SUNAN KUNING DAN ETNIS TIONGHOA MELAWAN VOC TERKENAL DENGAN PERANG KUNING
Sekitar tahun 1740 an, VOC melakukan politik pengurangan jumlah etnis Cina (Tionghoa) di Batavia karena jumlah etnis Cina melebihi jumlah serdadu VOC. Diperkirakan pada saat itu, jumlah Tionghoa diperkirakan telah mencapai sekitar 15.000 jiwa atau sekitar 17% total penduduk di Batavia. Kebanyakan kaum Tionghoa pendatang itu tidak dapat memperoleh pekerjaan dan sebagian dari mereka menjadi sumber kerentanan sosial dengan semakin meningkatnya aksi-aksi kejahatan.
Pada masa Gubernur Jenderal Valckenier, yang mulai memerintah pada tahun 1737. Valcknier mengambil beberapa langkah untuk mengurangi jumlah etnis Cina di Batavia, diantaranya menangkapi orang-orang Cina yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki permisssie brief dan kemudian memindahkan/ membuang mereka ke Srilangka (Ceylon) dan Tanjung Harapan (Afrika Selatan). Namun sebagian besar etnis China Tionghoa menolak untuk dipindah/dibuang, karena mereka mendengar isu bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut jika dideportasi keluar Batavia. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1740, gerombolan-gerombolan orang Tionghoa yang berada di luar kota Batavia melakukan penyerangan dan pembunuhan beberapa orang Eropa.
Pada 9 Oktober 1740 dimulailah pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Diperkirakan orang-orang Tionghoa yang terbunuh sebanyak 10.000 orang di Kali Besar dan mayat mayatnya dibuang di suatu daerah yang kemudian disebut sebagai Muara Bangkai (Muara Angke). Perkampungan Tionghoa dirampok dan dibakar selama delapan hari. Perampokan baru berhenti setelah VOC memberi premi kepada tentaranya untuk menghentikan penjarahan dan kembali kepada tugas rutinnya.
Sementara, orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia dengan dipimpin oleh Kapiten Sepanjang (Khe Panjang) kemudian menghimpun kekuatan di sebuah pabrik gula di Gandaria untuk melakukan penyerangan terhadap Batavia pd September 1940. Serangan terhadap Batavia ini diikuti oleh orang-orang Tionghoa di berbagai tempat di Jawa. Salah satunya adalah laskar Tionghoa Jawa bagian tengah yang dipimpin oleh Tan Sin Ko (Singseh). Namun karena terdesak akhirnya pasukan Tionghoa melarikan diri ke timur, menyusuri sepanjang daerah pesisir bergabung dengan komunitasnya di Jawa Tengah diantaranya Oey Ing Kian (Raden Tumenggung Widyaningrat/Bupati Lasem), Tan Kee Wie, dan lain-lain untuk melakukan perlawanan terhadap VOC lebih lanjut. Mereka kmdn menyerang pos-pos pertahanan VOC di sekitar Batavia hingga Cirebon, dan akhirnya pada 1741 memasuki wilayah Kerajaan Mataram, yang beribu kota di Kartasura.
Pada tanggal 6 April 1742 di Pati, para pemberontak itu mengangkat salah seorang pangeran cucu laki-laki dari mendiang Sunan Amangkurat III (Sunan Kencet) yang baru berusia 16 tahun (ada yang mengatakan usia 12 tahun) yang bernama Raden Mas Garendi menjadi Raja bumi Mataram bagi kaum Jawa dan Tionghoa dengan gelar "Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Amangkurat Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama ingkang Jumeneng Kaping-V" atau kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. RM Garendi adalah putra dari Pangeran Tepasana dan cucu dari Sinuhun Amangkurat III serta cucu buyut dari Sinuhun Amangkurat II. RM Garendi/Sunan Kuning juga berarti merupakan Trah terakhir dari Amangkurat II yang menjadi raja Mataram (1740-1743).
Sunan Kuning berasal dari kata cun ling (bangsawan tertinggi). Lantaran lidah orang Tionghoa susah mengejanya, maka mereka mengucapkan menjadi Soen An Ing dan terdengar mjd Sunan Kuning. Pada saat penobatannya duduk disebelah kanannya para Ulama dengan baju kebesaran ulama dan duduk disebelah kirinya para panglima Tionghoa dengan baju kebesaran kerajaan Tionghoa. Penobatan tersebut menjadi momentun penggabungan pasukan Jawa dan Tionghoa untuk melawan VOC. Salah satu strategi yang membuat VOC kebingungan menghadapi perlawanan koalisi Jawa-Tionghoa itu, adalah banyaknya anggota pasukan Jawa yang biasa menggunakan busana ala orang-orang Tionghoa sehingga membuat VOC kebingungan, karena pasukan dan etnis Tionghoa tak kunjung habis.
Pemberontakan yang dipimpin Sunan Kuning, Kapiten Sepanjang dan RM Said ini berhasil menggempur pusat pusat militer VOC. Perang besar memiliki cakupan wilayah yang luas (meliputi Kartasura, Salatiga, Boyolali, Magetan, Welahan, Pulau Mandalika di lepas pantai Jepara, hingga Lasem) dan kemudian semakin meluas hingga melibatkan berbagai daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya gabungan pasukan tersebut berhasil merebut Keraton Kartasura pada bulan Juli 1742, hingga Sunan Pakubuwono II lari ke Ponorogo. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan Candrosengkolo (penanda waktu) yang berbunyi "Pandito Enem Angoyog Jagad" (Raja yang telah kehilangan keratonnya). Akhirnya Sunan Kuning dapat bertahta di jantung ibukota Mataram di keraton Kartasura.
Sunan Kuning/Amangkurat V kemudian mengangkat komandan perlawanan, seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo (Pangeran Prangwedana) sebagai panglima perang. Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 prajurit gabungan Tionghoa-Jawa dipimpin Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka bertempur dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Setelahnya berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.
Namun kemudian, Kartasura diserang dari gabungan beberapa pasukan dari berbagai penjuru. VOC dibawah pimpinan Kapten Wilhem atas perintah Wakil Gubernur Jenderal Gustaaf W. Van Imhoff menyerang dari arah Ungaran, Pasukan Pakubuwono II menyerang dari arah Ngawi dan Pasukan Madura dibawah Pangeran Cakraningrat IV menyerang Kartasura dari arah Bengawan Solo. Kepungan dan gabungan serangan tersebut berhasil merebut Kartasura bulan Desember 1742. Namun ternyata beberapa pusaka-pusaka keraton hilang yaitu diantaranya berupa : tombak “Kanjeng Kyai Lindu Pawon" dan Keris “Kanjeng Kyai Nogososro”. Namun kedua pusaka tersebut dapat diketemukan kembali dan dikembalikan ke Karaton.
Raden Mas Gerendi (Sunan Kuning) dan pasukannya terdesak dan mundur ke arah selatan lalu ke timur. setelah terpisah dari pasukan Kapitan Sepanjang dan RM Said, RM Garendi kemudian tertangkap di Surabaya pada bulan Desember 1743. Sunan Kuning bersama pasukannya kemudian dibawa ke Semarang lalu dibawa ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Ceylon (Sri Langka).
OEI ING KIAT
Oei Ing Kiat, Tokoh Muslim Tionghoa Penggerak Perang Kuning.
Oei Ing Kiat adalah seorang Muslim keturunan Tionghoa yang menjadi tokoh sentral dalam Perang Kuning (1741-1743).
Dalam perang itu, ia mengorganiasasikan laskar Tionghoa, Jawa, dan para santri, untuk menyerang penjajah Belanda.
Perjuangan melawan bangsa penjajah masih dilakukan Oei Ing Kiat hingga akhir hidupnya pada 1750.
Asal-usul Oei Ing Kiat
Oei Ing Kiat adalah seorang saudagar kaya keturunan Tionghoa yang memiliki banyak kapal di pelabuhan Lasem, Jawa Tengah.
Apabila ditelusuri asal-usulnya, ia adalah keturunan Bi Nang Oen, seorang pujangga di Campa yang datang ke Nusantara bersama armada Laksamana Cheng Ho.
Setelah mendarat di Lasem pada sekitar abad ke-15, Bi Nang Oen menjadi penyebar agama Islam.
Sebagai seorang Muslim keturunan Tionghoa dan kaya raya, Oei Ing Kiat dikenal sangat dermawan terhadap penduduk pribumi di wilayahnya.
Diangkat menjadi Adipati Lasem.
Oei Ing Kiat diketahui sangat loyal terhadap Adipati Lasem, Raden Sasongko Tejakusuma V, dan dekat dengan kalangan keluarga ningrat di wilayah tersebut.
Karena itu pula, ia berteman baik dengan Raden Panji Margono, putra Tejakusuma V.
Saat Tejakusuma V mengundurkan diri dari jabatannya, Raden Panji Margono seharusnya menjadi adipati selanjutnya.
Namun, Raden Panji Margono menolak, sehingga jabatan Adipati Lasem diberikan kepada Oei Ing Kiat. Pada 1727, Oei Ing Kiat dilantik oleh Pakubuwono II dari Mataram sebagai Adipati Lasem dengan gelar Tumenggung Widyaningrat
Sekalipun telah menjabat sebagai Adipati Lasem, ia tidak menempati puri kadipaten karena sangat menghormati Tejakusuma V. Puri Kadipaten Lasem tetap ditinggali keluarga Tejakusuma V, sementara Oei Ing Kiat membangun puri sendiri di sebelah utara masjid kota. Membantu pelarian Tionghoa Mengenai pandangannya terhadap Belanda, Oei Ing Kiat menaruh kebencian mendalam atas praktik monopoli perdagangan dan intervensi politik yang dilakukan kepada Kerajaan Mataram Islam.
Ketika terjadi Geger Pacinan Batavia pada 1740, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke Lasem.
Oei Ing Kiat menerima para pelarian Tionghoa yang berhasil selamat dan mengizinkan mereka membangun perkampungan di Lasem. Bahkan adipati juga mempekerjakan sebagian dari mereka dalam proyek normalisasi sungai.
Ketika terjadi Geger Pacinan Batavia pada 1740, banyak orang Tionghoa yang melarikan diri ke Lasem.
Oei Ing Kiat menerima para pelarian Tionghoa yang berhasil selamat dan mengizinkan mereka membangun perkampungan di Lasem. Bahkan adipati juga mempekerjakan sebagian dari mereka dalam proyek normalisasi sungai.
Tokoh penggerak Perang Kuning Ketika Belanda mulai mengikis teritorial dan kekuasaan di Lasem, Oei Ing Kiat diam-diam menggalang kekuatan yang terdiri dari penduduk pribumi dan pelarian Tionghoa dari Batavia untuk melawan. Dalam hal ini, ia didukung oleh Raden Panji Margono dan Tan Ke Wie, pengusaha kaya keturunan Tionghoa sepertinya.
Oei Ing Kiat mengorganisasikan serangan melawan VOC di Jepara, Juwana, dan Rembang, yang kemudian dikenal sebagai Perang Kuning. Namun, perlawanan tersebut dapat dipatahkan VOC dan berakibat pada jatuhnya Lasem ke tangan Belanda.
Gugur ketika melawan Belanda Karena dicurigai oleh Belanda sebagai dalang di balik Perang Kuning, Oei Ing Kiat lantas dicopot dari jabatan adipati. Posisinya kemudian diturunkan menjadi Tumenggung Mayor Titular, jabatan boneka yang diciptakan VOC. Setelah itu, Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono, serta orang-orang Tionghoa di Lasem terus diawasi oleh VOC.
Meski berada di bawah pengawasan Belanda, semangatnya untuk memberontak bangsa pejajah tidak pernah padam.
Oei Ing Kiat mengorganisasikan serangan melawan VOC di Jepara, Juwana, dan Rembang, yang kemudian dikenal sebagai Perang Kuning. Namun, perlawanan tersebut dapat dipatahkan VOC dan berakibat pada jatuhnya Lasem ke tangan Belanda. Gugur ketika melawan Belanda Karena dicurigai oleh Belanda sebagai dalang di balik Perang Kuning, Oei Ing Kiat lantas dicopot dari jabatan adipati. Posisinya kemudian diturunkan menjadi Tumenggung Mayor Titular, jabatan boneka yang diciptakan VOC. Setelah itu, Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono, serta orang-orang Tionghoa di Lasem terus diawasi oleh VOC. Desakan dan Peringatan Jerman untuk China dalam Sikapi Perang di Ukraina Meski berada di bawah pengawasan Belanda, semangatnya untuk memberontak bangsa pejajah tidak pernah padam.
Perlawanan dilanjutkan pada 1750, di mana Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono beserta Kiai Ali Badawi menyerbu kedudukan VOC di Rembang. Ketiga tokoh ini memimpin pasukan yang terdiri dari gabungan etnis Tionghoa, Jawa, serta kalangan santri. Namun, Oei Ing Kiat gugur dalam pertempuran di Layur, Lasem Utara. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan di Gunung Bugel dan perlawanan di Lasem benar-benar padam. Untuk memeringati perjuangan Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono, dibangun Klenteng Gie Yong Bio di Lasem.
AMANGKURAT V SUSUHUNAN DARI MATARAM
Amangkurat V (Amangkurat kalima /amangkurat lima, dikenal juga sebagai Sunan Kuning) adalah seorang cucu Amangkurat III di Mataram, putra dari Pangeran Tepasana. Tahun 1742, ia diangkat sebagai susuhunan Mataram menggantikan takhta Amangkurat IV oleh koalisi Jawa-Tionghoa yang menantang kekuasaan Pakubuwana II.
Silsilah.
Sunan Amangkurat V atau Sunan Kuning memiliki nama asli Raden Mas Garendi, lahir pada 1726. Dia adalah putra bungsu dari Pangeran Tepasana, atau cucu dari Amangkurat III. Masa kecilnya sudah diwarnai politik berdarah. Ayahnya, Pangeran Tepasana, terbunuh karena konflik kerajaan.
Setelah ayahnya tewas, Raden Mas Garendi dibawa lari menyelamatkan diri meninggalkan Karaton Kartasura oleh pamannya bernama Wiramenggala. Mereka melintasi Gunung Kemukus hingga menuju Grobogan. Di lokasi itu, rombongan pelarian Kartasura berjumpa dengan keluarga Tionghoa, Tan He Tik. Garendi lantas diangkat anak oleh He Tik.
Dalam Babad Kartasura II, dijelaskan perihal deskripsi fisik Raden Mas Garendi. Dia disebut sebagai remaja ganteng yang populer dan banyak penggemar.
"Akan halnya Raden Mas Garendi, memang rupawan. Kebagusannya sudah terkenal di mana-mana, apalagi banyak cerita-cerita yang turut meramaikannya. Bahwasannya seorang bangsawan yang bijaksana, lagi pula baik hatinya. Adalah tidak mustahil, banyak yang turut senang, melihat Raden Mas Garendi," demikian keterangan dalam Babad Kartasura II.
Pemerintahan.
Geger Pacinan di masa pemerintahan
Lukisan Jawa abad ke-19 menggambarkan salah satu episode Perang Jawa-Tionghoa melawan VOC, perang yang meletus di Jawa tahun 1741-1743.
Pada mulanya, Pakubuwana II adalah seorang sunan yang melawan kolonialisme Belanda. Dia pernah meminta para pejabat dan bupati bersumpah setia serta bersiap mengusir mereka dari tanah Jawa.
Di masa kepemimpinannya, pasukan Mataram menyerang benteng kompeni di Kartasura pada 1741. Tercatat 10 prajurit kompeni tewas di dalam dan sekitar benteng. Peristiwa itu menandai konflik terbuka antara Kesultanan Mataram dan VOC. Pakubuwana II juga memerintahkan patihnya mengirim pasukan untuk membantu laskar Tionghoa mengepung VOC di Semarang.
Saat itu adalah masa-masa Geger Pacinan, rangkaian peperangan yang disebut-sebut lebih besar daripada Perang Diponegoro pada dua dekade setelahnya. Geger Pacinan diawali dengan pembantaian 10 ribu orang Tionghoa oleh VOC di Batavia (sekarang Jakarta). Hal itu menyulut aksi pemberontakan melawan VOC.
Pemimpin pemberontakan dari pabrik gula di Gandaria, Batavia, adalah Souw Phan Ciang atau Khe Panjang, yang kemudian dikenal sebagai Kapitan Sepanjang. Dia lari sampai Semarang dan bergabung dengan laskar Tionghoa pimpinan Singseh (Tan Sin Ko). Kapitan Sepanjang dan Singseh berperang melawan VOC, mendapat bantuan pasukan dari Pakubuwana II, namun kemenangan sulit diraih, bahkan VOC mengklaim sebagai pihak yang menang.
Namun, Pakubuwana II berubah sikap 180 derajat dari yang semula melawan kompeni menjadi memihaknya. Dukungan Mataram ke pemberontak Tionghoa dicabut pada awal 1742. Perubahan sikap itu dilatar belakangi Pakubuwana II yang khawatir dilengserkan dari takhta Mataram bila terus melawan VOC. Dalam hal ini, VOC dikenal handal menyulut intrik politik. Di sisi lain, para bangsawan juga banyak yang mengincar kedudukan Pakubuwana II. Sejak saat itu, perang melawan Pakubuwana II dan VOC berkobar.
Di Grobogan, Raden Mas Garendi menghimpun kekuatan. Tiga brigade Jawa dan tiga brigade Tionghoa dikumpulkan. Mereka menyusun rencana untuk menyerang Pakubuwana II di Kartasura.
Berikut ini pihak-pihak yang mendukung Raden Mas Garendi :
1. Patih Natakusuma, patih bawahan Pakubuwana II yang memilih mendukung Sunan Kuning dan pasukan Tionghoa
2. Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), kelak bergelar Mangkunagara I
3. Tumenggung Martapura, bupati Grobogan
4. Tumenggung Mangun Oneng, bupati Pati
5. Singseh, pemimpin laskar Tionghoa dari Tanjung Welahan (dekat Demak)
6. Kapitan Sepanjang, pemimpin pemberontakan Tionghoa dari Batavia
Kenaikan takhta.
Pada tanggal 6 April 1742 di Pati, diadakan pembahasan mengenai siapa yang harus menggantikan Pakubuwana II. Singseh mengusulkan Tumenggung Martapura yang diangkat menjadi sunan Mataram, Kapitan Sepanjang setuju dengan usul itu. Namun Tumenggung Mangun Oneng tidak setuju karena Martapura tidak memiliki garis keturunan atau wahyu keprabon, bobot (kepantasan), dan bibit (asal-usul) untuk menjadi sunan Mataram.
Tan He Tik mengusulkan agar Raden Mas Garendi yang menjadi sunan Mataram pengganti Pakubuwana II. Karena, Raden Mas Garendi adalah cucu sunan Mataram, Amangkurat III. He Tik sendiri adalah orang tua angkat Garendi. Kapitan Sepanjang sempat khawatir bila Raden Mas Garendi akan berkhianat seperti Pakubuwana II yang semula melawan VOC menjadi bersekutu dengan VOC. Namun akhirnya semua bersepakat untuk menobatkan Raden Mas Garendi menjadi sunan Mataram.
Raden Mas Garendi kemudian bergelar Amangkurat V, dalam upacara penobatan itu hadir para ulama di samping kanan Amangkurat V dan panglima berbusana Tionghoa di samping kirinya.
Dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, dikatakan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi. Selain karena banyak pengikutnya yang berkulit kuning (Tionghoa), hal itu karena orang Tionghoa menyebutnya sebagai cun ling (bangsawan tertinggi) merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan.
Sejak saat itu, pertempuran demi pertempuran dilakoni oleh koalisi Jawa-Tionghoa. Mei 1742, formasi pasukan Jawa-Tionghoa terdiri atas seribu prajurit Jawa dan seribu prajurit Tionghoa. Perkembangan selanjutnya, pasukan Jawa menjadi lebih banyak dibanding Tionghoa.
Pada Juni 1742, Sunan Amangkurat V dan pasukannya menuju Kartasura. Laskar Tionghoa dipimpin panglimanya bernama Entik, Macan, dan Pibulung. Laskar Jawa di bawah komando Kertawirya, Wirajaya, dan Martapura. Sunan yang masih remaja tersebut dikawal oleh Tumenggung Mangun Oneng, Kapitan Sepanjang, dan Singseh. Mereka bertempur di Salatiga hingga Boyolali.
Penyerbuan ke Kartasura.
Pada tanggal 30 Juni 1742, pasukan Amangkurat V menjebol benteng Karaton Kartasura. Penjebeloan benteng istana itu bahkan bisa dilihat sampai sekarang. Tembok istana itu berhasil dilubangi karena pasukan Amangkurat V menggunakan meriam.
Suasana Kartasura mendadak kacau dan luluh lantak karena diserbu pasukan gabungan Jawa-Tionghoa. Pakubuwana II dan keluarganya menyelamatkan diri dari peristiwa tersebut. Mereka dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorff bersama pasukan VOC dan mengungsi ke arah Magetan melalui Gunung Lawu.
Pada tanggal 1 Juli 1742, Sunan Amangkurat V alias Sunan Kuning resmi bertakhta di Kartasura. Terdapat candrasengkala (penanda waktu dalam tradisi Jawa) berbunyi Pandita anom angoyog jagad, bermakna Pemimpin muda mengguncang jagat.
Setelah berhasil menduduki takhta Mataram kemudian Amangkurat V mengangkat Tumenggung Mangun Oneng menjadi patih. Tumenggung Martapura diangkat menjadi pelaksana harian komando pertempuran dengan nama Sujanapura. Raden Suryakusuma kelak dikenal sebagai Pangeran Prangwedana diangkat sebagai panglima perang.
Akhir pemerintahan.
Amangkurat V merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 pasukan gabungan Jawa-Tionghoa dipimpin Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka bertempur dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan itu. Setelahnya berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Jawa-Tionghoa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di pulau Mandalika, lepas pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana.
Pada 26 November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Amangkurat V. Kartasura diserang dari tiga penjuru oleh Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwana II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran dan Salatiga. Amangkurat V meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukannya.
Akhir dari perjalanan Amangkurat V terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya. Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang, Amangkurat V terpaksa menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka).
Kontroversi.
Sumber riwayat Semarang menyebutkan bahwa petilasan Sunan Kuning atau Sunan Amangkurat V berada di bagian barat Kota Semarang, di atas sebuah bukit Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Semarang. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran, nama lokalisasi Sunan Kuning pun lebih populer dibanding nama resmi kawasan Resosialisasi Argorejo dan ini terus dikecam oleh banyak kalangan yang mengira bahwa sebutan Sunan niscaya berhubungan dengan Walisongo dan penguasa Kasunanan.
Sunan Kuning atau Amangkurat V .
Amangkurat V atau Sunan Kuning atau Raden Mas Garendi merupakan cucu dari Amangkurat III di Mataram. Ia merupakan salah satu tokoh yang memberontak terhadap pemerintahan Pakubuwana II yang dekat dengan VOC. Amangkurat V disebut sebagai Sunan Kuning karena saat memberontak terhadap Pakubuwana II, ia memimpin pasukannya yang berasal dari etnis Tionghoa. Raden Mas Garendi sempat menjadi Sunan setelah diangkat oleh koalisi Jawa-Tionghoa pada tahun 1742 dan berakhir pada tahun 1743.
Sunan Kuning atau Amangkurat V memiliki nama asli Raden Mas Garendi yang lahir di Kartasura pada tahun 1726. Ia merupakan putra bungsu dari Pangeran Tepasana atau cucu dari Amangkurat III. Semasa kecilnya, Raden Mas Garendi melihat pertikaian politik karena ayahnya, Pangeran Tepasana terbunuh. Setelah kematian ayahnya, Pangeran tepasana, Raden Mas Garendi dibawa lari meninggalkan Kartasura oleh pamannya yang bernama Wiromenggala. Raden Mas Garendi kemudian dibawa ke Grobogan dengan melewati Gunung Kemukus.
Sampai di Grobogan, rombongan pelarian dari Kartasura kemudian bertemu dengan keluarga Tionghoa, Tan He Tik. Keluarga Tionghoa tersebut kemudian memungut Raden Mas Garendi sebagai anak angkat Tan He Tik. Di dalam Babad Kartasura II dijelaskan bahwa Raden Mas Garendi merupakan seorang pemuda yang rupawan dan populer. Memberontak terhadap Pakubuwana II Setelah ia beranjak dewasa, Raden Mas Garendi kemudian terlibat dalam pemberontakan terhadap Pakubuwana II.
Adapun penyebab Raden Mas Garendi memberontak terhadap Pakubuwana II adalah sikapnya yang berbalik mendukung VOC setelah sebelumnya melawan. Hal itu juga membuat kecewa pasukan laskar Tionghoa yang sebelumnya membantu Kartasura melawan VOC di Semarang. Laskar Tionghoa yang dipimpin oleh Singseh atau Tan Sin Ko mendapatkan kekuatan tambahan dari Kapitan Sepanjang atau Souw Phan Ciang dari Batavia. Sementara itu, di Grobogan, Raden Mas Garendi atau Raden Mas Garendi kemudian menghimpun kekuatan dari kalangan Jawa-Tionghoa.
Raden Mas Garendi menghimpun tiga brigade Jawa dan tiga brigade Tionghoa.
Tokoh Muslim Tionghoa Penggerak Perang Kuning Raden Mas Garendi juga mendapatkan dukungan dari Patih Natakusuma, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa, Tumenggung Martapura, dan Tumenggug Mangun Oneng. Pada 30 Juni 1742, pasukan Gabungan Raden Mas Garendi berhasil menguasai benteng Keraton Kartasura. Naik Takhta Sebelum berhasil menguasai Kartasura, pada bulan April 1742 diadakan pembahasan siapa yang akan menggantikan Pakubuwana II. Dari pertemuan itu disepakati bahwa Raden Mas Garendi sebagai calon pengganti Pakubuwana II. Hal itu didasarkan karena ia merupakan cucu Amangkurat III.
Kemudian rencana menyerang Kartasura dilaksanakan dan berhasil pada 30 Juni 1742. Sehari setelahnya, pada 1 Juli 1742 Raden Mas Garendi diangat menjadi penguasa Kartasura dengan gelar Sunan Amangkurat V. Sementara itu, PB II dan keluarganya dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorff, pemimpin tentara kolonial VOC ke Magetan melalui Gunung Lawu. Ditangkap VOC Setelah diangkat menjadi penguasa Kartasura, Raden Mas Garendi kemudian merencanakan untuk menyerang VOC di Semarang. Pasukan Raden Mas Garendi kemudian berangkat ke Semarang dengan dipimpn oleh Raden Mas Said atau Pengeran Samber Nyawa dan Singseh (Tan Sin Ko).
Pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom berhasil memukul mundur pasukan dari Kartasura. Setelah gagalnya serangan ke Semarang, kekelahan dalam pertempuran terus dialami oleh pasukan Raden Mas Garendi. Hingga pada 1742 Raden Mas Garendi melarikan diri ke Surabaya dan ditangkap oleh VOC. Raden Mas Garendi kemudian dipenjara di Semarang lalu dipindah ke Batavia dan akhirnya diasingkan ke Ceylon atau Sri Lanka hingga meninggal dunia.
Perang Kuning.
Perang Kuning (Belanda: Geel Oorlog) adalah serangkaian perlawanan rakyat Lasem-Rembang dan sekitarnya terhadap kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Semarang (1741-1742) dan Lasem (1750). Konflik muncul sebagai dampak terjadinya peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740 yang diikuti migrasi besar-besaran penduduk Tionghoa dari Batavia ke Semarang dan Lasem. Peristiwa tersebut menimbulkan terjadinya pemberontakan yang dikenal sebagai Perang Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur (1741-1743), sementara Perang Kuning merupakan perang yang dikobarkan oleh masyarakat Lasem secara khusus. Peperangan pada akhirnya dimenangkan oleh Belanda setelah jatuhnya banyak korban jiwa pada kedua belah pihak serta menyebabkan wilayah Lasem dipisahkan dari Rembang secara de facto. Akhir peperangan ini juga menandakan berakhirnya seluruh perlawanan rakyat Lasem terhadap kekuasaan Kompeni serta kekuasaan keluarga Tejakusuman di Lasem.
Setelah terjadi peristiwa Geger Pacinan di Batavia pada tahun 1740, banyak imigran Tionghoa yang datang ke Lasem untuk mengungsi. Kedatangan mereka disambut oleh Adipati Lasem Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat) yang mengizinkan mereka untuk membuka beberapa perkampungan baru. Bersamaan dengan berkobarnya pemberontakan melawan Kompeni oleh gabungan pasukan Jawa-Tionghoa, warga Lasem mengangkat tiga pemimpin pemberontak bernama Panji Margono, Oei Ing Kiat, dan Tan Kee Wie. Pasukan pemberontak dari Lasem (juga dikenal dengan nama "Laskar Dampo Awang Lasem") pada mulanya berhasil menguasai Rembang, tetapi menderita kekalahan saat menyerang Jepara, disertai gugurnya salah satu pemimpin pemberontak Tan Kee Wie pada tahun 1742. Peperangan berhenti selama bertahun-tahun hingga akhirnya pemberontakan kembali dikobarkan oleh Kyai Ali Badawi. Pada perang pada tahun 1950 tersebut, Raden Panji Margono, diikuti oleh Oei Ing Kiat, mengalami kekalahan dan gugur. Meskipun perlawanan rakyat Lasem berakhir dengan kekalahan tersebut, nama Perang Kuning selanjutnya digunakan untuk merujuk peperangan yang dilanjutkan oleh Kwee An Say dan Tan Wan Sui.
Klenteng Gie Yong Bio (Lasem sebelum tahun 1741).
Lasem merupakan daerah yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Pada tahun 1679, VOC dengan bantuan Amangkurat II menyerang Lasem agar dapat memonopoli perdagangan di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Peperangan tersebut menimbulkan kebencian warga Lasem, baik pribumi maupun Tionghoa, terhadap Belanda maupun penguasa Mataram yang menjadi boneka Belanda.
Pada tahun 1714, Sunan Pakubuwana I mengangkat Pangeran Panji Sasongko (bergelar Tejakusuma V) menjadi Adipati Lasem (1714-1727). Meskipun demikian, Pangeran Tejakusuma V tidak menyukai Sunan Pakubowono I dan penggantinya, Sunan Pakubuwana II, karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dengan Belanda. Sebagaimana penduduk Lasem yang lain, ia menaruh kebencian terhadap Belanda. Setelah pemberontakan di Mataram mereda, Pangeran Tejakusuma V mengundurkan diri dengan alasan kesehatan, tetapi putranya yang bernama Raden Panji Margono tidak berminat menggantikan kedudukannya, karena lebih memilih bertani dan berdagang dengan penduduk Tionghoa di Lasem dan sekitarnya. Akhirnya, jabatan Adipati Lasem diserahkan kepada Oei Ing Kiat yang selanjutnya dilantik oleh Sunan Pakubuwana II pada tahun 1727 dengan gelar Tumenggung Widyaningrat.
Oei Ing Kiat (Oey Ing Kiat) adalah seorang Tionghoa beragama Islam yang sangat kaya, keturunan Bi Nang Oen yang merupakan salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen adalah seorang pujangga dari Campa yang menjadi penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad XV. Oei Ing Kiat sendiri merupakan pengusaha dan syahbandar yang memiliki banyak kapal junk dan perahu antar pulau.
Pengungsian dari Batavia.
Peristiwa Geger Pacinan pada tahun 1740 tidak lepas dari jatuhnya harga gula yang merupakan salah satu produk ekspor utama VOC ke Eropa sehingga kondisi keuangan kongsi dagang asal Belanda tersebut memburuk. Hal tersebut meresahkan penduduk miskin Tionghoa yang menjadi buruh pabrik gula, terutama Gubernur Jenderal VOC saat itu, Adriaan Valckenier, memperketat kebijakan untuk mendeportasi warga Tionghoa yang mencurigakan ke Ceylon (Sri Lanka). Namun, terdapat isu yang mengatakan bahwa orang-orang yang dideportasi tidak diturunkan di Ceylon melainkan dibuang di tengah laut. Keresahan tersebut menyebabkan terjadinya pemberontakan oleh etnis Tionghoa yang berujung pada terjadinya pembantaian sekitar 10.000 jiwa etnis Tionghoa di Batavia (9-10 Oktober 1740). Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan Tragedi Angke dan dicatat dalam Babad Tanah Jawi sebagai Geger Pacinan.
Akibat peristiwa tersebut, pada tahun 1741 sekitar 1.000 orang Tionghoa Batavia lari dan mengungsi di kota-kota pesisir Jawa yang aman, salah satunya adalah Lasem. Mereka melihat penguasa di Lasem adalah seorang dari etnis Tionghoa yang bisa melindungi mereka. Mengetahui peristiwa tersebut, Oei Ing Kiat dan penduduk Lasem baik pribumi maupun Tionghoa menjadi semakin benci terhadap Kompeni Belanda. Oei Ing Kiat atau dikenal sebagai Tumenggung Widyaningrat mengizinkan para pengungsi untuk menetap dan membangun perkampungan-perkampungan baru di tepi Sungai Kemandung Karangturi, Pereng, dan Soditan. Sebagai dampaknya, warga Lasem berniat melakukan pemberontakan terhadap Belanda dan mengangkat tiga pemimpin pemberontakan, yaitu Raden Panji Margono, Raden Ngabehi Widyaningrat (Oei Ing Kiat), dan Tan Kee Wie. Raden Panji Margono menyamar sebagai seorang babah (keturunan Jawa-Tionghoa) bernama Tan Pan Ciang (Tan Pan Tjiang, berbeda dari Khe Pandjang yang memimpin para pengungsi Tionghoa dari Batavia).
Tan Kee Wie dikenal sebagai juragan bata yang dermawan. Selain sebagai pengusaha, ia juga dikenal sebagai pendekar atau guru kungfu. Diceritakan bahwa dirinya mengangkat sumpah saudara dengan Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono.
Perang tahun 1741-1742.
Selama akhir 1740 hingga Juli 1742, Pakubuwono II beserta para penasihatnya berunding, apakah sebaiknya mereka bergabung dengan pergerakan pasukan Tionghoa atau membantu Kompeni Belanda sehingga akan memperkokoh hubungan yang selama ini telah terjalin dengan baik. Di antarayang menentang rencana tersebut adalah Pangeran Ngabehi Loringpasar, Ratu Amangkurat, dan Pangeran Cakraningrat IV dari Madura. Di lain pihak, Tumenggung Martopuro merupakan salah satu penasihat yang mengusulkan untuk ikut mengadakan perlawan terhadap pendudukan Kompeni Belanda. Oleh sebab itu, ia diminta untuk menyelidiki penduduk Tionghoa yang berada di wilayahnya. Pada 11 Mei 1741, Pakubuwono II meminta para penguasa di daerah pesisir untuk bersumpah setia kepadanya, jika hubungannnya dengan Belanda benar-benar putus. Keputusan Pakubuwana II menyebabkan Adipati Cakraningrat IV memberikan dukungannya kepada VOC dan memberantas pergerakan pemberontakan Tionghoa.
Penyerangan ke Semarang (Perang Jawa 1741–1743).
Babad Tanah Jawi menyebutkan dua orang pemimpin laskar Tionghoa bernama Encik Macan (Tan Pan Ciang atau Raden Panji Margono) dan Muda Tik (Oei Ing Kiat) mengumpulkan pasukan laskar Tionghoa yang berkumpul di Puwun (Jati Pohon Purwoto), Gerobogan. Pemerintah Gerobogan saat itu, Tumenggung Martopuro, memanggil keduanya untuk menegaskan siapa yang akan mereka lawan. Tumenggung Martopuro memberi nasihat supaya mereka tidak melawan pemerintah Kartasura karena merupakan milik negara, selain juga untuk menghindari supaya jangan sampai pasukan mereka diserang oleh Belanda sekaligus oleh pasukan Kartasura. Mereka diutus menemui pemimpin pasukan laskar Tionghoa di Tanjung Welahan yang disebut Shingshe (bernama asli Tan Sin Kho) untuk menanyakan kesanggupan Shingshe melawan pasukan Belanda di Semarang. Jika memang Shingshe telah bertekad untuk berperang, Tumenggung Martopuro juga akan dengan tegas mengumumkan dirinya melawan Kompeni. Setelah mengetahui bahwa pemerintahan Kartasura (Pakubuwana II) merestui penyerangan tersebut, Shingshe menyerahkan upeti berupa kain beludru terbaik (Molio Kustup), Surosari real 700 susun, dan kain sutra 2 pikul berwarna hijau dan merah sebagai ungkapan terima kasih kepada Tumenggung Martopuro. Tumenggung Martopuro gembira karena maksud dan tujuannya telah tercapai, yaitu seluruh laskar Tionghoa di Puwun dan Tanjung Welahan telah sepakat menyerang Kompeni Belanda.[13] Dalam perjalanan menuju Semarang, pasukan yang dipimpin Tan Pan Ciang dan Oei Ing Kiat berhasil memberantas bandit-bandit setelah melakukan pertempuran di dekat Lasem. Lokasi pertempuran terletak sekitar 3 kilometer dari Lasem, pada sebuah tempat yang dinamakan Desa Godou. Pertempuran tersebut dikenal dengan nama Perang Godou Balik (Perang Godho Balik).
Pada tanggal 23 Mei 1741, pasukan Tionghoa yang berkumpul di Welahan bergerak ke Timur dan menyerang Juwana serta Rembang. Pertempuran tersebut dimenangkan oleh pasukan Tionghoa pada tanggal 27 Juli 1741 dan menimbulkan banyak korban di pihak Kompeni. Meskipun demikian, pasukan Cakraningrat IV telah menyapu bersih seluruh etnis Tionghoa yang berada di Surabaya, Pasuruan, dan Gresik pada tanggal 12 Juli 1741. Tanggal 31 Juli 1741, pasukan Jawa-Tionghoa mulai mengepung Kota Jepara. Di Kertasura sendiri, Pakubuwana II mengerahkan pasukan untuk menyerang pos VOC di sana, mengakibatkan Kapiten Johannes van Velsen yang menjadi komandan serta beberapa serdadu lainnya tewas, dan sisanya diberi pilihan untuk memeluk agama Islam atau dibunuh.
Selanjutnya, pasukan Tionghoa bergerak menuju Semarang dengan kekuatan sekitar 20.000 prajurit Jawa, 3.500 prajurit Tionghoa, dan 30 buah meriam. Pasukan pemberontak berhasil menduduki wilayah Kampung Tionghoa dan Kaligawe, sementara Kompeni masih menguasai pemukiman Eropa, benteng, dan pesisir pantai. Setelah pasukan VOC di Semarang memperoleh bantuan, pasukan VOC menjadi berjumlah lebih dari 3.400 orang dan berhasil memukul mundur para pemberontak.
Menurut arsip Tionghoa di Kongkoan, pemimpin pasukan Tionghoa dari Tanjung bernama Ouw Seng berselisih dengan pemimpin pasukan Tionghoa dari Batavia bernama Tay Pan. Hal tersebut membuat Pakubuwana II menyetujui nasihat-nasihat untuk memutuskan hubungan dengan pemberontak Tionghoa, kecuali tujuh orang pangeran. Pakubuwana II kemudian menyuap para pemimpin pasukan Tionghoa untuk membunuh ketujuh pangeran tersebut dengan alasan bahwa mereka telah bersekongkol dengan Kompeni Belanda. Seorang dari pemimpin Tionghoa menyembunyikan ketujuh pangeran tersebut dan salah satunya disembunyikan di Kudus. Sikap mendua Pakubuwana II membuatnya kehilangan dukungan para pendukungnya yang anti-VOC sehingga mereka melakukan makar dengan menyerang keraton. Sebelumnya, pada tanggal 6 April 1742 di Pati, pasukan pemberontak menyatakan untuk menurunkan Susuhunan Pakubuwana II dan mengangkat Raden Mas Garendi sebagai susuhunan yang baru, dengan gelar Sunan Kuning. Akhirnya Keraton Surakarta jatuh pada tanggal 30 Juni 1742, Pakubuwana II, Ratu Amangkurat, dan anggota keluarga kerajaan yang lain berhasil melarikan diri. Pada tanggal 26 November 1742, pasukan Cakraningrat IV berhasil merebut kembali keraton dengan bantuan dua jenderal Tionghoa yang datang ke Jawa untuk berdagang. Setelah Pakubuwono II kembali bertahta, kedua jenderal tersebut masuk agama Islam dan diberi gelar Raden Tumenggung Jojonegoro dan Raden Tumenggung Setianegoro.
Penyerangan ke Juwana.
Pasukan laskar Dampo Awang Lasem yang dipimpin oleh Raden Panji Margono, Tan Kee Wie, dan Oei Ing Kiat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pasukan yang menyerang dari laut dan pasukan infanteri di darat. Pasukan laut dipimpin oleh Tan Kee Wie, sementara pasukan infanteri dipimpin oleh Raden Panji Margana dan Oei Ing Kiat. Mereka menggunakan taktik menguasai daerah pelabuhan terlebih dahulu (oleh pasukan yang dipimpin Tan Kee Wie) selanjutnya bergerak ke pusat kota dimana tangsi Belanda berada. Dalam serangan tersebut, laskar Dampo Awang Lasem memperoleh bantuan dari para pemberontak Dresi dan Jangkungan dan berhasil memperoleh kemenangan.
Setelah kemenangan di Rembang, pasukan pemberontak bergerak ke Barat menuju tangsi Belanda yang terletak di sisi timur Sungai Juwana. Armada kapal jung yang dipimpin Tan Kee Wie berangkat dari Dresi bersama-sama dengan kelompok pemberontak (disebut "brandal") Dresi dan Jangkungan. Saat singgah di pesisir Tayu, mereka kembali memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Tionghoa Tayu. Namun, tangsi di Juwana telah diperkuat senapan dan meriam dari Semarang. Pada tanggal 5 November 1742, saat melewati selat antara Ujung Watu dan Pulau Mandalika, armada Tan Kee Wie ditembaki oleh meriam yang diletakkan di kedua sisi dan menyebabkan pemimpin pemberontak tersebut gugur karena kapalnya menjadi korban. Untuk menghormati kepahlawanan Tan Kee Wie dan pasukan yang gugur, sebuah prasasti batu granit berukir ditempatkan pada batas tembok Tan Kee Wie di Batok Mimi, di tepi muara sungai Paturen yang membelah kota Lasem. Penyerangan dilanjutkan keesokan harinya menjelang subuh, pasukan pemberontak menggunakan rakit bambu dan batang pisang untuk menyeberang. Pertempuran besar di alun-alun menjadi pertempuran jarak dekat sehingga penggunaan meriam dan senapan menjadi tidak efektif. Pasukan pemberontak memperoleh bantuan dari pasukan Jawa-Tionghoa dari Purwodadi (Gerobogan), Jaken, dan Blora yang menyerang Kota Juwana dari utara. Namun, pasukan Belanda memperoleh bantuan dari pasukan Pati dan Semarang serta pasukan Tumenggung Cakraningrat IV dari Tuban sehingga pasukan pemberontak mengalami kekalahan. Pasukan pemberontak yang tersisa berusaha mundur ke laut tetapi tidak berhasil, akhirnya mereka menembus pasukan dari darat dalam keadaan tercerai-berai.
Raden Panji Margono dan pengawalnya yang bernama Ki Galiyo pada saat itu mengenakan pakaian khas Tionghoa. Agar dapat lolos dan kembali dengan selamat ke Lasem, mereka mengganti pakaian mereka dengan pakaian Jawa di Desa Raci. Selain itu, mereka membeli berbagai pekakas dapur bekas dan menyamar sebagai tukang loak barang tembaga hingga ke Lasem. Oei Ing Kiat sendiri melepas pakaian hitamnya dan menyamar menjadi orang Jawa. Sesampainya di Kartasura, ia melapor ke Sunan Pakubuwono II bahwa ia lari dari Lasem karena hendak dibunuh oleh kaum pemberontak. Meskipun demikian, Oei Ing Kiat dicurigai keterlibatannya dengan pemberontakan sehingga kedudukannya sebagai Adipati Lasem dicopot oleh Sunan Pakubuwono II dan diganti jabatan buatan VOC, yaitu Tumenggung Mayor Tituler yang hanya memiliki wewenang untuk mengatur orang Tionghoa Lasem. Pada tahun 1745, Gubernur Jendral VOC Baron van Imhoff mengangkat Suro Adimenggolo III sebagai Bupati Lasem yang berkedudukan di Tulis.
Penguasaan Belanda.
Setelah Kartasura berhasil kembali direbut, Belanda menetapkan kembali Pakubuwono II sebagai raja atas Mataram, sementara ibu kota kerajaan dipindahkan ke Surakarta. Cakraningrat IV tidak memperoleh kekuasaan atas Jawa Timur sebagaimana yang dijanjikan oleh Belanda sehingga ia merasa ditipu dan melancarkan pemberontakan pada tahun 1745. Namun, pemberontakannya mengalami kegagalan setelah putranya menyerah dan diangkan menjadi Bupati Sampang. Cakraningrat IV melarikan diri ke Banjarmasin, tetapi dikhianati dan diserahkan ke VOC. Pada tahun 1746, ia diasingkan ke Tanjung Harapan hingga akhir hidupnya. Pakubuwono II sendiri pada tahun 1743 dipaksa untuk menandatangani perjanjian bahwa ia menyerahkan pantai utara Jawa, Madura, dan wilayah timur Jawa kepada Belanda; melepas hak untuk membuat uang; menyerahkan upeti sebanyak 5000 koyan (8600 metrik ton) beras setiap tahunnya; melarang penduduk Jawa untuk berlayar keluar pulau Jawa, Madura, dan Bali; patih hanya dapat dipilih atas persetujuan VOC; dan harus ada garnisun VOC di dalam keraton. Dengan kekuasaan tersebut, VOC mengangkat Suro Adimenggolo III sebagai Bupati Lasem pada tahun 1745.
Suro Adimenggolo III memiliki sikap yang memihak VOC sehingga keberadaannya di Lasem tidak disukai masyarakat di sana. Ia tidak menempati istana Tejakusuman yang ditempati oleh Raden Panji Margono atau istana yang dibangun Tumenggung Widyaningrat (Oei Ing Kiat), melainkan membangun kediamannya sendiri di Tulis.
Pada tahun 1747, ia mengeluarkan pengumuman yang menyulut kemarahan penduduk Lasem sebagai berikut :
1. Barang siapa bersekongkol dengan pemberontak Tionghoa akan dihukum siksa sampai mati.
2. Dilarang menyimpan kitab suci Siwa atau Buddha, Pustaka Sabda Badrasanti (Babad Bumi Lasem), dan catatan-catatan mengenai pemberontak Lasem. Semuanya wajib diserahkan ke Kadipaten.
3. Barang siapa yang menyimpan akan dihukum cambuk 25 kali.
4. Candi-candi di Lasem harus dibongkar dan patung-patungnya dihancurkan.
5. Setelah pengumuman tersebut, ribuan kitab dan lontar dikumpulkan di alun-alun dan dibakar. Hanya kitab-kitab di kediaman Raden Panji Margono yang selamat karena VOC tidak berani mengambil. Kejadian tersebut menyebabkan adanya ancaman pembunuhan terhadap Adi Suromenggolo sehingga ia memindahkan kediamannya dari Tulis ke Magersari, Rembang. VOC juga memindahkan benteng Tulis ke Rembang.
Perang tahun 1750.
Setelah selama beberapa tahun tidak terjadi perlawanan terhadap kekuasaan VOC, pada Agustus 1750 Raden Panji Margono mendengar bahwa para pemberontak di Argosoka berniat untuk mengangkat senjata. Hal tersebut membuat semangatnya kembali bangkit. Ia meminta penduduk Lasem untuk berkumpul di alun-alun depan masjid Lasem pada keesokan harinya, pada saat sembahyang Jumat. Pengajian tersebut dipimpin oleh Kyai Ali Badawi, seorang ulama besar di lasem yang mengasuk Pondok Pesantren Purikawak di Sumurkepel, selatan masjid Lasem. Setelah memimpin pengajian, Kyai Ali Badawi mengajak umat untuk berperang jihad mengusir Belanda dari Rembang dan bergabung dengan para pemberontak Tionghoa. Oei Ing Kiat juga kembali bangkit memimpin para pemberontak Tionghoa untuk berperang. Namun, rencana penyerangan bocor dua minggu sebelumnya sehingga Belanda dan Adipati Suroadimenggolo III sempat mengungsi ke Jepara.
Peperangan antara VOC dan pasukan pemberontak kembali meletus. Pasukan dari Tuban yang dipimpin Tumenggung Citrasoma bertempur dengan pasukan pemberontak Aragosoka yang dipimpin oleh Raden Panji Suryakusuma di Bonang dan Leran. Pasukan VOC dari Jepara berusaha melewati jalur laut menuju Layur (utara Lasem), tetapi kehadiran mereka dihadang pasukan Lasem dibawah pimpinan Oei Ing Kiat yang dipersenjatai senapan dan meriam hasil rampasan perang. Selama ini senjata-senjata tersebut disembunyikan di dalam terowongan yang digali di tepi Sungai Paturenan. Di sebelah timur Sungai Paturenan, pasukan yang dipimpin Kyai Ali Badawi menghadang pasukan VOC dan Citrasoma, tetapi banyak yang tewas akibat serangan meriam dari kapal VOC. Raden Panji Margono memimpin pertempuran jarak dekat melawan pasukan Belanda di daerah Narukan dan Karangpace (barat Lasem) hingga ke utara di tepi laut. Di Narukan, perut sebelah kiri Raden Panji Margono terkena sabetan pedang hingga sebagian ususnya keluar. Ia digendong oleh pengawal pribadinya, yaitu Ki Galiya, dengan perlindungan Ki Mursada. Setelah mencapai tempat aman di utara Gombong, luka Raden Panji Margono dirawat, tetapi ia meninggal karena kehabisan banyak darah.
Sebelumnya, ia meninggalan wasiat sebagai berikut :
1. Jenazahnya dimakamkan di bawah pohon trenggulun di desa Sambong tanpa ditandai gundukan tanah serta batu nisan.
2. Istri dan anak-anaknya diungsikan ke Narukan.
3. Seluruh kitab suci dan Pustaka Badrasanti miliknya diserahkan kepada Ki Badraguna yang menjadi Lurak Criwik.
4. Tembang sinom gubahannya sepulang dari perang Juwana agar dilestarikan sebagai kidung para dalang dan pesinden Lasem.
5. Berita kematian Raden Panji Margono membuat Oei Ing Kiat menjadi gelap mata. Ia maju ke depan medan peperangan dengan menggunakan pedang hingga akhirnya tertembak di dada oleh serdadu dari Ambon. Pada saat mundur, ia ambruk dan dikelilingi orang-orang. Ia meninggalkan pesan sebagai berikut :
1). Jenazahnya dimakamkan di lereng puncak gunung Bugel menghadap ke barat dengan ditandai dayung perahu serta pohon beringin.
2). Hanya keluarganya yang diperbolehkan untuk mengetahui makamnya.
3). Jenazahnya dibawa ke Warugunung di rumah istri mudanya yang beretnis Jawa untuk dibersihkan dan dimakamkan.
Hasil akhir peperangan.
Setelah kematian Oei Ing Kiat, perlawanan di Lasem benar-benar padam. Lasem kembali dikuasai oleh Belanda, rumah Oei Ing Kiat digunakan oleh keponakannya yang diangkat menjadi Kapten Tituler Lasem, sementara seluruh jung dan perahunya disita. Kediaman Tejakusuman milik Raden Panji Margono ditinggali oleh Mr. Happen, seorang kontrolir Belanda, pada tahun 1751.
Wilayah Lasem dipisahkan dari Rembang secara de facto. Rembang dipimpin oleh Hangabei Honggojoyo sementara Lasem dipimpin Tumenggung Citrasoma IV. Suroadimenggolo III dikembalikan ke Semarang karena dinilai gagal mencegah pemberontakan masyarakat Lasem.
Pada tahun 1780, setelah keadaan di Lasem tenang, penduduk Tionghoa di Babagan, Lasem mendirikan Klenteng Gie Yong Bio untung mengenang jasa ketiga pemimpin pemberontakan Lasem, yaitu Tan Kee Wie, Oei Ing Kiat, dan Raden Panji Margono.