KISAH GARA-GARA Gilingwesi
Kisah
ini bercerita tentang meninggalnya Begawan Anggara, putra sulung Prabu
Palindriya, yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden Radeya putra Prabu
Watugunung dan Dewi Sinta yang kelak bergelar Sri Maharaja Gotaka. Kelahiran
anak dari hasil perkawinan terlarang antara ibu dan anak ini menyebabkan
Kerajaan Gilingwesi dilanda bencana dan wabah penyakit, hingga akhirnya bisa
reda setelah Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala.
BEGAWAN ANGGARA MENINGGAL DUNIA
Prabu
Watugunung di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Suwelacala, Danghyang Suktina,
dan para arya. Mereka membicarakan sang permaisuri Dewi Sinta yang kini sedang
mengandung dan beberapa waktu lagi akan melahirkan. Prabu Watugunung merasa
cintanya kepada Dewi Sinta semakin hari semakin besar, sedangkan kepada
istri-istri yang lain sama sekali ia tidak ingin menyentuh mereka. Patih
Suwelacala pun menyarankan agar Prabu Watugunung juga memerhatikan para istri
yang lain, jangan hanya melulu kepada Dewi Sinta saja.
Akan
tetapi, Prabu Watugunung menolak saran itu, bahkan ia berniat hendak
menceraikan semua istrinya, kecuali Dewi Sinta seorang. Prabu Watugunung
memutuskan untuk menyerahkan Dewi Darti kepada Patih Suwelacala, serta para
Putri Domas kepada para arya. Sementara itu, Dewi Tumpak yang pada dasarnya
masih terlalu muda belia dibiarkan menjadi janda untuk sementara waktu sampai
kelak menemukan calon suami yang benar-benar tepat untuknya.
Tiba-tiba
datang Begawan Sukra (kakak tiri Prabu Watugunung) yang menyampaikan berita
duka bahwa Begawan Anggara telah meninggal dunia. Prabu Watugunung dan Patih
Suwelacala sangat terkejut dan bersedih mendengar berita yang sangat mendadak
ini. Pertemuan pun dibubarkan, dan Prabu Watugunung berangkat memimpin langsung
rombongan melayat menuju Padepokan Andongdadapan.
Sesampainya
di sana, rombongan Prabu Watugunung itu disambut oleh Begawan Buda, dan mereka
kemudian bersama-sama menyelenggarakan upacara pembakaran jenazah Begawan
Anggara. Setelah upacara selesai, Prabu Watugunung memberikan kedudukan kepada
tiga orang putra Begawan Anggara. Putra yang paling tua diangkat sebagai
pandita menggantikan sang ayah, bergelar Resi Dwara, sedangkan putra kedua dan
ketiga dijadikan punggawa Kerajaan Gilingwesi, dengan nama Arya Wakya dan Arya
Byatara.
RESI SATMATA MENJADI DUKUN
Sementara
itu, Resi Satmata (penjelmaan Batara Wisnu) di Padepokan Parangtritis telah
bertapa sekian lama demi untuk menebus dosanya yang telah lancang berani
menikahi calon istri Batara Guru, yaitu Dewi Sriyuwati. Pada suatu hari Batara
Narada datang berkunjung melihat keadaannya. Dalam kunjungannya itu, Batara
Narada menyarankan supaya Resi Satmata menjalani tapa rame, yaitu mengamalkan
pikiran dan tenaga untuk membantu sesama demi mendapatkan ampunan dari Batara
Guru.
Resi
Satmata berterima kasih atas saran tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara
Narada pamit kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Satmata pindah ke Desa
Kayuwan di Tanah Pagelen yang lebih ramai sehingga lebih mudah untuk melakukan
amal kebaikan. Di desa itu, Resi Satmata menjadi seorang dukun yang mengamalkan
ilmu pengetahuan dan tenaganya untuk mengobati masyarakat yang menderita sakit
apa saja.
RESI SATMATA MENGAMBIL MURID
Pengobatan
yang dibuka Resi Satmata semakin hari semakin bertambah ramai. Bahkan,
orang-orang yang datang berobat kepadanya bukan melulu dari Desa Kayuwan saja,
tetapi juga dari desa-desa lain banyak yang meminta pertolongannya. Antara lain
yang datang kepadanya adalah Buyut Gopa, kepada Desa Sewu. Buyut Gopa datang
untuk memintakan obat atas penyakit aneh yang dialami anaknya, bernama Pastima,
yang tiba-tiba saja mengalami kelumpuhan tidak bisa berjalan.
Resi
Satmata menerawang mencari tahu apa penyebab penyakit Pastima. Ternyata pada
suatu hari Pastima yang masih kecil itu bermain-main bersama teman-temannya di
pinggir kuburan desa. Tanpa sengaja, Pastima melangkahi pusaka yang dipendam di
sana sehingga terkena balak dan jatuh sakit. Resi Satmata lalu memberikan resep
panjang lebar untuk mengobati penyakit Pastima itu. Tak disangka, Buyut Gopa
ternyata memiliki ingatan tajam dan dapat langsung menghafalkan resep yang
rumit tersebut dengan baik.
Buyut
Gopa lalu mengumpulkan bahan-bahan obat seperti yang diajarkan Resi Satmata dan
memberikannya kepada Pastima. Secara ajaib, Pastima langsung sembuh dan bisa
bermain lagi dengan teman-temannya. Buyut Gopa sangat bahagia dan kembali
menemui Resi Satmata untuk berterima kasih. Sebaliknya, Resi Satmata juga sangat
senang melihat bakat serta kepandaian Buyut Gopa dan berkenan menjadikannya
sebagai murid.
Maka,
sejak saat itu, Buyut Gopa pun berguru kepada Resi Satmata di Desa Kayuwan.
Yang ia pelajari tidak hanya ilmu pengobatan, tapi juga ilmu perbintangan dan
ilmu tafsir mimpi. Setelah menamatkan pendidikannya, Buyut Gopa diizinkan
membuka tempat pengobatan sendiri di Desa Sewu, dan boleh menggunakan nama Empu
Gopa.
KELAHIRAN RADEN RADEYA DAN PEMBUNUHAN EMPU GOPA
Di
Kerajaan Gilingwesi, Dewi Sinta telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Prabu
Watugunung sangat bahagia menyambut kelahiran putra pertamanya itu, dan
memberinya nama Raden Radeya.
Beberapa
hari kemudian, Prabu Watugunung bermimpi namun setelah bangun dari tidurnya ia
ternyata lupa kepada mimpinya itu. Ia pun mengumpulkan para pandita untuk
menafsirkan arti mimpinya, dan tentu saja tidak ada seorang pun yang bisa.
Bagaimana mungkin orang lain bisa menafsirkan mimpinya, jika ia sendiri lupa
apa yang telah diimpikannya? Bahkan, dua pemuka para pandita, yaitu Begawan
Buda dan Begawan Sukra juga tidak dapat menafsirkannya.
Prabu
Watugunung sangat kecewa dan marah kepada semua pandita itu. Namun, Begawan
Buda berhasil menyabarkannya dengan mengatakan bahwa ia mempunyai seorang kawan
yang pandai menafsirkan mimpi, bernama Empu Gopa dari Desa Sewu. Prabu
Watugunung tertarik dan memerintahkan Begawan Buda untuk pergi menjemputnya.
Begawan
Buda lalu mohon pamit berangkat ke Desa Sewu dan kemudian kembali ke istana
dengan membawa serta Empu Gopa. Prabu Watugunung menyambut mereka dan meminta
Empu Gopa menafsirkan mimpinya. Empu Gopa yang menguasai ilmu tafsir mimpi
dapat melihat bahwa Prabu Watugunung tadi malam telah bermimpi melihat seekor
harimau dimangsa ular sampai tinggal tulang belulangnya. Dari mulut ular itu
lalu keluar ulat, tikus, nyamuk, dan kuman.
Mendengar
uraian tersebut, samar-samar Prabu Watugunung dapat mengingat kembali mimpinya
tadi malam. Ia lalu memerintahkan Empu Gopa untuk menafsirkan mimpi tersebut,
namun Empu Gopa mengaku tidak berani. Prabu Watugunung terus memaksa, sehingga
Empu Gopa akhirnya menjelaskan bahwa mimpi tersebut bermakna dewata akan
mengurangi kasih sayangnya kepada Kerajaan Gilingwesi, dengan ditandai
munculnya musibah empat macam, yaitu ulat, tikus, nyamuk, dan kuman tersebut.
Prabu
Watugunung sangat tersinggung mendengar uraian Empu Gopa. Tanpa pikir panjang,
ia langsung membunuh Empu Gopa di hadapan para hadirin. Begawan Buda ngeri
melihatnya dan menasihati bahwa jika Empu Gopa dibunuh, lantas siapa nanti yang
bisa dimintai bantuan mengatasi musibah tersebut? Amarah Prabu Watugunung
berangsur-angsur reda, dan ia pun menyesali perbuatannya tadi.
Begawan
Buda dan Begawan Sukra lalu pamit pulang ke Padepokan Andongdadapan. Anak
laki-laki Empu Gopa, yaitu Pastima kemudian diasuh oleh Begawan Buda dan
dijadikan sebagai murid.
KERAJAAN GILINGWESI DILANDA MUSIBAH
Beberapa
hari setelah pembunuhan Empu Gopa, tiba-tiba Kerajaan Gilingwesi dilanda
bencana alam bertubi-tubi, mulai dari gempa bumi, hujan deras, petir
halilintar, dan banjir bandang yang merobohkan banyak bangunan serta menewaskan
banyak penduduk.
Setelah
banjir surut, tiba-tiba saja datang ulat-ulat sedemikian banyaknya yang merusak
tanaman pertanian, kemudian disusul ribuan tikus yang menyerang bahan makanan
penduduk. Selanjutnya datang pula sekawanan nyamuk yang tak terhitung banyaknya
menggigit dan menghisap darah para penduduk dan hewan ternak. Terakhir adalah
munculnya kuman-kuman pembawa penyakit yang menyerang kulit para penduduk
sehingga banyak di antara mereka yang menderita sakit kudis sangat parah.
Prabu
Watugunung sedih menyaksikan penderitaan penduduknya. Berangsur-angsur wibawa
Kerajaan Gilingwesi merosot sehingga banyak negeri jajahan yang menolak tunduk
kepadanya. Karena pikirannya sudah buntu, Prabu Watugunung pun memutuskan untuk
meminta pertolongan kepada Batara Kala yang merupakan penguasa dari segala
hewan berbisa demi melenyapkan wabah di negerinya itu.
PRABU WATUGUNUNG MENJADI PEMUJA BATARA KALA
Prabu
Watugunung kemudian mendirikan sebuah candi di Gunung Kusara demi untuk
menyenangkan hati Batara Kala. Ketika candi telah berdiri, Batara Kala datang
dan sangat berkenan melihat usaha Prabu Watugunung tersebut. Di hadapan Batara
Kala, Prabu Watugunung menyatakan diri memeluk Agama Kala dan memohon supaya
dibantu mengatasi musibah dan wabah penyakit yang melanda Kerajaan Gilingwesi.
Batara
Kala bersedia memenuhi permohonan Prabu Watugunung. Ia lalu memerintahkan para
murid yang dipimpin raksasa ayah dan anak, bernama Ditya Pulasya dan Ditya
Brekutu. Para raksasa itu dibantu kaum makhluk halus segera menaklukkan seluruh
hama dan kuman penyakit yang melanda, sehingga Kerajaan Gilingwesi kembali
pulih seperti sedia kala.
Prabu
Watugunung sangat gembira menyaksikan negerinya sudah kembali aman dan tentram.
Ia pun meminta Ditya Brekutu supaya tinggal di istana Gilingwesi sebagai pembimbingnya
dalam mendalami Agama Kala. Batara Kala mengizinkan, dan ia pun kembali ke
Kahyangan Selamangumpeng bersama Ditya Pulasya.
DEWI LANDEP MENGUNJUNGI KERAJAAN GILINGWESI
Beberapa
waktu kemudian, Dewi Landep datang mengunjungi Kerajaan Gilingwesi. Patih
Suwelacala sangat gembira dan terharu menyambut ibu kandungnya itu karena
mereka sudah lama tidak bertemu.
Dewi
Landep menceritakan pengalamannya sejak Patih Suwelacala dan para arya pergi
meninggalkan Kerajaan Medang Kamulan untuk bergabung dengan Prabu Watugunung di
Kerajaan Gilingwesi. Saat itu Dewi Landep tetap tinggal di Medang Kamulan
bersama anaknya yang lain, yaitu Dewi Sriyuwati yang telah dinikahi Prabu
Satmata. Akan tetapi, pada suatu hari Prabu Satmata mendapatkan hukuman buang
dari Batara Guru, yaitu diusir pergi dari Kerajaan Medang Kamulan karena berani
menikahi calon istri raja para dewa tersebut. Prabu Satmata mematuhi hukuman
itu, dan Dewi Sriyuwati mengikuti ke mana pun sang suami pergi. Karena Prabu
Satmata dan Dewi Sriyuwati telah pergi dari istana, Dewi Landep akhirnya
memutuskan untuk pergi pula ke tempat asalnya, yaitu Kahyangan Saptapratala.
Kini
setelah beberapa tahun berpisah, Dewi Landep akhirnya datang ke Kerajaan
Gilingwesi untuk mengunjungi anaknya yang lain, yaitu Patih Suwelacala. Prabu
Watugunung pun menerima Dewi Landep dengan baik dan meminta ibu tirinya itu
untuk menetap di istana Gilingwesi.
DEWI LANDEP BERTEMU DEWI SINTA
Pada
suatu hari Dewi Landep bertemu permaisuri Prabu Watugunung, yaitu Dewi Sinta,
yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. Mereka pun saling berpelukan dengan
rasa haru setelah puluhan tahun berpisah. Nama asli Dewi Sinta adalah Dewi
Basundari, sedangkan nama asli Dewi Landep adalah Dewi Basuwati. Setelah
keduanya dinikahi Prabu Palindriya, nama mereka pun disederhanakan seperti itu.
Pada suatu hari, Dewi Sinta kabur tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Medang
Kamulan dalam keadaan mengandung karena cemburu. Sejak itulah Dewi Sinta dan
Dewi Landep tidak pernah bertemu lagi sampai puluhan tahun lamanya.
Dewi
Sinta lalu bercerita bahwa anak yang dikandungnya telah lahir dan diberi nama
Jaka Wudug, namun anak itu kemudian hilang entah ke mana pada usia dua tahun.
Dewi Landep sangat terkejut mendengarnya, karena ia menduga kalau Jaka Wudug
tidak lain adalah Prabu Watugunung sendiri.
Dewi
Landep pun menceritakan bagaimana awal mula Prabu Palindriya menerima seorang
pemuda bernama Raden Raditya yang ingin mengabdi di Kerajaan Medang Kamulan.
Pengabdian itu pun diterima, bahkan Prabu Palindriya berniat menjodohkan Raden
Raditya dengan Dewi Sriyuwati. Akan tetapi, tiba-tiba datang Batara Narada
mencegah hal itu jangan sampai terjadi, karena Raden Raditya tidak lain adalah
putra Prabu Palindriya sendiri yang lahir dari Dewi Basundari. Raden Raditya
kemudian diangkat sebagai patih di Medang Kamulan, bergelar Patih Selacala,
hingga akhirnya ia berhasil menjadi raja Gilingwesi yang bergelar Prabu
Watugunung tersebut.
Dewi
Sinta sangat terkejut mendengar cerita itu dan ia merasa ketakutan saat
membayangkan jangan-jangan Prabu Watugunung memang benar-benar Jaka Wudug. Itu
berarti ia telah menikah dengan anaknya sendiri. Apalagi dari perkawinan
tersebut telah lahir seorang putra yang masih bayi, bernama Raden Radeya.
DEWI SINTA MENOLAK DISENTUH PRABU WATUGUNUNG
Dewi
Sinta yang ketakutan mendengar cerita Dewi Landep akhirnya bertekad untuk
membuktikannya sendiri. Pada suatu hari saat berduaan dengan Prabu Watugunung,
ia pun menyisir rambut suaminya itu dan menemukan bekas luka di kepala bagian
belakangnya. Prabu Watugunung menceritakan bahwa semasa kecil ia pernah dipukul
ibunya yang bernama Dewi Basundari di bagian itu dan lukanya masih membekas
sampai sekarang.
Sungguh
terkejut hati Dewi Sinta bukan kepalang karena telah mendapatkan kesimpulan
dari cerita tersebut, bahwa suaminya ternyata anak kandungnya sendiri. Seketika
ia pun teringat peristiwa ketika Dewi Soma melabrak dirinya saat berselingkuh
dengan Resi Wrehaspati sebelum menjadi Prabu Palindriya dulu. Saat itu Dewi
Soma sangat marah dan mengutuk dirinya kelak akan mengalami “sungsang bawana”
dan menderita malu luar biasa. Ternyata kutukan itu kini telah menjadi
kenyataan.
Sejak
saat itu Dewi Sinta selalu menolak dengan halus apabila Prabu Watugunung
mengajaknya bermesraan. Ia yakin bahwa segala musibah dan malapetaka yang
melanda Kerajaan Gilingwesi adalah hukuman dewata terhadap perbuatannya yang
telah menikah dengan anak kandung sendiri. Ia takut jika melakukan hubungan
badan lagi dengan Prabu Watugunung, maka bencana dan musibah akan kembali
terjadi dan kemungkinan bisa lebih dahsyat lagi.
Referensi
Kisah
ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita
dengan sedikit pengembangan.
Imajiner
Nuswantoro