Serat Anglingdarma dan Naskah asli SERAT ANGLING DARMA
karya R. Ng. Ranggawarsita
SELAYANG PANDANG SERAT ANGLINGDARMA
Pada naskah Serat Anglingdarma ceritanya lebih lengkap, hal ini menjadi dasar kajian untuk membandingkan naskah Serat Anglingdarma yang ditulis pada tahun Jawa 1806 dengan naskah Serat Anglingdarma hasil karya R. Ng. Ranggawarsita serta dengan naskah Serat Anglingdarma yang ditulis pada Jaman Pakubuwana X yaitu tahun Jawa 1850.
Berikut perbadingan naskah tersebut :
1. Naskah Serat Anglingdarma tahun 1806, lengkapnya ditulis pada hari Rabu Legi, bulan Sapar tahun 1806, pengarang tidak menyebut namanya. Buku ini setebal 225 halaman, isinya menceritakan keadaan kerajaan Melawapati pada waktu Anglingdarma bertahta. Juga menceritakan pengembaraan Anglingdarma yang akhirnya memperistri Anggarawati putra Darmawangsa raja di Bojanagara. Kemudian Anglingdarma mengembara lagi yang akhirnya menjadi menantu raja Kertanagara yaitu Basunanda dengan putrinya yang bernama Trusilawati. Selanjudnya naskah ini hanya menceritakan yang penting-penting saja atau garis besarnya saja. Jadi varesi-vareasi kalimat hanya sedikit sekali. Bentuk tulisan naskah ini Jawa carik atau tulisan tangan, keadaan naskah ada yang rusak karena banyak halaman yang sobek.
2. Naskah Serat Anglingdarma karya R. Ng. Ranggawarsita, buku ini tidak ada angka tahun dan hari penulisannya. Naskah ini setebal 95 halaman, tulisan aksara Jawa cetak berbentuk tembang macapat. Ceritanya diawali dari Danurwenda putra Anglingdarma dengan Trusilawati yaitu putri raja di Kertanagara. Keadaan buku baik tidak ada yang rusak.
3. Naskah Serat Anglingdarma yang ditulis pada Jaman pakubuwana X atau tahun Jawa 1850. Buku ini setebal 610 halaman, tulisan Jawa carik (tulisan masusrip beraksara jawa) berbentuk tembang macapat. Keadaan naskah baik, kertas Water Mark bergaris tidak ada yang rusak. Ceritanya lengkap dari kerajaan Melawapati sampai Bojanagara dan Kertanagara, variasivariasi kalimat dalam cerita ada yang membuat membuat cerita Anglingdarma menjadi hidup dan indah, serta mengasyikan, lebih jelasnya membaca sinopsis dalam lampiran. Dari Perbandingan Naskah Serat Anglingdarma seperti di atas, maka penulis dapat menyimpulkan antara lain sebagai berikut :
a. Dari ketiga naskah Serat Anglingdarma di atas, ternyata naskah Serat Anglingdarma yang ditulis pada tahun Jawa 1850 inilah yang paling lengkap.
b. Naskah Serat Anglingdarma yang ditulis pada Jaman pakubuwana X atau tahun Jawa 1850 ini, ternyata tulisannya lebih jelas dan rapi dibandingkan dengan naskah Serat Anglingdarma yang lain.
c. Keadaan naskah yang paling baik dan utuh dari ketiga naskah tersebut adalah Naskah Serat Anglingdarma yang ditulis pada Jaman pakubuwana X atau tahun Jawa 1850.
d. Dari segi bahasa Naskah Serat Anglingdarma yang ditulis pada Jaman pakubuwana X atau tahun Jawa 1850 ini mudah difahami bagi yang pembaca secara umum.
Naskah
Serat Anglingdarma
Serat Anglingdarma adalah salah satu hasil karya sastra yang ditulis pada jaman pemerintahan Pakubuwana X di Surakarta. Sultan Pakubuwana X menyuruh kepada pegawai keraton supaya menulis tentang cerita Anglingdarma. Naskah ini tepatnya ditulis pada hari Senin, tanggal 10 Dulkaidah, tahun Jawa 1850, dengan tidak mencantumkan nama penulisnya. Naskah Serat Anglingdarma ini ditulis
setebal 610 halaman, yang terdiri atas 94 pupuh.
Berikut deskripsi Serat Anglingdarma berdasarkan klasifikasi nama lagu (Nama Tembang) dengan keterangannya.
Naskah Serat Anglingdarma yang terdiri dari sembilan puluh empat pupuh tembang macapat di atas, bagian pupuh yang paling penting terdapat
tembang macapat berikut :
1. Dhandhanggula 16 pupuh 425 bait 4250 baris
2. Asmarandana 14 pupuh 449 bait 3143 baris
3. Durma 15 pupuh 419 bait 2933 baris
4. Mijil 10 pupuh 374 bait 2244 baris
Keempat Lagu atau Tembang macapat ini (Dhandhanggula, Asmarandana, Durma, dan Mijil) dianggap paling penting dari tembang /lagu macapat lainnya karena pada tembang-tembang ini, pada pupuh (bagian dari bab) tertentu mengandung unsure cerkan (cerita rekaan). Unsur Cerita Rekaan yang dimaksud yaitu pada alur, penokohan, setting tema, dan amanat pada karya sastra Jawa.
Keadaan Serat
Anglingdarma
Naskah serat Anglingdarma ini merupakan naskah manukrip kuno, sehingga keberadaannya tidak disemua tempat, atau setiap perpustakaan memiliki koleksinya. Penulis sendiri menjumpai naskah asli Serat Anglingdarma ini di Museum Keraton Kasunanan Surakarta. Untuk penyelamatan dan kebutuhan penelitian, penulis mempuyai salinannya.
Adapun berdasarkan pengamatan bentuk asli Naskah serat Anglingdarma ini, dapat penulis identifikasi sebagai berikut :
1. Ukuran naskah : lebar 20 cm, panjang 28 cm
2. Tulisan naskah : berbentuk huruf Jawa carik (tulisan tangan)
3. Tebal naskah : 3,5 cm
4. Sampul naskah : kulit warna coklat
5. Kertas naskah : Watermark warna putih
6. Warna tinta : hitam, tulisannya jelas mudah untuk dibaca
7. Tebal halaman : 610 halaman.
Serat Anglingdarma
sebagai Karya Cerkan (Cerita Rekaan)
Serat Anglingdarma sebagai karya cerkan karena di dalamnya menggambarkan masalahmasalah kehidupan seseorang pelaku utama yang diharapkan oleh masyarakat. Tetapi masalah-masalah tersebut merupakan unsur-unsur cerkan, karena menunjukkan adanya jalinan erat dan saling menunjang beberapa unsur sedemikian rupa hingga menghasilkan suatu keutuhan. Stuktur atau unsurunsur
pembangun sebuah fiksi atau novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas, di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun secara garis besar dibagi menjadi dua bagian sturktur intrinsik dan
ekstrinsik. Struktur intrinsik adalah unsur–unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah fiksi adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur yang dimaksud yakni peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa. Unsur inilah yang membuat sebuah fiksi terwujud. Di pihak lain unsur ekstrinsik adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra misal : factor sosial, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Walau demikian unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, unsur ekstrinsik fiksi atau novel haruslah tetap dipandang sebagi sesuatu yang penting (Wellek dan warren, 1989: 77-155; Burhan Nurgiyantoro, 2000: 23; Atar Semi, 1988: 35). Adapun unsur-unsur Intrinsik dalam Serat Anglingdarma adalah unsure alur, unsur penokohan, unsur setting, unsur tema dan amanat. (Titin Masturoh, 2007: 47)
Unsur Alur
Serat Anglingdarma adalah sebuah cerita yang terdiri dari rentetan peristiwa yang salin bertalian dan mendukung suatu peristiwa yang lebih besar. “the narative structure of play, tale or novel has tradisionaly been called the plot” (Rene
Wellek dan Austin Warren, 1978: 216). Pengertian alur menurut Robert c. Meridith dan Fitsgerald yang dikutip oleh Drs Asia Padmopuspito dalam buku Analisis Struktural Novel-novel Jawa pada bagian pertama dinyatakan bahwa : “Alur cerita di dalam novel tradisional adalah rental peristiwa-peristiwa yang mempunyai hubungan kausal sehingga memberi keseimbangan novel, langkah dan dasar. (Asia Padmopuspito, 1980: 19) Berdasarkan kutipan di atas dapat dapat
diambil kesimpulan bahwa alur adalah hubungan kausal atas sambung sinambungnya peristiwa yang menimbulkan sebab akibat dalam suatu cerita yang
telah ditentukan oleh pengarang. Menurut jenisnya alur Serat Anglingdarma
termasuk alur longgar dan rumit seperti pernyataan Rene Wellek yaitu “we shall speak rather of types of plots, of looser and or more intricate of romantic plots and realistic”. (Rene Wellek dan Austin Warren, 1980: 217).
Serat Anglingdarma dikatakan alur longgar sebab merupakan cerkan yang sangat panjang. Dan penampilan suatu peristiwanya secara urut dari permulaan sampai akhir peristiwa, jadi tidak merupakan cerita sistem balik. Disebut alur rumit karena hadirnya peristiwa-peristiwa yang dialami oleh pelaku utama terdapat beraneka ragam konflik. “it is customary to speak of all plots as involving conflict”. (Rene Wellek dan Austin Warren, 1980:217). Konflik-konflik tersebut terjadi dengan sendiri, dengan masyarakat dengan alam juga terjadi konflik dengan Tuhan. Melihat dari uraian di atas berarti plot itu mencakup semua konflik. Plot itu juga bisa disebut “the plot of a play or novel is a structure of structures” (Rene Wellek dan Austin Warren, 1980:217). Masalah alur cerita menurut pernyataan Moctar Lubis dapat dibagi lima bagian, yang ditulis dalam buku Tehnik Mengarang yaitu :
Ø Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)
Ø Generating Circumstance (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)
Ø Rising Action (keadaan mulai memuncak)
Ø Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)
Ø Denovement (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa). (Mochtar Lubis, tt: 10 dalam Titin Masturoh, 2007:48)
Penokohan
Penokohan yang terdapat dalam Serat Anglingdarma antara lain tokoh protagonis (peran utama) yaitu Anglingdarma, Anggarawati, dan Trusilawati. Tokoh Antagonis yaitu Wiyata, Wiyati, Wintarsih dan raja Pancatnyana, tokoh pembantu yaitu Bathik Madrim, Anglingkusuma, Danurwenda. Adapun tokoh Tritagonis yaitu Jaka Gedhug dan Demang Kalungsur.
Setting
Pengertian setting atau latar menurut Panuti Sudjiman adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya suatu peristiwa dalam karya sastra (1986: 46). Latar (setting) menurut Hutagalung adalah gambaran tempat dan waktu atau segala situasi di tempat terjadinya peristiwa (1967: 102). Setting mencakup dua aspek penting yaitu : aspek ruang, aspek waktu dan aspek suasana (Soediro Satoto, 1985: 27).
Dengan pengertian itu maka Serat Anglingdarma akan dibahas aspek waktu, ruang dan suasananya :
1. Penampilan suasana yang sepi, keadaan di hutan belantara dapat kita gambarkan pada waktu Anglingdarma dikutuk oleh dewi Uma dan dewi Ratih, kemudian Anglingdarma berkelana lalu bertemu dengan nenek di kerajaan Kalawerdati.
2. Suasana sedih, gelisah disertai perasaan yang penuh tanda tanya, dilukiskan pada waktu Anglingdarma dan Setyawati berada diatas panggung dengan memakai pakaian serba putih dan api sudah menyala-nyala.
3. Suasana yang mengejudkan pada waktu Anglingdarma pergi berburu. Sampai di hutan dia melihat Ular Tampar yang sedang bersetubuh dengan Ular Nagagini. Seolah-olah memberi tanda bahwa perbuatan itu merupakan penghinaan, yang maksudnya merendahkan martabat seorang bangsawan.
4. Penampilan suasana tegang menakutkan, khawatir digambarkan pada waktu pertarungan antara Bathik Madrim dengan burung Belibis putih penyamaran Anglingdarma. Pada waktu itu raja Bojanagara mengadakan sayembara untuk menangkap orang yang menghamili putrinya yaitu Anggarawati. Akhirnya Bathik Madrim mengikuti sayembara.
5. Suasana mengaharukan dan mengejutkan pada waktu Anglingdarma memperistri ketiga putri raja Kalawerdati. Suasana kacau dapat digambarkan pada waktu Anglingdarma mengetahui rahasia ketiga istrinya.
6. Pertemuan dan pengakuan Anglingdarma dengan Anggarawati menimbulkan suasana haru, sedih dan gembira. Hal ini dapat dinyatakan adegan mereka di kamar mandi, suasana tersebut digambarkan dalam Serat Anglingdarma, halaman 209-210 dalam pupuh Dhandhanggula dan pupuh Kinanthi.
7. Gambaran tempat yang terpencil juga dapat menimbulkan kesegaran batin, ditampilkan oleh Anglingdarma pada waktu berada di atas bumbungan rumah demang Kalungsur, dia mendapat wisik. Akhirnya burung Belibis putih penyamaran Anglingdarma itu dibawa ke istana diserahkan kepada Anggarawati.
8. Suasana haru dan penuh asih dilakukan oleh kedua pelaku utama yaitu Anglingdarma dan Anggarawati. Kegiatan tersebut dilaksanakan setiap malam hari. Sedangkan siang hari Anglingdarma menyamar sebagai burung Belibis putih.
9. Suasana meriah, sibuk dengan kegiatan yang telah diatur, ditampilkan oleh penghuni istana Kartanagara, pada waktu akan mengadakan sayembara untuk mengobati putrinya yang sedang sakit bisu. Latar tersebut dilanjudkan dengan adegan yang mengejudkan dan menakutkan yaitu pada waktu Anglingdarma menyamar sebagai burung Merak akan memetik buah siwalan untuk istrinya yang sedang menyidam. Dengan cepat Bathik Madrim mengamar sebagai Anglingdarma lalu menggoda dan mengejar Trusilawati ( istri Anglingdarma), akan diperkosa.
Latar pada Serat Anglingdarma dapat disimpulkan bahwa penyajiannya benar-benar berhasil. Sebagaimana latar berfungsi sebagai penunjang dan pembangun alur dan penokohan.nBerhasilnya latar ini karena pengarang menampilkan
posisi latar sebagai: Metafor: latar mensifati sesuatunya (tokoh perbuatan disertai dengan suasana) Contoh: suasana pada waktu Anglingdarma di hutan, dia melihat seekor Ular Nagagini sedang bersetubuh dengan Ular Tampar. Perbuatan tersebut
memberi tanda yaitu merupakan suatu penghinaan terhadap seorang bangsawan.
Tema
Tema yang terdapat pada Serat Anglingdarma yaitu tema pokok dan tema tambahan. Adapun tema pokok dalam Serat Anglingdarma adalah “Anglingdarma sebagai seorang raja besar yang sakti dan berwibawa”. Dan tema tambahan adalah Kesetiaan istri terhadap suami.
Amanat
a. Hubungan keluarga bagi seseorang dapat dikatakan serasi, hidup yang damai dan bahagia, apabila suami dan istri itu saling percaya dan penuh pengertian. Serta terjamin baik yang bersifat jasmani maupun rokhani.
b. Seseorang pria ingin mempunyai istri yang mirip dengan istri pertama (yang meninggal) itu adalah wajar. Hal ini dapat kita fahami karena baik istri atau suami pertama, apalagi cinta pertamanya itu adalah yang paling berharga dan mengesankan dalam hati.
c. Masalah jodoh kita tidak dapat menentukan secara pasti. Manusia boleh berusaha semaksimal mungkin. Tetapi kita harus sadar hanya Tuhanlah yang menentukan nasip seserong. Sebetulnya kita tidak boleh begitu saja pasrah pada nasip, melainkan kita diharuskan berusaha dan berdoa untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, pasti Tuhan akan mengabulkannya.
d. Mengenai pengukuhan kekuasaan kerajaan Malawapati, Bojanagara dan Kartanagara telah mempunyai garis tertentu maksudnya ialah yang berhak menjadi raja itu tidak sembarang orang melainkan putra-putra raja sendiri, buktinya: sebagai pengganti Anglingdarma di kerajaan Malawapati adalah Bambang Gandakusuma (cucu Anglingdarma), Anglingkusuma (putra Anglingdarma) pengganti raja Darmawasesa di kerajaan Bojanagara dan Danurwenda (putra Anglingdarma) menjadi raja di Kartanagara.
e. Dipandang dari segi politis Anglingdarma dapat mengetahui rahasia putri-putri raja Kalawerdati karena Anglingdarma menetapdi tempat wanita yang ia senangi. Anglingdarma juga dapat mengetahui seluk beluk kerajaan Bojanagara yang akhirnya ia bisa mengangkat derajad kerajaan Bojanagara. Begitu juga kerajaan Kartanagara, setelah Anglingdarma menikah dengan Trusilawati, maka Kartanagara menjadi terhormat dan berwibawa.
Unsur Sosial Budaya dalam Serat Anglingdarma
Pembicaraan tentang unsur sosial budaya yang terkandung dalam Serat Anglingdarma, maka terlebih dahulu peneliti akan memberi pengertian tentang arti kata-kata tersebut yang peneliti maksud. Kata “tradisi” menurut Prof. Dr. C.A. Van Peursen dalam bukunya yang berjudul Strategi Kebudayaan bahwa: Tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, istiadat-istiadat, kaidah-kaidah harta-harta (Van Peursen,1976: 11). Berdasarkan kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa tradisi dapat diartikan adatistiadat, kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang hingga sekarang, tetapi tradisi tersebut bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah, tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu, dia menerimanya menolaknya atau mengubahnya menurut situasi dan kondisinya.
Pengertian sosial adalah sifat kemasyarakatan. Kata budaya dalam buku Pengantar Antropologi mengatakan bahwa Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa dan kebudayaan itu segala hasil cipta, karsa dan rasa itu (Koentjaraningrat, 1969: 76). Sosial budaya dalam Serat Anglingdarma yang peneliti maksud adalah bentuk pewarisan yang berupa adat-istiadat, norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku secara turun-temurun yang langsung berhubungan dengan kegiatan masyarakat yang bersangkut paut dengan akal manusia yang berupa karsa, cipta dan rasa yang berlaku pada Serat Anglingdarma. Dalam analisis ini peneliti selalu menghubungkan dengan kebudayaan. Sedangkan tradisi itu merupakan bagian kegiatan dari kebudayaan. Di dalam penyatuan kebudayaan dan tradisi itu Van Peursen menyimpulakan bahwa “Itulah sebabnya, kebudayaan merupakan cerita tentang perubahan-perubahan,riwayat manusia yang selalu memberi ujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada”(Van Peursen, 1976: 11). Berbicara tentang sosial budaya, sebetulnya juga sama berorientasi tentang manusia seperti pernyataan Van Peuersen yaitu “hakekat kebudayaan sebetulnya sama dengan hakekat manusia karena dengan munculnya manusia di dunia dapatlah dilihat adanya gejala-gejala kebudayaan” (Van Peursen, 1976: 9). Pengertian kebudayaan adalah “kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia” “(Van Peursen, 1976: 9). Menurut Sela Sumarjan bahwa: “Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa dan karya masyarakat yang dipimpin dan diarahkan oleh karsa. Kalau cipta diartikan sebagai proses yang menggunakan daya berfikir dan bernalar, rasa adalah kemampuan untuk menggunakan pancaindera dan hati, sedang karya adalah ketrampilan tangan, kaki bahkan seluruh tubuh manusia”(Sela Sumarjan, 1981: 19). Dari definisi di atas sudah jelas bahwa kebudayaan itu adalah segala perbuatan manusia, seperti menjalankan upacara perkawinan, upacara kelahiran, upacara kematian, membuat peralatan rumah, berkarya misalnya menyusun naskah lakon wayang, menyusun gending, menyusun gerak tari yang baru. Jadi kebudayaan itu tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan kesenian, peralatan saja tetapi mencakup semua usaha manusia untuk merubah alam. Berarti benar bahwa kebudayaan itu adalah hasil perbuatan manusia yang tersusun dalam kehidupan masyarakat, pertama-tama dilakukan oleh perorangan yang hidup di masyarakat. Kemudian perorangan-perorangan satu dengan lainnya saling mengisi dan akhirnya berkarya. Hasil karyanya itu kemudian dipelajari oleh orang dan dikembangkan, dan ada juga yang diajarkan lewat sekolah-sekolah atau kursus. Seperti pernyataan di atas bahwa kebudayaan adalah segala perbuatan manusia seperti menjalankan upacara kematian. Tentang upacara kematian ada bermacam-macam tergantung pada ajaran agama tertentu. Misalnya dalam ajaran agama islam, apabila ada orang yang meninggal dunia, jenazahnya setelah dimandikan, dikafani lalu disembahyangkan, kemudian dibawa ke makam langsung dikubur, setelah selesai diberi doa-doa. Contoh lain dalam ajaran agama Hindu, dalam ajaran agama Hindu, apabila ada orang yang meninggal dunia, mayatnya akan lebih sempurna apabila dibakar, maka dalam ajaran agama Hindu ada khusus upacara pembakaran mayat. Seperti dalam buku Bali Atlas Kebudayaan bahwa: ”pembakaran mayat (ngaben, plebon) adalah salah satu dari upacara yang berhubungan dengan agama” (Goris dan Dronkers,tt: 125). Upacara-upacara yang paling ramai dan besar dalam ajaran agama Hindu yaitu pada waktu ngaben. “Bila orang ingin mengerti tentang upacara yang terbesar dan terindah pada waktu ini, orang harus jangan melupakan adanya unsurunsur sebelum zaman Hindu dan unsur-unsur zaman Hindu (kadang-kadang dapat diceraikan, kadang-kadang sudah tumbuh menjadi satu). Pembakaran mayat seorang Hindu di negerinya sendiri yang telah berlaku dari beberapa abad sampai sekarang adalah suatu upacara yang amat bersahaja” (Goris dan Dronkers, tt: 125). Maksud definisi tersebut adalah salah satu upacara yang terpenting dalam ajaran agama Hindu, melaksanakan pembakaran mayat untuk mencapai kesempurnaan. Pernyataan tersebut tepat sekali apabila ditrapkan dalan Serat Anglingdarma, yaitu pada waktu Seyawati minta Aji Sulaiman pemberian Nagapratala kepada Anglingdarma, tetapi Anglingdarma tidak boleh, karena ingat akan pesan Nagapratala tidak boleh diberitahukan kepada orang lain. Setyawati marah dan memberi keputusan lebih baik mati obong. Akhirnya Anglingdarma menyuruh anak buahnya supaya membuat panggung untuk tempat mati obong. Setelah panggung selesai, Anglingdarma dan Setyawati mengenakan pakaian serba putih, kemudian naik ke panggung. Api dinyalakan sampai merajalela Setyawati langsung masuk ke dalamnya. Anglingdarma tidak jadi mati obong, karena dia merasa dibutuhkan oleh masyarakat. Di dalam ajaran agama Hindu selain dengan pembakaran mayat untuk mencapai kesempurnaan, masih ada lagi diantaranya tentang penitisan, seperti dalam buku Upadeca bahwa: “Berbahagialah orang yang dapat menitis menjadi manusia karena dapat kesempatan atas kesadaran yang suci, berbuat yang lebih baik (cubhakarma) untuk menentukan hasil baik yang akan datang. Karena hanya didunia inilah kita dapat kesempatan untuk melakukan perbuatan guna meningkatkan kesempurnaan diri kita itu, sedangkan di dalam dunia lain kita hanya menerima pahalanya”(Parisada Hindu Darma, 1978: 30). Pernyataan tersebut menurut peneliti juga terdapat pada Serat Anglingdarma yaitu pada cerita Anglingdarma pada waktu menyamar menjadi burung Belibis, ketika berada di rumah Demang Kalungsur, pada waktu burung Belibis tidur di atas bubungan, dia mendengar suara yang maksudnya memberitahu bahwa istrinya (Setyawati) menitis kepada Anggarawati putri raja Bojanagara. Jadi sudah jelas bahwa Serat Anglingdarma di dalamnya terkandung unsur-unsur agama Hindu, selain terpengaruh ajaran agama Hindu, ajaran agama Islam pun juga terdapat di dalamnya. Alqur’an merupakan kitab suci pemeluk agama Islam, di dalamnya mengandung bermacammacam ajaran agama Islam, antara lain: mengenai rukun Islam, kepercayaan, kisah para Nabi dan masih banyak lagi. Di dalam Alqur’an kisah para Nabi diuraikan dalam Surat Al Anbiyaa’. Misalnya kisah Nabi Sulaiman, seperti yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alqur ’an dalam buku Alqur’an dan terjemahan yaitu pada ayat 78-79 demikian bunyinya :
Terjemahan sebagai berikut :
Ayat 78: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karera tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”.
Ayat 79: “ Maka kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing telah kami berikan hikmah dan ilmu dan telah kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah Alqur’an, 1979: 504-505). Begitu juga pernyataan Asyiq dalam bukunya yang berjudul Riwayat Ringkas Nabi dan Rasul,
Bahwa : “Nabi Sulaiman mempunyai kekuasaan yang tidak ada bandingannya, dan ilmu tidak dipunyai oleh Rasul-Rasul sebelumnya. Nabi Sulaiman tidak saja memerintah manusia tetapi juga jin, binatangbinatang, sampai juga menguasai angin, semuanya menurut perintah Nabi Sulaiman. Ia mengerti dan faham omongan seluruh jenis binatang yang ada di dunia” (Asyiq, 1975: 55). Nabi Sulaiman selain mempunyai kelebihan ilmu juga pandai dalam memecahkan suatu masalah yang sangat rumit, seperti pernyataan Asyiq yaitu “Bila seseorang tidak merasa puas akan keputusan yang dijatuhkan Nabi Dawud, ia datang kepada Sulaiman dan keputusan Sulaiman memuaskannya” (Asyiq, 1975: 55). Melihat kutipan tersebut dapat disimpulakan bahwa ada sekelompok kambing yang merusak tanaman orang, yang punya tanaman mengadu kepada Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman yang bisa menyelesaikan masalah itu dengan tepat. Akhirnya Nabi Sulaiman a.s. diberi ilmu oleh Allah dan semua binatang, jin, angin dan gunung tunduk kepadanya. Pernyataan tersebut juga tepat apabila diterapkan dalam Serat Anglingdarma yaitu pada waktu Anglingdarma pergi ke hutan, dia melihat Ular Nagagini sedang bersetubuh dengan Ular Tampar. Anglingdarma menghampiri dan memukulnya akhirnya ular tampar meninggal, karena perbuatan itu dianggap kurang senonoh. Ular Nagagini pulang mengadu kepada ayahnya yaitu Nagapratala. Nagapratala marah-marah dan langsung menuju istana Anglingdarma, dengan menyamar ular kecil dan bersembunyi di bawah tempat tidur. Pada saat itu Anglingdarma bercerita kepada istrinya sambil tiduran, setelah mendengar pembicaraan itu Nagapratala berkesimpulan bahwa yang bersalah adalah Nagagini (anaknya). Anglingdarma disuruh Nagapratala keluar dari istana, kemudian diajak pergi ke hutan, di situ Anglingdarma diberi ‘Aji-aji Sulaiman’ sebagai balas jasa. Khasiat Aji-aji Sulaiman itu adalah untuk mengetahui semua pembicaraan binatang. Selain diberi Aji-aji Sulaiman juga diwejang dan berpesan tidak diceritakan kepada siapa saja.
Uraian tersebut dapat diperkuat dan ditegaskan dalam Serat Ambiya, bahwa Nabi Sulaiman itu mempunyai kesaktian yang luar biasa, antara lain bisa memerintah binatang, dapat digambarkan dalam bentuk tembang Dhandhanggula bait 1-3
1. Langkung gawok sang retnaning puri, amiyarsa ature sang dhuta, dene langkung kasektene, Nabi sulaiman prabu, dening ngereh sakeh kumelip, dadya alon ngandika, dhateng punggawa gung, lah iya sira sebaa, anggawaa jaran rong puluh pawestri, anake den badheya.
2. Lan rong puluh para cethi mami, endi kang kaparek lan ingwang, sotya den butula age, aja kalawan nusu, awan malih jun gedhah iki, den isenana toya, aja toya jawuh, aja banyu sesumberan, yot-oyotan elihen kedhaton mami, bareng sakedhap netra.
3. Ajajara lan nagareng Mesir, arep ingsun anuta sarengat, nulya mangkat ingkang kinen, tan kawarna ingedhu, sampun prapteng nagari Mesir, wus marek ing sang nata, utusan umatur, amba dinuteng sri sabda, atur kuda kalih dasa samya estri, punika kinen batang. (Serat Ambiya, tt.: 293)
Selain dapat menundukkan dan menangkap semua pembicaraan binatang, Nabi Sulaiman juga dapat menaklukkan Jim, Setan dan bisa berbicara dengan Malaikat Ngijroil.
Sebagai gambaran terdapat pada tembang mijil bait 6-9 sebagi berikut :
Bait 6.
Binaturan sarta pan den ukir,
jim setan kang kinon,
amet watu ing jalkap gone,
kawarnaa masjid wus adadi,
dhedhaharan mijil,
sangking ing kadhatun.
..................................
Bait 8.
Mungweng ngarsa ing masjid nerpati,
sokur ing Hyang Manon,
prabu Sleman angasta jungkase,
pan na jero tumanceping siti,
Ngijroil gya prapti,
angsung salam matur.
Bait 9.
Eh Suleman salaming Hyang Widi,
lampah amba kinon,
mundhut nyawa ing tuan wiyose,
sampun menga lawanging swargi,
karsa kadya pundi,
bilih wonten atur.
(Serat Ambiya, tt.: 319).
Budaya Hindu pada waktu itu belum dikenal adanya Aji-aji Sulaiman, misal: dalam kitab Tantri Kamandaka yang ceritanya hampir sama dengan cerita Serat Anglingdarma. Ternyata setelah adanya budaya Islam, maka dalam Serat Anglingdarma terdapat adanya Aji-aji Sulaiman. Tetapi pemahamannya belum langsung dari Alqur’an, tentunya pada waktu pemahamannya diambil dari Serat Ambiya. Dalam Serat Anglingdarma juga terdapat budaya Jawa sebagai bukti adanya pemujaan terhadap nenek moyangnya yaitu adanya Hyang Widi.
Serat Anglingdarma
dan Budaya Jawa
Berpangkal pada sosial budaya yang diambilkan dari bahan penceritaan sebagai landasan, maka peneliti condong berlatar sosial budaya Jawa, sesuai dengan isi Serat Anglingdarma yang ditulis pada tahun 1850.
Ditinjau dari ceritanya, mengenai system kekerabatan dan sistem perkawinan lebih condong kesosiobudaya Jawa. Kekerabatan orang Jawa seperti Kodiran, yang dinyatakan Koentjaraningrat dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang berbunyi :
“Sistem kekerabatan orang Jawa itu berdasarkan prinsip keturunan bilateral . . .
Ada macam-macam perkawinan lain dan yang diperbolehkan yakni ngarang wulu serta wayuh. Perkawinan ngarang wulu adalah suatu perkawinan seseorang duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhumah istrinya. Jadi merupakan perkawinan sosorat. Adapun wayuh adalah suatu perkawinan lebih dari seorang istri (poligami)” (Koentjaraningrat, 1971: 330). Pernyataan tersebut juga berlaku pada Serat Anglingdarma. Pada cerita itu dinyatakan bahwa Anglingdarma mempunyai permaisuri yaitu Setyawati. Setelah istrinya meninggal dia kawin lagi dengan Anggarawati dan Trusilawati sebagai permaisuri. Keduanya sama-sama putri raja atau keturunan bangsawan. Tidak lama kemudian Anggarawati melahirkan seorang putra bernama Anglingkusuma sedangkan Trusilawati juga melahirkan seorang putra bernama Danurwenda. Kedua permaisuri itu mempunyai hak yang sama dan berdiam dalam istana. Akhirnya kedua putra itu mengganti jabatan ayahnya. Terbukti bahwa Anglingkusuma menjadi raja di Bojanagara dan Danurwenda menjadi raja di Kartanagara. Penerapan ini juga sama dengan penerapan kerajaan di Surakarta dan kerajaan Yogjakarta.
Sistem perkawinan dalam memilih jodoh umumnya orang Jawa yaitu pertama-tama seorang pria yang ingin kawin dengan gadis kekasih hatinya, pertama datang ke rumah orang tua gadis melamar dan menanyakan sudah ada yang punya atau belum. Biasanya orang tua gadis itu tidak langsung menerima, melainkan diselidiki lebih dahulu dan dilihat (bobot, bibit, bebet) keturunan, wajah, pangkat dan kekayaan baru bisa menerima lamaran itu. Tetapi kalau dibandingkan dengan jaman sekarang sudah jauh berbeda karena sudah banyak penyimpangan dan pelanggaran. Pernyataan di atas cocok pula bila diterapkan dalam Serat Anglingdarma. Sebab Anglingdarma pada waktu mencari istri atau jodoh, dia memilih wanita yang sesuai dalam segala hal. Selain itu Anglingdarma mencari istri yang mirip dengan Setyawati (istri pertama yang meninggal), ternyata dia menemukannya yaitu Anggarawati putri raja Bojanagara adalah titisan Setyawati.
Sistem kemasyarakatan, di dalam sistemorganisasi kemasyarakatan pada waktu itu sudah ada, terbukti dengan adanya Demang, Tumenggung, Jaksa dan masih ada lagi. Misalnya: dalam Serat Anglingdarma yaitu pada waktu Demang Kalungsur mengikuti sayembara di kerajaan Bojanagara, dan dapat dimenangkan akhirnya dia diangkat menjadi Jaksanagara. Dan masih ada lagi pada waktu Bathik Madrim pergi mencari Anglingdarma, prajurid Malawapati dipimpin oleh Tumenggung Mangunjaya dan Demang Wijanarka.
Sistem pencarian hidup pada waktu itu, masyarakat sudah mengenal salah satu mata pencaharian antara lain bercocok tanam. Sebagai bukti dalam Serat Anglingdarma yaitu pekerjaan istri Demang Kalungssur setiap harinya menjual daun pisang dan sayur-sayuran hasil tanamannya.
Pada waktu Jaka Gedug pergi ke sawah, dia melihat burung Belibis yang sedang mandi langsung burung itu dijala. Setelah tertangkap, burung itu bias memberi nasehat tentang bercocok tanam, yang akhirnya keluarga demang Kalungsur menjadi kaya raya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu mata pencaharian hidupnya adalah bertani.
Sistem teknologi dan peralatan, peralatanperalatan seperti tombak, keris, meriam dan sebagainya sudah dikenal oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peralatan mereka itu sudah berkreasi di dalam membuat karya yang berguna baginya.
Serat Anglingdarma
dan Pakeliran
Pakeliran yang peneliti maksud adalah wayang kulit. Mengenai wayang ada berbagai macam pendapat, ada yang berpendapat bahwa wayang berasal dari cina, ada yang dari Hindia, bahkan ada yang mengatakan asli dari Indonesia. Pertama menurut teori Prof. B.M. Gosling dalam bukunya De Wayang op Jaya en op Bali, in het Verleden en het Heden beliau berpendapat bahwa yang di Indonesia itu asalnya dari Cina, yang diterjemahkan oleh R. Soetrisna dalam bukunya Sejarah dan Perkembangan Seni Pedalangan. Alasannya bahwa kata “Ringgit” krama dari “wayang” itu asalnya dari kata Cina “Jing Hi” yang berarti pertunjukan bayangan (R.Soetrisna, 1980: 2). Kalau menurut Prof. Dr. T.J. Bezemer menyatakan bahwa “Ringgit” itu bahasa Indonesia asli, strukturnya pun Indonesia tulen. Sedang kata “Wayang dan Ringgit” dapat dicari akar katanya yaitu dari akar kata “Yang dan Git” berarti bukan bahasa asing (R.Soetrisna, 1980: 3). Ada pendapat lain bahwa wayang itu berasal dari Hindia. Pendapat ini dinyatakan oleh N.J. Krom dalam bukunya yang berjudul Geschiedenis Van Nederlands Indie, juga diterjemahkan oleh R. Soetrisna yaitu: “wayang itu kebudayaan dari India, kecuali bahan ceritanya yang mengambil Ramayana dan Mahabarata dua wicarita (epos) dari India, di sana ada semacam pertunjukan bayangan yang disebut chayanataka atau chayanata” (R.Soetrisna, 1980: 3).
Menurut pendapat Y.Brandes mengatakan meskipun tebal pengaruh dari India dalam wayang, tetapi tidak dapat dimungkiri dalam pewayangan bukan hasil dari bangsa Indonesia belajar kepada bangsa India (R.Soetrisna, 1980: 4).
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa wayang itu asal mulanya adalah asli kebudayaan Indonesia yang sangat kuna, kemudian terpengaruh oleh kebudayaan Hindia, dengan alasan bahwa bangsa Indonesia mempunyai corak theater sendiri, yang berbeda dengan corak theater Hindia. Semua alat-alat pedalangan tidak ada yang bertalian dengan bahasa sansekerta, berarti tidak ada yang dari Hindia. Tetapi dalam ceritanya mengambil dari kitab Ramayana dan Bharatayuda. Perlu diketahui bahwa kitab Ramayana di Hindia inilah yang kemudian disadur menjadi buku Ramayana kekawin tetapi pengarang tidak diketahui. Akhirnya buku Ramayana sangat popular di bumi Indonesia.
Para sarjana berpendapat bahwa wayang itu adanya telah lama sebelum jaman Hindu Indonesia, tetapi kenyataannya adanya cerita wayang itu baru diketahuipada abad XI jaman raja Airlangga.
Informasi tersebut dapat kita baca pada kitab Arjunawiwa, tulisan Empu kanwa yaitu sekar Ageng Chekarini pupuh V, bait 9 yang berbunyi demikian : “Hanaanonton ringgit manangis asekel mudha hidhepan huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap, hatur ning wang tresneng Wiyasa malaha tar wihikana ri tatwan yan maya sahana hananing bhawa siluman” (Empu Kanwa, tt.: pp 5, pd 9).
Terjemahan :
Ada orang melihat wayang menangis sedih kusut pikirannya, sekalipun sudah tahu bahwa itu hanya kulit diukir dan digerak-gerakan dan dibuat bercakap-cakap, seperti orang yang terikat pada hawa nafsu malah bebal dan dungu, hanya semu dan bahwa semua sifat yang ada hanyalah tipuan.
Jelas di sini adanya wayang pada jaman Airlangga yang nampak telah populer, terbukti wayang dipergunakan untuk teladan hidup yang filisofis. Mesti wayang telah lama ada meskipun lukisan wayang jaman itu tidak jelas, hanya kulit yang diukir tetapi pementasannya telah dramatis, penonton dapat menangis. Sesudah jaman Airlangga banyak literature wayang yang tumbuh dengan subur misalnya buku Kresnayana karangan Empu Triguna, pada jaman raja
Warsajaya raja Kediri sekitar tahun 1026 Caka atau 1213-1235 Masehi. Hubungan agama dalam pedalangan, setelah terpengaruh kebudayaan Hindia sudah jelas bahwa pedalangan kena pengaruh tersebut, lalu menjadi pendukung agama dari Hindia antara lain agama Budha dan agama Hindu. Seperti yang dikatakan R. Soetrisna bahwa: “Pengaruh agama dalam pedalangan bisa dilihat pada lakon Kunjarakarna yang mengajarkan tentang ajaran atma (agama Budha). Agama Hindu baik aliran Waisnawa atau aliran Siwa dibuktikan dengan adanya buku
Ramayana sebagai buku suci Waisnawa dan Mahabarata kitab suci agama Siwa” (R.Soetrisna, 1980: 16)Meninggalkan jaman Jawa Kuna, menginjak jaman Jawa tengahan yaitu pada jaman kejayaan kerajaan Majapait. Buku-buku wayang yang timbul pada jaman itu antara lain, buku Dewa Ruci yaitu cerita Bhima menghadap Dewa Ruci, buku Panji Angreni yaitu cerita Panji kawin dengan Angreni, buku Sri Tanjung yaitu cerita Sidapaksa kawin dengan Sri Tanjung. Jaman setelah kerajaan Majapait jatuh, yang berarti pula menipisnya pengaruh agam Hindu dan agama Budha. Menuju jaman kerajaan demak yaitu kerajaan Islam yang pertama dengan Raden Patah sebagai rajanya yang pertama bergelar Kangjeng Sultan Syah Alam Akbar. Raja ini besar sekali perhatiannya terhadap wayang dan gamelan kurang lebih tahun 1439 masehi. Pada jaman Paku Buwono IX tahun 1861-1893, dalam buku Sastramiruda karangan K.P.H. Kusumadilaga yang isinya menguraikan bahwa besar perhatiannya para wali terhadap wayang. Seperti pernyataan R. Sutrisna dalam bukunya Peranan Sunan Kalijaga dalam Modernisasi Wayang bahwa bekas-bekas peninggalan pada jaman Islam yaitu tentang geneologi wayang yang ada di bawah para Nabi antara lain sebagai berikut :
“Nabi Adam berputra Nabi Sis, Nabi Sis berputra Nabi Anwar (Sang Hyang Nurcahya), sang Nurcahya berputra Sang Hyang Nurrasa, Sang Hyang Nurrasa berputra Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wenang berputra Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Tunggal berputra Sang Hyang Guru dan Sang Hyang Ismaya (Semar).
Perlu diketahui bahwa Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Tunggal itu pada mulanya Tuhannya orang Indonesia, juga disebut Sang Hyang Taya. Begitu pula Sang Hyang Guru ini Tuhannya orang Hindu, oleh karena keduanya terdesak oleh agama Islam, maka geneologinya di bawah Nabi Adam, yang silsilah ke kanannya menurunkan para Nabi di dalam kitab Perjanjian Lama dan Baru” (R. Soetrisna, 1993: 1). Dari hasil sumber artikel di atas, kesemuanya itu termasuk wayang Purwa. Selanjudnya akan menuju wayang kulit Madya yang merupakan lanjutan dari wayang kulit purwa. Pada dasarnya cerita wayang kulit Madya mengambil dari buku Serat Pustaka Raja Madya susunan R. Ng. Ranggawarsita, sang pujangga besar pada jaman kerajaan Surakarta awal. Menurut R. Soetrisna dalam bukunya Mengungkap Kembali Wayang Madya mengatakan bahwa: “Wayang Madya itu menceritakan kisah kehidupan sesudah para Pandawa muksa, jadi ceritanya merupakan cerita sambungan dari serat Pustaka Raja Purwa. (yang dapat dijajarkan Mahabarata mengenai ceritanya” (R.Soetrisna, 1970: 2).
Permulaan cerita dengan kisah Prabu Parikesit yang putranya bernama Prabu Yudayana, yang menggantikan tahta di negeri Hastina. Kemudian kisah tersebut diakhiri dengan kisah Jayalengkara. Di dalam naskah Mahabarata nama Yudayana ini tidak terdapat putra Prabu Parikesit disebutkan bernama sang Jayamejaya, yang mengadakan kurban ular karena kematian ayahnya yang digigit oleh naga Taksaka. Berbicara cerita wayang Madya dalam pertunjukannya, juga tidak berbeda dengan pertunjukan wayang Purwa. Maksudnya dalam klasifikasinya sama tepat, gending-gendingnya juga sama, sehingga nampaknya sifat wayang Madya itu seperti cerita carangan dalam wayang Purwa. Cerita wayang Madya ini sering juga dapat dilihat di desadesa, seperti perkataan R. Soetrisna bahwa lakonlako wayang Madya yang sering dipentaskan antara lain :
1. Lakon Mayangkara atau Anoman Muksa
2. Lakon Kelemnya kraton Kediri
3. Lakon Umbulsari
4. Lakon Anglingdarma (R. Soetrisna, 1970: 4)
Perlu diketahui bahwa buku Pustakaraja Madya itu berupa cerita prosa atau gancaran. Untuk keperluan pakeliran dalam pertunjukan wayang, harus masih menyusun secara balungan pakem pedalangan. Setelah R. Ng. Ranggawarsita selesai menyusun pakem wayang yang berjumlah 22 balungan, dibuatkan candra sengkala seperti pernyataan R. Soetrisna yaitu :
“Bunyi candra sengkala itu adalah Ngesti Trus Carita Budha, tepatnya pada hari Senin Legi tanggal 9 Ramelan (puasa) tahun Je 1798.
Setelah selesai ciptaannya tersebut di atas kemudian diresmikan dengan publikasi yang baik pada malam Akhad Kliwon, tanggal 2 Robingulakir tahun Wawu 1801” (R. Soetrisna, 1970: 4)
Dari 22 balungan lakon wayang Madya yang ditulis dalam buku Pustaka Raja Madya, salah satu adalah balungan pakem wayang Madya yang berjudul
Anglingdarma. Beberapa contoh lakon wayang madya dari desa Ngasinan, Gandawinangun Klaten oleh Sumiyanto antara lain :
1. Lakon Anglingdarma Lahir
2. Lakon Anglingdarma Jadi ratu
3. Lakon Anglingdarma Grogol
4. Lakon Anglingdarma Muksa
5. Lakon Matinya Anglingkusuma” (R. Soetrisna, 1970: 4) R. Ng. Ranggawarsita setelah selesai menyusun buku Pustakaraja Madya, kemudian diserahkan kepada Mangkunegara IV di Surakarta.
Buku tersebut setelah selesai dibaca, maka Mangkunegara IV berkehendak untuk menciptakan wayang Madya (dari kulit) dan gending-gendingnya. Masalah cerita mereka semua mengambil dari Pustakaraja Madya.
“Menurut sumber yang berasal dari para ahli Pedalangan di Surakarta, wayang Madya itu pertama diciptakan oleh K.G.P.A.A. Mangkunegara ke IV di Surakarta pada tahun 1880 M. Beliau berkenan membuat wayang Madya itu karena tertarik dari isi cerita buku Pustakaraja Madya karangan R.Ng. Ranggawarsita, yang diterimanya langsung dari pengarangnya” (R. Soetrisna, 1970: 4)
Lama kelamaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X, tertarik akhirnya beliau meniru membuat wayang Madya dari Mangkunagaran yaitu karya Sri Mangkunagara IV, guna koleksi wayang kraton Kasunanan. Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Serat Anglingdarma merupakan karya sastra Jawa, juga termasuk kesenian tradisional yang berupa pakeliran dan tergolong pakeliran wayang Madya.
Kesimpulan
Naskah Serat Anglingdarma tergolong naskah kuno yang ditulis oleh tangan manusia (manuskrip). Naskah ini ditulis dengan huruf Jawa carik pada hari Senin, tanggal 10 Dulkaidah tahun Jawa 1850. Naskah Serat Anglingdarma tertulis setebal 610 halaman, dan berbentuk tembang macapat yang berjumlah 94 pupuh, mencakup kesebelas macam tembang macapat. Dari 94 pupuh itu, pupuh yang terpanjang adalah pupuh ke 44 yaitu tembang Mijil yang berisi 44 bait. Sedangkan pupuh yang terpendek adalah pupuh ke 13 yaitu tembang Pangkur , yang terdiri dari berisi 13 bait. Naskah Serat Anglingdarma yang tersimpan di Museum Keraton Kasunan Surakarta, keadaannya masih baik, utuh dan lengkap. Kertas naskah dari water mark, warna putih. Dalam Serat Anglingdarma itu tidak disebutkan nama pengarangnya. Ditinjau dari bahasanya yang digunakan pada serat Serat Anglingdarma ini, dalam penampilannya termasuk bahasa Jawa Krama dan Ngoko sesuai dengan peraturan kaidah- kaidah bahasa Jawa yang berlaku pada saat itu, dan termasuk bahasa yang digunakan pada jaman Surakarta awal (Pemerintahan Pakubuwono X).
Ditinjau dari silsilah raja, maka Serat Anglingdarma itu masih ada hubungannya dengan raja yaitu menempati suatu mata rantai dalam sejarah pangiwa dan panengen. Serat Anglingdarma mengandung aspek sejarah yaitu menampilkan pengalaman hidup seseorang atau sekelompok orang pada waktu yang telah lalu. Selanjutnya melukiskan silsilah Anglingdarma sebagai raja Malawapati, yang ada pertaliannya dengan penobatan raja di suatu kerajaan.
Serat Anglingdarma sebagai karya sastra yang cukup berbobot. Sebab Serat Anglingdarma apabila ditinjau dari cerkan tidak meninggalkan unsure struktur yang telah ditentukan yaitu penampilannya lewat penokohan meliputi: (tokoh utama, antagonis, trigonis dan tokoh pembantu), alur meliputi: (Situation, Generating Circumstance, Rising Action, Climax, Denovement), dan latar benar-benar saling menopang sampai mencapai keberhasilan.
Adapun susunan kebahasaan yang ditampilkan lewat sastra penuh dengan rangkaian kata-kata yang mengandung makna lugas dan kias dalam gaya bahasa yang menarik.
Serat Anglingdarma mengandung berbagai ragam tema, yaitu tema pokok dan beberapa tema pendukung, Tema pokoknya ialah Anglingdarma sebagai seorang raja besar, yang didukung oleh kesetiaan, ketaatan, keberanian, kesaktian, dan kebijaksanaan.
Amanat yang terkandung dalam Serat Anglingdarma dapat disimpulkan yaitu dapat difungsikan sebagai mata rantai dinasti kerajaan dan untuk pengukuhan atau penguasaan pada waktu itu sebagai pelengkap mata rantai silsilah leluhurnya waktu memang layak kebesarannya.
Sasmita tembang adalah suatu tanda untuk peralihan dari pupuh (bab yang terdiri dari beberapa bait (pada) dalam tembang/lagu yang sama) satu ke pupuh lainnya, dan tanda itu berwujud kata.
Sasmita tembang ini juga sebagai suatu tanda peralihan pupuh, bisa berupa kata yang ditulis pada akhir bait, dan mempunyai makna atau sinonim (dasanama) untuk menunjukan pupuh berikutnya.
Adapun unsur sasmita tembang dalam serat Anglingdarma meliputi: Sasmita tembang Sinom, Sasmita tembang Dhandhanggula, Sasmita tembang Durma, Sasmita tembang Asmaradana, Sasmita tembang Mijil, Sasmita tembang Kinanthi, Sasmita tembang Pangkur, Sasmita tembang Maskumambang, Sasmita tembang Pocung, Sasmita tembang Girisa dan sasmita tembang Megatruh.
Serat Anglingdarma ditinjau dari sosiobudayanya termasuk sosiobudaya Jawa, hal ini dapat terlihat pada sistem kekerabatan, system perkawinan, Sistem kemasyarakatan, pencarianhidup, dan Sistem teknologi. Dilihat dari segi bahasanya, bahasa yang digunakan dalam Serat Anglingdarma yaitu bahasa Jawa krama dan ngoko.
Dilihat dari sistem pertanian, maka di dalam Serat Anglingdarma mengandung tentang cara-cara untuk bercocok tanam. Dilihat dari kesenian, maka di dalamnya banyak menggunakan karawitan untuk upacara dan hari-hari tertentu.
SEDRAT ANGLINGDARMA
Pupuh Asmaradana
1.
Asmareng tyas nawung kingkin
nurat serat anglingdarma
kagungan dalem sang katong
kang jumeneng ping sadasa
ing nagri surakarta
kapareng karsa kaklumpuk
serat baabd miwah wulang
2.
Sadaya rinuwat mungging
jro kamar sana pustaka
duk miwarni panitrane
ri soma kaping sadasa
ing wulan dulkangidah
jumakir sangkaleng taun
luhur tata ngesthi nata.
3.
Sanadyan crita puniki
carita ing jaman buda
pulo jawa pituture
nadyan budha kang utama
linuri kang carita
duk jenengira sang prabu
anglingdarma ing malawa
4.
Tan ana kang nyenyiringi
jenegira sang pamasa
tribuwana kekes kabeh
ratu winong ing jawata
kinatujon sakarsa
tuhu kalamun pinunjul
sinebut sri bathara
16.
Sang retna angandikaris
sarwi kumembeng kang waspa
biyang inya karsaninong
saupama nora prapta
sang nata sore mangkya
patren ngong pasthi cumandhuk
biyang ing jaja manira
Naskah asli SERAT ANGLING DARMA (VERSI jpg)
DOKUMEN PERPUSTAKAAN RI NB 850