NGILO GITHOKE DHEWE
Dalam khasanah adat, tradisi dan kebudayaan orang jawa, ada ungkapan ngilo githoke dhewe.
Diadopsi dari kata :
Ngilo yang berarti berkaca,
dan Githok yaitu leher bagian belakang yang tak tampak dari depan ketika berkaca.
Hal ini merujuk pada sikap seseorang yang hanya mampu melihat kesalahan orang lain dan tak menyadari bahwa dirinya juga punya kesalahan. Kesalahan diri sendiri itu ibarat githok, meskipun berkaca tetap tidak kelihatan karena posisinya berada di belakang.
Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa kuman di seberang lautan tampak, tapi gajah pelupuk mata tak tampak.
Dan ini adalah padanan peribahasa yang tepat untuk melukiskan istilah ngilo githoke dhewe.
NGILO GITHOKE DHEWE
Menurut dalam tulisan artikel Dr KH Ahmad Darodji MSi, (Ketua Umum MUI Jawa Tengah)
Ngilo artinya berkaca, melihat diri sendiri lewat kaca. Githok artinya tengkuk, leher bagian belakang yang tidak bisa diliha oleh yang bersangkutan. Karena githok tidak bisa disaksikan sendiri, maka sering orang mengatakan "ora bisa nyawang githoke dewe" Tidak bisa melihat tengkuknya sendiri.
Dari sini diambil makna bahwa orang, termasuk kita tidak bisa melihat kekurangan dan kesalahannya sendiri. Itu sesuatu yang manusiawi. Tetapi apabila levelnya sudah meningkat menjadi tidak mengakui bahwa dia mempunyai kekurangan kesalahan, lha inilah yang menjadi sasaran para sepuh menyampaikan pitutur ini.
Memang pitutur ini lebih dialamatkan kepada mereka yang merasa tidak mempunyai kesalahan, bahkan sering membantah meskipun sudah disampaikan bukti-bukti yang cukup. Orang begini sulit menilai diri, dan tidak mau melakukan evaluasi.
Sebenarnya kalau mau, dia bisa melihat githoknya sendiri diri dengan menggunakan bantuan cermin satu lagi di belakang kepalanya.
Dengan bantuan dua cermin itu dia bisa melihat dirinya yang ada di depan dan dirinya yang ada di belakang. Fungsi cermin di belakang untuk melihat githoknya itu bisa digantikan oleh orang lain, diminta atau tidak.
Orang lainlah yang menjelaskan kepadanya mengenai kesalahan dan kekurangannya. Tetapi jarang orang yang mau menerima kritik itu. Kebanyakan orang akan merasa sakit hati dan seperti sedang ditampar oleh pemberi kritik.
Dia tak mau dikatakan salah dan akan marah serta menjadikan pemberi kritik itu sebagai musuh.
Ya seperti kata peribahasa "buruk muka cermin dibelah". Mestinya sesuai pitutur kali ini dia berterimakasih karena orang sudah membantu apa yang dia tak bisa lakukan, yaitu menemukan kekurangan diri. Dia sadar tak ada manusia sempurna. Dia tidak merasa paling benar dan tidak mungkin salah.
Dengan menemukan kekurangan maka orang akan tahu mana yang harus diperbaiki. Mereka yang siap menerima kritik ini, siap melakukan evaluasi, karena memandang evaluasi sangat diperlukan untuk mewujudkan kemajuan di masa datang.
Dalam evaluasi akan ditemukan kekurangan atau kesalahan diri, maka pada perencanaan ke depan hal itu akan dihindari.
Dengan telah disiapkannya antisipasi terhadap kekurangan dan kesalahan itu, maka dia bisa lebih fokus pada cara bagaimana mewujudkan kemajuan dan hasil lebih.
Dan kalau kebetulan kita menjadi orang yang menyampaikan kritik janganlah kritik itu dimaksudkan untuk menyerang dan menjatuhkan, sadari, pada saatnya perbuatan kita akan berbalas.
Nah memahami maksud pitutur ngilo githoke dewe, mari kita menjadi orang yang semakin sadar bahwa kita tidak sempurna. Kita pasti memiliki kekurangan, dan kekurangan itu sulit kita temukan sendiri.
Kita membutuhkan bantuan orang lain untuk menemukan kekurangan kita. Karena itu mari kita terima kritik dengan senang hati dan kita gunakan untuk memperbaiki diri.
Mari kita simak S.3 Ali Imran ayat 159 yang artinya :
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu".
Imajiner Nuswantoro