mengakui Kerajaan Dwarawati sebagai atasan.
Demikianlah,
karena Adipati Partajumena telah memiliki negeri sendiri, maka hari ini Prabu
Batara Kresna melantik putra bungsunya, yaitu Raden Setyaka sebagai pangeran
mahota Kerajaan Dwarawati. Pelantikan ini juga disaksikan oleh Prabu Baladewa
yang datang berkunjung dari Kerajaan Mandura.
Prabu
Kresna kemudian berbicara kepada Prabu Baladewa, Arya Setyaki, dan yang lain,
bahwa tadi malam dirinya bermimpi melihat Kerajaan Amarta diterjang banjir
bandang (tsunami) yang menenggelamkan kelima Pandawa dan Dewi Drupadi. Namun,
mereka kemudian berhasil muncul kembali ke permukaan. Prabu Kresna mendapat
firasat bahwa para Pandawa akan mendapat musibah besar, namun mampu untuk
bertahan. Untuk itu, ia berniat mengunjungi mereka di Kerajaan Amarta.
Tiba-tiba
ada laporan bahwa Kerajaan Dwarawati diserang musuh dari segala penjuru. Mereka
adalah para raja yang berniat membalas dendam atas kematian Prabu Jarasanda
raja Magada. Prabu Kresna segera memerintahkan Arya Setyaki untuk memimpin
pasukan menghadapi serangan tersebut. Prabu Baladewa tanpa diminta langsung
memerintahkan pasukan Mandura untuk membantu.
Maka,
terjadilah pertempuran di Kerajaan Dwarawati. Gabungan pasukan Dwarawati dan
Mandura bertempur menghadapi pasukan lima raja yang dikirim Danghyang Druna.
Untuk sementara, Prabu Kresna harus menunda keberangkatannya menuju Kerajaan
Amarta.
ADIPATI YAMAWIDURA MEMBAWA UNDANGAN KE KERAJAAN AMARTA
Sementara
itu di Kerajaan Amarta, Maharaja Yudistira dan adik-adiknya menerima kunjungan
Adipati Yamawidura dari Pagombakan. Kedatangan sang paman adalah untuk
menyampaikan surat dari Prabusepuh Dretarastra, yang mengundang Maharaja
Yudistira dan permaisuri Dewi Drupadi beserta keempat Pandawa lainnya untuk
menghadiri acara permainan dadu dalam rangka syukuran hari kelahiran Prabu
Duryudana di Kerajaan Hastina. Maharaja Yudistira menerima undangan tersebut
dengan senang hati dan menyatakan bersedia untuk datang.
Arya
Wrekodara heran mengapa Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran hari
kelahiran, bukankah hari kelahiran antara dirinya dengan Prabu Duryudana hanya
selisih satu hari saja, dan seharusnya itu sudah lewat? Maharaja Yudistira
melarang Arya Wrekodara berburuk sangka. Ia pun bercerita tentang kisah
kelahiran mereka. Kala itu Dewi Gandari istri Prabu Dretarastra sudah lebih
dulu mengandung, namun sampai dua tahun belum juga melahirkan. Dewi Kunti yang
mengandung belakangan ternyata lebih dulu melahirkan Maharaja Yudistira. Konon
Dewi Gandari sangat marah karena didahului dan ia pun memukuli perutnya sendiri
supaya si janin segera lahir. Ternyata yang keluar dari kandungannya bukan
bayi, melainkan segumpal daging hidup. Bagawan Abyasa datang dan memecah daging
tersebut menjadi seratus potong, lalu memasukkannya masing-masing ke dalam
kuali.
Beberapa
waktu kemudian, Dewi Kunti melahirkan Arya Wrekodara dalam keadaan terbungkus.
Esok harinya, salah satu pecahan daging yang dilahirkan Dewi Gandari berubah
menjadi bayi normal, yaitu Prabu Duryudana. Jadi, memang benar bayi Prabu
Duryudana keluar dari kuali selisih sehari dengan lahirnya Arya Wrekodara,
namun kelahirannya ke dunia dalam wujud daging hidup adalah sesudah lahirnya
Maharaja Yudistira. Mungkin yang akan dirayakan Prabu Duryudana adalah
kelahirannya yang pertama tersebut. Maka itu, Maharaja Yudistira melarang Arya
Wrekodara berburuk sangka, apalagi yang mengundang mereka adalah Prabusepuh
Dretarastra.
Raden
Arjuna ikut bicara. Ia mengingatkan Maharaja Yudistira atas peristiwa Balai
Sigala-gala. Saat itu Prabu Dretarastra telah diperalat Prabu Duryudana dan
Patih Sangkuni untuk mencelakakan para Pandawa. Prabu Dretarastra adalah orang
yang memerintahkan para Pandawa dan Dewi Kunti untuk bermalam di Balai
Sigala-gala yang kemudian dibakar. Untungnya, Adipati Yamawidura telah memohon
bantuan kepada sang mertua, yaitu Resi Landakseta untuk membuatkan terowongan
bawah tanah, sehingga para Pandawa dan sang ibu bisa selamat. Apalagi kali ini
undangannya adalah bermain dadu, tentunya penuh dengan rekayasa dan tipu
muslihat di dalamnya.
Adipati
Yamawidura membenarkan ucapan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna. Dirinya mengaku
didesak oleh Prabusepuh Dretarastra untuk mengantarkan surat undangan ke
Kerajaan Amarta. Bagaimanapun juga para Pandawa dan Dewi Drupadi harus
menghadiri permainan dadu di acara syukuran tersebut. Sepertinya Adipati
Yamawidura sengaja dikirim agar para Pandawa segan menolak. Namun, hari ini ia
justru menasihati Maharaja Yudistira agar tidak menghadiri undangan
mencurigakan tersebut.
Maharaja
Yudistira menolak nasihat sang paman. Ia telah menyatakan dirinya akan
menghadiri undangan ini dan tidak akan menarik kembali ucapannya. Sama sekali
ia tidak pernah menaruh curiga kepada Prabusepuh Dretarastra yang sudah
dianggap sebagai pengganti ayah kandungnya. Dewi Drupadi sebagai istri juga
menyatakan ikut menemani, begitu pula si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna tidak tega kalau sampai mereka dicelakai para
Kurawa. Maka, keduanya pun menyatakan ikut berangkat.
Adipati
Yamawidura sudah hafal watak Maharaja Yudistira dan ia tidak bisa mencegah
lagi. Maka, mereka pun bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.
PRABU BATARA KRESNA MENYUSUL PARA PANDAWA
Berkat
bantuan Prabu Baladewa dan pasukan Mandura, akhirnya musuh yang mengepung
Kerajaan Dwarawati dapat ditumpas semuanya. Prabu Batara Kresna lalu mohon
pamit berangkat ke Kerajaan Amarta karena ia mendapat firasat buruk atas nasib
para Pandawa. Untuk sementara, Kerajaan Dwarawati dititipkan kepada Prabu
Baladewa dan Arya Setyaki.
Prabu
Kresna pun memacu kereta Jaladara hingga tiba di Kerajaan Amarta. Namun, di
sana ia tidak bertemu para Pandawa. Menurut keterangan Patih Tambakganggeng,
kelima Pandawa dan Dewi Drupadi telah dijemput Adipati Yamawidura untuk
bersama-sama berangkat menuju Kerajaan Hastina.
Mendengar
berita itu, Prabu Kresna segera memacu kereta untuk mengejar. Namun, ia
dihadang Batara Narada yang tiba-tiba turun dari angkasa. Batara Narada
mencegah Prabu Kresna ikut campur, karena ini menyangkut takdir yang harus
dijalani para Pandawa.
Prabu
Kresna heran takdir apa yang akan menimpa para Pandawa. Batara Narada
mengingatkan Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu, tentunya tidak perlu
ragu bahwa para Pandawa ditakdirkan menjadi kaum kesatria penumpas angkara
murka. Namun, mereka lebih dulu harus menjalani ujian dari Yang Mahakuasa demi
menguatkan hati dan mendewasakan jiwa. Ujian tersebut akan segera datang, dan
Prabu Kresna dilarang keras untuk menggagalkannya.
Prabu
Kresna memahami ucapan Batara Narada. Ia pun berjanji tidak akan membantu
Pandawa Lima, namun ia minta izin untuk mengawasi mereka. Batara Narada
mengizinkan Prabu Kresna boleh mengawasi, tapi tidak boleh membantu para
Pandawa sama sekali. Prabu Kresna berterima kasih, lalu mohon pamit melanjutkan
perjalanan.
MAHARAJA YUDISTIRA MENERIMA TANTANGAN BERMAIN DADU
Adipati
Yamawidura, Maharaja Yudistira, dan para Pandawa lainnya telah tiba di Kerajaan
Hastina, sedangkan Dewi Drupadi masuk ke dalam kamar tamu karena sedang datang
bulan. Mereka pun disambut oleh Prabu Duryudana yang didampingi Prabusepuh
Dretarastra dan Patih Sangkuni. Juga terlihat ada Resiwara Bisma, Danghyang
Druna, dan Resi Krepa di belakang mereka.
Prabusepuh
Dretarastra berkata bahwa hari ini Prabu Duryudana mengadakan pesta syukuran
hari kelahirannya. Ia sengaja mengundang semua kerabat, dan tentunya para
Pandawa. Dalam acara kali ini, Prabu Duryudana ingin mengajak Maharaja
Yudistira untuk bermain dadu, demi mengenang masa kecil para Pandawa dan Kurawa
yang sering main bersama.
Maharaja
Yudistira menerima dengan senang hati. Prabu Duryudana berkata bahwa Patih
Sangkuni yang akan mewakili dirinya sebagai pelempar dadu. Adipati Yamawidura
bertanya, mengapa harus diwakili Patih Sangkuni? Mengapa Prabu Duryudana tidak
bermain sendiri sebagai pemimpin Kurawa melawan Maharaja Yudistira sebagai
pemimpin Pandawa?
Prabu
Duryudana geram mendengar pertanyaan sang paman. Ia pura-pura mogok hendak
membatalkan permainan. Maharaja Yudistira yang tidak suka melihat orang lain
kecewa segera mengatakan bahwa dirinya bersedia menghadapi Patih Sangkuni
sebagai wakil Kurawa. Prabu Duryudana gembira mendengar pihak lawan masuk ke
dalam perangkapnya.
PATIH SANGKUNI BERMAIN SIHIR
Patih
Sangkuni duduk didampingi Prabu Duryudana, Arya Dursasana, dan Adipati Karna.
Mereka berhadapan melawan Maharaja Yudistira yang duduk bersama keempat Pandawa
lainnya. Permainan dadu pun dimulai. Mula-mula mereka bertaruh kecil-kecilan,
yaitu perhiasan dan uang yang mereka bawa. Untuk babak pertama dimenangkan
Maharaja Yudistira.
Prabu
Duryudana terlihat kecewa kepada Patih Sangkuni. Namun, ia tidak tahu kalau
Patih Sangkuni sengaja memberi angin kepada para Pandawa agar mereka lengah.
Pada babak kedua, Patih Sangkuni mulai menggunakan ilmu sihirnya. Dadu yang ia
buat dari tulang mendiang Prabu Suwala telah diisi dengan mantra sihir. Berapa
pun yang angka yang ia minta selalu muncul, seolah dadu tersebut bisa diajak
bicara.
Satu
persatu harta yang dipertaruhkan Maharaja Yudistira pun berpindah tangan
menjadi milik Prabu Duryudana. Melihat itu, Adipati Yamawidura tampil dan
mengusulkan agar permainan dihentikan saja, karena pihak Pandawa sudah
kehabisan bekal. Namun, Prabu Duryudana tidak bersedia. Ia mengajak Maharaja
Yudistira tetap bermain, karena harta kekayaan para Pandawa yang ada di istana
Indraprasta masih banyak. Meskipun tidak dibawa, tapi itu bisa untuk
dipertaruhkan.
Maharaja
Yudistira tidak ingin melihat tuan rumah kecewa. Ia pun mempertaruhkan harta
yang ada di istana Indraprasta. Namun, satu persatu lenyap menjadi milik Prabu
Duryudana karena kepandaian Patih Sangkuni melempar dadu. Hingga akhirnya
istana Indraprasta juga dipertaruhkan, dan kemudian jatuh pula ke pihak lawan.
MAHARAJA YUDISTIRA MEMPERTARUHKAN ADIK-ADIKNYA
Maharaja
Yudistira mengaku kalah dan dirinya sudah tidak punya apa-apa lagi. Prabu
Duryudana berkata, Maharaja Yudistira masih memiliki empat orang adik yang
setia. Mereka tentunya bisa dipertaruhkan. Jika Maharaja Yudistira menang pada
babak selanjutnya, maka istana Indraprasta beserta isinya akan dikembalikan
lagi.
Adipati
Yamawidura bangkit kembali meminta agar permainan dihentikan. Prabu Duryudana
menyuruh pamannya itu diam. Seorang adipati tidak berhak memerintah raja.
Prabusepuh Dretarastra tampak manggut-manggut, pertanda ia membenarkan ucapan
Prabu Duryudana.
Maharaja
Yudistira terpancing ucapan Prabu Duryudana. Ia pun mempertaruhkan Raden
Sadewa. Namun, Raden Sadewa jatuh pula ke pihak lawan. Yang kedua, ia
mempertaruhkan Raden Nakula. Patih Sangkuni dengan ilmu sihirnya lagi-lagi dapat
merebut Raden Nakula menjadi milik Prabu Duryudana.
Prabu
Duryudana tertawa senang dan berjanji akan menjadikan si kembar sebagai budak
adik kesayangannya, yaitu Arya Dursasana. Ia lalu menantang Maharaja Yudistira
untuk mempertaruhkan adik yang lain. Maharaja Yudistira pun mempertaruhkan
Raden Arjuna. Patih Sangkuni kembali melemparkan dadu dan Raden Arjuna pun
menjadi milik Prabu Duryudana.
Prabu
Duryudana lalu menantang Maharaja Yudistira untuk mempertaruhkan Arya
Wrekodara. Maharaja Yudistira setuju dan ia pun mempertaruhkan adik keduanya
itu. Lagi-lagi Patih Sangkuni berhasil mengendalikan lemparan dadunya, dan Arya
Wrekodara pun jatuh ke tangan Prabu Duryudana.
Prabu
Duryudana tertawa gembira melihat Arya Wrekodara yang sejak kecil menjadi musuh
bebuyutannya, kini berubah menjadi budak yang harus melayani dirinya. Resiwara
Bisma tidak tahan lagi. Ia meminta Prabusepuh Dretarastra untuk menghentikan
permainan gila ini. Prabusepuh Dretarastra hanya diam saja, seolah merestui
Prabu Duryudana agar terus bermain. Resiwara Bisma sangat marah karena
ucapannya tidak diperhatikan, namun ia tidak tega untuk meninggalkan para
Pandawa dalam keadaan seperti ini.
Prabu
Duryudana kembali mendesak Maharaja Yudistira untuk melanjutkan permainan.
Maharaja Yudistira tidak punya pilihan lain. Ia pun mempertaruhkan dirinya
sendiri. Patih Sangkuni kembali beraksi. Kali ini ia berhasil merenggut
kemerdekaan Maharaja Yudistira. Prabu Duryudana tertawa senang. Ia tidak sudi
mendengar gelar Maharaja Yudistira diucapkan. Mulai saat ini, gelar itu harus
dibuang dan kembali memakai nama Prabu Puntadewa saja.
PRABU PUNTADEWA MEMPERTARUHKAN DEWI DRUPADI
Prabu
Puntadewa bersedia melepas gelar maharaja yang ia peroleh saat Sesaji Rajasuya.
Ia pun meminta agar permainan dadu dihentikan, karena ia sudah tidak punya
apa-apa lagi. Bahkan, ia dan keempat adiknya sudah resmi menjadi budak para
Kurawa.Dewi Drupadi
Prabu
Duryudana mengingatkan bahwa Prabu Puntadewa masih memiliki seorang istri yang
cantik tetapi sombong, bernama Dewi Drupadi. Mendengar itu Arya Wrekodara dan
Raden Arjuna bangkit hendak melabrak Prabu Duryudana, namun dicegah Prabu
Puntadewa.
Prabu
Puntadewa sudah kehilangan kemerdekaan, maka ia tidak berani mempertaruhkan
Dewi Drupadi. Prabu Duryudana berkata bahwa, meskipun Prabu Puntadewa sudah
kehilangan kemerdekaan, tetapi hubungan suami-istri tidaklah putus. Prabu
Puntadewa masih berhak untuk mempertaruhkan istrinya. Apalagi kalau babak ini
sampai dimenangkan olehnya, maka seluruh Pandawa akan dibebaskan, dan Kerajaan
Amarta beserta istana Indraprasta akan dikembalikan pula.
Prabu
Puntadewa merasa kasihan pada nasib adik-adiknya yang menjadi budak karena
perbuatannya. Maka, ia pun bersedia mempertaruhkan Dewi Drupadi. Patih Sangkuni
kembali melempar dadu. Lagi-lagi ia menang dan Dewi Drupadi pun menjadi milik
Prabu Duryudana.
Prabu
Duryudana khawatir Adipati Karna bangkit melindungi Dewi Drupadi yang merupakan
adik iparnya. Maka, ia pun mengungkit-ungkit peristiwa masa lalu saat sayembara
memanah di Kerajaan Pancala, yaitu ketika Adipati Karna dihina Dewi Drupadi
sebagai anak kusir yang tidak tahu diri karena berani melamar seorang putri
raja. Adipati Karna terpancing amarahnya karena teringat peristiwa tersebut. Ia
pun berkata bahwa Dewi Drupadi memang sangat cantik tetapi mulutnya kasar
seperti wanita murahan.
Ucapan
Adipati Karna membuat Raden Arjuna bangkit dan mengucapkan sumpah. Meskipun
mereka bersaudara, namun kelak dirinya akan membunuh Adipati Karna dalam
pertempuran. Mendengar sumpah tersebut, Prabu Duryudana marah dan menyuruh
Raden Arjuna duduk kembali. Seorang budak dilarang bicara tanpa izin majikan.
Prabu Puntadewa segera merangkul Raden Arjuna untuk menyabarkannya.
Sementara
itu, Resiwara Bisma, Adipati Yamawidura, dan Resi Krepa hanya bisa tertunduk
karena mereka tidak mampu menghentikan kegilaan ini. Danghyang Druna juga
menyesal telah terlibat dalam penyusunan rencana permainan dadu tersebut.
DEWI DRUPADI DIPERMALUKAN DI DEPAN UMUM
Prabu
Duryudana tertawa senang karena Dewi Drupadi yang pernah menghina dirinya, kini
menjadi budak para Kurawa. Ia pun memerintahkan Arya Dursasana menyeret wanita
itu untuk dihadirkan di tempat permainan dadu. Arya Dursasana berangkat segera.
Ia mendatangi Dewi Drupadi yang beristirahat di kamar tamu karena sedang datang
bulan.
Dewi
Drupadi heran mendengar dirinya telah dipertaruhkan. Arya Dursasana tidak
peduli. Ia langsung menjambak rambut iparnya tersebut dan menariknya agar ikut dengannya.
Dewi Drupadi meronta kesakitan, namun Arya Dursasana justru mempercepat langkah
kakinya. Dewi Drupadi yang seorang wanita tidak mampu mengikuti langkah Arya
Dursasana yang lebih lebar. Ia pun terjatuh di lantai dengan rambut masih
dijambak Arya Dursasana.
Tanpa
ampun, Arya Dursasana tetap menjambak dan menyeret Dewi Drupadi di lantai
hingga akhirnya mereka sampai di tempat perjudian. Semua orang terkejut dan
tertunduk malu bercampur marah, terutama para Pandawa. Hanya Prabu Duryudana
dan para Kurawa yang tertawa menyaksikan pemandangan ini.
Dewi
Drupadi bertanya mengapa dirinya dipertaruhkan. Apakah memang budaya Kerajaan
Hastina menganggap wanita sebagai benda yang bisa diperjualbelikan? Resiwara
Bisma dan Adipati Yamawidura tertunduk malu tidak bisa menjawab. Prabu
Puntadewa dan para Pandawa hanya bisa tertunduk lesu, karena mereka sudah
menjadi budak yang tidak memiliki hak untuk bicara.
Ternyata
tidak semua Kurawa tertawa menyaksikan pemandangan itu. Raden Durmagati adalah
satu-satunya yang diam tidak ikut bergembira. Ia melangkah maju dan meminta
kepada Prabu Duryudana agar membebaskan Dewi Drupadi. Raden Durmagati berkata
bahwa perbuatan Arya Dursasana yang menjambak dan menyeret Dewi Drupadi akan
mencoreng nama baik Kerajaan Hastina di mata dunia.
Raden
Durmagati memang Kurawa yang unik. Tubuhnya pendek gemuk, wajahnya buruk rupa,
penampilannya lugu seperti anak kecil, namun berpikiran bijaksana. Tidak jarang
ia berani mengkritik Patih Sangkuni apabila merencanakan kejahatan untuk para
Pandawa. Namun, kritikannya hanya dianggap sebagai angin lalu. Tak disangka,
kini ia berani melawan Prabu Duryudana di depan umum. Prabu Duryudana sangat
marah dan memerintahkan Raden Kartawarma untuk meringkus Raden Durmagati dan
membawanya kembali duduk.
Prabu
Duryudana teringat pada ucapan Adipati Karna tadi, bahwa Dewi Drupadi berwajah
cantik tetapi mulutnya kasar seperti wanita murahan. Arya Dursasana pun
diperintahkan untuk melucuti pakaian Dewi Drupadi. Seorang wanita murahan tidak
perlu ditutupi pakaian. Nanti apabila sudah telanjang, maka Dewi Drupadi hendak
dipangku di atas paha Prabu Duryudana.
Arya
Wrekodara marah mendengarnya. Ia bersumpah akan meremukkan paha Prabu Duryudana
dan meminum darah Arya Dursasana apabila berani mempermalukan Dewi Drupadi.
Prabu Duryudana tidak peduli dan tetap memerintahkan Arya Dursasana untuk
segera bertindak.
Arya
Dursasana dengan beringas menarik ujung kain yang dipakai Dewi Drupadi.
Meskipun berusaha menahannya, namun kekuatan Dewi Drupadi jauh di bawah Arya
Dursasana yang berbadan gemuk tinggi besar. Ia melihat para Pandawa sudah
tertunduk lesu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, satu-satunya yang bisa
diharapkan hanyalah Prabu Batara Kresna. Dewi Drupadi pun memanggil kakak
iparnya itu agar datang menolong.
PRABU BATARA KRESNA MENOLONG DEWI DRUPADI
Prabu
Batara Kresna sebenarnya sudah hadir di Kerajaan Hastina sejak tadi, namun ia
menggunakan Aji Panglimunan sehingga tidak seorang pun bisa melihat
kehadirannya. Karena sudah berjanji di hadapan Batara Narada, maka ia pun diam
saja tidak menolong para Pandawa yang dilanda kesusahan.
Namun,
kali ini Dewi Drupadi hendak ditelanjangi di depan umum, tidak mungkin Prabu
Kresna menutup mata begitu saja. Lagipula ia hanya berjanji tidak akan membantu
para Pandawa, sedangkan Dewi Drupadi tidak ia sebutkan dalam janji tersebut.
Maka, ia merasa tidak melanggar janji apabila turun tangan membantu adik
iparnya tersebut.
Prabu
Kresna masih tetap menggunakan Aji Panglimunan, namun dari tangannya keluar
kain yang menyambung kepada kain yang dikenakan Dewi Drupadi. Hal itu membuat
kain yang dikenakan Dewi Drupadi tidak bisa habis. Arya Dursasana sampai
kelelahan menarik kain tersebut namun Dewi Drupadi tidak juga terlihat
telanjang. Akhirnya, Arya Dursasana pun jatuh terduduk kehabisan tenaga,
sedangkan kain yang ia tarik sudah bertumpuk menggunung setinggi tubuhnya. Dewi
Drupadi tetap berpakaian dan ia pun jatuh ke lantai dicekam rasa sedih tak
terperikan.
Dewi
Drupadi menangis telah dipermalukan di istana mertua. Sebagai menantu dirinya
tidak dihargai dan dianggap sebagai benda tak bernyawa. Pada saat itulah muncul
Dewi Gandari dan Dewi Kunti mendatanginya. Dewi Kunti segera memeluk tubuh
menantunya itu, sedangkan Dewi Gandari melabrak Prabu Duryudana, anaknya
sendiri.
PERMAINAN DADU DIULANG KEMBALI
Dewi
Gandari memaki Prabu Duryudana dan Arya Dursasana sebagai manusia tak berbudi
yang tidak punya tata krama. Prabu Duryudana heran karena selama ini sang ibu
selalu mendukung keinginannya, tapi mengapa kali ini justru melabrak dirinya. Dewi
Gandari berkata, dirinya memang selalu mendukung Prabu Duryudana, tapi tidak
untuk kali ini. Bagaimanapun juga Dewi Gandari dan Dewi Drupadi sama-sama
wanita. Menghina satu orang wanita berarti sama dengan menghina semua wanita di
dunia. Menghina Dewi Drupadi berarti sama dengan menghina Dewi Gandari. Kali
ini Dewi Gandari benar-benar marah. Ia meminta permainan gila ini dibatalkan,
dan semua harta benda milik Pandawa harus dikembalikan. Para Pandawa juga harus
dibebaskan, tidak boleh lagi menjadi budak para Kurawa.
Prabu
Duryudana ingin membantah, namun seumur hidup ia selalu menyayangi ibunya
tersebut. Patih Sangkuni mendapat akal. Ia bersedia mengembalikan semua milik
Pandawa, namun mengusulkan agar permainan tetap dilanjutkan. Kali ini bentuk
taruhannya berbeda, bukan lagi harta benda, tetapi hukuman buang.
Dewi
Gandari penasaran dan bertanya, hukuman buang seperti apa yang hendak diusulkan
adiknya. Patih Sangkuni menjawab, apabila babak baru nanti dimenangkan para
Pandawa, maka para Kurawa harus menjalani hukuman buang ke hutan selama dua
belas tahun, kemudian ditambah hidup menyamar di sebuah negeri selama satu
tahun. Apabila ketahuan, maka harus mengulang lagi selama dua belas tahun di
hutan dan setahun menyamar, begitu seterusnya. Selama masa pembuangan, maka
Kerajaan Hastina harus dititipkan kepada para Pandawa. Sebaliknya, apabila para
Pandawa yang kalah, maka mereka harus dibuang dengan cara seperti itu. Selama
para Pandawa pergi, maka Kerajaan Amarta untuk sementara harus dititipkan
kepada para Kurawa.
Dewi
Gandari setuju, yang penting tidak boleh lagi ada perbudakan dan penghinaan
terhadap wanita. Prabusepuh Dretarastra juga setuju, sedangkan Resiwara Bisma
dan Adipati Yamawidura diam saja karena merasa percuma ikut bicara. Prabu
Duryudana juga setuju pada usulan Patih Sangkuni, dan ia pun bertanya bagaimana
pendapat para Pandawa.
Prabu
Puntadewa merasa tidak punya pilihan lain. Ia pun menerima tantangan tersebut.
Patih Sangkuni kembali melempar dadu. Sesuai dugaan, babak yang baru ini
lagi-lagi dimenangkan oleh pihak Kurawa.
PARA PANDAWA BERANGKAT KE HUTAN
Prabu
Puntadewa, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa mohon
pamit untuk mulai menjalani masa pembuangan di hutan. Sesuai perjanjian, mereka
pun menitipkan Kerajaan Amarta kepada Prabu Duryudana. Dewi Kunti dan Dewi
Drupadi menyatakan ikut serta. Prabu Puntadewa tidak bersedia karena ini adalah
kesalahan dirinya, maka ibu dan istrinya dilarang ikut pergi ke hutan.
Adipati
Yamawidura tidak tega melihat kakak iparnya ikut menjalani pembuangan. Ia pun
meminta Dewi Kunti untuk tinggal di Kadipaten Pagombakan saja. Prabu Puntadewa
dan keempat adiknya ikut memohon agar sang ibu menerima tawaran tersebut. Dewi
Kunti akhirnya luluh dan bersedia menerima ajakan Adipati Yamawidura.
Prabu
Puntadewa lalu mengajak Dewi Drupadi pulang ke Kerajaan Pancala. Selama para Pandawa
menjalani masa pembuangan, Dewi Drupadi akan dititipkan kepada sang ayah, yaitu
Prabu Drupada. Mendengar itu, Dewi Drupadi mengancam akan bunuh diri. Ia telah
dipermalukan di istana Kerajaan Hastina, maka tidak mungkin pulang ke Kerajaan
Pancala dengan membawa aib. Baginya lebih baik mati daripada malu bertemu orang
tua. Jika Prabu Puntadewa tidak ingin melihat istrinya bunuh diri, maka
sebaiknya diizinkan ikut menemani pergi ke hutan. Bahkan, Dewi Drupadi
menyatakan sumpah bahwa dirinya tidak akan menata rambut sebelum keramas darah
Arya Dursasana. Aib memalukan ini hanya bisa ditebus dengan nyawa Arya
Dursasana.
Pada
saat itulah muncul Prabu Kresna menampakkan diri. Ia berkata bahwa ini semua
adalah takdir yang harus dijalani para Pandawa dan juga Dewi Drupadi. Kehidupan
di hutan jangan dianggap sebagai musibah, tetapi hendaknya menjadi sarana untuk
melebur dosa dan mendewasakan jiwa, karena kelak para Pandawa akan menjadi
kesatria pinilih yang mendapat tugas dari dewata untuk menumpas angkara murka.
Prabu
Puntadewa dan para Pandawa lainnya dapat menerima takdir ini. Dewi Drupadi
akhirnya diizinkan untuk ikut serta. Mereka lalu memohon restu dan bersama-sama
berangkat menuju Hutan Kamyaka untuk menjalani masa pembuangan selama dua belas
tahun.
Catatan
:
Tokoh
Kurawa yang membela Drupadi menurut versi Mahabharata bernama Wikarna. Dalam
kisah di atas saya ganti menjadi Durmagati karena saya mengikuti sanggit Ki
Anom Suroto, bahwa Durmagati adalah anggota Kurawa yang buruk rupa tetapi baik
hati, yang sering mengkritik niat jahat Patih Sangkuni.
Koleksi
Artikel Imajiner Nuswantoro