NJAJAH DESA MILANG KORI
Peribahasa tersebut diatas dapat dimaknai sebagai berikut :
1. Njajah Desa Milang Kori tegese Lelungan menyang endi-endi.
2. Njajah Desa Milang Kori
Menjelajah desa menghitung pintu.
wong kang mideri panggonan nganti tekan ngendi-endi paribasane yaiku njajah desa milang kori.
3. Merupakan peribahasa bahasa jawa yang artinya, njajah desa (menjelajahi desa), milang kori (menghitung pintu). Bepergian jauh menjelajahi desa, menghitung pintu. Maknanya, melakukan perjalanan mencari pengalaman hidup ke berbagai wilayah untuk mengenal kehidupan di sana, serta memahami watak perilaku penduduknya.
4. Njajah desa milang kori tegese yaiku Mideri panggonan nganti tekan ngendi-endi artine jajah tekan adoh artinya yaitu mengintari atau memutari tempat sampai kemana mana, banyak lokasi yang sudah di datangi.
DIBAWAH MAKNA YANG SEPADAN DENGAN NJAJAH DESA MILANG KORI
Ziaroh
Ziarah Wali adalah salah satu kegiatan khusus yang secara sengaja dilakukan ketika seseorang merindukan kedekatan dengan Allah swt. Dalam ajaran Islam menyebutkan bahwa barang siapa dekat dengan para kekasih Allah dapat dijadikan washilah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ada banyak alasan yang diungkapkan oleh sebagian besar ulama ahlusunnah wal jamaah tentang ziarah kubur karena memiliki keutamaan. Berikut di antara alasan-alasannya :
Dalam buku Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah karya Yazid bin Abdul Qadir Jawas sebagaimana diterangkan bahwa mengingatkan kepada kematian, melembutkan hati, dan mengingatkan akan akhirat adalah manfaat dari ziarah kubur. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
"Dahulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, mengingatkan kalian akan negeri akhirat namun jangan kalian mengucapkan kata-kata batil (di dalamnya) (HR Al-Hakim).
Ziarah kubur juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ke kuburan ahli Baqi’i. Hal tersebut dilakukan Rasulullah setelah mendapatkan perintah saat Malaikat Jibril datang seraya berkata :
إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيْعِ فَتَسْتَغْفِرُ لَهُمْ
Artinya: Tuhanmu memerintahkanmu agar mendatangi ahli kubur Baqi’ agar engkau memintakan ampunan buat mereka. (HR Muslim). Para ulama Indonesia saat ini juga sudah mencontohkan sering melakukan ziarah ke makam para wali dan orang tua.
Peziarah (musafir).
Seorang peziarah atau musafir adalah orang yang melakukan suatu perjalanan ziarah. Hal ini dilakukan biasanya dengan mengunjungi suatu tempat yang mempunyai makna keagamaan, sering kali dengan menempuh jarak yang cukup jauh. Contohnya antara lain adalah seorang Muslim yang berkunjung ke Mekkah atau seorang Kristen atau Yahudi yang berkunjung ke Yerusalem. Dibandingkan agama-agama lain, Islam memberikan penekanan yang paling besar terhadap kewajiban umatnya untuk melakukan ziarah dengan berhaji.
Musafir diartikan sebagai orang yang bepergian meninggalkan negerinya (selama tiga hari atau lebih), pengembara. Dalam pandangan hukum Islam, musafir adalah orang yang meninggalkan tempat tinggalnya dalam jarak tertentu dan berniat tinggal di tempat yang dituju dalam waktu tertentu.
Menurut mazhab Syâfi‘î dan Mâlikî, jarak yang ditempuh sekur- ang-kurangnya adalah 77 kilometer, dan 115 kilometer menurut mazhab Abû Hanîfah. Imam Ahmad berpendapat bahwa seseorang tidak lagi disebut musafir bila dia bermaksud tinggal empat hari atau lebih di suatu tempat. Imam Syâfi‘î dan Mâlik juga berpendapat demikian. Imam Abû Hanîfah membenarkan sampai lima belas hari. Dengan demikian, dalam pandangan para ulama itu, jika seseorang telah berniat tinggal lebih dari waktu itu sejak semula, maka dia bukan musafir lagi. Jadi, dia tidak diberi izin untuk menjamak (menggabung shalat Dzuhur dan Asar atau Maghrib dan Isya), apalagi meng-qashar (melaksanakan shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat saja).
Seandainya sang musafir terpaksa menunda kepulangannya sehari karena satu dan lain hal, maka statusnya sebagai musafir dapat diperpanjang sehari. Kemudian, jika kepulangannya ternyata masih harus tertunda lagi sehari esok harinya, maka statusnya masih dapat diperpanjang lagi hari demi hari. Imam Syâfi‘î membatasi perpanjangan ini hanya sampai tujuh belas atau delapan belas hari. Sementara itu, imam mazhab lainnya tidak membatasinya. Tetapi, Anda harus ingat bahwa izin ini berlaku bagi mereka yang berstatus musafir dalam pengertian di atas, yakni yang sejak semula hanya bermaksud tinggal empat atau lima hari dan bukan seperti Anda yang berstatus mahasiswa yang sudah tentu sejak semula bermaksud tinggal selama berbulan-bulan.
Imam Abû Hanîfah mewajibkan musafir melakukan shalat qashar (Dzuhur, Asar, dan Isya masing-masing hanya dua rakaat). Sementara itu, tiga imam mazhab lainnya membolehkan meng-qashar atau melak- sanakannya empat rakaat sebagaimana biasanya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhârî, dan Ibnu Mâjah dari Ibnu ‘Abbâs adalah sebagai berikut: Ketika Nabi saw. memasuki kota Mekkah (dari Madinah), beliau tinggal di sana sembilan belas hari dan mengerjakan shalat dua rakaat. Ada juga riwayat yang menyatakan 17 hari, dan 18 hari. Agaknya, yang menghitung 17 hari tidak memasukkan hari datang dan hari pulang, dan yang menghitung 18 hari tidak memasukkan hari pulang.
Hadits ini adalah salah satu alasan bagi mereka yang membolehkan shalat qashar, selama penundaan sehari demi sehari itu tidak lebih dari 17 atau 18 hari. Memang, ada juga ulama yang membolehkan mengqashar shalat selama yang bersangkutan meninggalkan tempat tinggalnya dan berapa lama pun dia berada dalam perjalanan.
Shalat Jamak Qasar Bagi Musafir.
Islam adalah agama yang memudahkan urusan. Jika suatu perkara tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya karena suatu hal terdapat kemudahan untuk mengganti atau memperingan pekerjaanya, hal ini disebut rukhsah atau keringanan. Dalam urusan shalat misalnya, dalam keadaan normal ia dilakukan secara berdiri dan jika dalam keadaan tertentu yang memaksa ia boleh dilakukan dengan duduk. Dalam kondisi berpergian jauh (musafir) terdapat rukhsah shalat untuk menggabung waktu shalat atau jamak dan meringkas jumlah rakaat atau qasar. Akan tetapi banyak yang melakukanya dengan serampangan.
Shalat musafir adalah shalat yang dilakukan oleh seseorang ketika sedang melakukan safar. Pengertian safar adalah suatu kondisi yang biasa dianggap orang itu safar, tidak bisa dibatasi oleh jarak tertentu atau waktu tertentu. Orang yang melakukan perjalanan disebut musafir. Bagi mereka, Allah dan Rasul-Nya tidak ingin memberatkan umat-Nya. Oleh karenanya, Islam mensyariatkan adanya rukhsah shalat jamak dan shalat qasar. Shalat jamak adalah mengumpulkan dua macam shalat dalam satu waktu tertentu. Dua macam shalat itu adalah shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isyak. Sedangkan shalat qasar adalah memendekkan/meringkas jumlah rakaat pada shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat yaitu shalat Dzuhur, Ashar dan Isyak.
Adapun dalil-dalil yang menerangkan tentang shalat jamak adalah sebagai berikut :
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ، قَالَ: قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ: وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. [رواه أحمد]
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak antara shalat Dzuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan karena takut. Saya bertanya: Wahai Abu Abbas, mengapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya.” [HR. Ahmad]
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ. [متّفق عليه]
Artinya: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berangkat dalam bepergiannya sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan shalat Dzuhur ke waktu shalat Ashar; kemudian beliau turun dari kendaraan kemudian beliau menjamak dua shalat tersebut. Apabila sudah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliau shalat dzuhur terlebih dahulu kemudian naik kendaraan.” [Muttafaq ‘Alaih]
Adapun dalil yang menerangkan tentang shalat qasar adalah sebagai berikut :
1. Surat an-Nisaa’: 101
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا.
Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qasar shalatmu jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha :
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقْصُرُ فِى السَّفَرِ وَيُتِمُّ وَيُفْطِرُ وَيَصُومُ. [رواه الدّارقطني]
Artinya: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqashar dalam perjalanan dan menyempurnakannya, pernah tidak puasa dan puasa.” [HR. ad-Daruquthni]
3. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la bin Umayyah, ia berkata :
قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ. [رواه مسلم]
Artinya: “Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul–Khaththab tentang (firman Allah): “Laisa ‘alaikum junahun an taqshuru minashshalati in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru”. Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.” [HR. Muslim
Pelaksanaan shalat jamak dan qashar itu tidak selalu menjadi satu paket (shalat jamak sekaligus qashar). Seorang yang mengqashar shalatnya karena musafir tidak mesti harus menjamak shalatnya, demikian pula sebaliknya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat pada waktunya dan shalat Ashar 2 rakaat pada waktunya atau menjamak shalat Dzuhur dan shalat Ashar masing-masing 4 rakaat baik jamak taqdim maupun ta’khir. Diperbolehkan pula menjamak dan menqashar sekaligus.
Ada pendapat ulama mengenai seorang musafir tetapi dalam keadaan menetap tidak dalam perjalanan, seperti seorang yang berasal dari Indonesia bepergian ke Arab Saudi untuk berhaji, selama ia di sana ia boleh menqashar shalatnya dengan tidak menjamaknya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Mina. Walaupun demikian boleh-boleh saja dia menjamak dan menqashar shalatnya ketika ia musafir seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk. Pada kasus ini, ketika dia dalam perjalanan lebih baik menjamak dan menqashar shalat, karena yang demikian lebih ringan, tidak memberatkan di perjalanan dan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ketika telah menetap di Arab Saudi lebih utama menqashar saja tanpa menjamaknya.