KISAH RADEN SAROJAKESUMA (LESMONO MANDRAKUMARA)
Sepandai-pandai menyimpan bangkai, lama-lama akan tercium juga. Begitulah kira-kira peribahasa yang tepat menggambarkan kelakuan Banowati, permaisuri Duryudana. Prabu Duryudana mulai curiga pada Banowati. Meski sudah menikah ternyata Banowati masih membuka hati, baju dan kutangnya untuk sang mantan “Arjuna” hingga dia hamil, buah nafsunya dengan Arjuna.
Duryudana berkata jika anak yang lahir kelak adalah perempuan itu adalah putri Arjuna. Dan Banowati akan diusir dari Astia. Dan jika anak yang lahir laki-laki, maka itu adalah putranya (Duryudana).
Tibalah saatnya Banowati melahirkan bayinya, yang ternyata lahirlah seorang bayi perempuan. Betapa paniknya Banowati akan hal itu. Tapi dengan pertolongan Kresna bayi tersebut ditukar dengan bayi laki-laki sebelum Duryudana melihatnya, karena waktu itu Duryudana sedang berada di luar Astina.
Disaat yang hampir sama, Dewi Manuhara, salah seorang istri Arjuan juga melahirkan bayi perempuan yang kemudian diberi nama Endang Pergiwa. Anak Banowati diberikan Kresna kepada Manuhara agar diakui sebagai anak kembarnya. Anak dari Banowati tersebut diberi nama Endang Pergiwati.
Sedang untuk putra Banowati dan Duryudana, Kresna mengambil seorang anak gendruwa yang dipujanya dan berubah wujud menjadi bayi manusia dan akhirnya diberi nama Lesmana Mandrakumara. Oleh karena itulah Lesmana mempunyai watak cengeng dan agak idiot. Setelah beranjak remaja, Lesmana dinobatkan sebagai putra mahkota Astina.
Dalam hal asmara, Lesmana tiga kali ikut berebut putri, tiga kali pula bertepuk sebelah tangan alias ngaplo. Pertama, bertarung dengan Bambang Irawan anak Harjuna memperebutkan Dewi Titisari. Kedua, memperebutkan Dewi Siti Sundari melawan Abimanyu yang juga Anak Harjuna. Kemudian ketiga bersaing dengan Gatukkaca anak Werkudara memperebutkan dewi Pergiwa.
Dalam upaya memperoleh Wahyu Cakraningrat, yang konon pemegangnya akan menjadi penerus tahta, Lesmana Mandrakumara bersaing dengan Abimanyu dan Samba (Anak Kresna). Wahyu Cakraningrat pertamakali memang masuk ke tubuh Lesmana Mandrakumara. Sayangnya begitu tahu memperoleh wahyu, ia langsung berpesta-pora, mabok-mabokan, lupa bersyukur. Wahyu Cakraningrat pun oncat dari badan lesmana. Selanjutnya wahyu masuk ke tubuh Samba. Samba tidak berpesta tapi lupa bersyukur juga. Di jalan tergoda perempuan yang tidak lain adalah jelmaan Batari Durga. Wahyu cakraningrat pun oncat dan masuk ke tubuh Abimanyu. Langkah pertama Abimanyu adalah bersyukur. Godaan di jalan bisa diatasi. Wahyu Cakraningrat pun menetap di tubuh Abimanyu. Walaupun Abimanyu tidak sempat menjadi raja, tetapi anaknya yang bernama Parikesit kelak menjadi raja Hastinapura.
Dalam perang Bharatayudha Jayabinangun, Lesmana Mandrakumara tewas di tangan Abimanyu. Kala itu Abimanyu sudah luka parah (tatu arang kranjang) karena dikroyok Kurawa. Lesmana ingin jadi pahlawan dengan mengakhiri sepak terjang Abimanyu. Tetapi Abimanyu masih mampu membunuh Lesmana Mandrakumara.
LESMANA MANDRAKUMARA LAHIR
Kisah ini menceritakan kelahiran Raden Lesmana Mandrakumara, yaitu putra Prabu Duryudana yang diselundupkan Raden Arjuna ke dalam Kerajaan Hastina kepada Dewi Banuwati. Adapun bayi yang dilahirkan Dewi Banuwati sebenarnya berkelamin perempuan, dan oleh Raden Arjuna dititipkan kepada istrinya yang bernama Endang Manuhara, untuk diasuh dan diberi nama Endang Pregiwati, serta dipersaudarakan dengan Endang Pregiwa yang lebih dulu lahir.
Kelak Raden Lesmana Mandrakumara menjadi musuh para putra Pandawa, terutama Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca.
KISAH-KISAH DALAM CERITA PEWAYANGAN LESMONO MANDRAKUMARA
PRABU DURYUDANA MENCURIGAI KEHAMILAN DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap para menteri dan punggawa, sedang membicarakan kehamilan sang permaisuri Dewi Banuwati, yang saat ini sudah mencapai usia sembilan bulan. Namun sejujurnya, Prabu Duryudana merasa ada yang mengganjal dalam hati tentang kehamilan istrinya itu.
Patih Sangkuni yakin arah pembicaraan Prabu Duryudana pasti menjurus ke masalah pribadi. Ia merasa tidak pantas jika persoalan aib rumah tangga sang raja sampai didengar oleh banyak orang. Untuk itu, Patih Sangkuni segera membubarkan para menteri dan punggawa lainnya agar mereka segera keluar meninggalkan balai penghadapan. Kini yang tertinggal hanyalah orang-orang kepercayaan Prabu Duryudana saja yang masih menghadap, yaitu Resi Druna, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan Raden Kartawarma.
Prabu Duryudana pun melanjutkan pembicaraan. Sejak awal menikah ia sudah mendengar desas-desus tentang hubungan asmara antara Dewi Banuwati dengan Raden Arjuna. Desas-desus ini semakin diperkuat dengan permintaan aneh Dewi Banuwati, yaitu ingin dicarikan juru rias pengantin yang tampan sempurna tanpa cacat. Siapa lagi yang dimaksud kalau bukan Raden Arjuna si Panengah Pandawa itu?
Prabu Duryudana juga pernah mendengar cerita bagaimana caranya membedakan wanita yang masih perawan atau tidak. Wanita jika masih perawan pasti mengeluarkan darah saat bersetubuh pertama kali. Padahal, saat malam pertama perkawinan mereka, ternyata darah tersebut tidak keluar dari kemaluan Dewi Banuwati. Hal ini membuat Prabu Duryudana curiga jangan-jangan istrinya itu memang pernah berbuat zina dengan Raden Arjuna sebelum menikah dengannya. Itulah sebabnya, ia pun ragu apakah bayi yang dikandung Dewi Banuwati kali ini benar-benar anaknya atau bukan.
Resi Druna menasihati Prabu Duryudana agar jangan mudah menuduh istri berbuat zina jika tidak memiliki bukti yang cukup. Tuduhan yang keliru hanya akan merusak keharmonisan rumah tangga belaka. Tidak hanya itu, menuduh Dewi Banuwati tanpa bukti juga akan merusak hubungan baik antara Kerajaan Hastina dengan Kerajaan Mandraka. Maka, Prabu Duryudana sebaiknya tidak buru-buru mencurigai istri hanya karena tidak mengeluarkan darah di malam pertama.
Adipati Karna membenarkan ucapan Resi Druna. Soal mengeluarkan darah atau tidak itu tidak boleh digunakan sebagai acuan. Setiap perempuan memiliki riwayat tubuh yang berbeda-beda. Ada perempuan yang sewaktu muda pernah kecelakaan terjatuh dari kuda atau kereta, sehingga bisa saja merusak bagian dalam kelaminnya. Atau ada juga perempuan yang bagian dalam kelaminnya berukuran tebal, sehingga tidak mudah koyak dan mengeluarkan darah saat berhubungan badan dengan suaminya pertama kali. Oleh sebab itu, suami jangan mudah termakan mitos soal darah perawan, karena itu hanya akan menjadi beban yang merugikan dalam mengarungi biduk rumah tangga. Suami dan istri lebih baik saling percaya daripada saling menaruh curiga.
Patih Sangkuni berpendapat lain. Prabu Duryudana bukan hanya seorang suami biasa, tetapi juga seorang raja besar. Apa jadinya jika permaisuri seorang raja agung ternyata pernah berbuat zina sebelum menikah? Soal dugaan Dewi Banuwati mengandung anak orang lain itu perlu diselidiki lebih lanjut. Apalagi ini menyangkut soal penerus takhta Kerajaan Hastina pula. Kalau benar bayi yang dikandung Dewi Banuwati adalah putra Raden Arjuna, maka hal ini akan sangat berbahaya. Raden Arjuna adalah anggota Pandawa. Apabila benar demikian, maka si bayi akan menjadi musuh dalam selimut bagi para Kurawa.
Prabu Duryudana menjadi bimbang. Di satu sisi ia menerima nasihat Resi Druna dan Adipati Karna, namun di sisi lain ia juga percaya pada ucapan Patih Sangkuni. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya ia pun mengambil jalan tengah. Apabila bayi yang dilahirkan Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka Prabu Duryudana bersedia mengakuinya sebagai putra. Namun, apabila bayi yang lahir berkelamin perempuan, maka ia akan mengusir Dewi Banuwati beserta anaknya itu dari Kerajaan Hastina.
PRABU MANDRAJAYA HENDAK MEREBUT DEWI BANUWATI
Usai Prabu Duryudana mengucapkan sumpah, tiba-tiba muncul seorang laki-laki datang menghadap. Laki-laki itu bernama Patih Mandradenta dari Kerajaan Saroja. Kedatangannya ialah untuk menyampaikan sepucuk surat dari rajanya yang bernama Prabu Mandrajaya. Prabu Duryudana pun menerima surat itu dan membaca isinya.
Dalam surat tersebut Prabu Mandrajaya menceritakan asal usulnya. Dahulu kala tersebutlah Kerajaan Mandrapura di tanah seberang yang dipimpin oleh Prabu Barandana. Pada suatu hari Kerajaan Mandrapura hancur diserang Prabu Bahlikasura dari Kerajaan Siwandapura. Prabu Barandana pun tewas dalam serangan tersebut. Kedua putra Prabu Barandana yang bernama Raden Kardana dan Raden Karjaya terpencar menyelamatkan diri masing-masing. Raden Kardana lalu mengabdi kepada Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dan mendapatkan sebidang tanah di Hutan Keling. Raden Kardana lalu membabat hutan tersebut menjadi negara baru, yang diberi nama Kerajaan Mandraka. Ia pun menjadi raja pertama, bergelar Prabu Mandrakusuma. Adapun Prabu Salya yang memerintah Kerajaan Mandraka saat ini adalah keturunan dari Prabu Mandrakusuma tersebut.
Sementara itu, adik Raden Kardana yang bernama Raden Karjaya juga berkelana tetapi tidak menjadi raja, melainkan hidup berbaur dengan rakyat jelata. Setelah turun-temurun barulah ada seorang keturunannya yang berhasil mendirikan sebuah negara baru bernama Kerajaan Saroja. Keturunannya itu tidak lain adalah Prabu Mandrajaya yang kini berkirim surat kepada Prabu Duryudana.
Prabu Mandrajaya berniat mempersatukan dua cabang keturunan Prabu Barandana dengan cara melamar putri Prabu Salya di Mandraka. Sayang sekali, ketiga putri Prabu Salya sudah menikah semua. Prabu Mandrajaya tidak mau menyerah begitu saja. Di antara ketiga putri tersebut yang paling menarik perhatiannya adalah Dewi Banuwati yang telah menikah dengan Prabu Duryudana di Kerajaan Hastina. Untuk itulah, Prabu Mandrajaya pun berkirim surat agar Prabu Duryudana menceraikan Dewi Banuwati dan menyerahkan jandanya itu sebagai permaisuri Kerajaan Saroja.
Prabu Duryudana tersinggung membaca surat tersebut. Ia pun membanting dan memaki Patih Mandradenta bahwa Dewi Banuwati tidak akan pernah diserahkan kepada siapa pun. Patih Mandradenta menjawab dirinya sudah mendapat wewenang dari Prabu Mandrajaya, apabila Prabu Duryudana menolak menyerahkan istrinya, maka harus direbut melalui peperangan. Mendengar ini, Adipati Karna segera menanggapi bahwa dirinyalah yang akan melayani tantangan pihak Kerajaan Saroja. Untuk itu, Patih Mandradenta diminta menunggu di luar dengan mempersiapkan seluruh pasukannya. Patih Mandradenta setuju dan segera pamit undur diri kembali ke induk pasukannya.
Setelah Patih Mandradenta keluar, Resi Druna menggoda Prabu Duryudana dengan bertanya mengapa Dewi Banuwati tidak diserahkan saja, bukankah tadi sang permaisuri sudah dicurigai pernah berbuat serong? Prabu Duryudana menjawab bahwa Dewi Banuwati adalah permaisurinya. Bagaimanapun juga ini menyangkut wibawanya sebagai raja. Jika sampai istrinya direbut orang, maka wibawanya akan ikut jatuh pula di mata rakyat. Resi Druna senang mendengar jawaban ini. Ia pun berdoa semoga pihak Hastina mampu mengalahkan tantangan Kerajaan Saroja.
PRABU DURYUDANA MENEMUI DEWI BANUWATI
Prabu Duryudana telah membubarkan pertemuan. Ia lalu masuk ke dalam kedaton menemui sang permaisuri Dewi Banuwati yang hari ini telah memasuki usia kandungan sembilan bulan, dan mungkin akan segera melahirkan. Tampak pula Dewi Srutikanti (istri Adipati Karna) berjaga menemani di sisi Dewi Banuwati.
Melihat Prabu Duryudana datang, Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti segera menyambut ramah. Prabu Duryudana tampak bermuka masam. Ia pun bercerita bahwa dirinya baru saja menerima surat dari seorang raja bernama Prabu Mandrajaya di Kerajaan Saroja. Surat itu berisi permintaan Prabu Mandrajaya agar Prabu Duryudana menyerahkan Dewi Banuwati kepadanya. Tujuan Prabu Mandrajaya ingin menikahi Dewi Banuwati adalah untuk mempererat tali kekeluargaan antara sesama cabang keturunan mendiang Prabu Barandana raja Mandrapura.
Dewi Banuwati sangat marah mendengar berita itu. Ia merasa lebih baik mati daripada Prabu Duryudana menyerahkan dirinya kepada laki-laki lain. Prabu Duryudana pun bertanya apakah ucapan istrinya itu tulus dari hati ataukah hanya manis di bibir saja? Dewi Banuwati pun ditanyai apabila dirinya diserahkan kepada laki-laki lain, dan laki-laki itu adalah Raden Arjuna lantas bagaimana sikapnya, menolak atau tidak?
Dewi Banuwati pucat pasi tidak bisa menjawab. Dewi Srutikanti segera membela adiknya dengan menyebut pertanyaan Prabu Duryudana sangatlah tidak pantas. Prabu Duryudana pun berterus terang bahwa dirinya baru saja mengambil keputusan. Apabila bayi yang dilahirkan Dewi Banuwati berkelamin laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai putra. Sebaliknya, jika Dewi Banuwati melahirkan anak perempuan, maka itu pastilah anak Raden Arjuna. Jika benar itu yang terjadi, maka Prabu Duryudana tidak segan-segan mengusir Dewi Banuwati keluar dari Kerajaan Hastina beserta anaknya sekaligus.
Dewi Banuwati tergetar mendengar keputusan Prabu Duryudana tersebut. Ia pun jatuh lemas dan segera dipapah Dewi Srutikanti masuk ke dalam. Dewi Srutikanti pun menyesali ucapan Prabu Duryudana yang melampaui batas. Sebagai suami bukannya menenangkan perasaan istri yang sedang hamil tua, tetapi justru bersikap kasar seperti itu. Prabu Duryudana merasa serbasalah. Ia pun pamit keluar ingin menonton Adipati Karna menghancurkan musuh dari Kerajaan Saroja. Soal bagaimana nanti Dewi Banuwati melahirkan, biarlah Dewi Srutikanti saja yang mendampingi. Usai berkata demikian, ia pun bergegas keluar meninggalkan kedaton.
DEWI BANUWATI MELAHIRKAN BAYI PEREMPUAN
Dewi Srutikanti lalu memapah adiknya masuk ke dalam kamar. Dewi Banuwati merasa dirinya akan segera melahirkan. Menyadari hal itu, Dewi Srutikanti khawatir ucapan Prabu Duryudana menjadi kenyataan. Maka, ia pun seorang diri membantu Dewi Banuwati melahirkan tanpa perlu memanggil bidan atau dayang istana. Ternyata benar, Dewi Banuwati hari itu melahrkan seorang bayi perempuan.
Dewi Banuwati menangis sambil bercerita kepada sang kakak bahwa dirinya memang pernah berselingkuh dengan Raden Arjuna, yaitu ketika menjelang pernikahan dulu. Saat itu dirinya dirias di dalam kamar oleh Raden Arjuna hanya berdua saja. Mereka sama-sama terlena sehingga melakukan hubungan badan. Tak disangka, persetubuhan tersebut membuat Dewi Banuwati mengandung hingga akhirnya kini melahirkan anak perempuan.
Dewi Srutikanti sangat kesal mendengar ulah adiknya yang sangat memalukan. Namun, bagaimanapun juga ia tidak rela jika Dewi Banuwati sampai diusir dari Kerajaan Hastina. Ini semua adalah tanggung jawab Raden Arjuna. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti pun menggendong bayi perempuan tersebut keluar melalui pintu belakang istana. Dewi Banuwati menangis sedih karena harus berpisah dengan putrinya yang baru lahir, hingga akhirnya ia pun jatuh pingsan.
ADIPATI KARNA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN SAROJA
Sementara itu, Adipati Karna bersama pasukan Hastina telah berhadap-hadapan dengan musuh dari Kerajaan Saroja yang dipimpin Patih Mandradenta. Tidak lama kemudian, kedua pihak saling menyerang. Pertempuran sengit pun terjadi. Adipati Karna dibantu Patih Adimanggala, Arya Druwajaya, dan Arya Jayarata berhasil memukul mundur pasukan musuh tersebut.
Prabu Duryudana sangat senang melihat kemenangan kakak iparnya. Namun, ia tidak mau berhenti sampai di sini saja. Ia ingin peperangan tetap dilanjutkan, yaitu Kerajaan Saroja harus ditaklukkan menjadi jajahan Kerajaan Hastina. Prabu Duryudana ingin melihat seperti apa wajah Prabu Mandrajaya yang berani lancang hendak merebut istrinya.
Usai berkata demikian, Prabu Duryudana pun naik ke punggung Gajah Murdaningkung kemudian mengajak Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap pasukan Hastina untuk berangkat menggempur Kerajaan Saroja.
DEWI SRUTIKANTI BERTEMU RADEN ARJUNA
Karena Prabu Duryudana sudah berangkat menyerang Kerajaan Saroja, Dewi Srutikanti pun dapat leluasa menyelinap keluar meninggalkan istana Kerajaan Hastina sambil menggendong bayi perempuan yang baru saja dilahirkan adiknya. Belum seberapa jauh kepergiannya, tiba-tiba ia melihat Raden Arjuna bersama para panakawan sedang berjalan menuju ibu kota Hastina.
Dewi Srutikanti pun bertanya ada keperluan apa Raden Arjuna hendak berkunjung ke Kerajaan Hastina. Raden Arjuna mengaku tadi malam ia bermimpi melihat Dewi Banuwati disiksa Prabu Duryudana karena melahirkan bayi perempuan. Itulah sebabnya dirinya hendak datang ke istana Hastina untuk menolong Dewi Banuwati.
Dewi Srutikanti membenarkan mimpi tersebut bahwa Dewi Banuwati memang baru saja melahirkan seorang bayi perempuan. Namun, alangkah baiknya untuk selanjutnya Raden Arjuna jangan lagi mengganggu kehidupan rumah tangga adiknya dan Prabu Duryudana. Jika sampai Raden Arjuna muncul di Kerajaan Hastina, maka rumah tangga mereka bisa hancur berantakan. Dewi Srutikanti menasihati agar Raden Arjuna melupakan kisah cintanya dengan Dewi Banuwati untuk selamanya, apalagi mereka masing-masing sudah sama-sama menikah.
Kyai Semar membenarkan ucapan Dewi Srutikanti. Di sepanjang jalan tadi dirinya sudah banyak menasihati Raden Arjuna tetapi sama sekali tidak ditanggapi. Kini Dewi Srutikanti juga menasihati demikian, alangkah baiknya Raden Arjuna mengurungkan niatnya ingin menemui Dewi Banuwati.
Dewi Srutikanti lalu menyerahkan bayi perempuan yang ada di gendongannya kepada Raden Arjuna. Ia berkata bahwa bayi tersebut adalah putri hasil hubungan Dewi Banuwati dengan Raden Arjuna sesaat sebelum adiknya itu menikah dengan Prabu Duryudana. Ia juga menceritakan Prabu Duryudana baru saja bersumpah akan mengakui anak apabila Dewi Banuwati melahirkan bayi laki-laki. Sebaliknya, jika yang lahir perempuan, maka Dewi Banuwati akan diusir dari Kerajaan Hastina. Oleh sebab itu, Dewi Srutikanti pun membawa lari bayi perempuan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban Raden Arjuna.
Raden Arjuna berkata dirinya pasti akan bertanggung jawab, jangan sampai Dewi Banuwati menderita sebagaimana yang ia lihat dalam mimpi. Ia pun menerima bayi perempuan tersebut dan meminta Dewi Srutikanti agar segera pulang menjaga Dewi Banuwati. Ia berjanji akan mengamankan bayi perempuan ini, serta mencarikan ganti seorang bayi laki-laki untuk diselundupkan ke dalam Kerajaan Hastina.
Usai berkata demikian, Raden Arjuna pun menyuruh para panakawan agar pulang saja ke Kerajaan Amarta, sedangkan ia sendirian melesat pergi dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, sambil menggendong putrinya yang baru lahir tersebut.
RADEN ARJUNA MENYERAHKAN BAYINYA KEPADA ENDANG MANUHARA
Raden Arjuna teringat bahwa dirinya memiliki seorang istri paminggir yang tinggal di Padepokan Andongsumawi, yaitu Endang Manuhara putri Resi Sidiwacana. Mereka pertama kali bertemu saat Raden Arjuna terlempar oleh kesaktian Patih Sekiputantra dalam pertempuran di Kahyangan Suralaya dulu. Saat itu Raden Arjuna jatuh pingsan dan dirawat sampai sembuh oleh Resi Sidiwacana dan Endang Manuhara. Kemudian Raden Arjuna pun menikah dengan gadis itu dan untuk sementara waktu tinggal di Padepokan Andongsumawi. Hingga pada suatu hari, Adipati Karna datang menjemput Raden Arjuna untuk menjadi juru rias pengantin Dewi Banuwati di Kerajaan Mandraka. Ketika Raden Arjuna pergi meninggalkan Padepokan Andongsumawi, saat itu Endang Manuhara sedang mengandung usia tiga bulan.
Raden Arjuna yakin saat ini istrinya tersebut pasti sudah melahirkan. Ia pun bergegas menuju Padepokan Andongsumawi dan berhasil sampai di sana. Dilihatnya Endang Manuhara sedang berdiri di depan bangunan padepokan sambil menggendong seorang bayi perempuan pula.
Raden Arjuna pun disambut hangat oleh istrinya itu. Endang Manuhara segera memperkenalkan bayi yang ia gendong merupakan putri hasil perkawinan mereka. Bayi perempuan tersebut telah diberi nama Endang Pregiwa oleh kakeknya. Raden Arjuna sangat terharu memandang anak pertamanya. Ia pun menggendong bayi tersebut sekaligus dengan bayi perempuan yang ia bawa, masing-masing di lengan kanan dan kiri.
Endang Manuhara lalu bertanya siapa bayi perempuan yang satunya lagi. Raden Arjuna menjawab malu-malu bahwa ini adalah putrinya sendiri yang dilahirkan oleh Dewi Banuwati. Endang Manuhara heran mendengarnya. Ia masih ingat dulu Adipati Karna datang menjemput suaminya untuk menjadi juru rias Dewi Banuwati yang akan menikah dengan Prabu Duryudana. Namun, mengapa sekarang justru Dewi Banuwati melahirkan anak perempuan Raden Arjuna?
Raden Arjuna pun menjelaskan bahwa sebelum dijodohkan dengan Prabu Duryudana, Dewi Banuwati pernah menjalin hubungan asmara dengannya. Menjelang upacara pernikahannya, Dewi Banuwati sengaja meminta disediakan seorang juru rias yang tampan tanpa cacat. Maksudnya ialah, agar Prabu Duryudana menghadirkan Raden Arjuna kepadanya. Rupa-rupanya Dewi Banuwati ingin berpamitan dengan kekasihnya tersebut.
Demikianlah, Raden Arjuna dan Dewi Banuwati pun hanya berdua di dalam kamar. Dalam pertemuan itu Dewi Banuwati mengutarakan isi hatinya hingga membuat Raden Arjuna terharu. Mereka pun saling menangis sedih hingga akhirnya sama-sama terlena oleh nafsu. Begitulah ceritanya, Dewi Banuwati akhirnya melakukan hubungan badan dengan Raden Arjuna sesaat sebelum menikah dengan Prabu Duryudana.
Akibat hubungan tersebut, Dewi Banuwati pun mengandung hingga akhirnya kini melahirkan. Rupa-rupanya Prabu Duryudana merasa curiga apakah benar bayi tersebut adalah anaknya atau bukan. Maka, ia pun mengambil jalan tengah. Apabila yang lahir bayi laki-laki, maka ia bersedia menerimanya sebagai putra. Namun, jika yang lahir bayi perempuan, maka ia akan mengusir Dewi Banuwati karena yakin pasti bayi tersebut adalah anak hasil perselingkuhan istrinya dengan Raden Arjuna.
Sudah menjadi takdir dewata ternyata bayi yang lahir memang perempuan. Dewi Srutikanti kakak kandung Dewi Banuwati pun menyelamatkan bayi tersebut dan meminta Raden Arjuna agar bertanggung jawab, jangan sampai adiknya diusir dari Kerajaan Hastina. Raden Arjuna menerima bayi tersebut dan berniat menitipkannya kepada Endang Manuhara di Padepokan Andongsumawi.
Mendengar itu, Endang Manuhara sangat kesal karena dirinya dijadikan sebagai tempat penitipan belaka. Sang suami berbuat selingkuh dengan wanita lain, namun ia yang harus ikut bertanggung jawab pula. Endang Manuhara merasa berat jika harus mengasuh anak hasil perselingkuhan mereka. Namun, tiba-tiba si bayi putri Dewi Banuwati menangis karena lapar. Seketika sifat keibuan Endang Manuhara pun tergugah. Ia segera mengambil bayi perempuan tersebut dari tangan Raden Arjuna dan menyusuinya.
Bayi perempuan tersebut langsung diam dan meneguk air susu Endang Manuhara dengan lahap. Melihat wajah si bayi yang polos dan cantik, Endang Manuhara yang tadinya kesal berubah menjadi senang, seolah dirinya kini memiliki dua orang anak sekaligus. Ia pun bersedia merawat bayi tersebut dan menjadikannya sebagai adik Endang Pregiwa. Endang Manuhara lalu memberi nama putri barunya itu, Endang Pregiwati.
Raden Arjuna setuju dan juga sangat bahagia atas ketulusan hati sang istri. Kini ia merasa lega karena masalah pertama sudah teratasi. Sekarang tinggal masalah kedua, yaitu mencari bayi laki-laki untuk diserahkan kepada Dewi Banuwati. Endang Manuhara seketika teringat bahwa sang ayah, yaitu Resi Sidiwacana hari ini sedang mengunjungi kawan lamanya, yaitu Nyai Clekutana di Hutan Pringgabaya. Konon kabarnya, putri Nyai Clekutana yang bernama Mirahdinebak baru saja melahirkan bayi laki-laki tanpa ayah. Mendengar itu, Raden Arjuna segera mohon pamit kepada sang istri untuk kemudian bergegas menuju Hutan Pringgabaya.
RADEN ARJUNA MEMINTA ANAK MIRAHDINEBAK
Dengan mengerahkan Aji Seipi Angin, Raden Arjuna pun sampai di tempat tinggal Nyai Clekutana dalam waktu singkat. Bagaimanapun juga ia pernah datang ke tempat itu bersama Adipati Karna untuk mencari seekor gajah putih sebagai syarat pernikahan Prabu Duryudana. Itulah sebabnya, Raden Arjuna dapat langsung menemukan rumah Nyai Clekutana. Tampak di sana Mirahdinebak sedang menggendong seorang bayi laki-laki. Resi Sidiwacana juga masih berada di tempat itu untuk mengucapkan selamat atas kelahiran cucu sahabatnya.
Resi Sidiwacana bertanya ada keperluan apa menantunya datang menyusul. Raden Arjuna berterus terang menceritakan Prabu Duryudana telah mencurigai istrinya, yaitu Dewi Banuwati berbuat selingkuh. Prabu Duryudana pun bersumpah jika istrinya melahirkan bayi perempuan maka akan diusir kedua-duanya dari Kerajaan Hastina, namun jika melahirkan bayi laki-laki maka akan diakui sebagai anak. Sungguh kebetulan yang lahir adalah perempuan. Maka, Raden Arjuna pun mengambil dan menitipkan bayi itu agar diasuh oleh Endang Manuhara yang baru saja melahirkan Endang Pregiwa. Bayi tersebut telah diterima oleh Endang Manuhara dan diberi nama Endang Pregiwati.
Kini kedatangan Raden Arjuna ke Hutan Pringgabaya adalah untuk meminta bayi laki-laki yang baru saja dilahirkan oleh Mirahdinebak. Bayi tersebut rencananya akan diserahkan kepada Dewi Banuwati agar diakui sebagai anak Prabu Duryudana. Nyai Clekutana merasa permintaan ini sangat aneh dan ia tidak rela jika cucunya harus dibawa oleh Raden Arjuna.
Mirahdinebak sendiri tergetar mendengarnya. Selama ini ia menjaga rahasia siapa sebenarnya ayah dari bayi yang ia lahirkan tersebut. Hari ini ia terpaksa bercerita kepada Nyai Clekutana dan Resi Sidiwacana bahwa bayinya adalah putra Prabu Duryudana raja Hastina. Awal mulanya ialah Prabu Duryudana handak meminjam gajah putih peliharaan Mirahdinebak sebagai syarat pernikahannya dengan Dewi Banuwati. Mirahdinebak bersedia menyerahkan Gajah Murdaningkung untuk menjadi milik Prabu Duryudana selamanya, asalkan mereka bersetubuh terlebih dahulu. Prabu Duryudana menerima syarat tersebut. Demikianlah awal mula mengapa Mirahdinebak dapat mengandung anak Prabu Duryudana.
Raden Arjuna merasa kesal mendengarnya, karena Prabu Duryudana menuduh Dewi Banuwati berselingkuh, padahal dirinya sendiri juga berhubungan badan dengan Mirahdinebak. Raden Arjuna lalu memohon agar Mirahdinebak bersedia menyerahkan bayi laki-laki itu kepadanya demi menyelamatkan nasib Dewi Banuwati.
Sebagai seorang ibu, Mirahdinebak sebenarnya sangat sayang kepada putranya. Namun, sebagai sesama wanita, ia merasa kasihan pada nasib Dewi Banuwati. Setelah ditimbang-timbang, ia akhirnya merelakan Raden Arjuna membawa putranya untuk diserahkan kepada Dewi Banuwati. Lagipula putranya itu adalah anak kandung Prabu Duryudana, tentunya lebih baik jika mendapat penghidupan yang layak di dalam istana bersama ayahnya.
Raden Arjuna sangat berterima kasih dan menggendong bayi laki-laki tersebut. Ia lalu mohon pamit kepada Nyai Clekutana dan Mirahdinebak, begitu pula Resi Sidiwacana juga berpamitan kepada ibu dan anak tersebut. Mereka lalu pergi ke tujuan masing-masing. Raden Arjuna menuju Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Sidiwacana pulang ke Padepokan Andongsumawi.
RESI DRUNA MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA
Sementara itu di Kerajaan Amarta, Prabu Puntadewa sedang dihadap Arya Wrekodara, si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa, serta Patih Tambakganggeng dan para panakawan. Tiba-tiba datang Resi Druna menemui mereka. Prabu Puntadewa pun menyambut kedatangan sang guru dan bertanya ada keperluan apa. Resi Druna berkata bahwa Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan segenap Kurawa telah pergi menyerang Kerajaan Saroja menghadapi Prabu Mandrajaya yang berniat merebut Dewi Banuwati. Namun, dalam peperangan itu mereka jatuh ke dalam perangkap musuh yang dipasang secara licik. Kini, Prabu Duryudana, Adipati Karna, dan Patih Sangkuni menjadi tawanan Prabu Mandrajaya.
Resi Druna yang mengawasi dari kejauhan segera pergi untuk meminta bantuan. Untuk itulah ia sengaja datang ke istana Indraprasta untuk meminta pertolongan Prabu Puntadewa dan saudara-saudaranya agar bersedia membebaskan Prabu Duryudana dan yang lain.
Arya Wrekodara menanggapi bahwa itu semua adalah akibat ulah Prabu Duryudana sendiri. Prabu Duryudana terlalu sombong menyerang Kerajaan Saroja. Kesombongannya itulah yang membuat dirinya celaka. Selain itu Prabu Duryudana juga sering berbuat licik kepada para Pandawa, maka pantas jika hari ini mendapat balasan setimpal dari Prabu Mandrajaya yang sama-sama licik. Oleh sebab itu, ia menyatakan tidak sudi pergi membantu.
Prabu Puntadewa menasihati Arya Wrekodara agar jangan bersikap demikian. Bagaimanapun juga Kerajaan Hastina adalah tanah air dan kampung halaman para Pandawa. Saat ini raja Hastina sedang kesusahan, sudah seharusnya para Pandawa turun tangan membantu. Apabila Prabu Duryudana tidak dibebaskan, Kerajaan Hastina akan menjadi kacau karena tidak memiliki pemimpin. Keributan bisa terjadi di mana-mana, dan yang paling menderita sudah pasti rakyat jelata.
Arya Wrekodara menimbang-nimbang dan akhirnya bersedia membantu membebaskan Prabu Duryudana dan kawan-kawan. Ia kemudian mohon pamit kepada sang kakak sulung, lalu berangkat bersama Resi Druna. Para panakawan yang tadi diperintahkan pulang oleh Raden Arjuna, kini ikut berangkat pula menyertai Arya Wrekodara menuju Kerajaan Saroja.
ARYA WREKODARA MENGALAHKAN PRABU MANDRAJAYA
Arya Wrekodara dan Resi Druna telah sampai di Kerajaan Saroja. Prabu Mandrajaya pun keluar menghadapi mereka. Resi Druna menantang raja tersebut untuk menghadapi muridnya yang baru datang ini. Jika Prabu Mandrajaya kalah, maka Prabu Duryudana dan semua pengikutnya harus dibebaskan. Namun, apabila Arya Wrekodara yang kalah, maka Prabu Mandrajaya berhak mendapatkan Dewi Banuwati lengkap dengan seluruh Kerajaan Hastina.
Prabu Mandrajaya sepakat. Ia lalu mengangkat gada untuk melayani tantangan Arya Wrekodara. Di lain pihak, Arya Wrekodara juga sudah siap dengan senjata Gada Rujakpolo di tangan. Mereka pun maju dan saling menyerang. Pertarungan sengit pun terjadi. Sungguh dahsyat perkelahian mereka hingga banyak bangunan istana Saroja yang rusak terkena pukulan gada.
Prabu Mandrajaya akhirnya lengah karena melihat istanya rusak dihantam gada Arya Wrekodara. Akibatnya, Gada Rujuakpolo pun mendarat di kepalanya. Prabu Mandrajaya roboh seketika. Ia bersumpah sukmanya akan menyatu dengan putra Prabu Duryudana, agar selalu menjadi musuh anak-anak para Pandawa. Usai berkata demikian, Prabu Mandrajaya pun meninggal dunia. Rohnya keluar meninggalkan raga naik ke angkasa dalam wujud seberkas sinar.
Resi Druna pun bergegas membebaskan Prabu Duryudana, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan para Kurawa lainnya dari dalam penjara. Prabu Duryudana sangat malu karena dirinya dibebaskan oleh Arya Wrekodara yang selama ini dianggapnya sebagai musuh. Namun, Resi Druna menasihati sang raja agar menenangkan diri. Yang terpenting saat ini Kerajaan Saroja sudah menjadi taklukan Kerajaan Hastina dan itu berarti wilayah Kerajaan Hastina menjadi jauh lebih luas lagi.
Prabu Duryudana merasa senang. Ia lalu mengajak Arya Wrekodara ikut kembali ke Kerajaan Hastina di mana ia berniat menjamu sepupunya itu sebagai ungkapan terima kasih. Resi Druna meminta Arya Wrekodara memenuhi undangan tersebut dan tidak perlu khawatir karena dirinya yang akan menjamin para Kurawa tidak akan berbuat jahat. Arya Wrekodara menyatakan bersedia. Ia sama sekali tidak takut Prabu Duryudana meracuni makanannya, karena sejak meminum air pusaka Tirtamanik Rasakunda pemberian Batara Basuki, dirinya kini menjadi kebal terhadap segala jenis racun.
Demikianlah, Prabu Duryudana bersama seluruh rombongan kemudian pulang ke Kerajaan Hastina dengan penuh kegembiraan.
RADEN ARJUNA MENYERAHKAN ANAK MIRAHDINEBAK KEPADA DEWI BANUWATI
Sementara itu, Raden Arjuna telah menyusup masuk ke dalam istana Kerajaan Hastina dan menemui Dewi Srutikanti. Saat itu Dewi Banuwati telah bangun dari pingsan dan bertanya bagaimana keadaan putrinya. Raden Arjuna menjawab bahwa sang putri kecil baik-baik saja, dan kini berada dalam asuhan istrinya yang bernama Endang Manuhara. Dewi Banuwati sangat bersyukur dan berterima kasih atas segala bantuan Raden Arjuna. Dewi Srutikanti berkata tidak perlu berterima kasih, karena bagaimanapun juga Raden Arjuna adalah ayah kandung si bayi. Raden Arjuna sudah berbuat, maka harus ikut bertanggung jawab. Demikianlah, sejak dulu Dewi Srutikanti memang tidak pernah suka kepada Raden Arjuna, sungguh berbeda dengan para wanita kebanyakan.
Dewi Srutikanti lalu bertanya, siapa bayi laki-laki yang digendong Raden Arjuna sekarang. Raden Arjuna menjawab, bayi laki-laki ini adalah putra kandung Prabu Duryudana sendiri. Dahulu ketika hendak menikah, Dewi Banuwati mengajukan syarat agar Prabu Duryudana menyediakan seekor gajah putih dengan pawang wanita sebagai kendaraan pengantin. Prabu Duryudana berhasil mendapatkan Gajah Murdaningkung, tetapi syaratnya harus mau berhubungan badan lebih dulu dengan si pawang yang bernama Mirahdinebak. Demikianlah, bayi laki-laki ini adalah buah dari persetubuhan mereka.
Dewi Banuwati menerima bayi laki-laki itu sambil menggerutu, bahwa Prabu Duryudana telah menuduhnya sudah tidak perawan saat menikah, padahal suaminya itu ternyata juga tidak perjaka saat menikah dengannya.
Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai di luar. Ternyata rombongan Prabu Duryudana telah tiba di Kerajaan Hastina dan mendapat sambutan meriah atas kemenangannya mengalahkan Prabu Mandrajaya. Menyadari hal itu, Raden Arjuna segera mohon pamit untuk menghindar jangan sampai dirinya ketahuan masuk ke dalam kedaton. Dewi Banuwati merasa berat untuk melepas kepergian mantan kekasihnya itu. Namun, Dewi Srutikanti dengan tegas mengatakan bahwa Raden Arjuna sudah berjanji untuk tidak lagi mengganggu rumah tangga Dewi Banuwati dan Prabu Duryudana. Janji tersebut harus dipegang teguh. Raden Arjuna menjawab dirinya tidak akan melanggar janji ini. Namun kelak, jika Prabu Duryudana sudah meninggal, maka ia akan datang untuk menjemput dan memboyong Dewi Banuwati.
Usai berkata demikian, Raden Arjuna pun melesat pergi meninggalkan istana Kerajaan Hastina.
PRABU DURYUDANA MENGAKUI RADEN LESMANA SEBAGAI PUTRA
Prabu Duryudana dan rombongan telah memasuki istana dan mereka pun disambut Dewi Banuwati dan Dewi Srutikanti. Prabu Duryudana langsung bertanya apakah Dewi Banuwati melahirkan bayi laki-laki atau perempuan. Dewi Banuwati menyerahkan bayi yang ia gendong untuk diperiksa sendiri oleh Prabu Duryudana. Prabu Duryudana pun menerima bayi itu dan alangkah bahagia dirinya setelah melihat kelamin si bayi ternyata laki-laki.
Patih Sangkuni menanggapi dengan sinis agar Prabu Duryudana jangan buru-buru senang dulu. Bisa jadi Dewi Banuwati melahirkan bayi perempuan namun kemudian ditukar dengan bayi laki-laki anak orang lain. Mendengar itu, Dewi Banuwati segera mempersilakan Patih Sangkuni untuk melihat langsung, wajah bayi tersebut mirip siapa, apakah mirip Prabu Duryudana ataukah mirip orang lain?
Patih Sangkuni maju dan memeriksa. Alangkah terkejut dirinya ternyata wajah si bayi memang sangat mirip dengan Prabu Duryudana. Kini ia tidak ragu lagi dan menyarankan agar Prabu Duryudana menerima bayi tersebut sebagai putra.
Prabu Duryudana sangat bahagia setelah mendapat kepastian dari sang paman. Ia pun menggendong bayi tersebut dengan penuh kegembiraan. Ia juga meminta maaf karena selama ini telah mencurigai Dewi Banuwati. Mulai hari ini ia berjanji akan selalu sayang kepada istrinya itu dan bersumpah tidak akan menikah lagi untuk selamanya, juga tidak akan mengambil selir sama sekali. Dewi Banuwati merasa sangat bahagia mendengarnya, dan ia pun menoleh kepada Dewi Srutikanti dengan pandangan penuh rasa terima kasih.
Arya Wrekodara yang ikut dalam rombongan itu menyarankan agar Prabu Duryudana segera memberi nama putranya. Prabu Duryudana merasa bingung tidak tahu harus memberi nama apa karena selama ini ia yakin Dewi Banuwati pasti berselingkuh dan melahirkan anak perempuan. Untuk itu, ia menyerahkan kepada sang istri, terserah putra mereka akan diberi nama siapa.
Dewi Banuwati pun berkata bahwa di zaman kuno ada seorang kesatria sakti bernama Raden Lesmana yang selalu melindungi Prabu Sri Rama. Kesatria ini sangat hebat dan juga seorang pemanah jitu. Bahkan, Prabu Sri Rama yang merupakan titisan Batara Wisnu pun merasa banyak berhutang budi kepadanya. Oleh sebab itu, Dewi Banuwati mengusulkan agar si bayi diberi nama Raden Lesmana saja. Prabu Duryudana merasa senang mendengarnya dan menerima nama tersebut sebagai nama putranya.
Patih Sangkuni tiba-tiba teringat sesuatu dan segera menyela. Ia mengatakan bahwa menurut dongeng yang pernah ia dengar, Raden Lesmana berwajah sangat tampan dan juga pandai memanah. Jangan-jangan Dewi Banuwati memilih nama itu karena terbayang-bayang Raden Arjuna yang juga berwajah tampan dan mahir memanah. Mendengar hasutan sang paman, Prabu Duryudana menjadi bimbang dan bertanya kepada Dewi Banuwati apa benar memiliki niat demikian.
Dewi Banuwati merasa bingung hendak menjawab apa. Dalam hati ia membenarkan, bahwa dirinya memilih nama Raden Lesmana karena kesatria tersebut memang tokoh di zaman kuno yang kepandaian dan wajahnya mengingatkan pada Raden Arjuna, mantan kekasihnya.
Kyai Semar yang ikut mendampingi Arya Wrekodara segera menengahi. Ia berkata bahwa Raden Lesmana memang mirip Raden Arjuna dalam hal ketampanan dan kepandaian memanah. Namun, keduanya berbeda sifat. Raden Lesmana tidak menikah seumur hidup, sedangkan Raden Arjuna sudah memiliki dua orang istri, yaitu istri paminggir bernama Endang Manuhara, dan istri padmi bernama Dewi Sumbadra. Maka, tidak sepantasnya Prabu Duryudana mencurigai Dewi Banuwati hanya karena masalah nama. Lagipula Prabu Duryudana seorang raja besar. Apa yang sudah diputuskan olehnya tidak baik jika dicabut kembali.
Mengingat usia Kyai Semar yang sudah ratusan tahun dan juga memiliki wawasan luas, Prabu Duryudana pun mererima saran darinya. Lagipula ia sudah terlanjur suka pada nama Raden Lesmana yang dianggapnya sangat bagus, sehingga tidak perlu diganti lagi. Maka, ia pun menetapkan putranya tetap memakai nama ini, dengan harapan kelak si bayi akan tumbuh menjadi seorang kesatria hebat seperti adik Prabu Sri Rama tersebut.
ROH PRABU MANDRAJAYA MENITIS KEPADA RADEN LESMANA
Ketika Prabu Duryudana sedang bergembira menggendong putranya, tiba-tiba dari angkasa melayang turun seberkas sinar yang langsung masuk dan bersatu pada diri Raden Lesmana. Seketika mata Raden Lesmana menjadi lebih lebar dan melotot, serta raut wajahnya menjadi tampak bodoh, kadang tertawa sendiri, kadang menangis sendiri.
Menyaksikan hal itu, Resi Druna segera teringat sesuatu. Ia pun bercerita bahwa sebelum meninggal, Prabu Mandrajaya bersumpah dirinya akan menitis kepada putra Prabu Duryudana. Maka, seberkas sinar tadi pastilah roh Prabu Mandrajaya tersebut yang datang untuk memenuhi ucapannya.
Prabu Duryudana merasa gemetar. Itu berarti putranya adalah titisan musuh. Resi Druna menasihati sang raja agar tidak perlu takut. Prabu Mandrajaya kini terlahir kembali sebagai Raden Lesmana bukan berarti menjadi musuh, tetapi bisa jadi ini menjadi sarana baginya untuk menebus dosa. Jika sewaktu hidupnya, Prabu Mandrajaya pernah menangkap dan memenjarakan Prabu Duryudana, maka kini ia menitis menjadi putra yang selalu melayani dan menyembah kaki Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana merasa senang mendengar bekas musuhnya kelak akan menyembah kakinya sebagai putra. Maka, ia pun menambah nama putranya menjadi Raden Lesmana Mandrakumara, yang memiliki arti yaitu, Raden Lesmana titisan roh Prabu Mandra.
Tidak lama kemudian terdengar suara ribut-ribut di luar, ternyata Patih Mandradenta datang membawa pasukan Saroja untuk melakukan bela pati, yaitu ingin bertempur sampai mati menyusul Prabu Mandrajaya. Arya Wrekodara segera keluar dan menaklukkan pasukan dari Kerajaan Saroja tersebut. Patih Mandradenta tidak dibunuh, melainkan ditangkap dan dihadapkan kepada Prabu Duryudana.
Prabu Duryudana yang hari ini sedang berbahagia atas kelahiran putranya, tidak mau menjatuhkan hukuman mati kepada pasukan Saroja. Ia pun mengampuni Patih Mandradenta dan memerintahkannya untuk membangun kembali istana Kerajaan Saroja, dan mengganti namanya menjadi Sarojabinangun. Artinya ialah, Kerajaan Saroja yang dibangun kembali. Kelak Sarojabinangun hendaknya menjadi tempat tinggal putranya setelah dewasa, yaitu Raden Lesmana Mandrakumara. Patih Mandradenta mematuhi dan berterima kasih atas kemurahan hati Prabu Duryudana kepadanya.
Demikianlah, Prabu Duryudana pun berpesta tujuh hari - tujuh malam merayakan kelahiran putranya. Arya Wrekodara yang ikut dijamu sebagai pahlawan selalu bersikap waspada dan berhati-hati, jangan-jangan para Kurawa berbuat licik kepadanya. Setelah dirasa cukup, ia pun pamit pulang ke Kerajaan Amarta bersama para panakawan.
Imajiner Nuswantoro