LENGSER KEPRABON MADEK MANDHITA
Lengser Keprabon, Mandeg Mandhito, pitutur leluhur Jawa nduweni teges yen sawise rampung kuwajibaning negari, yaiku nindakake tugas suci banjur dadi wong kang luwih cedhak marang Gusti.
Mandhito kadiya kamulyan Brahmana iku pucuking urip lan panguripan.
LENGSER KEPRABON MADEP PANDITO/MANDHITO RATU (1)
Kata lengser keprabon itu bagian dari kata mutiara Jawa Lengser keprabon madeg pandhita.
Lengser itu artinya turun dari kedudukan atau tahta.
Keprabon artinya tanah raja/prabu.
Jadi lengkapnya, lengser keprabon adalah turun dari jabatan sebagai ratu/raja (pemimpin).
Madeg pandhita bisa diartikan sebagai (dengan konsentrasi) berdiri/menjadi pendeta.
Lengser Keprabon yaitu mengundurkan diri secara legowo dan lenggono dari kedudukan sebagai ratu/raja. Sedangkan madeg pandita, maksudnya dia sebagai orang tua yang bijaksana, tinggal di sebuah pertapaan dan selalu bersedia memberi nasihat kepada siapa pun yang membutuhkan.
Lengser keprabon adalah langkah seorang ratu/raja (pemimpin) dalam menanggapi kondisi yang semakin tidak memungkinkan bertahan untuk berkuasa.
LENGSER KEPRABON MADEP PANDITO/MANDHITO RATU (2)
Lengser keprabon madep pandito ratu adalah suatu ungkapan bahasa Jawa yang memiliki arti bahwa setiap pemimpin atau penguasa yang sudah mengakhiri masa kekuasaannya diharapkan banyak beribadah berserah diri mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
Dalam kisah Mahabarata versi Wayang Purwa/Wayang Jawa, lelakon/lelaku/perilaku semacam itu, salah satunya dicontohkan oleh Begawan Abiyoso kakek Pendawa dan Kurawa.
Setelah menyelesaikan tugas dan menyerahkan tahta Kerajaan Hastina Pura kepada Raden Pandu Dewanata, putra kedua-nya, beliau meninggalkan istana dan bermukim di pertapaan.
LENGSER KEPRABON MADEK PANDHITA/MANDHITO (Wayang Purwa)
Resi Abiyasa, Abiyasa Kresna atau Prabu Dwipayana atau dikenal pula dengan nama Resi Wiyasa (Mahabharata). Ia putra Resi Palasara dari pertapaan Retawu, dengan Dewi Durgandini, putri Prabu Basuketi, Raja Wirata. Abiyasa memiliki sifat pandai, sangat cerdas, arif bijaksana, alim, dan saleh, berwibawa. Ia juga memiliki berbagai keistimewaan, di antaranya ahli bertapa, ahli nujum, ahli pengobatan (tabib), banyak memiliki ilmu kesaktian, ahli tata negara, dan tata pemerintahan. Abiyasa juga mendapat anugerah dewata berumur panjang.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai kepala negara, Abiyasa lalu menjalani kehidupan sufistik sebagai pendeta. Istilah populernya lengser keprabon madeg pandita.
Lengser keprabon artinya secara elegan dan terhormat berhenti sebagai kepala negara. Madeg Pandita adalah menjalani kehidupan dalam tataran lebih mulia, sebagai pendeta yang fungsinya menjadi penasihat dan guru bangsa. Pola lengser keprabon madeg pandita adalah pola suksesi yang terencana dan elegan. Abiyasa mengkader putranya Pandu Dewanata sebelum meletakkan jabatan dengan terencana dan terhormat. Raja Astina itu kemudian menjadi pendeta di Wukir Saptaarga atau Wukir Ratawu. Setelah menjalani kehidupan sebagai pendeta, eksistensi Abiyasa bukanlah memudar, tetapi makin bersinar dan mulia. Setiap ada krisis dan masalah kenegaraan yang genting, beliau selalu memberikan solusi dan saran-saran yang jitu. Biasanya Arjuna atau Abimanyu datang menghadap sebagai duta untuk mengadukan masalah yang sedang menimpa Pandawa. Sang Begawan dengan kearifan seorang mantan negarawan paripurna dan juga seorang yang telah menjalani laku spiritual layaknya orang suci, memberikan nasihat yang berkualitas.
Ibarat air bening yang menyejukkan dan memberi harapan kehidupan. Nasihatnya yang arif adalah petunjuk Ilahi, karena Sang Begawan adalah seorang yang tidak bertabir lagi dengan suara-suara langit. Sosok Abiyasa itulah yang mengilhami raja-raja Jawa
seperti Sultan Hamengkubowono VIII dan IX.
Pada suatu masa wangsa Bharata terancam punah karena belum sempat mempunyai keturunan, Prabu Citrawirya dan Citragada, anak Dewi Durgandini sebagai penerus trah agung Bharata terakhir keburu meninggal. Keturunan langsung yang paling berhak sebagai penerus wangsa Bharata sebenarnya masih tersisa. Ia adalah Dewa Bharata atau Bhisma. Sayang Bhisma terlanjur sumpah wadat untuk tidak menikah selamanya. Untuk mengisi kekosongan takhta Kerajaan Astina sepeninggal Prabu Wicitrawirya, Abiyasa diboyong oleh Dewi Durgandini ke Astina dan dijadikan raja dengan gelar Prabu Kresnadwipayana. Dalam salah satu pasal undang-undang suksesi negara Astina disebutkan, “jika raja mangkat dan belum punya keturunan sehingga wangsa terancam putus, maka yang berhak menggantikan sebagai raja dan penerus wangsa adalah orang paling arif dan paling suci di negara itu.” Orang yang dianggap paling suci pada zaman itu ialah Resi Abiyasa. Kebetulan resi ini masih keturunan Dewi Durgandini dari suaminya yang pertama, Resi Palasara. Maka Abiyasa kemudian diberi amanah untuk meneruskan keturunan Bharata. Dewi Ambika, janda Prabu Citragada dan Ambalika, janda Prabu Wicitrawirya kemudian dikawinkan dengan Abiyasa. Dari perkawinan itu Abiyasa memperoleh dua orang putra, yaitu Drestarasta dari Dewi Ambika, dan Pandu dari Dewi Ambalika. Abiyasa juga kawin dengan Datri, penyanyi kidung Weda di pertapaan Srungga, dan berputra Yamawidura. Ketiga anak Abiyasa mempunyai cacat pembawaan ketika lahir. Drestarasta ketika lahir mempunyai cacat bawaan buta matanya. Konon, ketika Abiyasa melakukan hubungan badan dengan istrinya, Dewi Ambika memejamkan matanya karena ketakutan menatap raut wajah Abiyasa, seorang pertapa yang baru keluar dari hutan. Kulitnya legam, matanya menyorot tajam bagai mata singa karena seringnya olah yoga.
Akibatnya ketika melahirkan, anaknya matanya buta. Pandu lahir dengan leher yang tengleng (melintir). Cacat Pandu karena ibunya membuang muka ketika ayahnya, Abiyasa menyenggamainya. Yamawidura lahir berkaki pincang. Akibat dari karma ibunya, Datri yang ingin menghinda r melayani sang resi selalu berjalan berjingkat-jingkat agar tidak kedengaran jika melewati kamar Sang Resi. Pelajaran yang dipetik dari peristiwa ini ialah beban kejiwaan seorang ibu ketika hamil akan berpengaruh langsung pada bayi yang dikandungnya. Beban psikologis dan perilaku ibu ternyata berpengaruh pada fisik, kecerdasan intelektual, dan emosional bayi yang dilahirkan. Abiyasa adalah manusia sekualitas dewa. Dia bisa muncul secara gaib kapan dan di mana saja. Ketika cucu-cucunya menghadapi masalah kritis yang luar biasa, dia bisa dengan tiba-tiba muncul dan memberikan wejangan. Dalam keseharian biasanya dia tetap berada di Gunung Saptarengga bersama para cantrik dan para penghuni padepokan yang mempunyai kulturnya sendiri yang pedesaan. Padepokan berbeda layaknya dengan sebuah kultur pesantren petani yang mempunyai kegiatan dan struktur pengaturannya sendiri. Padepokan adalah sebuah subkultur. Abiyasa juga seorang ilmuwan tanpa tanding. Pelopor teknologi “rekayasa genetika” dan “bayi tabung pertama”. Beliau pencetus ide untuk menyelamatkan gumpalan darah yang dilahirkan GENDARI dalam tempayan yang diberi media penumbuh berupa susu. Setiap hari tempayan-tempayan itu diberi mantra dan ditambahkan susunya. Ketika cukup bulannya, dari tabung itu lahirlah seratus orang keluarga Kurawa. Abiyasa meninggal setelah berakhirnya Perang Bharatayudha. Ia moksa kembali ke nirwana dengan menaiki “kereta cahaya” yang dikirimkan oleh dewata untuk menjemputnya.