KAKAWIN HARIWANGSA DENING MPU PANULUH
Kakawin Kresnâyana ditulis oleh mpu Panuluh pada saat prabu Jayabaya memerintah di Kediri dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi.
Kakawin Hariwangsa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuno. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang prabu Kresna, titisan batara Wisnu ingin menikah dengan Dewi Rukmini, dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Hariwangsa secara harafiah berarti silsilah atau garis keturunan sang Hari atau Wisnu. Di India Harivam.ça dalam bahasa Sanskerta memang sebuah karya sastra mengenai Wisnu dan garis keturunannya di mana cerita pernikahan Kresna dan Rukmini adalah sebuah bagian kecil daripadanya. Namun untuk kasus kita ini, sebenarnya nama ini kurang cocok karena kakawin ini hanya mencakup sebuah bagian kecil saja.
Tema yang dibahas dalam kakawin Kresnâyana ini mirip dengan tema yang dibahas dalam kakawin Hariwangsa. Para pakar sastra Jawa Kuno berpendapat bahwa kakawin Hariwangsa lebih berhasil dalam menggarap tema yang sama ini. Kakawin Hariwangsa lebih muda daripada Kresnâyana jadi kemungkinan mpu Panuluh menggubah ulang sebuah cerita yang sudah ada entah alasan apa. Ada kemungkinan ia diperintah oleh prabu Jayabaya atau memang karena hasrat jiwanya sendiri. Di dalam kakawinnya sendiri tertulis bahwa mpu Panuluh menulisnya karena : tambenya pangiketkw apét laleh, atau maksudnya: alasannya menggubah syair ialah mencari capai. Hal ini oleh para pakar ditafsirkan bahwa kakawin ini hanyalah bahan coba-cobaan saja. Mpu Panuluh juga terkenal dengan kakawin Bharatayuddhanya yang ia karang bersama mpu Sedah.
Kemudian ada hal yang sekaligus menarik dan janggal terjadi dalam kakawin ini, yaitu bagaimana para Pandawa bisa-bisanya yang dilukiskan memerangi prabu Kresna, sekutu mereka yang paling setia bersama-sama dengan para Korawa yang merupakan musuh bebuyutan para Pandawa. Namun semuanya berakhir dengan baik bagi segala pihak. Hal seperti ini tidak muncul dalam sastra epis (wiracarita) di India dan ini menunjukkan sifat Indonesiawi dari kakawin ini. Bahkan ada pakar yang menduga bahwa kakawin ini sebenarnya adalah sebuah naskah lakon yang maksudnya dipentaskan untuk pertunjukan wayang.
Isi Kakawin Hariwangsa yang ditulis Mpu Panuluh yakni :
hana desa lengong leyep langonya // ri yawadwipa kasankhya nusa sasri // palupuy hyang agastya tan hanoli // ya tika trasa hilang halepnya mangke // umuwah ta sira ng watek hyang aswi // anuduh te ri bhatara padmanabha // ya tika pulihen langonya raksan // ri sira, hyang hari tan wihan lumampah // irikan dadi bhupati prasidha // maripurnaken ikang prajatisobha // subhaga n madhusudanwatara // sira ta sri jaya satru kaprakasa.
Terjemahan bebasnya adalah :
Ada sebuah negeri yang indah, keindahannya laksana impian, disebut pulau Jawa, sebuah pulau yang megah. Jawa adalah kitab dari Agastya yang sakti tiada bandingan, pulau itu itu sekarang dihinggapi ketakutan, sehingga keindahannya lenyap. Kemudian berkumpul dewa-dewa bersama Hyang Aswi. Bersama-sama memohon dengan sangat kepada bhatara Padmanabha, untuk memperbaiki dan menjaga keindahan pulau tersebut. Dewa Hari ikut serta pergi kesana. Kini ia telah benar-benar menjadi raja, yang menyempurnakan lagi kehidupan hamba sahayannya, dia adalah inkarnasi dari Madhusudana-awatara. Dia termasyhur dengan nama Sri Jaya-Satru (Jayabaya).
PENAFSIRAN
Sebagian orang menafsirkan guru Jayabaya adalah Mpu Sedah. Sementara sebagian yang lain menafsirkan bahwa Mpu Sedah adalah guru Jayabaya di bidang sastra. Sedangkan biksu pandhita adhikara yang disebut dalam Hariwangsa adalah Syaikh Syamsuddin Al Wasil, yang tidak sekadar mengajarkan ilmu perbintangan dan nujum, melainkan menunjukkan karomah-karomah yang digambarkan seperti kesaktian Rsi Agastya.
Menurut R. Ng Agus Sunyoto, penulis Atlas Walisongo, sebutan Biksu dan kemudian pandhita lazim digunakan untuk menyebut tokoh-tokoh Islam pada zaman itu. Seperti area makam Fatimah binti Maimun yang dalam prasasti Leran disebut Susuk (tempat suci). Sebutan untuk Syaikh Maulana Malik Ibrahim, pengangkatan saudara tua Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang bernama Ali Murtadlo sebagai Raja Pandhita di Gresik. Sebutan Pandhita Ampel untuk Sunan Ampel dan Pandhita Giri untuk Sunan Giri.
Prabu Jayabaya pernah berguru kepada seorang pendeta sakti yang amat dihormatinya. Dalam atlas walisongo, karya R.Ng. Agus Sunyoto guru yang dihormati itu adalah Syaikh Syamsuddin yang dikenal dengan nama Syaikh Wasil yang makamnya berada di Komplek Makam Auliya Setonogedong, Kota Kediri. Hubungan kedua orang ini juga disinggung dalam Kakawin Hariwangsa.
Dalam epilog Kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh yang memaparkan keberadaan Sri Mapanji Jayabaya dan guru penasehatnya dalam gambaran yang menyatakan bahwa Wisnu telah pulang ke surga, tetapi turun kembali ke bumi dalam bentuk Jayabaya untuk menyelamatkan tanah Jawa.
Sebagai titisan Wisnu Jayabaya ditemani oleh Agastya yang menitis dalam diri pendeta kepala Brahmin penasihat raja. Prof Dr. Poerbotjaraka dalam Agastya in den Archapel memaparkan hubungan Jayabaya (titisan Wisnu) dengan gurunya (titisan Agastya).
AGASTYA
Agastya (Akattiyar/Anggasta/Akkhot) adalah seorang resi dari India Selatan. Di dalam sejarah penyebaran Agama Hindu, Resi Agastya adalah sangat terkenal jasa-jasanya. Menurut pustaka Purana dan Mahabharata, dia lahir di Kasi (Benares) sebagai penganut Siwa yang taat.
Oleh karena kebesaran dan kesucian Maha Rsi Agastya, maka juga disebut Batara Guru sebagai perwujudan Siwa di dunia mengajarkan dharma. Di dalam sejarah agama Hindu di Indonesia, Maha Rsi Agastya disucikan namanya dalam prasasti-prasasti dan kesusastraaan-kesusastraan kuno. Yang terdahulu sekali menyebut nama dia ialah Prasasti Dinoyo di Jawa Timur Tahun Saka 682 di mana seorang raja bernama Gajayana membuat pura suci yang sangat indah untuk Maha Rsi Agastya dengan maksud untuk memohon kekuatan suci untuk mengatasi kekuatan yang hebat.
RIWAYAT
Riwayat kehidupan Agastya tidak diceritakan secara kronologis, namun tersebar dalam berbagai literatur. Agastya merupakan anak dari Pulastya. Catatan lain menyatakan bahwa Agastya lahir dari dalam kendi tanah dari setelah dilakukan yadnya oleh Dewa Baruna dan Dewa Mitra yang memunculkan Dewi Urwasi. Kelahiran Agastya juga dibarengi oleh kelahiran kembarannya, Wasista. Kemunculan mereka dari kendi tanah membuat keduanya dikenal juga sebagai kumbhayoni atau maitrawaruni yang berarti lahir dari kendi.
Agastya tumbuh dengan tubuh yang pendek. Ia kemudian mempelajari Weda dan berbagai senjata gaib. Kemampuannya bertambah dan semakin mahir.
PERJALANAN KE SELATAN
Disebutkan dalam Ramayana oleh cerita Rama kepada Sita, Agastya melakukan perjalanan ke selatan India dan tinggal di sana. Gunung Windya diceritakan memiliki rasa iri pada Gunung Himalaya, sehingga puncaknya menutupi langit dan mempersulit makhluk hidup untuk melewatinya. Agastya kemudian datang dan meminta ijin untuk melewatinya dan meminta gunung tersebut untuk menunduk selama ia berjalan di atasnya. Agastya memilih untuk tinggal dan gunung tersebut diceritakan masih menunggu Agastya lewat. Selain itu, selama tinggal di sana Agastya juga membunuh dua iblis yang memakan korban 9.000 orang.[5] Keberadaan Agastya di selatan dipercaya untuk menjaga keseimbangan bumi bersama dengan dewa lainnya yang tersebar di penjuru bumi lainnya.
PERNIKAHAN DENGAN LOPAMUDRA
Agastya juga memiliki seorang istri bernama Lopamudra. Dalam Mahabharata Lopamudra dikenal sebagai hasil tangan Agastya yang dibuat dari berbagai bagian paling indah dari hewan. Mengetahui bahwa Raja Widarbha tidak dikaruniai anak, sang petapa memberikan perempuan tersebut sebagai anak raja. Saat raja mengetahui bahwa sudah saatnya Putri Lopamudra untuk menikah, ia mencari nasihat Agastya. Kemudian petapa tersebut meminang Putri Lopamudra. Walaupun ayahnya sungkan, tetapi dengan rela hati Lopamudra menerima pinangan Agastya dan keduanya melangsungkan pernikahan. Sebagai seorang petapa, Agastya meminta Lopamudra untuk hidup sederhana dan meninggalkan kekayaannya.
Suatu saat Agastya ingin tidur bersama Lopamudra dan memenuhi janjinya kepada nenek moyangnya, namun Lopamudra menolak. Lopamudra meminta suaminya untuk memberikannya kekayaan seperti yang dimiliki ayahnya. Meskipun menurut Agastya hal tersebut bertentangan dengan kesederhanaan petapa, tetapi demi memenuhi janjinya pada nenek moyangnya, ia berusaha memenuhi keinginan Lopamudra.
Untuk memenuhi hal tersebut ia menemui tiga raja, yakni Srutarwa, Bradnashva, dan Trasadasyu, namun ketiganya tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk dibagikan kepadanya. Bersama tiga raja ia pergi menemui Illwala. Keempat tamu disuguhi daging yang merupakan Batapi, saudaranya. Mengetahui apa yang ada di balik sajian tersebut, ketiga raja menjadi sedih dan putus asa, tetapi Agastya meyakinkan mereka dengan memakan seluruh sajian. Ketika waktu makan selesai, Ilwala memanggil saudaranya untuk keluar, tetapi Agastya hanya melepaskan tawa dan mengatakan bahwa ia sudah mencerna Batapi. Hal tersebut membawa kesedihan bagi Illwala, tetapi ia tetap memberikan apa yang dicari oleh keempat tamunya. Tiga raja dan sang petapa kemudian kembali dengan emas dan harta benda lainnya. Setelah Agastya menunjukkan apa yang ia dapat, ia kemudian tidur dengan Lopamudra dan dikaruniai anak, yakni Dredhasyu.
PENGARUH DI ASIA TENGGARA
Tokoh Agastya memegang peranan penting dalam penyebaran agama Hindu di Asia Tenggara, terutama Jawa, Indonesia. Hal ini dikuatkan dengan keberadaan Prasasti Dinoyo yang diperkirakan dibuat pada Tahun Saka 682. Dalam prasasti disebutkan mengenai pembangunan tempat tinggal untuk Rsi Agastya. Prasasti lain yang mencatat mengenai keberadaan Agastya yakni Prasasti Porong. Prasasti ini berisi tentang beberapa nama lain yang disematkan pada Agastya. Selain itu juga nama petapa ini juga tercatat di Ratu Boko.
Selain prasasti, terdapat beberapa teks yang memperkuat pengaruh keberadaan Agastya dalam penyebaran agama. Kakawin Hariwangsa menyebutkan keberadaan Agastya sebagai penuntun dari Raja Jayabaya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara penganut Wisnu dan Siwa sebagai bentuk pendewasaan dari raja tersebut. Selain itu, teks Agastyaparwa yang ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Sanskerta. Isinya berupa pertanyaan Dreshasyu yang mewakili seorang siswa kepada ayahnya yang mewakili seorang guru mengenai alasan manusia naik ke surga atau ke neraka. Teks ini dibuat dengan format yang mirip dengan percakapan di India. Beberapa bangunan di Asia Tenggara juga menunjukkan pengaruh Agastya lewat patung dan ukiran. Candi Prambanan yang terletak di Jawa Tengah memiliki patung Agastya yang dapat ditemukan di sebelah selatan komples candi.
PERTAPAAN VERSI HINDUSTAN
Dalam beberapa purana, disebutkan Agastya memiliki beberapa pertapaan seperti :
Agastyapuri dan Akolha di sekitar Nashik.
Kolhapur,
Maharashtra.
Sarai Aghat.
Uttar Pradesh.
Agastya Kuta.
Gunung Trinelveli.
Agastyamuni.
Gharwal dan beberapa lokasi di selatan India.