Prasasti Kamalagyan & HUJUNG GALUH
Prasasti
Kamalagyan adalah sebuah prasasti yang berangkat tahun 959 Saka atau 1037 M,
berlokasi di dusun Klagen, desa Tropodo, kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo
Jawa Timur. Prasasti buatan Raja Airlangga ini menceritakan tentang pembangunan
sebuah dawuhan atau bandungan (dam) di Wringin Sapta di daerah Balungbendo.
Prasasti Kamalagyan (959 Saka atau 1037M) terletak di dusun Klagen, desa Tropodo, kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo Jawa Timur. Prasasti ini memiliki ukuran panjang 115 cm, dengan ketebalan 28 cm dan ukuran tinggi 215 cm. Prasasti ini terbuat dari batu kali atau batu andesit.
Prasasti ini di tulis dengan huruf
dan bahasa Jawa Kuno, isi dari prasasti ini adalah menyebutkan di bangunnya
sebuah bandungan (dam) di Wringin Sapta oleh Raja Airlangga yaitu raja dari
Kahuripan bersama rakyat.
Pada
prasati ini juga memuat puji–pujian terhadap raja sebagai ratu cakrawati /
penguasa dunia yang menyirami dunia ini dengan air amerta yang penuh kasih
sayang. Prasati Kamalagyan diketahui dikeluarkan hanya seminggu tambah sehari
setelah Raja Airlangga berhasil mengalahkan raja Wijayawarmman, raja terakhir
yang masih belum tunduk (bulan Karttika tahun 959 Saka atau 10 November 1037M). Ada sumber bahwa,
Khususnya pada baris ke 12 prasasti Kamalagyan berbunyi :
” kapwa ta sukhamanaḥ nikāŋ maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ, tkarikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara”.
Artinya semua orang bergembira, dan berperahu (lah)
menuju HULU, untuk mengambil barang dagangan di Hujung Galuḥ. Di sana datang
(pula) para nahkoda dengan kapal kapal dagang dari pulau pulau sekitar.
Prasasti
ini di tulis dengan huruf dan bahasa Jawa Kuno, isi dari prasasti ini adalah
menyebutkan di bangunnya sebuah bandungan (dam) di Wringin Sapta oleh Raja
Airlangga yaitu raja dari Kahuripan bersama rakyat.
Dalam
kasus prasasti Kamalagyan ini, peristiwanya adalah banjir yang menyebabkan
tanggul. Waringin Sapta tidak mampu menahan air sungai.
“Kahaywa
kna nin thāni sapasuk hilir lasun paliñjwan, sijanatyĕsan pañjigantin, tālan,
daçapankaḥ, paŋkaja, tka riŋ sīma parasīma, kala(ŋ)-kalagyan, thāni jumput,
wihāra, çāla, kamulan, parhyaŋan, parapatapān, makamukya bhuktyan saŋ hyaŋ
dharmma riŋ içānabhawana maṅaran, i surapura“.
Pada
inskripsi ini terdapat petunjuk penting, yakni :
1.
Samanhulu (=Menuju HULU)
Pesan
ini merujuk kepada adanya aktivitas yang bergerak di sungai (yaitu perahu) dari
desa Wringin Sapto menuju ke arah hulu sungai hingga ke (Pelabuhan) Hujung
Galuh.
2.
Ri Hujuŋ Galuḥ (=Di Hujung Galuh).
Hujung
Galuh ini merujuk pada sebuah tempat, yaitu pelabuhan. Lantas dimanakah
(pelabuhan) Hujung Galuh yang dimaksud dalam prasasti ini.
Kalau
kita perhatikan, ke arah hulu, yang diawali dari desa Wringin Sapto, di sana
terdapat pelabuhan sungai besar, yang kemudian menjadi pelabuhan utama
Majapahit. Namanya Pelabuhan Canggu.
Saking besarnya, Pelabuhan ini bisa disinggahi oleh kapal kapal besar yang berasal dari pulau pulau di Nusantara. Bahkan pelabuhan ini menjadi pelabuhan antar pulau (dwīpāntara).
Di
era Majapahit (abad 14-16) pelabuhan Canggu menjadi salah satu penopang
kemakmuran Majapahit. Pelabuhan ini
mempunyai
fungsi yang beragam diantaranya sebagai pangkalan militer,
pelabuhan
dagang, dan bahkan pelabuhan bea cukai.
Di pelabuhan sungai inilah, yang diduga sangat kuat, menjadi wujud deskripsi pelabuhan Hujung Galuh sebagaimana terinsktipsi pada prasasti Kamalagyan (abad XI) baris ke-12, yang bunyinya :
“tkarikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara”.
Artinya Di sana datang (pula) para nahkoda dengan kapal kapal
dagang dari pulau pulau sekitar.
Menurut cerita dari Wringin Sapto
Mapaharu
yang artinya cukup berperahu (memakai perahu) ke Hujung Galuh karena perahu
menjadi alat transportasi warga untuk mobilisasi antar desa desa pelabuhan
sungai (naditira pradesa) yang ada di sepanjang sungai Brantas.
Ketika mereka berperahu dari Wringin Sapto ke arah hulu menuju Hujung Galuh berarti mereka semakin menjauh dari muara (laut), dimana Surabaya berada. Fakta alami ini jelas menggugurkan pendapat yang selama ini diyakini bahwa Hujung Galuh berada di muara Kali Brantas (hilir), tepatnya di Surabaya, sebagaimana ditulis oleh Drs. Heru Soekadri dalam laporan ilmiahnya pada buku Hari Jadi Kota Surabaya (1975).
Adapun
yang ditulis oleh Heru Soekadri adalah sebagai berukut :
1.
Hujunggaluh terletak di kali Brantas yang mengalir ke utara setelah bercabang
tiga.
Atau
jelasnya dapat dikatakan bahwa Ujunggaluh terletak di kali Surabaya.
2.
Ujunggaluh terletak di bagian hilir kali Surabaya sesudah Dukuh Kelagen
(Krian). Atau dapat dikatakan pula bahwa Ujunggaluh berada di Kali Surabaya
bagian sebelah utara Dukuh Kelagen (Krian).
Kata
kata kunci yang bisa ditarik dan dijadikan patokan untuk mengungkap lokasi
Hujung Galuh.
Ada
lima kata kunci yang menjadi patokan 5 (lima) kata kunci ini adalah :
1.
Desa desa terdampak banjir.
2.
Sungai yang airnya meluap.
3.
Hulu
4.
Hilir
5.Tambak.
MENGUPAS Prasasti Kamalagyan
Mengapa
Kamalagyan ?
Karena
tersebut nama/kata Hujung Galuh. Wujud sumbernya nyata dan ada (di Dusun
Kelagen, Tropodo, Krian, Sidoarjo). Dibuat Raja Airlangga 1037 M.
Mengapa
ada prasasti ?
Untuk
memperingati pembuatan bendungan di Waringin Sapta dan sekaligus sebagai upaya
legitimasi Raja Airlangga untuk memperkokoh kedudukannya sebagai Raja setelah
terbunuhnya Raja Wijayawarmma dari Wengker.
Apa
isi prasasti itu ?
Isinya
tentang berita pembuatan bendungan di Wringin Sapta untuk mengatasi banjir yang
terjadi di wilayah Kamalagyan dan daerah sekitarnya akibat luapan Bengawan
(Kali Brantas).
Daerah (desa desa) Mana Saja Yang Terdampak Banjir ?
Desa-desa yang terdampak banjir sebagaimana dijelaskan dalam prasasti, yaitu :
“Kahaywa
kna nin thāni sapasuk hilir lasun paliñjwan, sijanatyĕsan pañjigantin, tālan,
daçapankaḥ, paŋkaja, tka riŋ sīma parasīma, kala(ŋ)-kalagyan, thāni jumput,
wihāra, çāla, kamulan, parhyaŋan, parapatapān, makamukya bhuktyan saŋ hyaŋ
dharmma riŋ içānabhawana maṅaran, i surapura“.
Artinya:
“Daerah-daerah atau desa yang terdampak banjir di daerah HILIR sebagai berikut:
seperti Lasun, Palinjwan, Sijanatyesan, Panjigantin, Talan, Decapankah,
Pankaja; (begitu pula daerah perdikan-daerah perdikan ialah) di Kala, Kalagyan,
Thani Jumput; (daerah perdikan Bihara, daerah perdikan rumah penginapan, daerah
perdikan tempat suci arwah nenek moyang, daerah perdikan tempat orang pertapa
dan terutama daerah besar yang dikuasai oleh makam keramat) Icanabhawana yang
bernama Surapura”.
Dari
nama nama desa di kawasan HILIR, yang masih teridentifikasi secara toponimi,
adalah Kalagyan yang diduga kuat adalah dusun Kelagen dimana terdapat prasasti
Kamalagyan berada.
Sungai
apa yang meluap ?
Sungai
yang mengalir ke arah hilir di mana terdapat desa desa yang terdampak banjir
adalah sungai yang sekarang ini kita duga dengan sungai Balungbendo. Sungai ini
adalah sungai kuno, yang semakin ke hilir, maka akan ketemu dengan bekas
pelabuhan kali di “i Trung”, yang diduga kuat adalah pelabuhan kali Terung.
Sungai
yang berhulu di Kali Brantas inilah yang meluap sebagai akibat derasnya debit
air dari Kali Brantas.
Bagaimana
cara warga mengatasi banjir ?
Tercerita
pada prasasti bahwa sebelum Airlangga memerintahkan rakyatnya membuat bendungan
di Wringin Sapta, warga setempat di kawasan banjir sudah pernah membuat
bendungan atau tanggul tanggul yang berbentuk tambak tambak, tetapi cara
pembendungan yang dilakukan warga ini tidak efektif. Masih saja terjadi banjir
jika debit air bengawan begitu tinggi.
Isi
kutipan prasasti: “tan pisan piṇḍwa tinambak parasāmya, ndatan kawnaŋ juga parṇnahnya.
Artinya:
“Tidak hanya sekali, dua kali para pejabat desa tingkat thāni itu melakukan
(pe)nambakan
sungai, (namun) tak juga mampu (sungai itu tetap saja meluap).
Adakah
Bukti-Bukti Hasil (bekas) Pembendungan di Daerah Banjir?
Secara
toponimi di daerah sekitar Kelagen, terdapat desa desa yang namanya mengandung
makna bendungan. Seperti desa TANGGUL, TAMBAK Kemerahan, desa SEDENG(AN),
BALONGsari Dalam dan BALONGbendo.
Selain
itu sebagai bekas tanah perdikan bahwa di sekitar dusun Kelagen juga terdapat
nama nama desa Sima, seperti: Sima Doekoh lor, Simo Doekoh kidul, Simo Angin
Angin, Simo Ketawang, Simadjaja, dan Simo Girang.
Arti
Simo Girang dan Sima Jaya ?
Nama
desa ini menunjukkan kegembiraan yang luar biasa dan bahkan mengacu pada sebuah
kemenangan. Dalam cerita prasasti, setelah raja Airlangga mengatasi banjir,
rakyat digambarkan dan diberitakan bersuka cita dan bergembira (bahasa Jawa =
girang).
Bagaimana
Kemudian Sang Raja Mengatasi banjir ?
Karena
masih saja terjadi banjir, maka Raja memanggil seluruh lapisan masyarakat untuk
bergotong royong membuat tanggul di Wringin Sapta yang lokasinya lebih ke hulu
(ke arah barat dari Kamalagyan).
Cuplikan
isi prasasti: “Samankana ta çrī mahārāja lumkas umatagak nikaŋ tanayan thāni sakalrā
re ni kerkem ri tāpa çrī mahārāja, inatag kapwa paṅrabḍa mabuñcaŋhajya maḍawuhan
saṅ punta siddha, kadamla nikāŋ ḍawuhan de çrī mahārāja“.
Artinya
: “Karena itulah, çrī mahārāja segera memanggil semua penduduk desa dari banyak
tempat yang tersebar di wilayah çrī mahārāja untuk bergotong royong membendung,
(juga) para pendeta, berhasil(lah) bendungan itu (dibangun) oleh çrī mahārāja”.
Bagaimana
teknis mengatasinya ?
Ketika
banjir masih saja terjadi di sekitar hilir (lebih jauh dari hulu), yaitu di kawasan
Kamalagyan, maka perlu dicarikan cara untuk menghalau luapan air.
Diduga,
cara yang dilakukan adalah dengan membuat sudetan atau kanal ke arah utara yang
menghubungkan Kali Balongbendo ke Kali Mlirip. Adapun jarak yang paling dekat
antar kedua sungai ini berada di Wringin Sapto. Maka di daerah inilah dilakukan
proyek penanggulan yang misinya mengalihkan aliran air dari Kali Balongbendo ke
sungai yang lebih besar, Kali Mlirip, agar luapan air dari Kali Brantas yang
masuk ke Kali Balongbendo tidak membanjiri wilayah hilir di kalasan Kamalagyan.
Bagaimana
hasilnya ?
Dengan
cara menyudet dan membuang air ke arah utara, maka luapan air dari Kali Brantas
yang masuk melalui kali Balongbendo dengan cepat terbuang ke Kali Mlirip.
Dengan begitu, kawasan yang semula banjir, khususnya di daerah Kalagyan,
selanjutnya terbebas dari banjir.
Kutipan
isi prasasti: “Subaddhā pagĕh huwus pĕpĕt hilīnikāŋ bañu ikāŋ baṅawan amatlū
hilīnyāṅalor”.
Artinya
: “Sangat kokohlah (bendungan itu) telah tertutup aliran air dari sungai
tersebut, terbagi tiga alirannya ke (arah) utara”.
Bagaimana
sikap penduduk ?
Mereka
bahagia dan bersuka ria karena sudah bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya
kembali secara normal, tanpa ada gangguan seperti bencana banjir. Hal ini
membuat roda perekonomian bisa berjalan dengan baik dan para pedagang yang
menggunakan aliran sungai Brantas sebagai jalur perdagangan bisa berlayar.
Kehidupan sosial dan kegamaan rakyat juga bisa berjalan dengan baik. Rakyat
sudah bisa menggarap sawah dan kebun-kebunnya seperti sedia kala.
Demikian
mereka bisa berperahu ke hulu untuk berdagang dan membeli barang barang di
Hujung Galuh.
Kutipan
isi prasasti: “kapwa ta sukhamanaḥ nikāŋ maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri
hujuŋ galuḥ, tka rikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara“.
Artinya
: “Semua bergembira, berperahu(lah) menuju hulu, mengambil barang dagangan di
hujuŋ galuḥ. Datang (pula) para nahkoda, kapal kapal dagang dari pulau pulau
sekitar”.
1.
SUNGAI YANG MELUAP
Sungai
yang meluap akibat derasnya debit air dari Kali Brantas adalah Kali
Balongbendo, dimana kali ini melintasi kawasan desa desa di dekat Kamalagyan.
Kali Balongbendo adalah kali kuno dimana disana juga pernah ada pelabuhan
Terung.
2.
DAERAH TERDAMPAK BANJIR
Desa desa terdampak banjir berada di hilir sungai (menjauh dari hulu) yaitu di kawasan Kamalagyan, yang hingga kini masih ada satu desa yang memiliki salah satu toponimi desa kuno, yakni Kelagen (Kalagyan).
Bahkan
di kawasan di sekitar prasasti Kamalagyan masih terdapat toponimi yang bermakna
bendungan yaitu desa TANGGUL dan desa SEDENGAN. Balongbendo terutama pada kata
“BALONG” memiliki arti kolam atau kubangan air.
Juga
terdapat desa desa yang bernama Sima, karena bukan tidak mungkin sebuah
prasasti penting diletakkan sembarangan. Maka di daerah perdikan dan Sima
menjadi alasan. Di sana masih ada desa desa yang bernama Sima: Sima Doekoh lor,
Simo Doekoh kidul, Simo Angin Angin, Simo Ketawang, Simadjaja, dan Simo Girang
3.
HULU
Adanya
penyebutan HULU berarti memiliki makna menjauh dari muara atau mendekat/dekat
dengan asal mulai aliran air. Di sanalah di Hulu Sungai terdapat (pelabuhan)
Hujung Galuh.
4.
HILIR
Kalau
toh ada penyebutan HILIR, tapi pemaknaan hilir ini bukanlah daerah yang berada
di pesisir, sebagaimana diduga selama ini (Surabaya), namun daerah yang menjauh
dari hulu dimana di sana terdapat daerah daerah yang terlanda banjir, yaitu di
daerah Kamalagyan.
Kala
itu wilayah Kamalagyan lumayan luas sehingga Wringin Sapta pun termasuk wilayah
administrasi Kamalagyan. Sekarang
Wringin Sapta berbeda administrasi dari Kamalagyan atau Kelagen.
Kutipan
isi prasasti: “Sambandha, çrī mahārāja madamĕl ḍawuhan riŋ wariṅin sapta lmaḥ
nikāng anak thāni ri kamalagyan puṇyahetu tan swartha“.
Artinya:
“Alasan çrī maharaja membuat bendungan di wariṅin sapta (yang merupakan)
tanah/lahan (dari) desa kamalagyan (adalah) karena kemurahan hati (raja) untuk
kebaikan bersama, tidak untuk kepentingan sendiri”.
5.
TAMBAK
Tambak
dalam konteks prasasti ini bukanlah tambak tambak untuk memelihara atau
membudidayakan ikan seperti yang selama ini kita tau, tetapi TAMBAK (Tina mbak)
adalah bentuk penanggulan yang dilakukan oleh warga di daerah banjir di
Kamalagyan.
Balongbendo,
yang pada kata “BALONG” sendiri, memiliki arti kolam atau kubangan, yang bisa
diartikan tambak. Selain itu juga ada desa TANGGUL, SEDEGANmijil dan TAMBAK
Kemerahan.
Jadi
melihat dari bedah prasasti, kami berkesimpulan bahwa lokasi pelabuhan Hujung
Galuh berada di hulu sungai, yang merupakan percabangan dari Kali Brantas,
sungai besar yang menjadi jalur transportasi yang bisa menjangkau pedalaman
Majapahit dan Kadiri. Serta bisa terakses dengan mudah dari laut lepas, segara.
Hilir
tidak berarti di kawasan pesisir, termasuk kata kata TAMBAK yang tidak dalam
bayangan orang sekarang yang berarti tambak tambak yang ada di kawasan pesisir
Surabaya.
Sejarah Ujung Galuh
Śūrabhaya,
begitu nama kota ini sesungguhnya menurut ejaaan Jawa Kuno atau Kawi yang
benar. Śūra berarti Berani, dan Bhaya berarti Bahaya. Śūrabhaya : berani
menghadapi segala marabahaya yang datang. Untuk ejaan yang disesuaikan dalam
bahasa Indonesia menjadi : Surabaya. Semula, kota ini dikenal dengan nama
‘Ujung Galuh’ Pelabuhan Agung Majapahit. Pelabuhan utama, gerbang utama untuk
memasuki ibukota Majapahit dari lautan.
Nama
Śūrabhaya sendiri dikukuhkan sebagai nama resmi pada abad 14 oleh penguasa
Ujung Galuh, Arya Lêmbu Sora. Nama tersebut sangat tepat untuk disematkan
kepada kota luar biasa ini. Di kota ini, pada abad 13 (1293 Masehi), pasukan
Majapahit dibawah pimpinan Raden Wijaya, yang terdiri dari pasukan gabungan
Jawa dan Madura, berhasil memukul mundur pasukan Tiongkok dinasti Yuan yang
hendak menggagahi bhumi Jawa dan Nusantara. Perang besar berdarah-darah dengan
kekuatan yang tidak seimbang, bisa disiasati dengan taktik penghancuran para
pimpinan pasukan Yuan terlebih dahulu. Sesudah itu, seberapapun besarnya
kekuatan musuh, hanya akan seperti anak-anak kucing tanpa induk, mudah
dihancurkan. Bagi pasukan Yuan, Śūrabhaya adalah mimpi buruk. Disini, mereka
menyaksikan sendiri kehebatan dan keberanian orang-orang Majapahit. Tiga ribu
pasukan terbunuh, sisanya melarikan diri kembali ke Tiongkok.
Tujuh
abad kemudian, giliran pasukan Inggris dan Belanda yang merasakan mimpi buruk
di Śūrabhaya. Kedatangan pasukan Inggris (AFNEI) dan Belanda (NICA) ke Śūrabhaya
adalah kedatangan sebagai pasukan pemenang Perang Dunia II. Selain bertujuan
melucuti tentara Jepang, senyatanya juga hendak mengembalikan kekuasaan
Belanda. Pada pertempuran pertama 27-29 Oktober 1945, pasukan Inggris dan
Belanda sudah terdesak hebat dan tinggal satu langkah untuk dihancurkan.
Pertempuran berakhir dengan terjepitnya posisi Tentara Inggris hingga tanpa
malu-malu mereka mengibarkan bendera putih dan minta berunding. Ikhwal
”kekalahan memalukan” itu diakui oleh Kapten R.C.Smith, salah seorang veteran
Tentara Inggris yang terlibat dalam pertempuran itu. Pada 1975, dalam suratnya
kepada penulis J.G.A Parrot, Smith menyebut Brigjen Aubertin Mallaby sangat
khawatir jika pertempuran tak berhenti, anak buahnya akan disapu bersih (wiped
out). Suatu kekhawatiran yang sama dirasakan pula oleh Kolonel A.J.F Doulton:
”Perlawanan
heroik dari Tentara Inggris hanya akan berakhir dengan hancur leburnya Brigade
49, kecuali ada seseorang yang bisa mengendalikan kemarahan orang-orang itu
(maksudnya para pejuang Indonesia di Surabaya),” tulis Doulton dalam The
Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division,1942-1947.
Di kemudian hari Inggris menemukan ”sang pengendali” itu tak lain adalah
Presiden Soekarno.
Maka
pada 30 Oktober 1945, atas permohonan Inggris, dari Jakarta Presiden Soekarno
terbang ke Surabaya. Di sana ia terlibat perundingan dengan Mayor Jenderal D.C.
Hawthorn, Komandan Divisi India 23, yang tak lain merupakan atasan Brigjen
Aubertin Mallaby. Dari perundingan itu tercetus kesepakatan yang diantaranya
adalah pengakuan pihak Inggris terhadap eksistensi Republik Indonesia sebagai
salah satu syarat dihentikannya pengepungan terhadap Tentara Inggris di
Surabaya.
Perundingan
usai jam 13.00. Presiden Soekarno yang masih gamang dan ragu dengan kekuatan
lasykar-lasykar Indonesia yang baru saja merdeka, terbujuk untuk mengadakan
gencatan senjata.
Genjatan
senjata ini senyatanya hanya sekedar untuk memperkuat kedudukan pasukan Inggris
dan Belanda. Gencatan senjata ini koyak karena aksi konyol arek-arek Surabaya
yang kecewa dan berhasil membunuh Brigjen Aubertin Mallaby. Pasukan Inggris
meradang dan mengeluarkan ultimatum agar selambat-lambatnya pada 10 November
1945 seluruh lasykar-lasykar di Surabaya menyerahkan senjata mereka tepat pada
jam 06.00 pagi. Ultimatum pasukan Inggris sebagai bagian dari pasukan yang
memenangkan Perang Dunia II tidak digubris oleh arek-arek Surabaya. Dengan
keberanian luar biasa, arek-arek Surabaya nekat maju menghadapi gempuran
Inggris.
“Di
pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per
satu, dari satu pintu ke pintu lainnya… Perlawanan orang-orang Indonesia
berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan
orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati (maksudnya : keris) dan
dinamit di badan menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang
lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku
petunjuk militer Jepang.”tulis David Wehl dalam Birth of Indonesia.
Sejarah
mencatat, Tentara Inggris sempat lintang pukang menghadapi perlawanan ini. Di
hari kedua saja, sudah 3 Mosquito tertembak jatuh. Termasuk yang membawa
Brigjen. Robert Guy Loder Symonds, kena sikat PSU Bofors 40 (sejenis senjata
penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran
PETA yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di
palagan Halmahera dan Morotai.
Inggris
menyebut Perang Surabaya sebagai perang yang terberat pasca Perang Dunia II.
Surat kabar New York Times (edisi 15 November 1945) bahkan mengutip kata-kata
para serdadu Inggris yang menyebut “The Battle of Surabaya” sebagai “inferno”
atau neraka di timur Jawa.
UJUNG
GALUH IDENTIK KOTA SURABAYA
Ujung
Galuh selalu diidentikkan dengan Kota Surabaya? Dasarnya apa?. Ujung Galuh
umumnya diidentikkan dengan Kota Surabaya hanya berdasarkan cocoklogi
(gothak-gathuk) belaka. Sejarahwan ada yang berpendapat bahwa Hujung = Tanjung
sedangkan Galuh = Emas atau Perak, sehingga disimpulkan bahwa Ujung Galuh
identik dengan Tanjung Perak, yaitu sebuah lokasi pelabuhan laut yang sekarang
berada di ujung utara Kota Surabaya.
Ujung
Galuh berasal dari toponimi Kampung Galuhan di daerah Bubutan-Surabaya.
Barangkali hanya Von Faber saja satu-satunya sejarahwan yang membuat hipotesa
bahwa kampung Galuhan di Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara
sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas
pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 Ms. Tampaknya teori Von Faber inilah yang
dijadikan rujukan utama oleh para perumus sejarah Kota Surabaya. Hipotesis
Faber ini kurang dapat dipertanggungjawabkan, sebab sama sekali tidak ada bukti
bahwa peristiwa penumpasan pemberontakan Kemuruhan itu terjadi di sekitar
kampung Galuhan.
Perlu
digarisbawahi terlebih dulu bahwa nama Desa Surabaya (Cura Baya) itu sudah ada
sejak jaman Majapahit dan namanya disebutkan dalam Negarakertagama. Sebaliknya
Negarakertagama sama sekali tidak menyebut tentang Ujung Galuh sebagai lokasi
yang sama atau setidaknya berdekatan dengan Desa Cura Baya. Jadi anggapan bahwa
Ujung Galuh dan Cura Baya adalah suatu wilayah yang sama perlu untuk dikoreksi.
Hal ini didukung pendapat Pigeaud yang menafsirkan lokasi Cura Baya dalam
Kakawin Negarakertagama adalah cikal bakal toponimi Surabaya dan lokasinya
termasuk di wilayah Kota Surabaya sekarang.
MENURUT M. YAMIN
Menurut pendapat M. Yamin lokasi Ujung Galuh di peta menunjuk pada daerah Pelabuhan Tlocor Sidoarjo yang berbatasan dengan Pasuruan sekarang. Hal ini mungkin didasarkan adanya aliran besar sungai brantas yang bermuara ke Pelabuhan Tlocor. Namun sampai saat ini tidak ada bukti-bukti artefak apapun yang mendukung teori Yamin ini. Artefak kuno di wilayah Sidoarjo justru banyak terakumulasi jauh di sebelah barat, yaitu di daerah Krian, antara lain Prasasti Kamalagyan dan ceceran situs-situs kuno di Desa Balongbendo dari jaman Airlangga. Lagipula letak pelabuhan Tlocor terlalu jauh ke timur dan tentu sukar disinggahi kapal-kapal yang berasal dari Sumatera dan dari mancanegara khususnya Bangsa Tar-Tar (Mongol).
Teori M.Yamin tampaknya juga masih lemah karena tidak didukung oleh keterangan sejarahwan lain. Namun setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa hingga era founding fathers ternyata lokasi Ujung Galuh masih simpang siur. Belum ada kesepakatan bahwa Ujung Galuh adalah Surabaya. Klaim bahwa Ujung Galuh adalah Surabaya adalah produk perumus sejarah Kota Surabaya yang dilakukan belakangan. Klaim itu dipublikasikan sedemikian rupa sehingga mengabaikan kemungkinan bahwa lokasi Ujung Galuh berada di tempat lain.
Jika kita mau jujur, sebenarnya Surabaya pada masa lampau adalah hamparan rawa dan hutan mangrove. Terbentuknya delta Surabaya hingga sampai dapat ditempati pemukiman itu berlangsung belakangan. Hal ini yang menjadi alasan mengapa di Surabaya nyaris tidak ada artefak kerajaan kuno. Satu-satunya artefak kuno hanyalah Patung Joko Dolog yang diperkirakan dibuat pada akhir jaman Kerajaan Singhasari. Patung itu pun sebenarnya asalnya dari Trowulan yang dipindahkan ke sana pada masa pemerintah Hindia Belanda. Miskinnya artefak kuno menunjukkan bahwa Surabaya kuno bukanlah bagian dari peradaban kuno yang penting di Jawa Timur.
Fakta
di atas tentu sangat bertolak belakang dengan deskripsi tentang Ujung Galuh
berdasarkan keterangan Prasasti Kamalagyan (1037 Ms) dimana Ujung Galuh sejak
jaman Raja Airlangga sudah dijadikan pelabuhan penting dan sangat ramai
aktivitas pedagangannya. Jika Ujung Galuh adalah Pelabuhan Tanjung Perak, maka
deskripsi ini tidak cocok dengan sejarah Ampel Denta yang letaknya dekat dengan
Pelabuhan Tanjung Perak. Keberadaan pesantren Ampel Denta baru muncul pada era
akhir Majapahit yaitu pada tahun 1421M, ketika Raden Rahmad (Sunan Ampel)
diberi tanah Ampel Denta oleh Raja Brawijaya. Tanah tersebut diberikan karena
masih berupa hamparan hutan dan belum berpenghuni. Raden Rahmad bahkan
diberikan modal untuk membangun wilayah tersebut sehingga menjadi peradaban
yang lebih maju. Bayangkan jika Tanjung Perak dikatakan sebagai pelabuhan yang
sudah ramai pada tahun 1037Ms, lalu hampir 4 abad kemudian di tahun 1421Ms
dikatakan bahwa wilayah di Ampel Denta yang dekat dengan Tanjung Perak ternyata
masih belum berpenghuni.
Perjalanan
Raden Rahmad dari Trowulan menuju Ampel Denta di Surabaya utara menyusuri lebih
dulu daerah Surabaya selatan melewati Pelabuhan Bungkul dan bertemu dengan Empu
Supo yangkemudian dikenal dengan Sunan Bungkul. Makam Sunan Bungkul merupakan
situs paling kuno yang dimiliki Surabaya, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
era akhir Majapahit, peradaban Surabaya memang baru muncul di wilayah selatan.
Berdasarkan keterangan Prasasti Canggu (1358 Ms) hanya disebutkan adanya
Pelabuhan Bungkul di wilayah Curabaya sebagai pelabuhan akhir yang paling timur
dari aliran sungai brantas dan sama sekali tidak menyinggung tentang keberadaan
Ujung Galuh di sana. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan peradaban di
Surabaya utara termasuk pemberdayaan Pelabuhan Tanjung Perak baru dimulai
setelah Raden Rahmad membuka tanah Ampel Denta. Barulah setelah itu pelabuhan
Tanjung Perak menjadi pelabuhan baru bagi ulama dan pedagang Madura, China dan
Arab yang kemudian membentuk komunitas campuran di daerah Ampel sampai
sekarang.
Lalu
di manakah lokasi Ujung Galuh sebenarnya? Berikut petikan Prasasti Kamalagyan
tentang lokasi Ujung Galuh: ".... kapwa ta sukha manahikan maparahu
samanhulu manalap bhanda ri hujun galuh ika" Artinya: bersukacitalah
mereka yang berperahu ke arah hulu, mengambil dagangan di Hujung Galuh. Berdasarkan
keterangan tersebut dapatkita ketahui bahwa lokasi Ujung Galuh berada ke arah
hulu jika ditinjau dari letak prasasti (Desa Klagen Krian), bukan di hilir
pantai utara atau Surabaya. Si penulis prasasti ini sedang berperahu dari arah
timur Mojokerto hendak ke Ujung Galuh untuk membeli barang dagangan. Perjalanan
sungai harus melewati Waringin Sapta (Wringin Pitu-Mojowarno Jombang) yang
sungainya baru saja dibendung dan tertata baik. Jika dianggap bahwa lokasi
Ujung Galuh ada di Surabaya justru tampak janggal dan kurang nyambung
kronologisnya, dari Krian berperahu ke Waringin Sapta untuk apa nyasar dulu ke
Tanjung Perak? Dari sini jelaslah bahwa letak Ujung Galuh memang bukan di
Surabaya.
Sekarang
mari kita melacak dimana lokasi hulu Ujung Galuh. Jika anda pergi ke Kota
Jombang, tepatnya di Kecamatan Diwek, terdapat sebuah Desa bernama Watu Galuh
yang berada di tepi sungai Brantas. Menurut Prasasti Anjuk Ladang (937M)
disebutkan bahwa ibukota Mataram Kuno di Jawa timur adalah Watu Galuh. Lalu
jika dari daerah itu kita mengikuti aliran sungai brantas ke arah utara ada
daerah bernama Kecamatan Megaluh. Dekatnya lokasi Watu Galuh dan Megaluh di
Kecamatan Jombang dapat diinterpretasikan bahwa dulunya keduanya berada dalam
cakupan wilayah yang sama. Jika bicara Ujung Galuh pasti tidak lepas dari
lokasi pelabuhan kuno yang ramai. Sekarang mari kita lacak toponimi desa-desa
di sekitar Megaluh Jombang. Sebuah desa di kecamatan ini bernama Kedung Rejo
(Kedung = sungai), dari sini jika kita telusuri lagi aliran sungai brantas ke
barat (arah Kota Nganjuk) akan kita temukan nama-nama desa antara lain: Desa
Bandar Kedung Mulyo, Desa Bandar Alim, dan Desa Kedung Suko. Perhatikan lagi
toponimi “Bandar” (Bandar = Pelabuhan) dan “Kedung”. Lalu jika menuju ke arah
hulu yaitu ke selatan (arah Kediri) kita juga akan menemukan Desa Bandar Lor,
sebelah utara Kota Kediri dan jika ke barat lagi masuk ke Kota Kediri kita
temukan Desa Kali Ombo (Sungai Besar) dan Desa Jongbiru (Jung Biru). Seluruh
aliran sungai brantas dari hulu arah barat pada akhirnya bermuara di Ploso
Jombang. Jika dilihat dari posisi Kota Krian, maka dapat dikatakan bahwa
Jombang merupakan daerah ke arah hulu.
Jika
merujuk pada pendapat De Casparis (1958) lokasi Ujung Gakuh tidak mungkin di
Surabaya, karena letak Ujung Galuh menurut Prasasti Kemalagyan menuju arah hulu
sungai dari Klagen. Casparis memperkirakan lokasi Ujung Galuh dekat dengan
Mojokerto, yaitu antara Pelabuhan Tuban sampai Babat, Ngimbang dan Ploso
Jombang yang merupakan daerah yang menjadi prioritas pembangunan di jaman Raja
Airlangga. Dari pendapat tersebut De Casparis mempertimbangkan bahwa Ujung
Galuh mungkin terdiri dari dua pelabuhan utama, yaitu Pelabuhan Tuban sebagai
pelabuhan laut yang menghubungkan Jawa Timur dengan pulau-pulau lain dan
pelabuhan sungai di sekitar Ploso Jombang yang menghubungkan daerah-daerah di
Jawa Timur. Hanya saja yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah dulu pernah
ada aliran sungai brantas yang bertemu dengan sungai Bengawan Solo dan bermuara
ke Pelabuhan Tuban? Ataukah para pendatang dari luar Jawa yang masuk ke
Pelabuhan Tuban harus menempuh jalur darat menuju ke selatan jika hendak
memasuki sungai brantas di Ploso Jombang? Sebagaimana diketahui pada masa kuno
jalur sungai brantas memang merupakan jalur transportasi utama.
Berdasarkan
sumber-sumber tutur di daerah sepanjang sungai brantas dulunya adalah
pelabuhan-pelabuhan sungai yang besar dan dapat dilalui kapal-kapal sejak jaman
Airlangga bahkan Pu Sindok. Hal ini sulit dibayangkan karena sekarang ukuran
sungai sudah sangat kecil. Tetapi dulu kapal yang besar sekalipun masih bisa
melintas. Itulah sebabnya Kerajaan Pu Sindok ada di Tamwlang (Jombang). Itulah sebabnya
Kerajaan Daha (Kediri) dapat maju dengan mobilitas tinggi dan demikian pula
Kerajaan Majapahit di Trowulan memiliki armada laut yang tanpa tanding. Karena
memang sehari-hari mereka bergerak dengan kapal-kapal di sungai yang besar.
Jika Ujung Galuh dikatakan sebagai pelabuhan kuno yang ramai, maka logikanya di
sana pun pasti berceceran artefak-artefak kuno. Sekarang mari kita melacak
artefak-artefak kuno di sekitar daerah-daerah yang saya sebutkan di atas.
Kecamatan Megaluh bersebelahan dengan Kecamatan Kudu - Jombang. Daerah ini yang
merupakan gudang prasasti dari jaman Airlangga, setidaknya yang saya tahu
adalah Prasasti Kudu, Prasasti Katemas, Prasasti Pucangan, dan Sendang Made.
Belum lagi saya dengar banyak prasasti lain yang belum dipublikasikan.
Lalu
bergerak lagi sedikit ke utara sekitar 30km kita akan masuk ke Kabupaten
Lamongan, di sini juga gudangnya prasasti, antara lain Prasasti Pamwatan,
Prasasti Sumbersari, Prasasti Patakan, Prasasti Terep, dll. Khususnya di daerah
Kecamatan Ngimbang (perbatasan Jombang-Lamongan) setidaknya tercatat ada 7 buah
prasasti kuno. Sedangkan jika dari Jombang bergerak ke barat menuju Nganjuk, di
Desa Bandar Alim terdapat Prasasti Bandar Alim, lalu di Nganjuk ada Prasasti
Anjuk Ladang, Prasasti Hering dan Prasasti Kujon Manis. Menurut cerita tutur,
pada saat Kerajaan Sriwijaya mengutus ribuan pasukan Jambi menyerbu sisa-sisa
pasukan Pu Sindok di Anjuk Ladang, mereka berlabuh di Bandar Alim dan bermarkas
di desa yang sekarang bernama Desa Jambi. Hal ini didukung ceceran artefak batu
bata merah kuno yang tersebar di halaman rumah-rumah penduduk Desa Jambi.
Lalu
pada saat Pasukan Tar-Tar datang berlabuh di pelabuhan Tuban, kavaleri besar
itu tidak mungkin mengangkut semua perbekalan melalui jalur darat menuju Kediri.
Solusinya mereka harus menggunakan jalur sungai brantas di sebelah selatan dan
berlabuh di pelabuhan-pelabuhan sungai yang dekat dengan Kediri. Jalur
pelabuhan sungai yang sudah aktif pada masa itu adalah pelabuhan sungai di
kawasan kota Jombang-Nganjuk-Kediri, yaitu: Bandar Kedung Mulyo, Bandar Alim,
Jongbiru, Bandar Lor, dan Bandar Kidul. Pasukan Tar-Tar menyusuri aliran sungai
brantas hingga mendarat di Jongbiru - Kediri. Dari situ pasukan Tar-Tar
bersama-sama dengan pasukan Arya Wiraraja dan pasukan Raden Wijaya mengepung
dan membantai pasukan Jayakatwang. Sisa-sisa tawanan Kerajaan Gelang-Gelang itu
lalu dibawa keluar Kota Kediri. Di sanalah pasukan Tar-Tar berpesta, dan dalam
kelengahan itu pasukan Raden Wijaya menggempur pasukan Tar-Tar habis-habisan
selama 2 hari dan mendesaknya terus hingga sampai ke Ujung Galuh. Akan sulit
membayangkan suatu pertempuran yang bergerak dari Kediri menuju Ujung Galuh
jika lokasi Ujung Galuh adalah di ujung utara Surabaya, terlalu jauh dan tidak
memungkinkan. Tetapi menjadi logis jika letak Ujung Galuh memang tidak terlalu
jauh dari Kediri yaitu di wilayah sekitar Ploso-Jombang.