Serat Centhini
(Suluk Tambangraras)
Episode 9
Serat Centhini (Suluk Tambangraras)
ditulis berkat prakasa KGPA Anom ... Kêmput midêr têpung-gêlang | wiwara gêng
agêngipun | ngalèr-ngilèn kêdhik ngayun ...
Serat centhini (suluk tambangraras)
yasandalem kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III (ingkang
sinuwun Paku Buwono V) ing Surakarta Kamajaya
Serat Centhini ( ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦕꦼꦟ꧀ꦛꦶꦤꦶ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk
Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam
kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Jawa, supaya tidak punah dan tetap terlestarikan sepanjang
waktu. Serat Centhini dapat menjadi refleksi dalam melihat kebudayaan
masyarakat Jawa disebabkan isi tekstualitasnya. Serat Centhini disampaikan
dalam bentuk tembang atau suluk, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis
lagunya.
Menurut keterangan R.M.A.
Sumahatmaka, juru tulis resmi Istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan
Mangkunegara VII (MN VII) dan MN VIII, Serat Centhini digubah atas kehendak
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV,
yang kelak bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama
lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji yang berarti
tahun 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi, berarti masih dalam masa pemerintahan
Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana
V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai
bertakhta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertakhta pada
tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat
Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang
menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zaman pemerintahan Sunan
Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang Kitab Jatiswara. Bila
dianggap pengarangnya adalah R. Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan
karena terdapat banyak selisihnya dengan Kitab Rama atau Cemporèt.
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu :
1.
Raden Ngabehi Ranggasutrasna
2.
Raden Ngabehi Yasadipura
II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
3.
Raden Ngabehi
Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga
pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan
pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur,
Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura
bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama
Islam.
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah
pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, oleh karena itu ia
diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang
kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan
jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura
(sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai
empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang
berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan
oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian
mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom
mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa
pengetahuan tentang masalah sanggama kurang jelas ungkapannya, sehingga
pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran
Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas
dan dua belas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab
Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu
keseluruhannya menjadi 725 lagu.
Serat Centhini disusun berdasarkan
kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik
dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah
tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan
perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka
adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken
Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua
santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke
sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro,
hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug
Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran,
Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung
Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi
mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah
guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci
makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia
belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai
dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk,
petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan
tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan
kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh)
Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken
Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga
turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi
santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru,
kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal,
Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung
Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki
Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua
mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi,
kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, salat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan
asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal,
serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang
memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut
dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya,
meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga
(Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang
lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Karya ini boleh dikatakan sebagai
ensiklopedia mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana
tecermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai
perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi
beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan,
kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah,
pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat,
cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa, dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat
resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu
pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitikberatkan pada syariah sebagaimana
yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan
yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas
unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos
Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima
begitu saja tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkannya
dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu
saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan
paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan
atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak
mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa
dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa
keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit
menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural
untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan
dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu
kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri
antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus-menerus dikutip
dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya,
sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang
terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali
penerbitan dan memiliki beberapa versi, di antaranya adalah versi keraton
Mangkunegaran tersebut.
SERAT CENTHINI IX
1
Wis Madu mêlbèng wisma |
dandanna kang sarwa luhung |
ayu-ayunên warnamu |
sasênêngira busana |
pilihana ingkang mungguh |
ronggèng (m)Bok Madu turira |
inggih anulya umangsuk ||
2
Yata kang pra tamu prapta |
pra pêtinggi bundhêl umbul |
pamèran panganggenipun |
saduwèk-duwèke samya |
mêtu pasimpênanipun |
berag sajak pêsamowan |
mèrèt-mèrèt saguh-saguh ||
3
Bobote wong pêgunungan |
kathah kang prapta mrêtamu |
Ki Umbul Wiradikewuh |
Suradipa Suradrana |
Suradrêpa Surantanu |
Surakêrta Surarata |
Surantaka Suranêmpuh ||
4
Jatruna Jayadirana |
Wirakarta Mêrga-ewuh |
Ja-mêrjaya Anggaranu |
Wangsapati Wirasraya |
Jagabaya Jagasatru |
Drêpajaya Bayuyuda |
Srang-mênggala Kalamêrcu ||
5
Dhapur pêpêk rupa-rupa |
lêncir dhêdhamplak kang dhuwur |
ingkang untir gagah janggrung |
kang mêthêkêl bèkèl antar |
tan tinggal siguge kidhung |
kang kalung pêdhang myang klewang |
kalung bêstrong kêrbin masru ||
6
Miwah dèn-irit talêmpak |
myang tamèng towok ing pungkur |
suligi granggang pring ampuh |
kang ngikal bandhol liligan |
prapticir pêndhapa lungguh |
asrigrak cara wong kutha |
samya berag langguk-langguk ||
7
Tarap lilinggihanira |
ing saundha usukipun |
akapang pêndhapa têpung |
ni randha gapyak pêmbagyan |
kang liningan saur-manuk |
mangsuli ing kalujêngan |
dêmang pra pêtinggi umbul ||
8
Sêdaya punika samya |
kang uwus cicipanipun |
ni randha pindho ping têlu |
ora-orane nyapisan |
warta tan ana kantun |
Ki Suradikewuh tanya |
wontên punapa têtarub ||
9
Lir mêmantu traping karya |
ni randha nauri wuwus |
pan kula (m)botên mêmantu |
ngundang-ngundang mêngangguran |
namung ngormati têtamu |
prayayi namur tirakat |
cature putraning guru ||
10
Prêdikan ing Wirasaba |
kang komuk ginuru-guru |
mring pra ngulama sêdarum |
miwah priyayi sudagar |
angalap janji mêriki |
Ki Gêdhe Bayu Panurta |
ing Wanamarta krajan gung ||
11
Kang liningan amangrêngak |
ting garunêng samya muwus |
ingkang wus padha kêrungu |
durung wruh warnaning warta |
kadi putrane ki guru |
dene tan ana kêtingal |
ana ling yèn durung rawuh ||
12
Wus pêpak kang ingulêman |
inganti tan ana kantun |
ni randha alon amuwus |
paran wus prapta sêdaya |
Duljaya matur (ng)gih sampun |
(ng)ling malih marang Duljaya |
mara wêtokna gembolmu ||
13
Kang liningan ngrukti gêpah |
ngêtokkên pawohanipun |
gembolan sirih bokor wus |
wêrata kang linadènan |
ni randha (ng)ling mring sêdarum |
samya kantun jagongan |
kula mring wismarsa ewuh ||
14
Sêdaya matur sumangga |
ni randha mundur umasuk |
samya (ng)ling mring rencangipun |
hèh Biyang Kacêr turana |
kang nèng langgar kenthol bagus |
gus Jèngraga Kulawirya |karone turana
kundur ||
15
Kang liningan sigra mentar |
praptèng langgar aturipun |
paduka ngaturan masuk |marang wisma
sêkaliyan |
Jayèngraga lon amuwus |dene lan aku
dèn-undang |
Kacêr matur inggih pêrlu ||
16
Kulawirya ngandikanya |lah payo bêcik
tinurut |
ngawirya karo gya mudhun |
mring wismèng pungkur wus prapta |
lênggah ing klasa lus |
ni randha lon aturira |
lah sumangga sang abagus ||
17
Prayogi salin busana |
punapi sakêrsanipun |
sawontênipun nèng gunung |