LAHIRNYA BETHARA KALA (KAMA SALAH)
Bathara Kala (mitologi Bali) dalam ajaran agama Hindu, Kala (Devanagari: कल) adalah putera Dewa Siwa yang bergi dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang
Kālá selain berarti waktu juga berarti hitam, bentuk feminimnya adalah Kālī. Dalam satuan waktu tradisional Hindu, satu kala adalah 144 detik.
(Kepala Kala dari Candi Jago)
Bathara Guru mengajak Bathari Uma pergi berpesiar menikmati keindahan Pulau Jawa. Bathari Uma awalnya tidak bersedia karena ia mendapatkan firasat akan terjadi hal yang tidak baik. Namun Bathara Guru terus-menerus mendesak sehingga Bathari Uma akhirnya menurut juga. Bathara Guru dan Bathari Uma pun berangkat dengan mengendarai Lembu Andini. Mereka terbang di angkasa menikmati keindahan Pulau Jawa dari atas. Ketika melewati Laut Selatan, saat itu hari sudah menjelang senja. Sinar matahari terbenam yang kemerah-merahan menerpa tubuh Batari Uma sehingga membuatnya terlihat semakin cantik. Nafsunya Bathara Guru membara bagaikan meledak dan berkobar-kobar.
Bathara Guru pun mengajak Bathari Uma bersetubuh di atas punggung Lembu Andini saat itu juga. Bathari Uma menolak karena malu, namun Bathara Guru terus memaksa dan mengancam hendak menggunakan kekerasan. Bathari Uma mengingatkan Bathara Guru selaku raja dewata tidak sepantasnya bersikap seperti raksasa. Ucapan Bathari Uma yang sedang terdesak itu berubah menjadi kutukan. Seketika, Bathara Guru pun mendapatkan cacat ketiga, yaitu memiliki dua buah taring panjang seperti raksasa. Maka, sejak saat itu Batara Guru mendapatkan julukan baru, yaitu Sanghyang Randuwana, yang bermakna "memiliki taring seperti buah randu hutan".
Batjara Guru sangat murka atas kutukan yang menimpa dirinya. Keinginannya bersetubuh pun berubah menjadi niat untuk memerkosa istri sendiri. Tubuh Bathari Uma kemudian diangkat dan didudukkan di atas pangkuannya. Karena nafsu birahi sudah tak terkendalikan, air mani Bathara Guru pun memancar keluar. Namun Batari Uma meronta menghindarinya sehingga air mani tersebut jatuh ke laut. Tiba-tiba saja air laut yang terkena tumpahan air mani sang raja dewata langsung mendidih dan mengepulkan asap.
Dengan perasaan kecewa bercampur malu, Bathara Guru memutuskan pulang ke Kahyangan Argadumilah. Tiba-tiba datang dewa penjaga lautan yang bernama Bathara Baruna menghadap kepadanya. Bathara Baruna ini adalah putra Bathara Gangga, putra Bathara Hermaya, putra Sanghyang Hening, yaitu paman Bathara Guru.
Bathara Baruna melaporkan bahwa di Laut Selatan telah tercipta api berkobar-kobar yang menewaskan banyak ikan dan binatang air. Bathara Baruna mengaku kesulitan memadamkan api tersebut, karena semakin dipadamkan justru semakin bertambah besar. Kedatangannya ke Kahyangan Argadumilah ini adalah untuk memohon bantuan kepada Bathara Guru supaya turun tangan menyelamatkan segenap binatang laut.
Bathara Guru paham bahwa api tersebut sesungguhnya berasal dari "kama salah", yaitu luapan nafsu birahi salah tempat yang tadi tumpah dan membuat air laut mendidih. Rupanya gelembung kama salah tersebut kini telah berkembang dan tumbuh menjadi api yang berkobar-kobar. Bathara Guru lalu memerintahkan Batara Sambu supaya memimpin para adik dan para sepupu untuk memadamkan kobaran Kama Salah tersebut.
Bathara Sambu dan pasukan dewata telah tiba di Laut Selatan dan mengepung api yang berkobar-kobar itu. Mereka lantas mengerahkan segala cara untuk memadamkan api Kama Salah. Namun, bukannya padam, api tersebut justru berkobar semakin besar. Para dewa lantas melemparkan berbagai senjata pusaka ke dalam kobaran api. Namun, secara ajaib api itu justru berubah wujud menjadi raksasa mengerikan. Semakin para dewa menghujaninya dengan senjata, raksasa itu justru semakin bertambah besar dan kuat.
Raksasa Kama Salah itu lalu mengamuk melakukan serangan balasan. Para dewa pun kocar-kacir dibuatnya. Mereka berhamburan terbang kembali ke Kahyangan Argadumilah. Si Kama Salah terus mengejar sambil menanyakan siapa dirinya, dan siapa orang tuanya.
Kama Salah mengejar para dewa sampai memasuki Kahyangan Argadumilah.
Bathara Guru dengan tenang menyambut kedatangannya dan menyuruhnya duduk di lantai. Kama Salah heran melihat wujud Bathara Guru yang jauh lebih kecil dari dirinya namun berani memberikan perintah begitu saja. Bathara Guru pun memperkenalkan diri sebagai raja dewata, penguasa seluruh dunia. Kama Salah merasa kebetulan, karena Bathara Guru pasti bisa menceritakan siapa asal-usulnya, dan siapa orang tuanya.
Bathara Guru bersedia menceritakan asal-usul Kama Salah apabila raksasa tersebut memberikan sembah bakti yang tulus kepadanya. Kama Salah pun membungkuk menghaturkan sembah. Pada saat itulah Bathara Guru tiba-tiba memangkas rambut raksasa itu. Kama Salah terkejut dan mendongak. Secepat kilat Bathara Guru memotong dua buah taringnya, dan menusuk lidahnya hingga semua bisa di dalam mulut raksasa itu mengalir keluar. Begitu kehilangan dua buah taring dan bisa di lidahnya, tubuh Kama Salah langsung lemas tak berdaya dan terkulai di lantai.
Bathara Guru kemudian memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari Kama Salah. Sejak hari itu Kama Salah diakuinya sebagai putra, dan diberi nama Bathara Kala, karena lahir pada saat senjakala. Putra nomor enam itu lalu diperintahkan untuk tinggal di Pulau Nusakambangan yang terletak di Laut Selatan. Bathara Kala berterima kasih dan berangkat menuruti perintah sang ayah.
Bathara Guru kemudian menyerahkan kedua taring Bathara Kala yang dipotongnya tadi kepada Bathara Ramayadi dan Bathara Anggajali supaya ditempa menjadi senjata. Kedua empu kahyangan itu lalu mengubah taring-taring tersebut menjadi dua bilah keris pusaka, yang diberi nama Keris Kalanadah dan Keris Kaladite.
Catatan :
Keris Kaladite dan Keris Kalanadhah dimiliki oleh beberapa tokoh zaman purwa diantaranya :
a. Kaladite milik Tremboko raja Pringggandani dan Kalanadhah milik Pandhu Dewanata raja Hastinapura.
b. Kaladite milik Karna dan Kalanadhah milik Arjuna.
KELAHIRAN BATHARA KALA VERSI LONTAR TATTWA
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, tetapi Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".
VERSI PEWAYANGAN JAWA (1)
Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan Buto (bangsa rakshasa). Karena semua perkataannya mandi (bahasa indonesia: cepat menjadi kenyataan) maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Dari perkawinan mereka, dikaruniai seorang putra bernama Batara Dewasrani. Dewasrani mengalami cacat genetik akibat hubungan sedarah. Seharusnya Dewasrani memiliki fisik raksasa seperti kedua orangtuanya, tetapi fisiknya terlahir tampan dan sempurna layaknya seorang dewa. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar di madyapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru. Batara Dewasrani selaku anak dari mereka juga menurunkan sifat kedua orangtuanya yang suka berbuat segelintir keonaran dan juga kekacauan.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
1. Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
2. Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
3. Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Namun, karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.
MITOLOGI BATHARA KALA DALAM PEWAYANGAN JAWA (2)
Menurut cerita wayang Purwa. Ini terjadi ketika pada suatu saat Batara Guru bertamasya bersama istrinya, Dewi Uma, menunggang Lembu Andini mengarungi angkasa. Di atas Nusa Kambangan, dalam keindahan pemandangan senja hari, Batara Guru tergiur melihat betis istrinya. Ia lalu merayu Dewi Uma agar mau melayani hasratnya saat itu juga, di atas punggung Andini. Tetapi istrinya menolak. Selain karena malu, Dewi Uma menganggap perbuatan semacam itu tidak pantas dilakukan.
Karena gairah Batara Guru tak tertahankan lagi, akhirnya jatuhlah kama benihnya ke samudra. Seketika itu juga air laut bergolak hebat. Benih kama Batara Guru menjelma menjadi makhluk yang mengerikan. Dengan cepat makluk itu tumbuh menjadi besar. la menyerang apa saja, melahap apa saja. Untuk meredakan kekalutan yang terjadi, Batara Guru memerintahkan beberapa orang dewa membasmi makhluk itu. Namun dewa-dewa itu tak ada yang mampu menghadapi makhluk itu. Mereka akhirnya bahkan lari pulang ke kahyangan. Makhluk ganas itu segera mengejar para dewa sampai ke Kahyangan Suralaya, tempat kediaman Batara Guru. Setelah berhadapan dengan Batara Guru makhluk itu menuntut penjelasan, ia anak siapa, untuk kemudian minta nama dari ayahnya. Bathara Guru yang maklum keadaannya, segera memberi tahu bahwa makhluk itu adalah anaknya yang terjadi karena kama salah. Bathara Guru memberinya nama Kala, dan mengangkatnya sederajat dengan dewa, sama dengan anak-anaknya yang lain. Dengan demikian, ia bergelar Bathara Kala.
Setelah mendapat nama, Bathara Kala lalu minta diberi istri dan tempat tinggal. Kebetulan, sesaat sebelumnya Bathara Guru dan Dewi Uma baru saja bertengkar sehingga mereka saling mengutuk. Dewi Uma yang tadinya cantik jelita dikutuk menjadi raseksi (raksasa wanita) dan diberi nama Bathari Durga. Bathari Durga lalu dijadikan istri Bathara Kala, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Mereka diberi tempat di Kahyangan Setra Gandamayit, di telatah Hutan Krendawahana. Perkawinan ini kemudian membuahkan dua orang anak. Yang sulung bernama Kala Gotana berujud raksasa mengerikan, sedangkan anaknya yang kedua bernama Dewasrani yang tampan. Selain yang dua itu, dalam beberapa lakon carangan, mereka masih mempunyai beberapa anak lagi.
Karena Bathara Kala makhluk yang amat rakus dan ganas, Bathara Guru khawatir kalau-kalau manusia di bumi akan punah dimangsanya. Oleh sebab itu Bathara Guru lalu berusaha mengurangi kerakusan anaknya itu. Sebagai ayahnya, Bathara Guru minta agar Bathara Kala mendekat dan sungkem (berjongkok dan menyembah) di hadapannya. Bathara Kala melaksanakan permintaan ayahnya itu. Namun ketika sampai ke dekat Bathara Guru, pemuka dewa itu tiba-tiba memotong kedua taring dan lidah Bathara Kala yang mengandung bisa.
Oleh Batjara Guru, potongan lidah Batara Kala kemudian dicipta menjadi senjata ampuh berupa anak panah dan diberi nama Pasupati. Anak panah ini kelak menjadi milik Arjuna. Sedangkan taring kirinya menjadi keris bernama Kaladite, yang kemudian menjadi milik Adipati Karna. Potongan taring kanan Batara Kala dicipta menjadi keris yang diberi nama Kalanadah. Keris ampuh ini kelak akan dianugerahkan kepada Arjuna, kemudian Arjuna memberikannya kepada Gatotkaca sebagai kancing gelung.
Batara Guru juga memberi ketentuan, hanya anak sukerta saja yang boleh dimangsa Batara Kala. Namun anak sukerta itu pun tidak boleh dimangsa, bilamana si anak telah diruwat oleh orang tuanya.
Beberapa daftar anak yang tergolong sukerta :
1. Ontang-anting, anak tungal, baik lelaki maupun perempuan.
2. Kedana-kedini, dua bersaudara, yang satu lelaki yang satu perempuan.
3. Uger-uger, dua bersaudara, lelaki semua.
4. Lumunting, anak yang lahir tanpa ari-ari.
5. Sendang kapit pancuran, tiga anak yang sulung laki-laki, yang tengah perempuan, dan yang bungsu laki-laki.
6. Pancuran kapit sendang, kebalikan dari nomor 5.
7. Kembang sepasang, dua perempuan semua.
8. Sarimpi, empat orang perempuan semua.
9. Pandawa, lima orang lelaki semua.
10. Pandawi, lima orang perempuan semua.
11. Pandawa ipil-ipil, lima anak, empat perempuan, yang bungsu lelaki, dll.
Untuk menghindari jadi mangsa Bathara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Bathara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Bathara Kresna. Maka Bathara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.
Bathara Kala, sebagaimana halnya golongan dewa dalam pewayangan lainnya, tidak pernah mati. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabaya di Kediri, Bathara Kala yang menjelma di dunia sebagai Prabu Yaksadewa, membunuh Anoman. Pada Wayang Bali, Bathara Kala menjadi repertoar satu-satunya dalam pergelaran Wayang Sapuh Leger, kalau di Pulau Jawa, lakon Murwakala.