Kisah Budawaka Dan Budakresna
Kisah
ini menceritakan tentang hilangnya putri Sri Maharaja Budawaka yang berhasil
ditemukan oleh Batara Rasikadi. Setelah itu dilanjutkan dengan kisah peperangan
antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja Budakresna, yang akhirnya
dilerai oleh Sanghyang Rudra.
Kisah
ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi
Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
PUTRI SRI MAHARAJA BUDAWAKA HILANG DICULIK ORANG
Sri
Maharaja Budawaka di Kerajaan Gilingaya sedang bersedih karena putrinya yang
lahir dari permaisuri Dewi Rarasati, yang bernama Dewi Brahmaniyari telah
hilang entah ke mana. Patih Suweda dan para punggawa juga berusaha mencari ke
segala penjuru namun tidak mendapatkan hasil.
Tiba-tiba
datanglah tiga orang dewa empu putra Batara Isakandi, yaitu Batara Sukadi,
Batara Reksakadi, dan Batara Rasikadi yang memohon supaya diterima mengabdi di
Kerajaan Gilingaya. Mereka bertiga mengaku telah diusir oleh Sri Maharaja
Birawa karena berani menentang niatnya yang ingin menyerang Kahyangan Suralaya.
Sri
Maharaja Budawaka bersedia menerima pengabdian ketiga dewa empu tersebut
asalkan dibantu mencari ke mana hilangnya Dewi Brahmaniyari. Batara Sukadi
segera mengheningkan cipta dan mendapatkan petunjuk bahwa sang dewi saat ini
berada di Kahyangan Saptapratala yang terletak di dalam perut bumi. Namun, ia
mengaku tidak mengetahui caranya untuk bisa sampai ke sana.
Batara
Reksakadi mengaku mengetahui jalan menuju Kahyangan Saptapratala, tetapi ia
tidak berani menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Batara Rasikadi kemudian
mengajukan diri untuk mencari Dewi Brahmaniyari dan ia mengaku berani
menghadapi kesaktian Batara Anantaboga. Maka, Batara Reksakadi pun
menggambarkan peta jalan menuju Kahyangan Saptapratala untuk dipelajari Batara
Rasikadi.
BATARA RASIKADI MEREBUT DEWI BRAHMANIYARI
Dengan
berbekal peta buatan kakaknya, Batara Rasikadi berhasil memasuki Kahyangan
Saptapratala. Ternyata Dewi Brahamaniyari memang benar-benar berada di sana
karena telah diculik oleh Batara Basuki, adik Batara Anantaboga.
Kedatangan
Batara Rasikadi disambut dengan baik oleh Batara Anantaboga. Batara Rasikadi
berterus terang menyampaikan maksud kedatangannya adalah untuk menjemput pulang
Dewi Brahmaniyari. Batara Anantaboga mempersilakan Batara Rasikadi melaksanakan
niatnya, asalkan ia bersedia mengajari Batara Basuki ilmu pertempuran.
Permintaan ini sebenarnya adalah sindiran, bahwa Batara Rasikadi harus merebut
Dewi Brahmaniyari melalui perkelahian.
Batara
Rasikadi yang tidak memahami sindiran tersebut segera mengajari Batara Basuki
jurus-jurus perkelahian. Awalnya mereka hanya berlatih bersama namun lama-lama
menjadi pertarungan sungguhan. Setelah sekian lama, Batara Rasikadi terlihat
lebih unggul dan pertarungan itu akhirnya dihentikan oleh Batara Anantaboga. Ia
mempersilakan Batara Rasikadi membawa pulang Dewi Brahmaniyari karena putri
Kerajaan Gilingaya itu memang bukan jodoh Batara Basuki.
SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENGAMBIL MENANTU
Batara
Rasikadi membawa Dewi Brahmaniyari kembali ke Kerajaan Gilingaya dan
menghadapkannya kepada Sri Maharaja Budawaka. Sungguh gembira hati Sri Maharaja
Budawaka dan ia pun berkenan menerima pengabdian Batara Sukadi, Batara
Reksakadi, dan Batara Rasikadi.
Akan
tetapi, ketiga dewa empu bersaudara itu kemudian mengajukan permohonan untuk
bisa menikahi Dewi Brahmaniyari. Ternyata mereka telah jatuh hati kepada sang
dewi dan masing-masing menganggap diri paling berjasa dan merasa paling berhak
menjadi suaminya. Batara Rasikadi mengatakan bahwa dirinya telah berjasa
membawa pulang Dewi Brahmaniyari. Batara Reksakadi mengatakan bahwa perbuatan
itu bisa terjadi berkat peta yang digambarkannya. Sementara itu, Batara Sukadi
berpendapat, bahwa peta tersebut bisa digambar adalah karena ia yang pertama
kali mendapatkan petunjuk tentang keberadaan sang dewi yang disembunyikan di
Kahyangan Saptapratala.
Sri
Maharaja Budawaka bingung menentukan pilihan, apalagi persaingan ketiga
bersaudara itu semakin memanas dan berubah menjadi pertengkaran. Tiba-tiba
datang pula seorang raja raksasa bernama Prabu Jambuwana dari Kerajaan
Prajantaka yang mengaku telah mendapat perintah dewata melalui mimpi supaya
mempersunting salah satu putri Sri Maharaja Budawaka demi kemakmuran negerinya.
Hal
ini tentu saja membuat Sri Maharaja Budawaka bertambah bingung. Maka, ia pun
berjanji akan menerima lamaran Prabu Jambuwana tersebut, asalkan dibantu
memberikan keadilan kepada ketiga dewa bersaudara yang sedang bertengkar itu.
Prabu Jambuwana segera mempelajari apa yang sebenarnya telah terjadi, kemudian
ia menyampaikan pendapat bahwa Dewi Brahmaniyari hanya pantas diserahkan kepada
laki-laki yang berani bertaruh nyawa demi melindunginya.
Sri
Maharaja Budawaka sangat senang mendengar pendapat itu dan segera mengumumkan
bahwa Dewi Brahmaniyari akan dinikahkan dengan Batara Rasikadi. Di lain pihak,
Batara Sukadi dan Batara Reksakadi juga mendapatkan hadiah pengganti atas
jasa-jasa mereka, yaitu masing-masing diangkat sebagai raja bawahan di negeri
Citrahoya dan Wameswara. Sesuai janjinya di awal tadi, lamaran Prabu Jambuwana
pun diterima pula. Raja raksasa itu diizinkan menikahi adik Dewi Brahmaniyari
yang bernama Dewi Brahmaniyoni.
Maka,
dilangsungkanlah upacara pernikahan di Kerajaan Gilingaya terhadap kedua
pasangan tersebut, yaitu Batara Rasikadi dengan Dewi Brahmaniyari, serta Prabu
Jambuwana dengan Dewi Brahmaniyoni.
PRABU JAMBUWANA MENYERANG KERAJAAN MEDANG KAMULAN
Prabu
Jambuwana kemudian memboyong Dewi Brahamaniyoni untuk tinggal di Kerajaan
Prajantaka. Pada suatu hari Dewi Brahmaniyoni bercerita tentang riwayat
ayahnya, bahwa Sri Maharaja Budawaka adalah penjelmaan Batara Brahma yang pada
mulanya menjadi penguasa di Kerajaan Medang Siwanda menggantikan Sri Maharaja
Balya. Kemudian pada suatu hari Sri Maharaja Budawaka dikalahkan oleh raja
Kerajaan Medang Kamulan sehingga terusir meninggalkan Medang Siwanda. Sri
Maharaja Budawaka kemudian membangun Kerajaan Gilingaya dan menjadi raja di
sana sampai saat ini.
Prabu
Jambuwana selaku menantu merasa berkewajiban untuk membalaskan kekalahan Sri
Maharaja Budawaka. Ia pun memimpin pasukan raksasa Kerajaan Prajantaka
berangkat menyerang Kerajaan Medang Kamulan. Sesampainya di sana terjadilah
pertempuran besar. Melihat pasukan Medang Kamulan terdesak, Sri Maharaja
Budakresna akhirnya turun sendiri ke medan perang dan melepaskan senjata Cakra
Sudarsana ke arah Prabu Jambuwana. Begitu terkena senjata berbentuk cakram
bergigi tajam tersebut, Prabu Jambuwana pun tewas dengan tubuh terpotong
menjadi dua.
SRI MAHARAJA BUDAWAKA MENYERANG SRI MAHARAJA BUDAKRESNA
Setelah
suaminya tewas, Dewi Brahmaniyoni kembali ke Kerajaan Gilingaya untuk mengadu
kepada sang ayah. Sri Maharaja Budawaka sangat terkejut bercampur marah. Ia pun
memutuskan untuk menyerang Kerajaan Medang Kamulan demi membalaskan kematian
menantunya, sekaligus membalaskan dendamnya atas kekalahan yang telah lalu.
Begitu
tiba di Kerajaan Medang Kamulan, Sri Maharaja Budawaka langsung berhadapan
dengan Sri Maharaja Budakresna. Ia teringat bahwa raja Medang Kamulan yang dulu
mengalahkannya berwujud raksasa, bernama Sri Maharaja Birawa, namun kini yang
menghadapinya ternyata berwujud manusia bernama Sri Maharaja Budakresna.
Rupanya telah terjadi pergantian raja di Medang Kamulan, namun hal ini tidak
dipedulikan Sri Maharaja Budawaka. Ia yakin bahwa Sri Maharaja Budakresna
adalah anggota keluarga Sri Maharaja Birawa dan bisa menjadi sasaran
pelampiasan balas dendamnya.
Maka,
terjadilah pertarungan antara Sri Maharaja Budawaka melawan Sri Maharaja
Budakresna. Pertarungan itu memakan waktu selama beberapa hari, sedangkan
mereka kalah dan menang silih berganti. Tidak jelas siapa yang lebih unggul di
antara mereka berdua. Sampai akhirnya datang seorang dewa turun dari kahyangan
yang melerai perkelahian itu.
Dewa
yang datang tersebut adalah Sanghyang Rudra, kakak Batara Guru lain ibu.
Kehadirannya adalah untuk menjelaskan bahwa pertarungan antara Sri Maharaja
Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna sebaiknya tidak perlu dilanjutkan, karena
masing-masing adalah penjelmaan Batara Brahma dan Batara Wisnu. Mereka berdua adalah
saudara kandung sesama putra Batara Guru yang sejak dulu saling akrab namun
kini tidak saling mengenali.
Sri
Maharaja Budawaka sangat malu begitu mengetahui bahwa Sri Maharaja Budakresna
ternyata adiknya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Sri Maharaja Budakresna
atas segala kesalahannya. Di lain pihak, Sri Maharaja Budakresna juga merasa
sangat malu tidak bisa mengenali penjelmaan kakaknya. Maka, untuk membuang sial
dan menghapuskan kenangan buruk itu, Sri Maharaja Budakresna mengganti nama
Kerajaan Medang Kamulan menjadi Kerajaan Purwacarita.
Setelah
dirasa cukup, Sanghyang Rudra pun pamit kembali ke Kahyangan Keling, sedangkan
Sri Maharaja Budawaka kembali ke Kerajaan Gilingaya.
BATARA RASIKADI MENJADI RAJA NEGERI GILINGAYA
Sri
Maharaja Budawaka telah kembali ke Kerajaan Gilingaya, namun ia masih sangat
malu dan menyesali kebodohannya yang tidak bisa mengenali penjelmaan Batara
Wisnu dalam wujud Sri Maharaja Budakresna. Karena perasaan malunya yang teramat
sangat itu, ia pun tidak bersemangat lagi menjadi raja Gilingaya, dan memilih
kembali ke wujud Batara Brahma. Maka, setelah mewariskan takhta Kerajaan
Gilingaya kepada sang menantu, yaitu Batara Rasikadi, ia pun kembali ke tempat
tinggalnya di Kahyangan Daksinageni.
Sepeninggal
sang mertua, Batara Rasikadi dilantik menjadi raja Kerajaan Gilingaya yang
baru, dengan bergelar Prabu Brahmakadali. Adapun kedudukan sebagai menteri
utama tetap dijabat oleh Patih Suweda.
Sementara
itu, melihat sang adik menjadi raja, Batara Sukadi dan Batara Reksakadi merasa
sakit hati. Mereka sangat malu dan keberatan hidup di bawah perintah Prabu
Brahmakadali. Keduanya lalu pergi tanpa pamit meninggalkan Kerajaan Gilingaya.
Batara
Sukadi memilih pergi ke Kerajaan Purwacarita untuk mengabdi kepada Sri Maharaja
Budakresna, sedangkan Batara Reksakadi pergi berkelana ke Tanah Hindustan di
mana ia berhasil menaklukkan Kerajaan Kasipura dan menjadi raja di sana.
Bale Sagala-gala (37)
Seorang punggawa yang mabuk minum tuak dan jatuh di depan Kunthi, Pinten, Arjuna, Tangsen, ketika pesta di Bale Sagalagala (karya: herjaka HS) |
Prabu
Kurupati raja Ngastina duduk di atas singhasana, dihadap oleh Patih Sangkuni,
Dursasana, Durmagati, Kartamarma, Citraksa dan Citraksi. Raja memperbincangkan
rencana pembagian negara Gajahoya. Patih Sangkuni mengusulkan agar para Korawa
menyiapkan Bale Sagalagala. Rumah itu supaya dibuat dari bambu dan diberi obat
supaya mudah terbakar, dan diberi sumbu pada empat sudut kayu penyangga.
Setelah siap dipakai, Kartamarma supaya mengundang para Pandhawa. Setelah
selesai perundingan, raja masuk istana, bercerita kepada permaisuri.
Para
Korawa menghadiri di luar istana. Patih Sangkuni membagi tugas, Kartamarma
ditugaskan mengundang para Pandhawa. Dursasana, Durmagati, Citraksa dan
Citraksi ditugaskan mendirikan Pesanggrahan.
Kunthi
dihadap oleh Puntadewa, Bima, Arjuna, Pinten dan Tangsen. Tengah mereka
berbincang-bincang Kartamarma datang, mengundang kehadiran para Pandhawa di
Pesanggrahan untuk menerima bagian negara. Para Pandhawa berangkat ke Gajahoya.
Kunthi dan para panakawan mengikutinya. Para Pandhawa datang di Ngastina,
kemudian berangkat ke Bale Sagalagala
Warga
Korawa dan Pandhawa bersidang di Bale Sagalagala. Bima keluar dari Bale,
kemudian didatangi oleh Bathara Narada. Bathara Narada memberi tahu, bahwa ada
binatang aneh, Bima disuruh mengikutinya. Bathara Narada kembali ke Kahyangan,
Bima kembali ke Bale Sagalagala.
Prabu
Kurupati bermain dadu dengan Puntadewa. Puntadewa amat senang, kemudian
Kurupati mengajak bertaruhan. Kurupati akan menaruhkan bagian negaranya,
Puntadewa akan menyerahkan hidupnya. Kurupati kalah, Patih Sangkuni berbuat
curang, lalu dimarahi oleh Kunthi. Patih Sangkuni pergi, para Korawa menjamu
minuman keras. Pandhawa ikut minum, kecuali Bima. Patih Sangkuni menyuruh agar
Bale Sagala-gala dibakar segera. Bale Sagalagala terbakar, para Korawa
menyelamatkan raja Kurupati. Bima cepat-cepat menyelamatkan ibu dan
adik-adiknya. Garangan Putih datang, Bima dan saudara-saudaranya mengikutinya.
Mereka masuk ke bumi. Kurupati mengira, bahwa Pandhawa telah mati terbakar.
Sang
Hyang Anantaboga yang tinggal di Saptapertala sedang dihadap oleh Dewi
Nagagini. Dewi Nagagini bercerita tentang mimpinya. Ia bertemu dengan kesatria
bernama Bima. Sang Hyang Anantaboga sanggup mencarikannya, lalu pergi
meninggalkan pertapaan. Di tengah perjalanan bertemu Kunthi dan para Pandhawa.
Mereka diajak ke Saptapertala dan mereka mau juga. Bima diambil menantu oleh
Sang Hyang Anantaboga, kawin dengan Nagagini.
Kunthi,
Arjuna, Tangsen dan Pinten meninggalkan Saptapertala. Arjuna dan panakawan
disuruh mencari air untuk Tangsen dan Pinten. Arjuna berangkat mencari air ke
sebuah sendang. Di sendang dilihat ada seorang wanita pengantin baru yang belum
cinta kepada suaminya yang bernama Sagotra. Pengantin wanita itu diganggu oleh
Arjuna, ia marah lalu mengadu kepada suaminya. Orang yang mengganggu supaya
dibunuhnya. Sagotra sanggup, isterinya disuruh masak dahulu. Setelah masak,
hidangan dijamukan kepada Arjuna. Sagotra berterimakasih, karena isterinya
telah mau mencintainya. Sagotra kelak akan membantu Arjuna. Arjuna menyambut
dengan senang hati. Arjuna kembali ke tempat adik dan ibunya.
Raja
raksasa di negara Manahilan bernama Prabu Budawaka. Raja gemar makan orang.
Ketika Bagawan Ijrapa akan dimakan, ia minta berpamitan kepada anak asuhnya
yang bernama Bambang Irawan. Raja mengijinkan, Bagawan Ijrapa menemui Bambang
Irawan. Bima datang dan diberitahu tentang nasib Bagawan Ijrapa. Bima sanggup
dimakan oleh Prabu Budawaka. Bima di bawa menghadap raja, kemudian akan
dimakannya. Raja Budawaka mati oleh Bima. Irawan mengucap terimakasih dan kelak
sanggup membantu Bima bila terjadi perang. Mereka kembali ke tempat tinggal
masing-masing.
Kunthi,
Puntadewa, Tangsen dan Pinten menanti kedatangan Arjuna. Arjuna datang,
kemudian disusul oleh kedatangan Bima. Mereka membawa buah tangan nasi dan lauk
pauk. Mereka makan bersama, kemudian minum air sendang. Setelah minum semuanya
mati, kecuali Semar. Semar marah, air sendang dikeringkan. Bathara Brama
datang, minta agar Semar tidak mengeringkan air sendang. Semar mau tidak
mengeringkan air sendang, asal semua yang mati dihidupkan kembali. Kunthi dan
anak-anaknya hidup kembali. Arjuna diberi pusaka bernama Brahmastra oleh
Bathara Brama. Kemudian Bathara Brahma kembali ke Kahyangan. Kunthi dan Arjuna disuruh
ke Wukir Retawu. Sedangkan Puntadewa, Bima, Tangsen dan Pinten disuruh ke
Wiratha dengan menggunakan nama samaran. Puntadewa bernama Wijakangka, Bima
bernama Abilawa. Bima ikut pejagal bernama Walakas. Mereka berpisahan
Prabu
Matswapati yang bertahta di negara Wiratha sedang duduk di atas singhasana,
dihadap oleh Seta, Untara, Wratsangka dan Patih Nirbita. Tengah mereka
berbicara datanglah Wijakangka menghadap raja, dan ingin mengabdi, Raja
Matswapati menerimanya.
Para
raksasa perajurit raja Manahilan datang, menyerang kerajaan Wiratha. Para putra
raja ditugaskan melawan serangan musuh. Perajurit raksasa berhasil
dimusnahkannya.
Raja
Mastwapati mengadakan pesta kemenangan bersama para putra dan abdi kerajaan.
Sumber
referensi :
R.S.
Subalidinata.
Mangkunagara
VII Jilid VIII, 1932: 16-21
Koleksi
Imajuner Nuswantoro