KUDA KEPANG
(Jaranan Kediri/Kediren) tahun 1919
Kisah ini diceritakan oleh Walter Staugaard ketika melihat pertunjukan itu di Wilayah sekitar pabrik gula Pesantren (Nama Kecamatan di Kediri Sekarang) pada tahun 1919.
Selain menceritakan pertunjukan dan wawancara dengan pemain ataupun sesepuh, ia juga mengambil foto, tulisannya di muat dalam pertemuan Kongres Bahasa, Geografi dan Budaya pertama di Solo 1919.
"Orang Jawa menyebut permainan ini dengan sebutan “Kuda-Kepang”, karena kuda mainan yang digunakan terbuat dari anyaman bambu, sedangkan di Jawa Barat mempunyai kuda serupa namun dari kulit sehingga disebut dengan ‘Kuda Lumping’.
Di Kediri sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Kuda Kepang gaya Tulungagung dan Kuda Kepang gaya Ponorogo. Pertama-tama saya akan meggambarkan bagaimana Gaya Ponorogo itu berlangsung.
Seni ini di tampilkan dengan empat babak. Babak pertama semua pemain ikut menari, Pangeran Klono Sewandono bertopeng merah, hidung mancung dan memakai keris.
Ia di dampingi pemain dengan topeng putih dengan selendang, yang juga memimpin 4 orang pemain dengan kuda.
Kemduian disusul munculnya Rajawana.
Topeng Harimau ini dimainkan oleh dua orang yang ditutup kain besar. Pemain depan memegang topeng harimau yang dihiasi dengan bulu merak.
Ada semacam lonceng yang tergantung disi kanan kepala harimau. Di akhir pertunjukan babak pertama ini kemudian muncul pemain topeng hitam bernama pentul.
Babak kedua Bujangganong menari bersama harimau, disini digambarkan Bujangganong yang tidak bisa mengendalikan harimau.
Babak Ketiga, muncul Gunoreso, seorang dengan topeng coklat dan rambut putih. Tariannya seperti orang tua, berjalan pincang dengan sedikit bungkuk. Ia memberi isyarat kepada harimau dengan mengangkat jarinya ke atas. Hal itu membuat harimau jatuh ketanah dan kehilangan hiasan meraknya. Tingkah harimau membuat kehebohan di antara penonton. Babak ke Empat di tutup dengan Klonosewandono yang memberikan hormat kepada Gunoreso.
Alat musik yang digunakan pada permainan ini terdiri dari 1 buah Terompet, 2 buah Gong, 2 Angklung dan 1 Kendang.
Latar cerita dari pertunjukan ini adalah cerita rakyat Kediri, saya mendapatkan cerita ini dari Pembantu Wedono warga Desa Pesantren.
Ceritanya sedikit melenceng ddari garis besar sejarah Kediri yang pernah di tulis van der Broek Geschiedenis van Kediri, Broek 1873 munkin maksudnya?
Ceritanya seperti berikut
Pangeran Bantarangin, Klonosewan Dono, berangkat bersama 144 penunggang kuda ke Kediri untuk melamar sang putri, para penunggang kuda dikomandoi oleh Bujangganong (Bujangga Anom: Pangeran Muda). Sampai di hutan datanglah harimau Rajawana (Raja Hutan) untuk memangsa kuda.
Bujangganong melawan harimau tapi gagal. Kemudian Pangeran memohon bantuan kepada Pertapa Kyai Gunoreso (Guna Reksa: Pelindung Kebaikan) yang tinggal di atas gunung. Hal tersebut kemudian dapat menjinakkan harimau, dimana Pangeran mengadakan pesta yang dimeriahkan oleh gamelan dan penari.
Gaya Ponorogo tidak ada adegan kesurupan (ndadi), akhir dari pertunjukan sangat datar dan tidak mengundang tawa atau kehebohan di antara penonton berbeda dengan kuda Kepang yang pernah juga saya lihat di Kediri Gaya Tulungagung....."
Keterangan :
Foto dokumentasi artikel adalah foto dokumentasi Staugaard yang diambil ketika menyaksikkan pertunjukan.
Re-editor by. Imajiner Nuswantoro
Sumber referensi dari Googling,